Usaha Peter Berger dan Thomas Luckmann pada tahun 1962 lewat
penulisan buku ini adalah untuk menunjukkan peranan sentral sosiologi pengetahuan
sebagai instrumen penting membangun teori sosiologi. Rencana semula, proyek
penulisan tentang pentingnya peranan sosiologi pengetahuan itu merupakan hasil
kerja sama antara ahli sosiologi dan ahli filsafat. Biarpun akhirnya buku ini
ditulis hanya oleh dua orang ahli sosiologi, pengaruh teori pengetahuan dari
filsafat—dalam hal itu terutama dari fenomenologi—dan ilmu-ilmu
pengetahuan alam terutama biologi memang cukup besar. Proses penulisan naskah
sampai terbitnya buku ini memakan waktu empat tahun, karena buku ini terbit
pada tahun 1966. Ternyata sampai sekarang sambutan lingkungan akademis terhadap
karya ini sungguh luar biasa. Komunitas ahli-ahli ilmu sosial menaruh perhatian
besar terhadap buku ini, dan kini buku ini menjadi salah satu referensi penting
bila mengulas sosiologi pengetahuan kontemporer. Boleh dibilang buku ini sudah
menjadi buku klasik di bidang sosiologi pengetahuan, karena diakui sebagai tonggak
penunjuk arah perkembangan teori sosiologi di masa-masa yang akan datang. Dengan
demikian Peter Berger mendapat reputasi internasional sebagai ahli sosiologi
pengetahuan terkemuka dewasa ini.
Minat Berger terhadap hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di
mana pemikiran itu timbul, berkembang ...
dan dilembagakan, bertolak dari pemikirannya tentang masalah
keagamaan. Dua buku perdananya, yaitu The Precarious Vision (1961)
dan The Noise of Solemn Assemblies (1961), mengulas tentang fungsi
atau posisi kritis sosiologi agama (sub-bidang sosiologi pengetahuan) berhadapan
dengan perkembangan refleksi teologis dalam kalangan umat Kristen Barat. Berger
berusaha menggambarkan bagaimana sekularisasi sebagai salah satu ciri peradaban
modern tercermin dalam refleksi-refleksi teologis. Karena refleksi atas iman
yang sudah melembaga seperti terjelma pada teologi-teologi formal juga berfungsi
sebagai ideologi, maka tugas sosiologi agama antara lain menunjukkan bagaimana
teologi sebagai ideologi juga memainkan peranan sebagai alat legitimasi kekuasaan
politik yang dibangun oleh masyarakat untuk menertibkan kehidupan publik. Sekularisasi
menunjukkan bahwa sektor publik kehidupan modern mengalami pluralisasi ideologi
sehingga pengaruh dominan pemikiran keagamaan seperti pada masyarakat pra-modern
semakin kecil, bahkan bergeser ke dalam kehidupan privat individu-individu (terjadi
proses privatisasi kehidupan religius). Kedua karya di atas memberikan pijakan
awal bagi Berger (sebelum tahun 1960 Berger mengajar Etika Sosial di Hartford
Seminary Doundation) dalam pergumulan dengan masalah sosiologi pengetahuan pada
periode berikut dalam perjalanan kariernya sebagai ahli sosiologi.
Periode kedua karirnya dimulai ketika Berger meninggalkan tugasnya sebagai profesor
Etika Sosial di hartford Seminary dan diangkat sebagai guru besar sosiologi
pada New School for Social Reseach New York, sebagai pusat gerakan
fenomenologis di Amerika Serikat. Salah satu tokoh gerakan fenomenologis di
bidang ilmu-ilmu sosial dan sekaligus guru Berger adalah Alfred Schutz. Alfred
Schutz dipandang oleh kalangan ahli sosiologi Amerika sebagai murid Edmund Husserl,
pendiri aliran fenomenologis di Jerman. Schutz berusaha memberi konteks sosial
atas konsep “Lebenswelt” (dunia kehidupan) ciptaan Husserl. New
School for Social Reseach merupakan salah satu lembaga University of Buffalo,
yang menerbitkan majalah Philosophy and phenomenological research.
