Tisna Sanjaya
Asli Bandung ,
Isteri orang Ciamis, Bapak dari 4 orang anak.
Dosen
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Tekhnologi Bandung, Universitas Kristen
Maranatha, Dosen tamu di Malaysia. Ketika ditemui Bujet, Tisna sedang bersama
kurang lebih 200-an mahasiswa Seni Rupa ITB menggelar aksi penanaman pohon di
Kawasan Babakan Siliwangi yang “terbakar “ awal bulan Oktober yang
lalu.
Dalam hal melukis, sebenarnya anda aliran apa ?
Orang lebih banyak
mengenal saya beraliran ekspresionis. Beberapa karya juga berbentuk instalasi,
performance art tapi sebetulnya apa yang saya kerjakan tidak bisa disatukan
dalam satu aliran karena saya tidak
cukup di situ.
Belajar melukis
sejak kapan ?
Latar belakang saya
seni grafis. Saya belajar seni grafis di Indonesia dan Jerman tapi bagi saya
media itu tidak cukup. Ada media lain seperti instalasi, performance art,
teater, puisi dll.
Ada gak master
piece yang pernah dipublikasikan ?
Saya gak tahu
apakah karya saya ada yang sudah bisa disebut master piece tapi yang pasti saya
kerjakan semua karya-karya saya secara intensif saja.
Kira-kira satu
tahun berapa lukisan ?
Saya cukup
produktif dalam melukis karena gak
bisa yang lain lagi selain melukis dan main sepak bola.
Ngajar di mana aja
?
Secara rutin di
seni rupa ITB sebagai dosen tetap, PNS lagi. Juga di S2 trus jadi dosen tamu di
ITM Malaysia sejak awal 2003 untuk memberikan ujian-ujian akhir di sana.
Untuk satu lukisan,
biasanya anda menghabiskan dana berapa ?
Kebetulan saya
kalau melukis sering tanpa biaya. Ini yang besar di R.Tamu itu saya lukis di
Achen –Jerman ketika diundang kesana. Selama 1 bulan saya disana dan semuanya
ditanggung. Saya dikasih alat, cat dan lain-lain kebutuhan yang penting. Semuanya gratis. Soalnya cat
yang mahal itu kalau dirupiahkan satunya saja sampai Rp. 150.000,- dan saya
jarang memakai cat-cat yang mahal begitu kalau tidak ada yang memberi.
Kemarin-kemarin katanya habis mengirim produk
ke luar negeri. Produk apa dan kemana dikirimnya ?
Kirimnya ke
Amerika. Saya bikin karya seni dengan mencuci kaki. Itu ada contohnya di rak,
di dalam botol-botol itu air cuci kaki. Ini saya buat tahun 1986 ketika ke mertua di Ciamis waktu itu, besoknya terjadi
kekerasan di Tasikmalaya. Itu kekerasan antar agama di mana gereja
dihancurkan, China dihancurkan dengan
mengatasnamakan agama. Terus saya pulang ke Bandung, dan ngobrol sama ibu saya.
Ibu saya bilang “ itu mah bukan islam yang benar kalau cara-caranya menghancurkan
begitu mah.” Itu Wudlu-nya gak benar.
Wudhlu itu kan mencuci kaki. Kan di Kristen juga adakan , Upacara Pembasuhan Kaki. Saya padukan itu.
Kaki ibu saya, kaki teman saya, kaki guru saya, kaki tetangga saya dan
banyaklah. Semua air bekas cuci kaki itu saya simpan dalam botol. Suatu saat ada
teman saya di Amerika ngirim email minta “Air Kaki” tersebut mau dipamekan di
museum di New York. Saya tanya alasannya kenapa, dia bilang “ pokoknya politikus-politikus di Amerika
ini harus dicuci kakinya. Jadi saya butuh sampel, karya anda.
Kalau untuk
pengiriman seperti itu habis berapa dana ?
Saya gak pernah
ngeluarin dana karena untuk yang begitu sudah mereka tanggung semuanya. Ongkos
pesawat, hotel, fee dll. Kemarin-kemarin saya juga ke Korea dan 2 minggu di
sana saya ditanggung semuanya, baru pulang September 2004.
