- 1 -
Pendahuluan:
Masalah Sosiologi Pengetahuan
Pernyataan-pernyataan pokok dari argumen buku ini sudah tersirat dalam judul
dan anak judulnya, yakni bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial dan bahwa
sosiologi pengetahuan harus menganalisa proses terjadinya hal itu. Istilah-istilah
kunci dalam pernyataan-pernyataan itu adalah “kenyataan” dan “pengetahuan”,
istilah-istilah yang tidak hanya dipakai dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi
yang sudah melalui suatu sejarah penyelidikan filosofis yang panjang. Di sini
kita tidak perlu memasuki suatu pembahasan mengenai seluk-beluk semantik penggunaan
istilah itu, dalam kehidupan sehari-hari atau dari segi filsafat. Bagi tujuan
kita sudah cukup kiranya jika “kenyataan” didefinisikan sebagai
suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang kita akui sebagai memiliki
keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri
(kita tidak dapat “meniadakannya dengan angan-angan”), sedangkan
“pengetahuan” didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomen-fenomen
itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.
Dalam pengertian (yang diakui simplistis) inilah, istilah-istilah itu mempunyai
relevansi, baik bagi orang biasa maupun bagi filsuf.
Orang awam menghuni suatu dunia yang baginya adalah “nyata”, meskipun
dalam kadar-kadar yang berbeda, dan ia “tahu”, dengan kadar keyakinan
yang berbeda-beda, bahwa dunia ini memiliki karakteristik-karakteristik begini
dan begitu. Seorang filsuf, dengan sendirinya, akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai status paling dasar (ultimate status) dari “kenyataan”
dan “pengetahuan” ini. Apa yang nyata itu? Ba- …
- 2 -
gaimana kita tahu? Ini merupakan dua di antara pertanyaan-pertanyaan yang paling
tua, tidak hanya bagi penyelidikan yang sifatnya filosofis semata-mata, tetapi
juga dalam pemikiran manusia itu sendiri. justru karena itulah maka ikut campurnya
ahli sosiologi dalam wilayah intelektual yang secara tradisional dianggap terhormat
ini agaknya akan membuat heran orang awam, dan malahan lebih besar kemungkinannya
akan menimbulkan kemarahan sang filsuf. Karena itu, penting bagi kami untuk
terlebih dulu menjelaskan dalam arti yang bagaimana kami menggunakan istilah-istilah
itu dalam konteks sosiologi, dan bahwa kami serta-merta menolak setiap pretensi
yang menyatakan bahwa sosiologi mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang sudah sejak dulu menyibukkan pemikiran filosofis itu.
Seandainya kami ingin sangat cermat dalam argumen-argumen yang dikemukakan,
kami tentunya harus menggunakan tanda kutip bagi kedua istilah tersebut setiap
kali kami menggunakannya, namun dari segi gaya bahasa hal itu tentunya merikuhkan.
Akan tetapi, berbicara tentang tanda kutip, ia dapat memberi petunjuk mengenai
kekhasan di mana istilah-istilah ini muncul dalam konteks sosiologis. Kita dapat
mengatakan bahwa pemahaman sosiologis mengenai “kenyataan” dan “pengetahuan”
kira-kira terletak di tengah-tengah antara pemahaman orang awam dan pemahaman
filsuf. Orang awam biasanya tidak berpusing-pusing memikirkan apa yang sudah
“nyata” baginya dan mengenai apa yang ia “tahu”, kecuali
jika secara tiba-tiba saja ia berhadapan dengan semacam masalah. Ia menerima
begitu saja “kenyataan”-nya dan “pengetahuan”nya. seorang
sosiolog tidak bisa berbuat seperti itu, justru karena ia mempunyai kesadaran
yang sistematis mengenai fakta bahwa orang-orang awam menerima begitu saja “berbagai
kenyataan” yang sangat berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang
lainnya. Oleh logika disiplinnya itu seorang sosiolog dipaksa untuk bertanya,
setidak-tidaknya, apa perbedaan-perbedaan antara kedua “kenyataan”
itu mungkin dapat dipahami dalam kaitan dengan pelbagai perbedaan yang terdapat
di antara kedua masyarakat. Di pihak lain, filsuf diwajibkan oleh profesi…
-3-
nya untuk tidak menerima apa-apa begitu saja, dan untuk memperoleh kejelasan
yang maksimal mengenai status paling dasar dari apa yang oleh orang awam dianggap
sebagai “kenyataan” dan “pengetahuan” dengan kata lain,
seorang filsuf didorong untuk memutuskan kapan orang harus menggunakan tanda
kutip dan kapan tanda kutip itu bisa dihilangkan dengan aman; artinya, untuk
membedakan antara pernyataan-pernyataan yang sahih—(valid) dan yang tidak
sahih mengenai dunia. Ini tidak bisa dilakukan oleh seorang sosiolog. Dengan
logika, jika tidak dari segi bahasa, ia harus menggunakan tanda kutip itu.
Sebagai contoh, orang awam mungkin berarnggapan bahwa ia mempunyai “kehendak
bebas” dan karena itu ia “bertanggungjawab” atas tindakan-tindakannya,
dan dalam pada itu menyangkal adanya “kebebasan” dan “tanggung
jawab” ini pada anak kecil dan orang gila. Seorang filsuf, dengan metode
apa pun, akan menyelidiki status ontologis dan epistemologis dari konsepsi-konsepsi
itu. Apakah manusia itu bebas? Apa itu tanggung jawab? Di mana batas-batas tanggung
jawab? Bagaimana orang bisa tahu akan hal-hal itu? Dan seterusnya. Sudah jelas
kiranya bahwa sosiolog tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Akan
tetapi apa yang dapat dan harus ia lakukan adalah bertanya: apa sebabnya paham
tentang “kebebasan” diterima sebagai sudah sewajarnya dalam masyarakat
yang satu dan tidak dalam masyarakat yang lain; bagaimana “kenyataan”-nya
dipertahankan dalam masyarakat yang satu dan bagaimana—satu hal yang lebih
menarik lagi—“kenyataan” ini bisa hilang lagi bagi seseorang
atau bagi kolektivitas secara keseluruhan.
Dengan demikian, perhatian sosiologi terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai
“kenyataan” dan “pengetahuan”, pada permulaannya dibenarkan
oleh fakta relativitas sosialnya. Apa yang “nyata” bagi seorang
biarawan Tibet mungkin saja tidak “nyata” bagi seorang pengusaha
Amerika. “Pengetahuan” seorang penjahat berbeda dengan “pengetahuan”
ahli kriminologi. Ini berarti bahwa kumpulan-kumpulan spesifik dari “kenyataan”
dan “pengetahuan” berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik,
dan bahwa hubungan-hubungan itu harus di…
-4-
masukkan ke dalam suatu analisa sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks
itu. Dengan demikian maka kebutuhan akan “sosiologi pengetahuan”
sudah muncul bersama adanya perbedaan-perbedaan yang bisa diamati di antara
berbagai masyarakat dari segi apa yang sudah diterima begitu saja sebagai “pengetahuan”
dalam masyarakat-masyarakat itu. Tetapi selain itu, sebuah disiplin yang memakai
nama yang demikian akan harus mengarahkan perhatiannya kepada cara-cara umum
dengan mana “berbagai kenyataan” dianggap sebagai “diketahui”
dalam masyarakat manusia. Dengan kata lain suatu “sosiologi pengetahuan”
akan harus menekuni tidak hanya variasi empiris dari “pengetahuan”
akan harus menekuni tidak hanya variasi empiris dari “pengetahuan”
dalam masyarakat-masyarakat manusia, tetapi juga proses-proses dengan mana setiap
perangkat “pengetahuan” (body of “language”)
pada akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai “kenyataan”.
Maka kami berpendapat bahwa sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang
dianggap sebagai “pengetahuan” dalam suatu masyarakat, terlepas
dari persoalan, kesahihan atau ketidak-sahihan yang paling dasar (menurut kriteria
apa pun) dari “pengetahuan” itu. Dan sejauh semua “pengetahuan”
manusia itu dikembangkan, dialihkan, dan dipelihara dalam berbagai situasi sosial,
maka sosiologi pengetahuan harus berusaha memahami bagaimana proses-proses itu
dilakukan, sedemikian rupa sehingga pada akhirnya terbentuklah suatu “kenyataan”
yang dianggap sudah sewajarnya oleh orang awam. Dengan kata lain, kami berpendapat
bahwa sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat
(social construction of reality).