Tidak mengherankan kalau fenomenologi mempengaruhi alam pikiran Berger karena
...
Weber tampil sebagai tokoh yang mempertahankan posisi humanistis
dari sosiologi sebagai sub-disiplin humaniora. Dalam situasi konflik itu Max
Weber berusaha mensintesa pendekatan positivistis dengan pendekatan idealistis
untuk membangun pendekatan ilmu-ilmu sosial yang khas dan otonom.
Dari kenyataan itu Berger juga berusaha mengembalikan status otonomi sosiologi
dari dominasi ilmu-ilmu alam dan ideologi politik. Sosiologi dikembalikan ke
fungsi aslinya sebagaimana dikehendaki Weber sebagai sarana teoritis untuk memahami
serta menafsir secara bertanggung jawab atas masalah-masalah kebudayaan dan
peradaban umat mausia. Fungsi itu bisa dilaksanakan kalau sosiologi merupakan
cara pandang dan bagian integral dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities).
Sementara itu sumbangan dari sumber-sumber asli fenomenologis, khususnya karya-karya
Max Scheler dan Alfred Schutz, memberi bobot baru untuk sosiologi pengetahuan,
yang menyimpang dari tradisi sosiologi pengetahuan selama ini. Dalam konsep
teoritis “Lebenswelt” (terjemahan Inggris life-world sedang
terjemahan Indonesia, ‘dunia kehidupan’) dalam tradisi fenomenologi
mengandung pengertian ‘dunia’ atau ‘semesta’ yang kecil,
rumit dan lengkap, terdiri atas lingkungan fisik, lingkungan sosial, interaksi
antarmanusia (intersubjektivitas) dan nilai-nilai yang dihayati. “Lebenswelt”
itu merupakan realitas sosial orang-orang biasa (orang awam, “the
man in the street”). Dalam cahaya fenomenologi dapat dikatakan bahaw
dalam “Lebenswelt” terdapat gejala-gejala sosial yang mesti dideskripsikan.
Tugas para pemikirlah (termasuk ahli sosiologi) untuk menemukan hakekat masyarakat
di balik gejala-gejala sosial yang banyak itu. Berger kemudian yakin bahwa bersosiologi
itu harus mengikuti proses berpikir seperti yang dituntut oleh fenomenologi,
yakni dimulai dari kenyataan kehidupan sehari-hari sebagai realitas utama gejala
kemasyarakatan. Usaha untuk memahami sosiologi pengetahuan secara teoritis dan
sistematis melahirkan karya Berger yang mashur ini, The Socal Construction
of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge, yang dalam edisi
bahasa Indonesia ini diberi judul Tafsir ...
xvi
Kekeliruan pendekatan positivistis yang diterapkan dalam penelitian gejala-gejala
sosial ialah bahwa gejala-gejala sosial diperlakukan kira-kira sama dengan gejala-gejala
alam. Dan, yang dikejar oleh sosiologi positivistis adalah hukum-hukum perkembagan
masyarakat yang pada gilirannya dapat dikuasai dan diarahkan menurut proyeksi-proyeksi
perkembangan seperti model perencanaan di bidang sains dan teknologi. Padahal,
gejala sosial itu bersifat intersubjektif, sehingga metodologi itu memberi tempat
yang wajar pada unsur subjektif, karena apa yang dinamakan kenyataan sosial
itu, selain menampilkan dimensi objektif (tradisi Durkhemian) juga sekaligus
mempunyai dimensi subjektif—karena, apa yang kita namakan masyarakat itu
adalah buatan kultural dari masyarakat tertentu; manusia sekaligus pencipta
dari dunianya tersendiri (lingkungan fisik, organisasi sosial serta sistem nilainya).