Ada gak suka duka
sebagai seniman ?
Lebih banyak
sukanya. Karya seni itu kan kita
berekspresi. Kadang main-main, iseng,kadang mengeritik, nyindir dan banyak
lagi.
Katanya, seniman itu susah dimengerti. Apakah
itus juga berkorelasi dengan karya anda yang dibakar di BAKSIL beberapa waktu
lalu ?
Menurut saya
masyarakat itu, asal banyak diundang, masyarakat itu apresiatif sebenarnya.
Yang membakar itu adalah kekuasaan yang paranoid. Karena di belakang ini secara
politik ada ketakutan dari pihak TNI dan PEMDA. Jadi sebetulnya dalam karya
saya itu ada hal-hal yang kritis
terutama mengenai pola-pola kekerasan di militer misalnya di Aceh, Timor-Timur
dll. Tapi sebenarnya bukan hanya itu. Semua kekerasan militer seperti di Irak,
di belahan dunia manapun saya kritik. Itu mungkin karena paranaoid, serasa
mereka yang diserang. Bahkan ada surat resmi dari Kodam dan Kodim bahwa memang
karya saya itu dibakar.
Kira-kira nanti 10
Desember nanti berkaitan dengan Hari HAM, apakah ada acara ?
Justru kita akan adakan acara tanggal 17 Desember
berkaitan dengan pembunuhan Munir.
Menurut anda,
bagaimana potret perlindungan HAM di Indonesia sekarang ini ?
Sebenarnya “hampir
gak ada “ ya di kita itu. Contohnya begini ketika kita mengkritik, seoah-olah
hendak merusak atau menghancurkan mereka. (Pemerintah, Red). Padahal kritik itu
kan untuk membangun bersama-sama. Apalagi saya, sudah punya 4 anak, mengajar
lagi. Jadi berkaitan dengan karya saya
yang dibakar masa dianggap mau menghancurkan TNI. Kalau mereka itu intel yang
baik tentunya mereka tentu tahu latar belakang.
Kenapa sikap
pemerintah kita bersikap seperti itu ?
Ya…ini kan warisan
Orde Baru. Selama sekian puluh tahun,
kritik tidak dibangun, ruang untuk itu sama sekali ditutup.
Mengenai gugatan anda atas karya anda yang
dibakar di BAKSIL, itu sudah sampai di mana ?
Sekarang sudah pada
tahap pembuktian- pembuktian. Photo-photo yang menandakan bahwa itu karya seni
bukan sampah. Saksi-saksi minggu depan mulai dipanggil.
Kansnya bagaimana ?
Mudah-mudahan
menang karena sejak 4 bulan
persidangang dilakukan, ada
logika-logika yang mengarah pada kemenangan. Bukti-bukti sudah jelas. Mungkin mereka hanya akan bisa
meng’counter’ kita dengan pola-pola yang menjelekkan kita. Misalnya saya
dituduh melecehkan benderi karena karya instalasinya memakai bendera dan itu
dianggap tidak senonoh. Memperlakukan bendera tidak pada tempatnya. Itu kan
pola-pola preman. Gak…gak ada bendera. Terus mereka mengatakan, saya tanpa izin
di situ. Sementara itu ruang publik, milik bersama, masa pakai izin segala.
Menanglah, Insya Allah. Kalaupun kalah, ya prosesnya pernah dijalani. Artinya
ada pembelajaran sehingga masyarakat bisa semakin lebih berani.
Sebagai warga Kota
Bandung, tentunya anda punya pandangan umum mengenai Penataan Babakan Siliwangi
? Bagaimana penataannya dari dulu
sampai sekarang ?
Saya melihat
Babakan Siliwangi itu sebagai suatu
kesatuan dengan sistem kota yang lebih besar. Dulu kan di sana ada sawah, ada
situ (danau) yang besar yang sekarang
menjadi Lapangan ITB … ya SABUGA itu.