Pemahaman ini, mengenai apa yang merupakan bidang sesungguhnya dari sosiologi
pengetahuan, berbeda dengan apa yang pada umumnya dimaksudkan dengan disiplin
ini sejak ia diberi nama itu sekitar empatpuluh tahun yang lampau. Karena itu
sebelum kami memulai dengan argumen kami yang sebenarnya, kiranya bermanfaat
untuk memberikan gambaran singkat mengenai perkembangan yang telah dilalui oleh
disiplin ini, dan untuk menjelaskan dengan cara bagaimana, dan apa sebabnya,
kami merasa perlu untuk menyimpang darinya.
-5-
istilah “sosiologi pengetahuan” (Wissenssoziologie) diciptakan
oleh Max Scheler. Waktunya dasawarsa 1920an, tempatnya di Jerman, dan Scheler
adalah seorang filsuf. Ketiga fakta itu sangat penting bagi pemahaman mengenai
asal-mula dan perkembangan disiplin baru itu selanjutnya. Sosiologi pengetahuan
lahir dalam suatu situasi khusus dalam sejarah intelektual Jerman dan dalam
suatu konteks filosofis. Sementara disiplin baru itu kemudian dimasukkan ke
dalam konteks sosiologi yang sudah ada, khususnya di dunia yang berbahasa Inggris,
ia terus ditandai oleh masalah-masalah dari situasi intelektual khusus di mana
ia dilahirkan. Akibatnya, sosiologi pengetahuan tetap hanya mendapat perhatian
sampingan saja di kalangan sosiolog pada umumnya, yang tidak menghadapi masalah-masalah
khusus yang sama seperti yang telah memusihngkan para pemikir Jerman dalam tahun
1920an. Hal ini terutama berlaku bagi para sosiolog Amerika, yang terutama memandang
disiplin itu sebagai suatu spesialitas marjinal saja dengan bumbu Eropa yang
pedas. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa terus dikaitkannya sosiologi
pengetahuan kepada konstelasi permasalahan semula, telah merupakan suatu kelemahan
teoritis, bahkan di mana sudah ada minat terhadap disiplin itu. Sebagai contoh,
sosiologi pengetahuan telah dipandang—oleh para protagonisnya dan khalayak
sosiologi pada umumnya yang sedikit-banyaknya bersikap masa bodoh—sebagai
semacam catatan-catatan sosiologis mengenai sejarah pemikiran. Ini menyebabkan
timbulnya pandangan yang sangat dangkal mengenai arti teoritis yang potensial
dari sosiologi pengetahuan.
Ada berbagai definisi mengenai hakikat dan cakupan sosiologi pengetahuan. Sesungguhnya
hampir-hampir dapat dikatakan bahwa sejarah subdisiplin itu hingga kini hanya
merupakan sejarah berbagai definisinya. Namun demikian, ada suatu kesepakatan
umum yang menyatakan bahwa sosiologi pengetahuan
-6-
menekuni hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran
itu timbul. Dengan demikian—bisa dikatakan bahwa sosiologi pengetahuan
merupakan fokus sosiologis dari suatu masalah yang jauh lebih umum, yakni masalah
determinasi eksistensial (Seinsgebundenheit) dari pemikiran sebagai pemikiran.
Meskipun dalam hal ini faktor sosial menjadi pusat perhatian, kesulitan-kesulitan
teoritisnya serupa dengan yang telah timbul ketika faktor-faktor lain (seperti
faktor-faktor historis, psikologis atau biologis) dianggap sebagai yang menentukan
pemikiran manusia. Dalam semua kasus itu, masalah pada umumnya adalah sampai
sejauh mana pemikiran mencerminkan, atau tidak, tergantung kepada faktor-faktor
yang dianggap menentukan itu.
Agaknya, menonjolnya masalah umum ini dalam filsafat Jerman belakangan ini,
berakar dalam akumulasi ilmu pengetahuan sejarah yang sangat besar, yang merupakan
salah satu buah intelektual abad ke 19 di Jerman. Dengan cara yang tiada bandingannya
dalam periode sejarah intelektual lain yang mana pun, masa lampau, dengan segala
ragam bentuk pemikirannya yang menakjubkan, telah “dihadirkan” dalam
alam pikiran kontemporer melalui upaya kesarjanaan ilmiah yang historis. Sulit
untuk menyangkal hak para sarjana Jerman atas tempat pertama dalam upaya ini.
Karena itu kita tidak perlu merasa heran bahwa masalah teoritis yang diketengahkan
oleh yang disebut belakangan itu dirasakan paling tajam di Jerman. Masalah ini
dapat dilukiskan sebagai vertigo (kepeningan) relativitas. Dimensi epistemologis
masalah ini sudah jelas. Pada tingkat empiris, ia menuju kepada keprihatinan
untuk menyelidiki seteliti mungkin hubungan-hubungan yang kongkrit antara pemikiran
dan situasi historisnya. Jika interpretasi ini benar, maka sosiologi pengetahuan
mengambil-alih masalah yang tadinya diketengahkan oleh sarjana sejarah—dengan
fokus yang lebih sempit, memang, namun dengan perhatian kepada berbagai pertanyaan
yang pada pokoknya sama.
-7-
Baik masalah yang umum maupun yang lebih sempit fokusnya, bukanlah hal-hal baru.
Suatu kesadaran mengenai landasan sosial dari nilai-nilai dan pandangan mengenai
dunia dapat kita jumpai di jaman purba. Setidak-tidaknya sudah sejak Jaman Pencerahan
kesadaran itu sudah menghablur menjadi suatu tema penting dalam pemikiran Barat
modern. Dengan demikian orang dapat mengemukakan landasan yang kuat bagi sejumlah
genealogi untuk masalah sentral dari sosiologi pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan
bahwa masalah itu sudah terkandung in nuce dalam pernyataan Pascal yang terkenal
bahwa apa yang merupakan kebenaran di sebelah sini pegunungan Pirena merupakan
kekeliruan di sebelah sananya. Namun para pendahulu intelektual yang paling
langsung dari sosiologi pengetahuan adalah tiga perkembangan dalam pemikiran
Jerman abad ke 19—pemikiran gaya Marx, gaya Nietzsche dan gaya penganut
historisme.
Sosiologi pengetahuan memperoleh proposisi akarnya dari Marx—yakni bahwa
kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialinya. Memang telah banyak
perdebatan tentang macam determinasi yang bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan
oleh Marx. kIranya tidak akan meleset untuk mengatakan bahwa sebagian besar
dari “pertarungan besar dengan Marx” yang telah menandai tidak hanya
bagian awal sosiologi pengetahuan melainkan juga “jaman klasik”
sosiologi pada umumnya (khususnya sebagaimana yang dimanifestasikan dalam karya-karya
Weber, Durkheim dan Pareto), sesungguhnya merupakan suatu pertarungan dengan
interpretasi yang salah mengenai Marx yang dianut oleh orang-orang Marxis yang
lebih kemudian. Proposisi ini menjadi lebih masuk akal apabila kita meng-
-8-
ingat kembali bahwa baru di tahun 1932 orang menemukan kembali Economic and
Philosophical Manuscripts of 1844 yang sangat penting itu, dan bahwa baru
sesudah Perang Dunia Kedua implikasi-implikasi sepenuhnya dari penemuan kembali
itu dapat dikembangkan dalam penelitian mengenai Marx. Bagaimana pun, sosiologi
pengetahuan telah mewarisi dari Marx bukan hanya perumusan yang paling tajam
dari masalah sentralnya, tetapi juga beberapa dari konsep-konsep kuncinya. Di
antaranya perlu disebutkan secara khusus konsep-konsep tentang “ideologi”
(ide-ide yang merupakan senjata bagi berbagai kepentingan sosial) dan tentang
“kesadaran palsu” (alam pikiran yang teralienasi dari keberadaan
sosial yang sebenarnya dari si pemikir).