Diakui pula bahwa tidak semua gejala sosial mampu diamati secara leluasa.
Karena itu, dalam persiapan penelitian perlu diseleksi kenyataan yang penting-penting
saja dan sikap-sikap subjektif yang wajar dan alamiah, seperti yang dilakukan
dalam kegiatan kehidupan sehari-hari—pada hari kerja, bukan pada hari-hari
raya. Perhatian dipusatkan pada proses terbentuknya fakta sosial atau gejala
sosial, di mana individu-individu ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan
fakta sosial yang memang mempunyai unsur paksaan pada mereka. Dalam kehidupan
sehari-hari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat
mikro tampak pada komunikasi tatap muka atau interaksi tatap muka. Pada situasi-situasi
itu dapat ditemukan seluk-beluk kenyataan sosial yang paling penting. Sedangkan
kenyataan sosial lainnya merupakan terjemahan atau perluasan dari kenyataan
tatap-muka itu.
Dengan menyeleksi gejala-gejala sosial utama yang hendak diobservasi, maka yang
diperhatikan dari kenyataan sosial itu adalah aspek perkembangan, perubahan
serta proses tindakan sosial; aspek-aspek itu membantu si pengamat untuk memahami
suatu tatanan-sosial atau orde sosial yang diciptakan sendiri oleh masyarakat
dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang
mengontrol tindakan manusia ...
xvii
dan menstabilkan struktur sosial dinilai sebagai prestasi penelitian. Dengan
temuan itu si peneliti mampu memberi tafsiran terhadap kejadian-kejadian dalam
suatu masyarakat sebagai bukti konkrit pemahamannya atas seluk beluk suatu kehidupan
masyarakat. Ternyata manusia-manusia konkrit bukanlah wadah penyimpaan dan pengawetan
norma-norma sosial, sekurang-kurangnya itulah penemuan sosiologi sebagai salah
satu bentuk kesadaran masyarakat modern yang penuh dinamika.
Dengan ini hendak dikatakan bahwa prestasi seorang sosiolog tampak pada kemampuannya
membangun interpretasi objektif atas kejadian-kejadian yang dialami dalam masyarakat.
Namun, ukuran yang menunjukkan objektivitas tafsirannya antara lain adalah interpretasinya
itu dipahami pula oleh masyarakat yang ditelitinya, karena masyarakat itu sendiri
sudah memiliki pengetahuan atau interpretasi tentang kehidupannya sendiri. tuntutan
relevansi dari suatu teori sosiologi mendapat tekanan baru di sini karena interpretasi
sosiologis yang mempunyai kadar ilmiah, rasional dan sistematis dibangun di
atas observasi kritis atas bangunan pengetahuan dan interpretasi masyarakat
yang diteliti. Dengan kata lain tafsiran sosiologis memberikan dimensi baru
atas tafsiran masyarakat yang dibentuk karena
common-sense, sehingga
muncul relevansi teori sosiologi atas kehidupan nyata. Sebaliknya akan sangat
diragukan objektivitas suatu teori sosiologi kalau masyarakat biasa tidak mampu
melihat bahaw teori sosiologi itu merupakan penyempurnaan pengetahuan sosial
yang dibangun oleh
common-sense, dan menjadi bahan baku analisa kegiatan
ilmu-ilmu sosial selanjutnya.
Ketiga, selain persoalan pilihan metodologi ilmu-ilmu sosial untuk
menyingkapkan hakekat realitas sosial, timbul juga masalah pilihan logika macam
manakah yang perlu diterapkan dalam usaha memahami kenyataan sosial yang mempunyai
ciri-ciri khas seperti bersifat pluralis, dinamis, dalam proses perubahan terus-menerus
ini? Logika ilmu-ilmu sosial semacam apa yang perlu dikuasai agar interpretasi
sosiologis itu relevan dengan struktur kesadaran umum dan struktur kesadaran
individual ...