Ke sebelah sini (utara ) itu banyak
pepohonan yang kemudian juga dibangun Rumah Makan Babakan Siliwangi. Jadi kalau
menurut saya, ITB juga intervensi terhadap perusakan tata ruang dan lingkungan
di Kota Bandung .
Menurut pemerintah,
Kawasan Babakan Siiwangi disebut sebagai
“kawasan bermasalah.” Menurut anda
sendiri mengapa disebut bermasalah dan sebenarnya apa inti permasalahan
yang dimaksud di sini ?
Kalau menurut saya,
secara fisik masalahnya terlihat jelas. Misalnya keberadaan Rumah Makan Babakan
Siliwangi yang tidak terurus, tidak terawat. Itu kan milik PEMDA, aset PEMDA.
Setahu saya ini tidak ditata dengan benar, managemennya tidak jelas.Akibatnya
bangkrut dan sampai sekarang ditinggalkan bahkan ujung-ujungnya terjadi
kebakaran. Saya tidak tahun persis faktor apa yang menyebabkan bangkrutnya RM.
Makan Babakan Siliwangi tapi yang jelas ada satu manajemen PEMDA yang membuat
ruang tersebut terbengkelai. Jelas dong ada banyak kerugian. Sudah dibangun
sedemikian rupa karena strategis tempatnya
tapi tidak dikelola. Jadilah bermasalah. Munculnya berbagai ruang- “bermasalah “ seperti ini kemudian
direspon oleh kelompok seniman dengan maksud menjadikan ruang-ruang tersebut
bermanfaat kembali. Maka disana muncul berbagai kelompok seperti : Anak Jalanan
dengan Pendidikan Bebasnya, Kelompok Gerbong Bawah Tanah, teman-teman Aktivis
Teater Lingkungan Hidup dll, yang sebetulnya ada upaya-upaya untuk mengisi ruang-ruang kosong tersebut
agar bermanfaat.
Tetapi ketika
bergulir tersebut, meskinya PEMDA mendekati kita.
Sejak tahun 2000,
kawasan ini menjadi semakin terlantar
dan ketika komunitas seni mulai memanfaatkan ruang tersebut tentu komunitas seni punya kepentingan
tersendiri. PEMDA kemudian mengatakan bahwa upaya mempertahankan BAKSIL itu
hanya kepentigan seniman semata. Apa tanggapan dan komentar anda ?
Kayanya itu
bukan hanya kepentingan seniman tetapi
justru itu kepentingan publik. Kita hanya melihat bahwa ada ruang yang kosong
yang strategis tapi terlantar. Di pihak lain ada kepentingan PEMDA juga
misalnya ingin membangun Kondominium ,
yang justru meresahkan kami “sekelompok kecil ini”. Apalagi itu
direncanakan dengan tidak melibatkan kami, tidak transparan begitu.
Siapa saja yang
anda maksud dengan “ Kelompok Kecil “ tersebut ?
Ya teman-teman
seniman. Ada Gerbong Bawah Tanah;
Pimpinan Rahmat Djabaril, Teater Lingkungan Hidup, Pimpinan Setiaji
Purnasatmoko, terus belakangan muncul teman-teman penyanyi jalanan, Dwie dkk,
terus juga ada kelompok yang di bawah istri Dada Rosada yaitu Pak Yana dan Mbak
Atie, usaha anggrek. Ada lagi sanggar olah seni, pimpinan Pak Tomy itu sudah
lama; sejak tahun 70-an, terus Pamitra
sudah lama juga.
Ada banyak kebijakan PEMDA mengenai BAKSIL
yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota; bahkan itu sejak tahun 1973
hingga yang terakhir tahun 2000.
Menurut anda apakah kebijakan-kebijakan tersebut menjawabi kebutuhan dan
tuntutan kelompok atau komunitas seni ?
Sebetulnya secara
legal formal, PERDA dan lain sebagainya yang muncul dari PEMDA itu , sudah
disiapkan, sudah ada. Namun ketika sampai pada implementasi, ketika PEMDA
berhadapan dengan investor atau pengembang, di situlah mulai muncul masalah. Di
Kota Bandung ini selalu begitu. Pemeritah tidak transparan, tidak disampaikan
dulu kepad pihak-pihak tertentu. Itukan ruang publik. Mustinya kalau ruang
publik itu hendak dibangun, harus diumumkan kepada publik. Di luar negeri itu, kalau mau membangun
sesuatu di ruang publik; dua bahkan tiga tahun sebelumnya sudah disampaikan
atau diinformasikan kepada publik.