Sosiologi pengetahuan sangat terpesona oleh konsep kembar Marx tentang “substrukstur/superstruktur”
(Unterbau/Ueberbau). Khususnya mengenai istilah ini telah berkobar perdebatan
mengenai interpretasi yang gencar mengenai pemikiran Marx sendiri. Marxisme
yang lebih kemudian cenderung untuk mengidentifikasi “substruktur”
iut dengan struktur ekonomi semata-mata, lalu “superstrukturnya”
diandaikan sebagai suatu “refleksi” yang langsung darinya. (Begitulah,
umpamanya, Lenin). Sekarang sudah cukup jelas bahwa hal itu merupakan penggambaran
yang salah mengenai pemikiran Marx, karena sifat yang pada pokoknya mekanistis
dan bukannya dialektis dari jenis determinisme ekonomis ini mestinya membuat
orang menjadi curiga. Yang merupakan pokok perhatian Marx adalah bahwa pemikiran
manusia didasarkan atas kegiatan manusia (“kerja” dalam arti yang
seluas-luasnya) dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan
itu. “Substruktur” dan “superstruktur” dapat dipahami
paling baik jika kita memandangnya, berturut-turut, sebagai kegiatan manusia
dan dunia yang dihasilkan oleh kegiatan itu. Bagaimanapun, skema “sub/superstruk-
…
-9-
tur” yang mendasar itu telah diambil-alih dalam berbagai bentuknya oleh
sosiologi pengetahuan, dimulai dengan Scheler, selalu dengan pengertian bahwa
ada semacam hubungan antara pemikiran dan suatu "kenyataan” yang
mendasarinya, yang lain dari pemikiran itu sendiri. dalam pesona skema itu dapat
bertahan terus meskipun dalam kenyataannya sebagian besar dari sosiologi pengetahuan
secara eksplisit telah dirumuskan dengan cara yang berlawanan dengan Marxisme,
dan berbagai pendirian telah timbul di dalamnya mengenai sifat hubungan antara
kedua komponen skema itu.
Gagasan-gagasan Nietzsche tidak begitu eksplisit kelanjutannya di dalam sosiologi
pengetahuan, namun gagasannya itu sangat mewarnai latar belakang intelektual
umumnya dan “suasana batin” di mana ia telah timbul. Anti-idealisme
Nietzsche, yang meskipun berbeda dalam hal ini, tidak berbeda dalam hal bentuknya
dengan anti-idealisme Marx, yang memberikan perspektif tambahan mengenai pemikiran
manusia sebagai satu alat dalam perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan
hidup dan untuk berkuasa. Nietzsche telah mengembangkan teorinya sendiri mengenai
“kesadaran palsu” di dalam analisa-analisanya mengenai arti sosial
dari penipuan dan penipuan diri (deception and self-deception) dan mengenai
ilusi sebagai suatu syarat hidup yang perlu. Konsep Nietzsche mengenai dendam
sebagai suatu faktor generatif bagi tipe-tipe tertentu dari pemikiran manusia
telah diambil-alih secara langsung oleh Scheler. Tetapi secara umum sekali orang
dapat mengatakan bahwa sosiologi
-10-
pengetahuan merupakan suatu penerapan yang spesifik dari apa yang oleh Nietzsche
dengan tepat sekali dinamakan “seni mencurigai”.
Historisisme, terutama sebagaimana yang diekspresikan dalam karya Wilhelm Dilthey,
secara langsung mendahului sosiologi pengetahuan. Temanya yang dominan adalah
kesadaran yang sangat kuat mengenai relativitas semua perspektif mengenai berbagai
peristiwa manusia; artinya mengenai historisitas yang tak terelakkan dari pemikiran
manusia. Sikap penganut historisisme yang bersikeras bahwa tidak ada situasi
historis yang dapat dimengerti kecuali atas dasar persyaratan-persyaratannya
sendiri, dengan mudah bisa diterjemahkan ke dalam pemberian tekanan kepada situasi
sosial dari pemikiran. Konsep-konsep historisisme tertentu—seperti “determinasi
situasional” (Standortsgebundenheit) dan “kedudukan dalam
kehidupan” (Sitz im Leben)—dapat diterjemahkan secara langsung
sebagai mengacu kepada “lokasi sosial” dari pemikiran. Secara lebih
umum lagi, warisan dari historisisme yang diperoleh sosiologi pengetahuan menyebabkan
yang disebut belakangan itu memperoleh kecenderungan ke arah suatu minat yang
kuat dalam sejarah dan penggunaan suatu metode yang pada pokoknya historis—suatu
fakta yang, secara sambil lalu dapat dikemukakan di sini, juga menyebabkannya
memperoleh tempat yang marjinal saja dalam lingkungan sosiologi Amerika.
Minat Scheler dalam sosiologi pengetahuan, dan dalam per- …
-11-
soalan-persoalan sosiologis pada umumnya, pada pokoknya hanya merupakan satu
episode yang sepintas saja dalam karir filosofisnya. Tujuan akhirnya adalah
pembentukan suatu antropologi filosofis yang akan mengatasi relativitas sudut-sudut
pandang yang berlokasi spesifik historis dan sosial. Sosiologi pengetahuan lalu
akan menjadi alat untuk mencapai tujuan ini, dan tugas utamanya adalah untuk
menembus kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh relativisme sehingga tugas
filsafat yang sesungguhnya dapat dimulai. Dalam arti yang sangat nyata, sosiologi
pengetahuan Scheler itu merupakan ancilla philosophiae (pembantu filsafat),
dan malahan pembantu bagi filsafat yang sangat spesifik pula.
Sejalan dengan orientasi ini, sosiologi pengetahuan Scheler pada pokoknya merupakan
sebuah metode negatif. Scheler mengemukakan argumen bahwa hubungan antara “faktor-faktor
ideal” (Idealfaktoren) dan “faktor-faktor nyata” (Realfaktoren),—istilah-istilah
yang jelas mengingatkan orang pada skema “sub/superstruktur” menurut
Marx—hanya merupakan hubungan yang regulatif saja. Artinya, “faktor-faktor
nyata” mengatur kondisi-kondisi di mana “faktor-faktor ideal”
tertentu dapat tampil dalam sejarah, tetapi tidak dapat mempengaruhi isi dari
yang disebut belakangan itu. Dengan kata lain, masyarakat menentukan kehadiran
(Dasein) tetapi tidak menentukan hakikat (Sosein) ide-ide. Maka,
sosiologi pengetahuan itu merupakan prosedur dengan mana seleksi sosio-historis
dari isi ide-ide harus ditelaah, dengan pengertian bahwa isi itu sendiri tidak
tergantung kepada sebab-musabab sosio-historis dan dengan demikian tertutup
bagi analisa sosiologis. Sekiranya mungkin untuk memberikan suatu deskripsi
yang gamblang mengenai metode Scheler itu, maka metodenya itu dapat diumpamakan
melemparkan sepotong makanan yang besar kepada ular naga relativitas, tetapi
hanya dengan cara yang begitu rupa sehingga orang dapat dengan lebih mudah memasuki
puri kepastian ontologis.
-12-
di dalam kerangka yang dengan sengaja (dan memang tak terelakkan) dibuat sederhana
ini, Scheler menganalisa dengan sangat terinci cara pengetahuan manusia dibentuk
oleh masyarakat. Ia menandaskan bahwa pengetahuan manusia diberikan dalam masyarakat
sebagai suatu a priori bagi pengalaman individu dengan memberikan kepadanya
tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio-historis
tertentu, menampakkan diri kepada individu sebagai cara yang sudah sewajarnya
untuk memandang dunia. Scheler menamakannya “pandangan dunia yang relatif-natural”
(relativnaturliche Weltanschauung) dari suatu masyarakat—sebuah
konsep yang mungkin masih dapat dianggap sebagai sentral bagi sosiologi pengetahuan.
Sesudah “penemuan” sosiologi pengetahuan oleh Scheler itu, berlangsung
perdebatan yang luas di Jerman mengenai kesahihan, ruang lingkup dan penerapan
disiplin baru itu. Dari perdebatan ini lahirlah sebuah rumusan yang menandai
pengalihan letak sosiologi pengetahuan ke dalam suatu konteks sosiologi yang
lebih sempit. Dengan rumusan itulah sosiologi pengetahuan sampai di dunia berbahasa
Inggris. Rumusan itu adalah yang dibuat oleh Karl Mannheim. Kiranya tidak akan
meleset un- …
-13-
tuk mengatakan bahwa apabila para ahli sosiologi sekarang berpikir tentang sosiologi
pengetahuan, pro atau kontra, mereka biasanya menggunakan rumusan Mannheim.