xviii
yang mengacu ke struktur kesadaran umum itu? Pertanyaan ini menjadi kerisauan
bagi sosiologi pengetahuan, karena sosiologi penetahuan harus menekuni segala
sesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat. Padahal,
selama itu sosiologi pengetahuan lebih berupa sosiologi tentang sosiologi karena
fokus perhatian selama ini pada sejarah intelektual dari golongan cendikiawan,
yang menaruh minat besar pada masalah pandangan hidup masyarakat (
Weltanschaung),
sedangkan manusia awam tidak begitu menaruh perhatian pada kerisauan intelektual
itu. Dengan kata lain, hanya segelintir orang saja yang bergumul dengan usaha
menafsir secara teoritis atas dunia kehidupan, dan setiap individu dalam masyarakat
berpartisipasi dengan caranya sendiri atas pandangan hidup masyarakat secara
umum dan luas. Melebih-lebihkan arti penting dari pemikiran teoritis dalam masyarakat
dan sejarah sudah menjadi pengalaman yang menggelikan bagi para mahasiswa dengan
dosen-dosen pelbagai disiplin ilmiah di perguruan tinggi. Ini menunjukkan kelemahan
kodrati para ahli teori, termasuk ahli sosiologi.
Sosiologi pengetahuan seharusnya memusatkan perhatian pada struktur dunia akal
sehat (
common-sense world) di mana kenyataan sosial didekati dari pelbagai
pendekatan seperti pendekatan mitologis yang irasional, pendekatan filosofis
yang bercorak moralistis, pendekatan praktis yang bersifat fungsional; semua
jenis pengetahuan itu membangun struktur dunia akal sehat. Hal itu baru menyentuh
aspek produksi pengetahuan sosial, belum pula diteliti bagaimana pendistribusian
pengetahuan itu ke lembaga-lembaga sosial dan ke individu-individu. Dari perbendaharaan
pengetahuan masyarakat yang dikumpulkan selama sejarah kehidupannya, ternyata
pengetahuan masyarakat ini bersifat kompleks, selektif dan aspektual (indrawi,
intelektif, perseptif, refleksif, diskursif, intuitif, induktif, deduktif, kontemplatif,
spekulatif, praktis dan sinergis).
Mengingat kompleksitas pengetahuan masyarakat, maka lewat segi mana dia harus
didekati? Sosiologi pengetahuan menyeleksi bentuk-bentuk pengetahuan yang mengisyaratkan
adanya kenyataan sosial di sana. Sosiologi pengetahuan harus mampu melihat pengetahuan
dalam struktur kesadaran individual dan bisa membedakan antara pengetahuan dan
kesadaran. Pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan suatu kenyataan menjadi
kurang lebih diungkapkan, sedangkan kesadaran menjadikan saya lebih mengenal
diri sendiri yang sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu itu. Pengetahuan
lebih berurusan antara subjek dengan objek yang berbeda dengan dirinya sendiri,
sedangkan kesadaran lebih berurusan dengan subjek yang sedang mengetahui dirinya
sendiri. pengetahuan dalam dunia sehari-hari seringkali dikacaukan dengan kegiatan-kegiatan
efektif yang menyertainya sehingga terjadi distorsi dan penyimpangan-penyimpangan.
Berhadapan dengan pengetahuan sosial sehari-hari yang begitu berbeda-beda antara
satu sama lain, maka ditemukan secara sah masalah relativisme, historisisme
dari pengetahuan, yang akan menjadi objek penelitian sosiologi pengetahuan sesudahnya.
Dengan usaha sosiologi pengetahuan semacam itu, maka sosiologi pengetahuan menjadi
pintu masuk utama dalam kegiatan membangun teori sosiologi yang relevan dengan
konteks sosialnya.