Mekanismenya
bagaimana ?
Sistemnya
ya…seperti poling. Biasanya mereka (di
luar negeri) memerikan surat kepada penduduk di rumah-rumah terdekat dengan
kawasan yang akan dibangun, juga surat kepada berbagai institusi maupun
pakar untuk meminta tanggapan perlu
tidaknya ruang itu dibangun. Nanti surat itu,yang telah diisi dikembalikan
kepada pemerintah.
Jadi dalam surat
itu sudah jelas pertanyaanny ? Perlu
tidak ruang itu dibangun ? Bangunannya akan seperti ini (ada gambarnya) ?
Dananya dari mana dan jumlahnya berapa
? Itu semua diumumkan sehingga tanggapan masyarakat juga realistis.
Di mana anda pernah
melihat praktek seperti itu ?
Waktu saya ke
Jerman, tahun 1987 juga tahun 1991, 1998 ke sana lagi ; tidak ada perubahan yang signifikan dari kondisi
fisik kota. Itu karena ada partisipasi publik. Kalau di kita, tahu-tahu sudah
ada gedung A, gedung B. Berubahnya kentara sekali. Tiba-tiba sudah ada Mall,
dan lain-lain.
Membaca SK-SK Walikota Bandung tentang
Babakan Siliwangi terdapat berbagai perubahan mendasar. Di awal-awal disebut
sebagai “window Jawa Barat “ makanya
unsur-unsur pembentuk fungsi kawasan ini sebagai Kawasan Wisata banyak sekali.
Ada danau, ada sawah dll. Tapi di SK-SK yang belakang dibuat, unsur-unsur itu
sudah tidak disebutkan. Seolah-olah
dihilangkan begitu saja. Kenapa bisa demikian ?
Ya…jelas hilang
karena tidak ada catatan sejarah. Tidak ada riset yang bisa dipercaya atau juga riset yang dibuat tidak dipublikasikan.
Pasti dulu juga ada risetnya. Gak mungkin ITB bangun SABUGA tanpa ada riset
lebih dahulu. Mungkin hanya klaim,
pernah dibuat riset tapi tidak pernah diumumkan sehingga tidak bisa dijadikan
sebagai patokan oleh publik.
Kalau begitu, bisa
kita bilang ITB turut merusak tata ruang di BAKSIL ?
Ya….sebenarnya
banyak banyak proyek penataan ruang selalu dikonsultasikan dengan ITB. Banyak
lulusan ITB seberti Planologi, Urban Desain dan macam-macam. Konsultan pembangunan Jl. Tol Pasupati juga
orang ITB. Makanya saya merespon pembangun jalan itu dengan membuat demonstrasi
“ Menumbuk Jengkol Melabur Jalan”.
Saya dan
teman-teman mananamkan Jengkol sepanjang jalan itu sebagai tanda tidak setuju.
Bukan tidak setuju dalam hal proses
pembangunannya saja tetapi tidak setuju dengan cara-cara yang tidak transparan, tidak disampaikan dulu ke
publik ; tiba-tiba jadi saja. Sebenarnya saya juga berhadap-hadapan dengan
teman-teman saya yang lain di ITB.
Apakah ada gambaran konsep pengembangan
Babakan Siliwangi menurut pendapat komunitas seniman ? Mau dijadikan apa atau
seperti apa Babakan Siliwangi
Saya mau mengklaim
bahwa ini kemauan semua seniman tapi dari komunitas seniman yang intens di sana
saja. Kami tidak membutuhkan lagi
ruang-ruang yang sifatnya fisik. Maka jangan lagi BAKSIL itu dibangun lagi
selain menanaminya dengan pohon-pohon. Jadi konsep dasarnya adalah kembalikan
menjadi lingkungan yang alamiah saja. Kan di sana sudah ada sanggar olah seni,
pamitra. Itu sudah cukup.