Dalam sosiologi Amerika hal itu mudah dimengerti apabila orang ingat bahwa boleh
dikatakan semua karya Mannheim sudah dapat dibaca dalam bahasa Inggeris (dan
beberapa di antaranya memang ditulis dalam bahasa Inggris, dalam periode ketika
Mannheim mengajar di Inggeris sesudah bangkitnya Nazisme di Jerman, atau diterbitkan
dalam versi-versi Inggris yang sudah direvisi), sedangkan karya Scheler mengenai
sosiologi pengetahuan hingga kini masih belum diterjemahkan. Terlepas dari faktor
“penyebaran” ini, karya Mannheim tidak begitu dibebani dengan “bagasi”
filsafat dibandingkan dengan karya Scheler. Khususnya hal ini berlaku bagi tulisan-tulisan
Mannheim yang lebih kemudian dan dapat dilihat apabila kita memperbandingkan
versi Inggris dari karya utamanya, Ideology and Utopia, dengan karangan
aslinya dalam bahasa Jerman. Dengan demikian Mannheim menjadi tokoh yang lebih
“cocok” bagi para sarjana sosiologi, bahkan bagi mereka yang bersikap
kritis atau tidak begitu saja berminat terhadap cara pendekatannya.
Pemahaman Mannheim mengenai sosiologi pengetahuan jauh lebih besar jangkauannya
dibandingkan dengan pemahaman Scheler, mungkin karena konfrontasi dengan Marxisme
lebih menonjol dalam karyanya itu. Dalam karyanya itu, masyarakat dilihat sebagai
menentukan, tidak hanya penampakan melainkan juga isi dari ideasi manusia, dengan
mengecualikan matematika dan setidak-tidaknya bagian-bagian tertentu dari ilmu-ilmu
alam. Dengan demikian, sosiologi pengetahuan menjadi suatu metode yang positif
bagi penelaahan hampir setiap faset pemikiran manusia.
-14-
yang menarik adalah bahwa perhatian utama Mannheim tertuju kepada gejala ideologi.
Ia membedakan antara konsep-konsep ideologi yang partikular, yang total dan
yang umum—ideologi sebagai yang hanya merupakan satu bagian saja dari
pemikiran seorang lawan (serupa dengan “kesadaran palsu” menurut
Marx); dan (di sini Mannheim beranggapan bahwa ia melangkah lebih jauh dari
Marx); ideologi sebagai karakteristik tidak hanya dari pemikiran lawan melainkan
juga dari pemikiran sendiri. dengan konsep ideologi yang umum, dicapailah tingkat
sosiologi pengetahuan—pehamanan bahwa tak ada pemikiran manusia (dengan
mengecualikan hal-hal seperti yang telah disebutkan di atas) yang kebal terhadap
pengaruh-pengaruh ideologisasi dari konteks sosialnya. Dengan perluasan teori
ideologi ini, Mannheim berusaha untuk memisahkan masalahnya yang sentral dari
konteks penggunaannya yang lazim dalam politik dan untuk memperlakukannya sebagai
suatu masalah umum dari epistemologi dan sosiologi historis.
Meskipun Mannheim tidak mempunyai ambisi ontologis seperti pada Scheler, ia
merasa canggung dengan kenyataan bahwa pemikirannya tampaknya menjuruskannya
ke dalam pan-ideologisme. Ia menciptakan istilah “relasionisme”
(relationism, yang berbeda dengan “relativisme”) untuk menunjukkan
perspektif epistemologis dari sosiologi pengetahuan—yang bukan merupakan
kapitulasi pemikiran di hadapan berbagai relativitas sosio-historis, melainkan
suatu pengakuan yang bijaksana bahwa pengetahuan selalu merupakan pengetahuan
dari segi suatu posisi tertentu. Pengaruh Dilthey mungkin sangat penting pada
titik ini dalam pemikiran Mannheim—masalah Marxisme dipecahkan dengan
alat-alat historisisme. Bagaimanapun, Mannheim berpendapat bahwa pengaruh-pengaruh
ideologisasi, meski tidak bisa dihilangkan sama sekali, dapat diperlunak melalui
analisa yang sistematis dari sebanyak mungkin posisi yang berbeda dan yang mempunyai
landasan sosial. Dengan kata lain, objek pemikiran secara berangsur-angsur menjadi
lebih jelas dengan adanya akumulasi berbagai perspektif mengenainya. Ini merupakan
tugas sosiologi pengetahuan, yang dengan demikian merupakan alat pembantu yang
penting dalam upaya memperoleh …
-15-
pemahaman yang benar mengenai peristiwa-peristiwa manusia.
Mannheim berpendapat bahwa kelompok-kelompok sosial yang berbeda sangat bervariasi
dalam kemampuan mereka untuk mengatasi posisi mereka sendiri yang sempit. Ia
menaruh harapan utamanya pada “kaum intelegensia yang secara sosial tidak
terikat” (freischwebende Intelligenz, sebuah istilah yang berasal
dari Alfred Weber), semacam tataran (stratum) yang berada di celah-celah
kelas yang ia anggap relatif bebas dari kepentingan-kepentingan kelas. Mannheim
juga menandaskan kekuatan pemikiran "utopis” yang—seperti ideologi—melahirkan
suatu gambaran yang menyimpang mengenai kenyataan sosial, tetapi yang—berbeda
dengan ideologi—memiliki dinamisme untuk mengubah kenyataan itu menjadi
apa yang merupakan gambaran darinya.
Kiranya tak perlu dikatakan lagi bahwa catatan-catatan di atas itu bagaimanapun
tidak dapat memberikan gambaran yang lengkap mengenai konsepsi Scheler maupun
Mannheim mengenai sosiologi pengetahuan. Dan itu bukan maksud kami di sini.
Kami hanya sekedar menunjukkan beberapa ciri utama dari kedua konsepsi itu,
yang dengan tepat sekali dinamakan masing-masing, konsepsi sosiologi pengetahuan
yang “moderat” dan yang “radikal.” Yang luar biasa adalah
bahwa perkembangan selanjutnya dari sosiologi pengetahuan, untuk sebagian besar,
terdiri dari berbagai kritik dan modifikasi atas kedua konsepsi itu. Seperti
telah kami kemukakan, rumusan Mannheim mengenai sosiologi pengetahuan masih
terus menentukan kerangka acuan (terms of reference) bagi disiplin itu
dengan cara yang definitif, khususnya sosiologi di dunia yang berbahasa Inggris.
Sosiolog Amerika yang paling penting, yang telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh
kepada sosiologi pengetahuan, adalah Robert Merton. Pembahasannya mengenai disiplin
itu, yang mencakup dua bab dalam karya utamanya,
-16-
telah merupakan sebuah pengantar yang bermanfaat ke dalam bidang itu bagi sosiolog-sosiolog
Amerika yang menaruh minat kepadanya. Merton telah menyusun sebuah paradigma
bagi sosiologi pengetahuan, dengan merumuskan kembali tema-tema utamanya dalam
bentuk yang padat dan koheren. Konstruksinya itu menarik, karena ia merupakan
upaya untuk mengintegrasikan cara pendekatan sosiologi pengetahuan dengan cara
pendekatan teori struktural-fungsional. Konsep-konsep Merton sendiri mengenai
fungsi-fungsi yang “manifes” dan yang “laten” diterapkan
pada bidang ideasi, di mana diadakan pembedaan antara fungsi-gungsi ide yang
sengaja dan disadari dari dan fungsi-fungsinya yang tidak disengaja dan yang
tidak disadari. Sementara Merton memusatkan perhatiannya kepada karya Mannheim,
yang baginya merupakan ahli sosiologi pengetahuan par excellence, ia juga menandaskan
pentingnya mazhab Durkheim dan karya Piritim Sorokin. Yang menarik adalah bahwa
Merton rupa-rupanya tidak melihat relevansi perkembangan-perkembangan penting
tertentu dalam psikologi sosial Amerika bagi sosiologi pengetahuan, seperti
teori kelompok acuan, yang dbahasnya dalam bagian lain dari karya yang sama.
Talcott Parsons juga telah mengomentari sosiologi pengetahuan. Namun komentarnya
itu hanya terbatas kepada suatu kritik terhadap Mannheim dan tidak berusaha
mengintegrasikan disiplin itu ke dalam sistem teorinya sendiri. dalam sistem
teori Parsons itu, “masalah penanan ide-ide” memang dianalisa secara
panjang-lebar, tetapi dalam suatu kerangka referensi yang sangat berbeda dengan
kerangka referensi sosiologi pengetahuan Scheler ataupun Mannheim. Karena itu
kami dapat mengatakan bahwa baik Merton maupun Parsons tidak pernah melampaui—dengan
suatu cara yang menentukan—sosiologi penge- …
-17-
tahuan seperti yang telah dirumuskan Mannheim. Hal yang sama juga dapat dikatakan
mengenai pengkritik-pengkritik mereka. Yang paling nyaring suaranya di antara
mereka, yakin C. Wright Mills, telah membahas sosiologi pengetahuan dalam karyanya
yang terdahulu, tetapi hanya bersifat penjelasan saja, tanpa memberi sumbangan
kepada pengembangan teoritisnya.