Karena dalam pengetahuan sosial terdapat prinsip-prinsip pemikiran yang bersifat
kontradiktif dan kontratif maka logika yang berpijak di atas prinsip identitas
(principium identitatis) jelas tidak memadai lagi (seperti diterapkan dalam
logika ilmu-ilmu alam). Sekurang-kurangnya untuk memahami dunia akal-sehat maka
digunakan prinsip logis dan sekaligus prinsip non-logis—dengan kata lain
berpikir dengan berpijak pada prinsip kontradiksi. Itu berarti kemampuan berpikir
dialektis (tesis-antitesis dan sintesis) merupakan persyaratan ilmiah awal atau
elementer yang perlu dicapai oleh seorang ahli sosiologi, sehingga dia mampu
mensintesakan gejala-gejala sosial yang kelihatan bersifat kontradiksi dan paradoksal
ke dalam suatu sistem penafsiran yang sistematis, ilmiah dan meyakinkan. Di
atas bangunan sosial dari kenyataan yang paradoksal dan kontradiktif itu, boleh
dikembangkan suatu teori sosiologi yang bersifat makro dan universal, sehingga
sifat sosiologi modern akhirnya menampakkan ciri kosmopolitan (aspek makro-sosiologi).
Kemampuan berpikir dialektis ini dimiliki oleh Berger seperti juga dimiliki
oleh Karl Marx, serta para filsuf eksistensial, yang menyadari hakekat manusia
sebagai makhluk paradoksal. Ciri paradoksal dari hakekat manusia itu tercermin
pula dalam dunia intersubjektivitas, malahan ciri paradoksal menjadi lebih kompleks
lagi. Seperti sudah dijelaskan di atas, baru jaman sekaranglah sifat dasar hidup
bermasyarakat yang dialektik dirumuskan dan makin disadari. Kenyataan sosial
lebih diterima sebagai kenyataan ganda daripada hanya suatu kenyataan tunggal.
Kenyataan kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif.
Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi,
sebagaimana kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi
(yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dengan kemampuan berpikir dialektis,
di mana terdapat tesa, antitesa dan sintesa, Berger memandang masyarakat sebagai
produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Karya Berger ini menjelajahi
berbagai implikasi dimensi kenyataan objektif dan subjektif, maupun proses dialektis
dari objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi.
Salah satu tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya dialektika
antara diri (the self) dengan dunia sosio-kultural. Dialektika itu berlangsung
dalam suatu proses dengan tiga “momen” simultan, yakni eksternalisasi
(penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia), objektivasi
(iteraksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami
proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi diri
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi
anggotanya). Kemandegan dari teori-teori sosiologi selama ini adalah hanya memperhatikan
salah satu momen dialektis itu dan kurang melihat hubungan atau interplay antara
ketiga momen dialektis itu. Dalam strategi pengembangan sosiologi di masa depan,
harus diusahakan suatu sintesa antara ketiga momen dialektis yang selama ini
belum diusahakan dengan berhasil.
Buku ini mencoba mengadakan sintesa antara fenomena-fenomena sosial yang tersirat
dalam tiga momen dialektis itu dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial,
yang dilihat dari segi asal-usulnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan
interaksi intersubjektif. Dari tradisi Durkhemian dan tradisi fungsionalisme
struktural (Parsonian), yang lebih memperhatikan momen objektivasi, Berger menerima
asumsi mereka bahwa harus diakui adanya eksistensi kenyataan sosial objektif
yang ditemukan dalam hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial (salah
satu lembaga sosial yang besar adalah negara). Dan aturan sosial atau hukum-hukum
yang melandasi lembaga-lembaga sosial bukanlah hakekat dari lembaga-lembaga
itu, karena lembaga-lembaga itu ternyata hanya produk buatan manusia, produk
dari kegiatan manusia. Ternyata ciri coersive dari struktur sosial yang objektif
merupakan suatu perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi atau
interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada. Aturan-aturan