Konkritnya, konsep penataan BAKSIL menurut
komunitas seniman yang intens di sana itu bagaimana ?
Pokoknya alam saja.
Nanti tembok-tembok itu dibersihkan, diurug lagi. Beberapa saja yang ditinggal
sebagai simbol. Jadi setelah ditimbun maka akan jadi seperti bukit. Nah…pohon-pohon yang ditanam itu nantinya akan
membentuk hutan di sana. Kita mau menumbuhkan estetika yang muncul dari alam,
dari hutan, dari pohon-pohon. No way dengan gedung-gedung.
Mengapa anda tidak
sepakat dengan gedung-gedung ?
Anda sendiri tahu
banyak gedung kesenian di Kota Bandung tapi tidak berfungsi. Ada YPK, Taman
Budaya, Galeri Kita, Gedung Rumentang Siang, terus di Jl. Peta sana ada satu. Juga tempat-tempat pribadi ada seperti
Gd. Nyoman Warta, Sunarta, Papirus dan lain-lain. Tapi ya, fungsinya
begitu-begitu saja.
Mengenai konsep “bukit alam’ tadi sudah
sampai di mana pembahasannya
Konsep ini sudah
dibahas bersama-sama bahkan sudah disampaikan ke publik oleh seniman-seniman
yang peduli di sana. Sudah disepakati bersama.
Sejak kapan itu ?
Sejak oktober lalu,
sebelum BAKSIL dibakar kita sudah sepakat. Kita begabung dalam Aliansi Warga
Kota (AWAK) dan sepakat menjadikan BAKSIL sebagai Hutan Kota. AWAK
beranggotakan banyak pihak dan bukan komunitas seni saja.
Apakah sudah pernah diajukan kepada pemerintah misalnya ?
Kalau ke eksekutif belum
tapi kita sudah pernah bertemu dengan DPRD jauh sebelum pembakaran karya saya
di BAKSIL bulan Februaari 2004 yang lalu. Tapi kalau kita ketemu DPRD untuk
menolak rencana pemerintah membangun kondominium, itu tahun 2003.
Kondominium memang ditolak tapi jawabannya
adalah untuk pembangunan Rumah Makan dan Pusat Kebudayaan Sunda. Anda bilang
itu “Ya …sebelas, dua belas. (sama saja, red). Kalau begitu menurut anda siapa
yang menyebabkan konflik ini terjadi ?
Kalau boleh
mengklaim, saya kira yang menyebabkan konflik ini terjadi dan berkepanjangan
adalah pemerintah sendiri. Karena mereka yang mempunyai kebijakan. Kalau kita,
hanya memanfaatkan ruang yang kosong.
Harusnya mereka (pemerintah,red) datang ke kita karena kita sudah menjadikan
ruang kosong itu bermanfaat. Mestinya dengan munculnya komunitas-komunitas di BAKSIL, mereka (Pemerintah, Red) itu
datang dan bertanya dan ngobrol. “ Ini ada apa, hayu bareng-bareng kita carikan
solusinya. Oh…ini kumuh, mari kita tata bareng-bareng.” Ini gak.Malah yang terjadi
adalah teror, dibakarlah…Lalu dengan pola-pola seperti itu tidak mengaku lagi.
PEMDA menyebutkan bahwa Babakan Siliwangi itu
adalah Kawasan Wisata, Obyek Wisata.
Namun hingga sekarang pengelolaannya tidak jelas bahkan kemudian hancur
berantakan atau terlantar. Bagaimana anda menilai perilaku yang demikian ?
Saya kira yang
hancur-hancuran itu bukan hanya Babakan Siliwangi. Akumulatif dan BAKSIL itu
jadi simbol saja. Bagaimana tidak simbolik ? Karya saya dibakar di sana, dan
ketika ini masih dalam persidangan, ruang tempat pamerannya dibakar. Itu
pola-pola preman namanya. Itu yang terlihat. Belum yang terlihat, seperti pasar
dll, mengatasnamakan kebakaran padahal dibakar hanya untuk kepentingan sesaat.