Suatu upaya yang menarik untuk mengintegrasikan sosiologi pengetahuan dengan
suatu pendekatan neo-positivis terhadap sosiologi pada umumnya adalah yang dilakukan
oleh Theodor Geiger, yang besar pengaruhnya terhadap sosiologi Skandinavia sesudah
ia beremigrasi dari Jerman. Geiger telah kembali pada suatu konsep ideologi
yang lebih sempit sebagai pikiran yang menyimpang secara sosial dan ia tetap
berpegang kepada kemungkinan untuk mengatasi ideologi dengan jalan berpegang
teguh kepada norma-norma prosedur ilmu pengetahuan. Cara pendekatan neo-positivis
terhadap analisa ideologi lebih belakangan ini telah dilanjutkan di dalam sosiologi
di negara-negara yang berbahasa Jerman, yakni dalam karya Ernst Topitsche, yang
menekankan akar-akar ideologis dari berbagai posisi filosofis.
Sejauh analisa sosiologis dari ideologi-ideologi merupakan satu bagian yang
penting dari sosiologi pengetahuan seperti yang telah dirumuskan oleh Mannheim,
terdapat perhatian yang besar terhadapnya dalam sosiologi Eropa maupun Amerika
sejak Perang Dunia Kedua.
-18-
Barangkali upaya yang mempunyai jangkauan yang paling jauh untuk melampaui Mannheim
dalam pembangunan sebuah sosiologi pengetahuan yang komprehensif, adalah yang
dilakukan olerh Werner Stark, seorang sarjana lainnya yang beremigrasi dari
Daratan Eropa dan pernah mengajar di Inggris dan di Amerika Serikat. Stark telah
melangkah lebih jauh dalam meninggalkan fokus Mannheim kepada masalah ideologi.
Tugas sosiologi pengetahuan bukanlah untuk membersihkan dari prasangka atau
menelanjangi distorsi-distorsi yang ditimbulkan secara sosial, melainkan untuk
menelaah secara sistematis kondisi-kondisi sosial bagi pengetahuan sebagai pengetahuan.
Secara sederhana, masalah sentral di sini adalah sosiologi kebenaran, bukan
sosiologi kekeliruan. Meskipun cara pendekatannya berbeda, Stark barangkali
lebih dekat ke Scheler daripada ke Mannheim dalam pemahamannya mengenai hubungan
antara gagasan-gagasan dan konteks sosialnya.
Sekali lagi, kiranya sudah jelas bahwa kami tidak berusaha untuk memberikan
suatu tinjauan umum historis yang memadai mengenai sejarah sosiologi pengetahuan.
Selain itu, hingga di sini kami tidak menghiraukan perkembangan-perkembangan
yang secara teoritis mungkin relevan bagi sosiologi pengetahuan, tetapi tidak
dianggap demikian oleh protagonis-protagonisnya sendiri. dengan kata lain, kami
telah membatasi pembahasan pada perkembangan-perkembangan yang, katakanlah,
telah berlayar dengan mengibarkan bendera “sosiologi pengetahuan”
(dengan menganggap teori ideologi sebagai bagian darinya). Ini telah membuat
satu fakta menjadi sangat jelas. Terlepas dari keprihatinan epistemologis dari
sejumlah sarjana sosiologi pengetahuan, pusat perhatian empirisnya hampir semata-mata
ditujukan kepada bidang ide-ide: artinya, kepada pemikiran teoritis. Ini juga
berlaku bagi Stark, yang karya utamanya mengenai sosiologi diberi anak judul
An Essay in Aid of a Deeper Understanding of the History of Ideas (Sebuah
esei untuk membantu memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai sejarah
pemikiran). Dengan kata lain, perhatian sosiologi pengeta- …
-19-
huan ditujukan kepada persoalan-persoalan epistemologis pada tingkat teoritis,
pada persoalan-persoalan sejarah intelektual pada tingkat empiris.
Kami ingin menekankan bahwa kami tidak mempunyai keberatan-keberatan apa pun
mengenai kesahihan dan pentingnya arti kedua perangkat persoalan itu. Namun
demikian, kami menyayangkan bahwa konstelasi yang khusus ini telah mendominasi
sosiologi pengetahuan hingga kini. Kami berpendapat bahwa, sebagai akibatnya,
arti teoretis yang sepenuhnya dari sosiologi pengetahuan, telah menjadi kabur.
Memasukkan persoalan-persoalan epistemologis mengenai kesahihan pengetahuan
sosiologis ke dalam sosiologi pengetahuan, agaknya bagaikan usaha seseorang
untuk mendorong sebuah bis sambil duduk di dalamnya. Memang benar bahwa sosiologi
pengetahuan—seperti semua disiplin empiris yang menghimpun bukti-bukti
tentang relativitas dan mendeterminasi pemikiran manusia—menuju ke arah
persoalan-persoalan epistemologis mengenai sosiologi itu sendiri dan setiap
perangkat pengetahuan ilmiah lainnya. Seperti telah kami kemukakan di atas,
dalam hal ini sosiologi pengetahuan memainkan peran yang serupa dengan sejarah,
psikologi dan biologi, untuk hanya menyebutkan tiga disiplin yang paling penting
yang telah menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi epistemologi. Struktur logis
dari kesulitan ini pada dasarnya sama dalam semua kasus: Bagaimana saya bisa
merasa pasti, katakanlah, mengenai analisa sosiologis saya tentang mores (adat-istiadat)
kelas menengah Amerika, jika diingat bahwa kategori-kategori yang saya gunakan
untuk analisa ini dikondisikan oleh bentuk-bentuk pemikiran yang historis relatif
yakni bahwa saya sendiri dan segala hal yang saya pikirkan ditentukan oleh genes
saya dan oleh rasa permusuhan yang telah tumbuh dalam batin saya terhadap sesama
manusia, dan bahwa—diatas segala-galanya—saya sendiri adalah anggota
kelas menengah Amerika?
Sekali-kali bukanlah maksud kami untuk mengesampingkan begitu saja pertanyaan-pertanyaan
seperti itu. Yang dapat kami kemukakan di sini hanyalah bahwa pertanyaan-pertanyaan
itu sendiri tidak merupakan bagian dari disiplin sosiologi yang em- …
-20-
piris itu. Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya termasuk dalam metodologi
ilmu-ilmu sosial, suatu bidang yang termasuk dalam filsafat dan menurut definisinya
lain dari sosiologi, yang memang merupakan satu objek dari penyelidikan-penyelidikannya.
Sosiologi pengetahuan, bersama-sama dengan berbagai disiplin lainnya di kalangan
ilmu-ilmu empiris yang menimbulkan berbagai kesulitan bagi epistemologi, akan
memberikan masalah-masalah sebagai “bahan” bagi penyelidikan metodologis
ini. Ia tidak dapat memecahkan masalah-masalah itu di dalam kerangka referensinya
sendiri.
karena itu kami mengeluarkan dari sosiologi pengetahuan masalah-masalah epistemologis
dan metodologis yang telah memusingkan kedua peletak-dasarnya yang utama. Dengan
mengeluarkan kedua jenis masalah itu, kami memisahkan diri dari konsepsi Scheler
dan mannheim mengenai disiplin itu, dan dari sarjana-sarjana sosiologi pengetahuan
yang lebih kemudian (khususnya mereka yang mempunyai orientasi neo-positivis)
yang dalam hal ini menganut konsepsi itu. Dalam keseluruhan buku ini kami dengan
tegas menempatkan di antara “tanda kurung” (yakni tidak mempersoalkan)
setiap persoalan epistemologis atau metodologis mengenai kesahihan analisa sosiologis,
dalam sosiologi pengetahuan itu sendiri atau dalam bidang-bidang lainnya. Kami
menganggap sosiologi pengetahuan sebagai bagian dari disiplin sosiologi empiris.
Sudah tentu, tujuan kami di sini adalah teoritis. Tetapi pembahasan teoretis
kami mengacu pada disiplin empiris dalam masalah-masalahnya yang kongkrit, tidak
kepada penyelidikan filosofis mengenai dasar-dasar disiplin empiris itu. Pendek
kata, upaya kami di sini merupakan upaya dalam teori sosiologi, bukan dalam
metodologi sosiologi. Hanya dalam satu bagian dari karangan kami ini (bagian
sesudah Pendahuluan ini) kami memang melampaui bidang teori sosiologi yang sesungguhnya,
tetapi ini kami lakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak ada kaitannya
dengan epistemologi, seperti yang akan kami jelaskan nanti.