sosial yang bersifat memaksa secara dialektis bertujuan untuk memelihara (maintain)
struktur-struktur sosial yang sudah berlaku, tetapi belum tentu menyelesaikan
proses eksternalisasi individu-individu yang berada dalam struktur-struktur
itu. Sebaliknya, dalam pengalaman sejarah umat manusia, kenyataan objektif dibangun
untuk mengatur pengalaman-pengalaman individu yang berubah-ubah, sehingga masyarakat
terhindar dari kekacauan dan dari situasi tanpa makna. Perubahan-perubahan sosial
terjadi kalau proses eksternalisasi individu-individu menggerogoti tatanan sosial
yang sudah mapan dan diganti dengan suatu orde yang baru, menuju keseimbangan-keseimbangan
yang baru. Dalam masyarakat yang lebih menonjolkan stabilitas, maka individu-individu
dalam proses eksternalisasinya mengidentifikasikan dirinya dengan peranan-peranan
sosial yang sudah dilembagakan dalam institusi-institusi yang sudah ada. Peranan-peranan
sudah dibangun polanya, dilengkapi dengan lambang-lambang yang mencerminkan
pola-pola dari peranan-peranan. Dalam kehidupan sehari-hari individu-individu
menyesuaikan dirinya dengan pola kegiatan peranannya serta ukuran-ukuran dari
pelaksanaan atau performance dari peranan yang dipilih. Peranan menjadi unit
dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif.
Salah satu lembaga besar dalam masyarakat yang sangat mempengaruhi proses eksternalisasi
individu-individu adalah negara. Negara dengan birokrasinya sangat mewarnai
kehidupan publik dari individu-individu, bahkan dari pengalaman bernegara di
beberapa tempat juga memasuki kehidupan privat individu-individu. Struktur-struktur
objektif masyarakat dalam pandangan sosiologi pengetahuan Berger dan luckmann
tidak pernah menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, karena struktur
berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi
yang akan melahirkan suatu proses eksternalisasi yang baru lagi. Itulah perjalanan
sejarah perkembangan kehidupan sosial. Perubahan itu tidak akan cepat terjadi
apabila ada rasa aman yang dialami individu-individu berhadapan dengan struktur
objektif. Rasa aman di sini bukan dalam arti aman secara materia, tetapi aman
secara rohani, antara lain karena makna kehidupannya dijamin dalam struktur
objektif ini. Bila individu-individu kehilangan rasa aman atau mengalami alienasi,
maka ancaman terhadap struktur objektif mulai muncul, biarpun hanya dalam taraf
kesadaran subjektif. Karena itu, suatu sosiologi pengetahuan yang memiliki daya
interpretasi sosial yang komprehensif dan relevan, harus berpaling pula pada
struktur kesadaran subjektif, yang selama ini sudah diteliti dan diamati oleh
prikologi sosial, yang menggugat kesadaran kita terhadap arti penting dunia
subjektif manusia.
Tradisi Weberian serta psikologi sosial lebih memperhatikan momen internalisasi
dalam kehidupan bermasyarakat. Individu-individu dalam perjalanannya di dunia
sosial mengalami proses sosialisasi untuk menjadi anggota organisasi sosial.
Psikologi sosial membedakan sosialisasi primer, yang dialami individu pada masa
kecil (masa pra-sekolah dan masa sekolah) dan sosialisasi sekunder (yang dialami
individu pada usia dewasa dan memasuki dunia publik, dunia pekerjaan dalam lingkungan
sosial yang lebih luas).
Pada umumnya, proses sosialisasi baik pada fase primer maupun sekunder berlangsung
tidak sempurna, karena kenyataan sosial yang kompleks itu tidak dapat diserap
dengan sempurna oleh setiap individu. Setiap individu menyerap satu …
- xxiii -
bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari
dunia objektif. Diakui ada hubungan simetris antara kenyataan sosial objektif
dan kenyataan sosial subjektif, namun keduanya tidak sama, tidak identik. Memandang
masyarakat mirip seperti melihat bangunan rumah; ada bangunan luar dan interiornya,
dua-duanya kita namakan rumah. Dalam proses internalisasi, tiap individu berbeda-beda
dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang
lebih menyerap bagian intern. Tidak semua individu dapat menjaga keseimbangan
dalam penyerapan dimensi objektif dan dimensi subjektif kenyataan sosial itu.