Sebenarnya dari
dulu, batasan Kawasan BAKSIL itu sampai dimana ?
Sepengetahuan saya,
yang disebut Babakan Siliwangi itu tidak hanya ruang tempat adanya RM. Makan
Babakan Siliwangi saja. Secara kewilayahan, daerah Gandok ke bawah itu sudah
masuk Babakan Siliwangi. Terus dari Cisitu ke bawah itu sudah Babakan
Siliwangi. Juga yang sekarang jadi Kebun Binatang itu berada di BAKSIL. Gedung Sabuga itu sendiri seluruh
wilayahnya masuk kawasan BAKSIL tapi
sejarahnya hilang maka seolah SABUGA itu berdiri sendiri, terpisah dari kawasan
BAKSIL yang lebih luas.
Ini soal
pembangunan SABUGA sendiri, apakah itu sebuah penyelewengan fungsi ruang
atau bagaimana ?
Saya kurang tahu
itu .
Dalam Surat Keputusan DPRD yang paling baru
(Juli 2004) disebutkan bahwa peruntukkan pembangunnan di BAKSIL adalah Rumah
Makan dan Pusat Kebudayaan Sunda. Bagaimana anda menilai keputusan ini ?
Bagi saya, itu
bohong. Itu merupakan cara-cara lama pemerintah Kota Bandung mengatasi masalah.
Sudah sering,gaya-gaya seperti itu ; mengatasnamakan etnik dengan mencantumkan
istilah “sunda” agar kita terharu. Ujung-ujungnya tetap saja bisnis.
Menurut anda, apakah keputusan ini punya
nilai strategis atau berumur panjang paling tidak ?
Menurut saya kalaun
itu sudah menjadi sebuah keputusan tanpa
melibatkan publik secara lebih luas, saya kira keputusan ini harus
ditolak. Karena kalau kita lihat lebih jauh ke depan, misalkan itu mau dibangun
RM. Makan atau Pusat Kebudayaan Sunda
ataupun mengatasnamanakan apa saja maka
sisa lahan yang sedikit itu pasti akan habis. Kalau sudah ada RM. Makan nanti
dibangun lagi parkir, taman dan seterusnya sampai semua ruang itu jadi kawasan
terbangun. Contoh yang lain misalnya : Daerah Cipaganti yang indah, habis juga
untuk bangunan. Di Punclut lagi, diberi saja keleluasaan untuk membangun
lama-lama semuanya habis dibangun. Persoalannya tidak ada panutan yang jelas
dari pemerintah tentang boleh tidaknya membangun di suatu kawasan.
Baiknya
pengendalian pemanfaatan ruang, harus seperti apa dilakukan ?
Udah “riweuh” memang. Saya mau beri contoh lain yakni ketika terminal Ledeng mulai
dibangun. Itu sangat dipaksakan. Ada pihak yang berusaha mempertahankan agar
daerah tersebut tidak dijadikan terminal malah diadudomba sehingga terjadi
konflik. Ya…keluarga saya termasuk yang mempertahankan. Saya masih ingat ketika
kakek saya waktu itu berkali-kali dibawa ke KODIM karena berusaha
mempertahankan tanah milik tersebut. Padahal tahan-tanah di sana adalah milik
warga dan merupakan kawasan hijau yang sangat indah. Tapi karena tekanan yang
terus menerus akhirnya dilepas juga. Meski sekarang terminal itu ‘sedikitnya” bermanfaat untuk transit tapi
sebenarnya kurang tepat letaknya. Malah yang muncul adalah kemacetan.
Itu merupakan
cerita bagaimana ruang-ruang terbuka hijau dari dulu selalu saja dihabiskan.
Melihat karakter dan kecenderungan pemerintah
kita, kira-kira program penataaan Kawasan BAKSIL nantinya akan melibatkan
masyarakat atau tidak ? Prosesnya akan seperti apa ?
Mudah-mudahan ada
proses pelibatan masyarakat ke depan. Dengan melakukan kritik yang terus
menerus melalui berbagai tulisan, agenda-agenda gerakan sebenarnya bukan untuk
memunculkan konflik tapi sebagai upaya penyelesaian.