Tetapi, kami juga harus mendefinisikan kembali tugas sosiologi pengetahuan pada
tingkat empiris; artinya, sebagai teori yang disesuaikan dengan disiplin sosiologi
empiris. Seperti telah …
-21-
kita lihat, pada tingkat ini sosiologi pengetahuan menekuni sejarah intelektual
dalam arti sejarah gagasan-gagasan. Begitu pula kami ingin menandaskan bahwa
hal ini benar-benar merupakan satu fokus yang sangat penting bagi penyelidikan
sosiologis. Selain itu, sebagai kontras dengan sikap kami untuk tidak membahas
masalah epistemologis/metodologis, kami mengakui bahwa fokus ini memang termasuk
dalam sosiologi pengetahuan. Namun demikian, kami berpendapat bahawa masalah
“ide-ide” termasuk masalah yang khusus mengenai ideologi, hanya
merupakan satu bagian dari masalah sosiologi pengetahuan yang lebih luas, dan
malahan tidak merupakan bagian yang sentral darinya.
Sosiologi pengetahuan harus menekuni segala-sesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan”
dalam masyarakat. Apabila kita sudah menyatakan hal ini, kita akan menyadari
bahwa fokus terhadap sejarah intelektual merupakan pilihan yang salah, atau
lebih tepat, merupakan pilihan yang salah apabila ia menjadi fokus sentral dari
sosiologi pengetahuan. Pemikiran teoritis, “gagasan-gagasan”, Weltanschauung,
tidaklah begitu penting dalam masyarakat. Walaupun tiap masyarakat memiliki
gejal-gejala itu, namun semua itu hanyalah merupakan bagian dari keseluruhan
yang dianggap sebagai “pengetahuan”. Hanya satu kelompok oprang
yang sangat terbatas saja—dalam tiap masyarakat—yang melakukan kegiatan
dalam bidang teori, dalam urusan “gagasan-gagasan”, dan dalam penyusunan
Weltanschauung. Tetapi tiap orang dalam masyarakat berpartisipasi dalam “pengetahuan”-nya,
dengan cara tertentu. Dengan kata lain, hanya segelintir orang saja yang menekuni
soal penafsiran teoritis atas dunia, tetapi setiap orang bagaimanapun hidup
dalam suatu dunia, apa pun jenisnya. Tidak saja fokus yang ditujukan kepada
pemikiran teoritis itu sifatnya terlalu membatasi sosiologi pengetahuan, tetapi
ia juga tidak memuaskan karena bahkan bagian “pengetahuan” yang
tersedia secara sosial ini pun bisa dimengerti sepenuhnya apabila ia tidak ditempatkan
di dalam kerangka analisa “pengetahuan” yang lebih umum.
Melebih-lebihkan arti penting dari pemikiran teoritis dalam masyarakat dan sejarah
merupakan kelemahan kodrati para ahli teori. Karena itu menjadi semakin perlu
untuk meluruskan sa- …
-22-
lah pengertian intelektualistis ini. Perumusan teoritis dari kenyataan, apakah
itu ilmiah atau filosofis atau bahkan mitologis, tidak mencakup keseluruhan
apa yang “nyata” bagi anggota-anggota suatu masyarakat. Karena itu,
sosiologi pengetahuan pertama-tama harus menyibukkan diri dengan apa yang “diketahui”
oleh masyarakat sebagai “kenyataan” dalam kehidupan mereka sehari-hari
yang tidak teoritis atau yang pra-teoritis. Dengan kata lain, “pengetahuan”
akal sehat (common sense), dan bukannya “gagasan-gagasan, yang
harus merupakan pusat perhatian sosiologi pengetahuan. Justru “pengetahuan”
inilah yang merupakan jaringan makna yang tanpa itu tak satu pun masyarakat
dapat hidup.
Karena itu sosiologi pengetahuan harus mengarahkan perhatiannya pada pembentukan
kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Analisa atas
artikulasi teoritis dari kenyataan ini tentunya akan terus merupakan bagian
dari kegiatan itu, tapi bukan bagian yang paling penting. Akan jelas kiranya
bahwa, walaupun masalah epistemologis/metodologis tidak diikutsertakan, apa
yang kami sarankan di sini adalahsuatu pendefinisian kembali yang berjangkauan
jauh mengenai lingkup sosiologi pengetahuan, yang jauh lebih luas dari apa yang
hingga kini dipahami sebagai disiplin ini.
Lalu timbul persoalan-persoalan tentang ramuan teoritis yang bagaimanakah, yang
seyogyanya ditambahkan kepada sosiologi pengetahuan untuk memungkinkan pendefinisian
kembali sebagaimana dimaksudkan di atas. Kami berhutang budi kepada Alfred Schutz
dalam hal pemahaman yang fundamental mengenai perlunya diadakan pendefinisian
kembali itu. Dalam seluruh karyanya, baik sebagai filsuf maupun sebagai sosiolog,
Schutz telah memusatkan perhatiannya kepada struktur dunia akal sehat (commonsense
world) dari kehidupan sehari-hari. Meskipun ia sendiri tidak mengelaborasikan
suatu sosiologi pengetahuan, ia jelas melihat ke mana disiplin ini harus difokuskan:
Semua tipifikasi cara berpikir akal sehat sesungguhnya merupakan unsur-unsur integral dari Lebenswelt sosio-kultural historis yang kongkrit di dalam mana mereka berlaku sebagai hal-hal yang dianggap sudah sewajarnya dan mendapat pengesahan masyarakat. Struktur mereka me- …
-23-
nentukan, antara lain, distribusi sosial pengetahuan dan relativitas serta relevansinya bagi lingkungan sosial yang kongkrit dalam situasi historis yang kongkrit. Di sini terdapat masalah-masalah yang sah mengenai relativisme, historisisme, dan apa yang dinamakan sosiologi pengetahuan.
Lebih lanjut:
Pengetahuan didistribusikan secara sosial dan mekanisme distribusi ini dapat dijadikan pokok bahasan suatu disiplin sosiologi. Memang benar bahwa kita mempunyai apa yang dinamakan sosiologi pengetahuan. Namun demikian, dengan sedikit sekali kekecualian, disiplin yang diberi nama secara salah itu telah mendekati maslah distribusi sosial pengetahuan hanya dari sudut landasan ideologis dari kebenaran, dalam ketergantungannya kepada kondisi-kondisi sosial dan, terutama, kepada kondisi-kondisi ekonomi, atau dari sudut implikasi-implikasi sosial pendidikan, atau dari sudut peranan sosial manusia yang berpengetahuan. Bukan ahli-ahli sosiologi, melainkan ahli-ahli ekonomi dan para filsuflah yang telah menelaah beberapa di antara sekian banyak aspek teoritis lainnya dari masalah ini.
Sementara kami tidak memberikan tempat yang sentral kepada distribusi sosial
pengetahuan seperti yang dimaksudkan oleh Schutz di sini, kami setuju dengan
kritiknya mengenai “disiplin yang telah diberi nama secara salah”
itu dan telah mengambil dari ajarannya sebagai pengertian dasar kami mengenai
cara bagaimana tugas sosiologi pengetahuan harus diulang-definisikan. Dalam
pertimbangan-pertimbangan berikut ini kami sangat bergantung kepada Schutz dalam
prolegomena (pengantar) mengenai landasan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari
dan kami sangat berhutang budi kepada karyanya di berbagai bagian yang penting
dalam argumen utama kami sesudah itu.
Berbagai praandaian antropologis kami sangat dipengaruhi oleh Marx, terutama
oleh tulisan-tulisan awalnya, dan oleh implikasi-implikasi antropologis yang
telah ditarik dari biologi manusia oleh Helmuth Plessner, Arnold Gehlen dan
yang lainnya. Dalam hal pandangan kami mengenai sifat kenyataan …
-24-
sosial, kami sangat berhutang budi kepada Durkheim dan mazhabnya dalam sosiologi
Prancis, meskipun kami telah memodifikasi teori Durkheim tentang masyarakat
dengan jalan memasukkan ke dalamnya suatu perspektif dialektis yang diambil
dari Marx dan pemberian tekanan kepada konstitusi kenyataan sosial melalui makna-makna
subjektif yang diambil dari Weber. Praandaian psikologi sosial kami, yang terutama
penting bagi analisa mengenai internalisasi kenyataan sosial, sangat dipengaruhi
oleh George Herbert Mead dan oleh beberapa pengembangan karyanya yang dilakukan
oleh apa yang dinamakan mazhab interaksionis simbolik dari sosiologi Amerika.