Aliran lain dalam sosiologi modern adalah yang memusatkan perhatian pada gejala
perubaan sosial, gejala ketimpangan sosial atau gejala modernisasi. Berger memandang
aliran-aliran itu memusatkan perhatian pada momen eksternalisasi di mana semua
individu yang mengalami sosialisasi secara tidak sempurna, bersama-sama membentuk
kenyataan sosial yang baru. Perubahan memang berlangsung lambat tetapi tak terelakkan,
karena pasti akan terjadi. Tema modernitas yang menarik perhatian para sosiolog
Dunia Ketiga sebenarnya melihat kenyataan sosial dalam proses eksternalisasinya.
Teori sosiologi yang menaruh minat pada gejala kekuasaan dalam masyarakat (sosiologi
politik) akan menyoroti masalah “legitimasi kekuasaan”.
Berger juga menerima adanya dunia institusional objektif yang membutuhkan cara
penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.
Tidak cukup menjelaskan proses legitimasi sebagai cara penjelasan dan pembenaran
tentang asal-usul pengertian pranata sosial dan proses pembentukannya (seperti
para ahli sejarah melihatnya); juga percobaan mengaitkan sistem makna yang melekat
pada lembaga-lembaga atau praktek-praktek institusional dan penerimaan bersama
(konsensus) seperti yang digarisbawahi oleh para ideolog dan ahli indoktrinasi
tentang suatu ideologi. Usaha setiap masyarakat untuk melembagakan pandangan
atau pengetahuan mereka tentang masyarakat akhirnya mencapai tingkat generalitas
yang paling tinggi, di mana dibangun suatu dunia arti simbolik yang universal,
yang kita namakan pandangan hidup atau …
- xxiv -
ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan memberi
legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada
pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Sosiologi pengetahuan akan melihat
pandangan hidup atau ideologi atau dunia simbolik yang sarat dengan makna-makna
sosial itu bukan hakekat suatu masyarakat, karena hanya golongan cendikiawan
dan teoritikus sosial yang menaruh minat besar pada dunia simbolik itu, sedangkan
anggota masyarakat yang lain hanya partisipan biasa dari dunia makna itu. Berpartisipasi
dalam pandangan hidup tertentu hanyalah salah satu gejala objektivasi dari individu,
yang menerima kenyataan objektif yang mempengaruhi hidupnya. Legitimasi di sini
dilihat sebagai proses penjelasan dan pembenaran dari suatu interaksi antara
individu. Legitimasi di satu pihak memberi nilai kognitif pada makna-makna dunia
lembaga, sehingga aturan-aturan yang dikeluarkan dari lembaga-lembaga mendapat
status norma. Dengan demikian legitimasi mempunyai komponen yang bersifat kognitif
dan komponen yang bercorak normatif, sehingga tampak suatu sistem nilai dan
sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan mendahului adanya sistem nilai dalam
masyarakat (Knowledge precedes value in the legitimation of institutions).
Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen
dialektis yang simultan itu—eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi—serta
masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang kita namakan
kenyataan sosial itu merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri
dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan menuju masa depan.
Usaha Berger untuk memadukan pelbagai perspektif dari pelbagai aliran teori
sosiologi yang lebih memperhatikan satu aspek dan melalaikan aspek yang lain
sehingga menjadi suatu konstruksi teoritis yang memadai, boleh dikatakan cukup
berhasil, karena penjelasan ini mampu menampilkan hakikat masyarakat yang bercorak
pluralistis, dinamis, serta kompleks. Dengan demikian, peranan sosiologi pengetahuan
yang selama ini dianggap berisi sejarah pemikiran intelektual mendapat bobot
baru sehingga tampil sebagai …
- xxv -
instrumen penting untuk menemukan hakekat masyarakat secara lebih jelas di masa
yang akan datang.