Dalam catatan …
-25-
kaki, kami akan menunjukkan bagaimana berbagai rumusan itu telah digunakan dalam
pembentukan teori kami. Sudah tentu kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penggunaannya
itu kami tidak—dan tidak dapat—berpegang sepenuhnya kepada maksud-maksud
semula dari berbagai aliran teori sosial itu sendiri. tetapi seperti telah kami
katakan, tujuan kami di sini bukanlah untuk memberikan tafsiran, bukan pula
untuk mengadakan sintesa demi sintesa. Kami menyadari sepenuhnya, bahwa di berbagai
tempat, kami memang berbuat tidak adil terhadap pemikir-pemikir tertentu dengan
jalan mengintegrasikan pemikiran mereka ke dalam suatu formasi teoretis yang
oleh beberapa di antara mereka mungkin akan dianggap sebagai sesuatu yang sangat
asing. Sebagai pembelaan, kami ingin mengatakan bahwa sikap berterima kasih
kepada sejarah pada dirinya bukanlah suatu kebajikan ilmiah. Dalam hal ini kiranya
kami dapat mengutip beberapa pernyataan Talcott Parsons (yang teorinya telah
menimbulkan perasaan waswas yang mendalam pada diri kami, tetapi yang tujuan
integratifnya kami dukung sepenuhnya):
tujuan utama dari telaah ini bukanlah untuk memastikan dan menyatakan dalam
bentuk yang ringkas apa kata atau pendapat penulis-penulis itu mengenai pokok-pokok
persoalan yang telah mereka bahas dalam tulisan mereka. Bukan pula tujuan telaah
ini untuk menyelidiki secara langsung, dengan mengacu kepada tiap proposisi
dari “teori-teori” mereka, apakah yang telah mereka katakan itu
bisa dipertahankan dari segi pengetahuan sosiologis yang sekarang serta pengetahuan
-26-
yang berkaitan dengannya … Ini merupakan suatu telaah dalam teori—bukan
teori-teori—sosial. Perhatiannya tidak ditujukan kepada proposisi-proposisi
yang terpisah dan berlainan satu sama lain, yang dapat dijumpai dalam karya
orang-orang itu, melainkan kepada perangkat tunggal dari penalaran teoritis
yang sistematis.
Memang, tujuan kami adalah untuk melakukan “penalaran teoritis yang sistematis.
Kiranya sudah jelas bahaw pendefinisian kembali yang kami lakukan akan mengenai
hakikat dan lingkupnya akan menggeser sosiologi pengetahuan dari periferi (pinggiran)
ke pusat teori sosiologi itu sendiri. kiranya kami dapat meyakinkan pembaca
bahwa kami tidak mempunyai sesuatu pamrih dalam label “sosiologi pengetahuan”.
Yang benar, pemahaman kami mengenai teori sosiologi telah membawa kami kepada
sosiologi pengetahuan dan membimbing cara kami dalam mendefiniskan kembali masalah-masalah
dan tugas-tugasnya. Kami dapat melukiskan dengan cara yang paling tepat jalan
yang akan kami tempuh dengan mengacu kepada dua di antara sejumlah “perintah
maju” yang paling berpengaruh bagi sosiologi.
Satu di antaranya diberikan oleh Durkheim dalam The Rules of Sociological
Method, yang lainnya diberikan oleh Weber dalam Wirtschaft und Gessellschaft.
Durkheim menulis : “Kaidah yang pertama dan yang paling mendasar adalah
: Anggaplah fakta-fakta sosial sebagai benda-benda.” Dan Weber berkata
: “Baik bagi sosiologi dalam arti yang sekarang, maupun bagi sejarah,
objek pemahaman adalah kompleks-makna yang subjektif dari tindakan.” Kedua
pernyataan itu tidak bertentangan satu sama lain. Masyarakat memang memiliki
faktisitas objektif. Dan masyarakat memang dibangun oleh kegiatan yang mengekspresikan
makna subjektif. Dan, secara sambil lalu dapat dikatakan bahwa Durkheim mengetahui
yang disebut bela- …
-27-
kangan itu, sebagaimana Weber mengetahui yang disebut lebih dulu. Justru watak
ganda dari masyarakat inilah, yakni dari segi faktisitas objektif dan makna
subjektif yang menjadikannya “kenyataan sui generis” untuk
menggunakan sebuah istilah kunci lainnya dari Durkheim. Dengan demikian, pertanyaan
sentral bagi teori sosiologi dapat dikemukakan sebagai berikut: Bagaimana mungkin
terjadi bahwa makna-makna subjektif menjadi faktisitas-faktisitas objektif?
Atau, dengan kata-kata yang cocok bagi posisi teoritis yang telah disebutkan
di atas: Bagaimana mungkin bahwa kegiatan (Handeln) manusia menghasilkan
satu dunia benda-benda (choses)? Dengan kata lain suatu pemahaman yang
memadai mengenai “kenyataan sui generis” dari masyarakat memerlukan
suatu penyelidikan mengenai caranya kenyataan ini dibangun. Kami berpendapat
bahwa penyelidikan ini merupakan tugas sosiologi pengetahuan.
Cf. Max Scheler, Die Wissensformen und die
Gesellschaft (Bern: Francke, 1960). Buku kumpulan esai-esai ini, pertama
kali terbit tahun 1925, memuat rumusan-rumusan dasar sosiologi pengetahuan dalam
sebuah esei berjudul “Probleme einer Soziologie des Wissens”,
yang semuanya terbit setahun lebih dulu.
Cf. Wilhelm Windelband dan Heinz Heimsoeth, Lehrbuch der Geschichte der Philosophie
(Tubingen: Mohr, 1950), hal. 605 ff.
Cf. Albert Salomon, In Praise of Enlightenment (New York: Meridian Books,
1963): Hans Barth, Wahrheit und Ideologie (Zurich: Manesse, 1945); Werner
Stark, The Sociology of Knowledge (Chicago: Free Press of Glencoe, 1958),
hal. 46 ff.; Kurt Lenk, ed., Ideologie (Neuwied/Rhein: Luchterhand, 1961),
hal. 13 ff.
Pensèes v.294.
Cf Karl Marx, Die Frühschriften (Stuttgart: Kröner, 1953).
The Economic and Philosophical Manuscripts of 1844 terdapat di hal.225
ff.
Mengenai skema Marx Unterbau/Ueberbau. Cf. Karl Kautsky, “Verhältnis
von Unterbau und Ueberbau,” dalam Iring Fetscher, ed., Der Marxismus
(Munich: Piper, 1962), hal. 160 ff.; Antonio Labriola, “Die Vermittlung
zwischen Basis und Ueberbau,” ibid., hal. 167 ff.; Jean-Yves Calvez,
La Pensèe de Karl Marx (Paris: Editions du Seuil, 1956), hal.
424 ff. Perumusan kembali yang paling penting mengenai masalah itu dalam abad
ke 20 dibuat oleh György Lukács, dalam Geschichte und Klassenbewusstsein
(Berlin, 1923), yang sekarang lebih mudah diperoleh dalam terjemahan Prancisnya,
Historie et conscience de classe (Paris: Editions de Minuit, 1960). Pemahaman
Lukács tentang konsep dialektika Marx menjadi lebih menarik lagi jika
diingat bahwa ia mendahului hampir sepuluh tahun ditemukannya kembali Economic
and Philosophical Manuscripts of 1844.
Karya-karya Nietzsche yang paling penting bagi sosiologi pengetahuan adalah
The Genealogy of Morals dan The Will to Power. Mengenai pembahasan-pembahasan
sekunder, cf. Walter Kaufmann, Nietzsche (New York: Meridian Books,
1956): Karl Löwith, From Hegel to Nietzsche (New York: Holt, Rinehart
and Winston, 1964).
Satu di antara penerapan-penerapan yang paling menarik dari pemikiran Nietzsche
dalam sosiologi pengetahuan adalah yang dilakukan oleh Alfred Seidel dalam Bewusstsein
als Verhängnis (Bonn: Cohen, 1927). Seidel yang pernah belajar dari
Weber, mencoba menggabungkan Nietzsche dan Freud dengan suatu kritik sosiologis
yang radikal tentang kesadaran.
Salah satu pembahasan yang paling sugestif mengenai hubungan antara historisisme
dan sosiologi adalah yang dilakukan oleh Carlo Antoni dalam Dallo Storicismo
alla sociologia (Florence, 1940). Juga, cf, H. Stuart Hughes, Consciousness
and Society (New York: Knolf, 1958), hal. 183 ff. Karya Wilhelm Dilthey
yang paling penting bagi pembahasan kita sekarang ini adalah Der Aufbau der
Geschichtlichen Welt in den Geisteswissenschaften(Stuttgart: Teubner, 1958).
Pembahasan konsep Scheler yang baik sekali tentang sosiologi pengetahuan, cf,
Hans-Joachim Lieber, Wissen und Gessellschaft (Tubingen: Niemeyer, 1952),
hal. 55 ff. Lihat juga Stark, op. Cit., passim.
Mengenai perkembangan umum sosiologi Jerman selama periode ini, cf. Raymond
Aron, La Sociologie allemande contemporaine (Paris: Presses Universitaires
de Prance, 1950). Mengenai sumbangan-sumbangan yang penting dari periode ini
yang menyangkut sosiologi pengetahuan, cf. Siegfried Landshut, Kritik
der Soziologie (Munich, 1929); Hans Freyer, Soziologie als Wirklichkeitswissenschaft
(Leipzig, 1930); Ernst Grunwald, Das Problem der Socziologie des Wissens
(Vienna, 1934); Alexander von Schelting, Max Webers Wissenschaftslehre
(Tübingen, 1934). Karya yang disebut paling akhir itu, yang masih merupakan
pembahasan terpenting tentang metodologi Weber, harus dipahami dengan latar
belakang perdebatan mengenai sosiologi pengetahuan, yang ketika itu berpusat
pada rumusan-rumusan Sheler dan Mannheim.
Karl Mannheim, Ideology and Utopia (London: Routledge & Kegan Paul,
1936): Essays on the Sociology of Knowledge (New York: Oxford University
Press, 1952); Essays on Sociology and Social Psychology (New York: Oxford
University Press, 1956). Suatu ikhtisar mengenai tulisan-tulisan Mannheim yang
paling penting tentang sosiologi pengetahuan, yang disusun dan disertai suatu
kata pengantar yang baik oleh Kurt Wolff, adalah Karl Mannheim, Wissenssoziologie
(Neuwied/Rhein: Luchterhand, 1964). Pembahasan sekunder tentang konsepsi-konsepsi
Mannheim mengenai sosiologi pengetahuan, cf. Jacques J. Marquet, Sociologie
de la connaissance Louvain ( nauwelaerts, 1949). Aron, op. cit.;
Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure (Chicago: Free Press
of Glencoe, 1957), hal. 486 ff.; Stark, op. cit.; Lieber, op. cit.
Karakterisasi awal tentang kedua rumusan mengenai disiplin itu diberikan oleh
Lieber, op. cit.
Cf. Merton, op. cit., hal. 439 ff.
Cf. Talcott Parsons, “An Approach to the Sociology of Knowledge”,
dalam Transaction of the Fourth World Congress of Sociologi (Louvain:
International Sociological Association, 1959), vol. IV, hal. 25 ff.; “Culture
and the Socil System”, dalam Parsons et al. (eds.), Theories of Society
(New York: Free Press, 1961), vol. II, hal. 963 ff.
Cf. Talcott Parsons, The Social System Glencoe, I11.: Free Press, 1951),
hal. 326 ff.
Cf. C. Wright Mills, Power, Politics, and People (New York: Ballantine
Books, 1963), hal. 453 ff.
Cf. Theodor Geiger, Ideologie und Wharheit (Stuttgart: Humboldt, 1953);
Arbeiten zur Soziologie (Neuwied/Rhein: Luchterhand, 1962), hal. 412 ff.
Cf. Ernst Topitsch, Vom Ursprung und Ende der Metaphysik (Vienna: Springer,
1958), Sozialphilosophie zwischen Ideologie und Wissenschaft (Neuwied/Rhein:
Luchterhand, 1961). Suatu pengaruh yang penting terhadap Topitsch adalah mazhab
positivisme hukum dari Kelsen. Mengenai implikasi dari yang disebut belakangan
itu bagi sosiologi pengetahuan, cf. Hans Kelsen, Aufsatze zur Ideologiekritik
(Neuwied/Rhein: Luchterhand, 1964).
Cf. Daniel Bell, The End of Ideology (New York: Free Press of Glencoe,
1960), Kurt Lenk, (ed.) Ideologie: Norman Birnbaum, ed., The Sociological
Study of Ideology (Oxford: Blackwell, 1962).
Cf. Stark, op. cit.
Alfred Schutz, Collected Papers, vol. I (The Hague: Nijhoff, 1962), hal.
149. Cetak miring dari kami.
Ibid., vol. II (1964), hal. 121.
Pembahasan tentang implikasi sosiologi Durkheim bagi sosiologi pengetahuan,
cf. Gerard L. DeGré, Society and Ideology (New York: Columbia
University Bookstore, 1943), hal. 54 ff.; Merton, op. cit.; George Gurvitch,
“Problèmes de la sociologie de la connaissance”, Traité
de sociologie (Paris: Presses Universitaires de France, 1960), vol. II,
hal. 103 ff.
Sepengetahuan kami, pendekatan interaksionisme simbolis yang paling dekat pada
masalah-masalah sosiologi pengetahuan terdapat dalam Tomatsu Shibutani “Reference
Groups and Social Control”, dalam Arnold Rose, (ed.), Human Behavior
and Social Processes (Boston: Houghton Mifflin, 1962), hal. 128 ff. Kenyataan
bahwa para penganut interaksionis simbolis tidak mengadakan hubungan antara
psikologi sosial Mead dan sosiologi pengetahuan sudah tentu berkaitan dengan
terbatasnya “penyebaran” sosiologi pengetahuan di Amerika, tetapi
landasan teoritisnya yang lebih penting harus dicari dalam kenyataan bahwa baik
Mead maupun para pengikutnya tidak mengembangkan suatu konsep yang memadai mengenai
struktur sosial. Justru karena itulah, kami kira, pengintegrasian cara pendekatan
Mead dengan cara pendekatan Durkheim begitu penting. Dapat dikemukakan bahwa,
seperti halnya sikap masa bodoh terhadap sosiologi pengetahuan di pihak para
psikolog sosial Amerika telah menyebabkan mereka tidak mengaitkan perspektif-perspektif
mereka pada suatu teori sosiologi makro, demikian pula ketidaktahuan yang total
mengenai Mead merupakan suatu kelemahan teoritis yang gawat dari pemikiran sosial
neo-Marxis di Eropa sekarang. Merupakan suatu ironi yang besar ketika, belakangan
ini, para ahli teori neo-Marxis berusaha mengadakan hubungan denganpsikologi
Freud (yang secara mendasar dapat dipertemukan dengan perkiraan antropologis
Marxisme), dan sama sekali tidak mengetahui adanya suatu teori Mead mengenai
dialektika antara masyarakat dan individu yang kiranya akan jauh lebih cocok
bagi cara pendekatan mereka. Suatu contoh yang belum lama berselang mengenai
fenomena yang ironis ini, cf. Georges lapassade, L’Entrée dans
la vie (Paris: Editions de Minuit, 1963), sebuah buku yang dalam banyak
hal sangat sugestif dan, seolah-olah, menyerukan nama Mead di setiap halamannya.
Ironi yang sama, meski dalam konteks pemisahan intelektual yang berbeda, berlaku
bagi upaya-upaya yang dilakukan di Amerika baru-baru ini untuk melakukan saling
pendekatan antara Marxisme dan Freudianisme. Seorang sosiolog Eropa yang banyak
menimba dan berhasil membangun teori sosiologi dari Mead dan tradisi mazhab
Mead adalah Friedrich Tenbruck. Cf. Bukunya, Geschichte und Gesselschaft
(Habilitationschrift, Universitas Freiburg, terutama bab yang diberi judul “Realität”.
Di dalam suatu konteks yang berbeda dengan konteks sistematis kami, tetapi dengan
cara yang sangat cocok dengan cara pendekatan kami terhadap problematik Meadian,
Tenbruck, membahas asal-usul sosial mengenai kenyataan dan dasar-dasar sosial-struktural
untuk mempertahankan kenyataan.
Talcott Parsons, The Structure of Social Action(Chicago: Free Press,
1949), hal. v.
Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method (Chicago: Free Press,
1949), hal. 14.
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization (New York:
Oxford University Press, 1947), hal. 101.