Sampai sekarang banyak buku dan karangan telah ditulis oleh Berger, yang juga
dikenal sebagai penulis yang produktif dan menggunakan bahasa penyajian yang
enak dan mudah dicerna. Sudah hampir 30 tahun buku ini telah dikarang, yang
melaporkan proses pemikirannya pada waktu itu tentang hubungan pengetahuan dan
gejala masyarakat. Ironisnya edisi Indonesia dari karya klasik itu baru beredar
di kalangan intelektual dan komunitas ilmuwan sosial Indonesia hampir 30 tahun
kemudian. Meskipun begitu terlambatnya proses penerjemahan buku ini, kita sambut
edisi Indonesianya dengan gembira, karena kontribusi buku ini diharapkan dapat
membangun cara pandang alternatif atas masyarakat. Sosiologi pengetahuan ternyata
mempunyai kemampuan subversif karena dapat mengganggu pandangan stabilitas suatu
masyarakat—karena ternyata masyarakat itu buatan masyarakat itu sendiri,
seperti kehidupan individual adalah buatan dirinya sendiri.
Judul edisi Indonesia yang berbunyi Tafsir Sosial atas Kenyataan ini merupakan
usaha maksimal penerbit untuk menerjemahkan The Social Construction of Reality.
Terjemahan ini barangkali tidak dapat diterima oleh mereka yang sudah membaca
karya aselinya. Namun, menurut penerbit itulah pilihan terakhir dalam usaha
menerjemahkan judul aslinya.
Dalam setiap cabang ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah memperoleh pengetahuan
dan pengertian serta menerapkan pengetahuan itu pada masalah-masalah yang
selalu saja timbul. Ini berlaku pula pada sosiologi pengetahuan yang menjadi
tema sentral pembahasan buku ini. Lewat usaha menjelaskan dialektika antara
diri manusia dan lingkungan sosio-kultural, Berger berhasil merumuskan dan
menyadarkan kita tentang sifat dasar hidup bermasyarakat yang dialektik. Bila
Karl Marx telah berhasil menjelaskan bagaimana matter menciptakan mind, maka
Berger dan Luckmann juga secara meyakinkan menjelaskan bagaimana mind menciptakan
matter. Dua-duanya terlibat dalam usaha menyingkapkan misteri manusia sebagai
Homo Faber, ma- …
- xxvi -
nusia tindakan dan aksi yang kini dalam kebingungan dalam memberi makna pada
hasil karyanya sendiri.
Jakarta, 8 Januari 1990
Bahan Bacaan
Berger, Peter, Invitation to Sociology, A Humanistic Perspective,
Garden City, Doubleday, 1963.
—— The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of
Religion. Garden City: Doubleday, 1967
—— Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of
the Supernatural. Garden City: Doubleday, 1969
—— Sociology : A Biographical Approach. New York: Basic
Books, 1972
—— Sociology Reinterpreted. An Essay on Method and Vocation.
Garden City: Doubleday, 1981
Cassirer, Ernst, An Essay on Man. An Introduction to A Philosophy of Human
Culture. New Haven: Yale University, 1944
Dieter Evers, Hans, Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia
Modern, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988
Drijarkara, N., Percikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan, 1964
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid I.
Jakarta: Gramedia, 1985
Laeyendecker, I.., Tata, Perubahan dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi. Jakarta : Gramedia, 1963
Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali, 1984
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali 1985
Van Ufford, Philip Quarles, et al., Tendensi dan Tradisi dalam Sosiologi
Pembangunan. Jakarta : Gramedia 1989
Veeger, K.J., Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan
Individu dan Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia,
1985
Wuthnow, Robert, et al., Cultural Analysis. The Work of Peter L. Berger,
Mary Douglas, Michel Foucault and Jurgen Habermas. Boston: Routledge
& Kegan Paul, 1984
back , next