Bicara gerakan
menghijaukan kembali BAKSIL sendiri,
apa yang hendak dicapai ?
Itu hanya merupakan
pintu masuk untuk membangun monumen Babakan Siliwangi yang terbakar dalam
bentuk bukit.
Dalam SK Walikota tentang BAKSIL tahun 2000,
pemerintah mengatakan bahwa salah satu alasan pembubaran Badan Pengelola RM.
Babakan Siliwangi adalah minim bahkan tidak adanya pemasukan dari RM. BAKSIL
kepada pemerintah untuk peningkatan
PAD. Bagaimana tanggapan anda ?
Pendapatan itu
tidak harus selalu dilihat dari bentuk fisiknya “uang.” Kalau menurut saya
adanya “Bukit BAKSIL “ di sana tempat orang dapat menikmati alam, tempat
bermain yang teduh, banyak pepohonan tempat unggas bertengger, tentu citra
kota akan kembali membaik. Itu sebuah
pendapatan juga buat Kota Bandung .
Menurut anda apakah kebijakan pembangunan
kota, contohnya Kawasan BAKSIL berkaitan juga dengan “behavior” kebiasaan
pemerintah yang selalu ingin bertindak sebagai mandor ?
Saya kira
kebanyakan pembangunan di Bandung selalu tanpa riset yang mendalam. Contohnya :
Bapak saya sejak tahun 1950 sudah jualan ayam potong di Ps. Baru. Dulu sehari
bisa laku 2000-3000 potong ayam sehari karena pembeli tidak asal beli. Orang mau beli, selalu melihat bagaimana cara motongnya, cara mencucinya. Itu yang
meyakinkan pembeli, apalagi orang Islam kan motongnya harus pakai doa. Tidak
asal saja. Sekarang setelah jadi Ps. Modern, pedagang tradisional seperti ayah
saya ini ditempatkan di lantai paling bawah. Sementara masuknya ke sana susah,
harus nunggu jam buka padahal pedagang
tradisional itu sudah terbiasa ke pasar subuh pukul 02.00. Kadang-kadang ia
harus tidur di trotoar nunggu pasar buka. Beberapa pedagang tradisional
mengalami stres bukan terutama karena dagangannya kurang laku karena hilang
konsumen tetapi karena kebiasaan-kebiasaan mereka tiba-tiba dihentikan begitu saja. Padahal orang tradisional itu
menjalani pekrjaaan harian itu sebagai suatu ritual. Ini yang kadang tidak
diperhatikan oleh pemerintah. Padahal mereka cukup banyak menunjang
perekonomian kota.
Sementara di luar
negeri, di negara-negara yang kita sebut “kafir” pemerintah sangat memperhatikan kebutuhan warganya. Misalnya di
Jerman , setahu saya setelah beberapa kali ke sana, kalau pemerintah mau membangun sesuatu pasti
selalu ada pertimbangan humanis. Bahwa di sini, di lokasi yang mau dibangun
ada penduduk, kebiasaan mereka begini,
kebutuhan mereka ini, pola aktivitasnya
begini. Maka penduduk lalu diajak
ngobrol agar pembangunan kawasan itu bisa mendatangkan keuntungan tapi tidak
merusak atau merugikan penduduknya.
Apakah cara berpikir yang demikian, seperi
cerita anda di Jerman itu dimiliki oleh pemerintah kita ?
Saya kira hampir
tidak ada. Kalau ada pasti untuk bangun Ps. Baru misalnya pasti ayah saya
diundang untuk bicara. Yang ada juga sekarang pemerintah meminta karcis. Bahkan
sekarang ayah saya sekarang nyicil
untuk bayar kios.
Kalau untuk Babakan Siliwangi sendiri bagaimana ?
Selama ini baru
kita yang datang ke DPRD. Tapi inisiatif dari eksekutif untuk mengundang semua
pihak yang berkepentingan dengan BAKSIL belum pernah terjadi.
Kenapa bisa begitu
?
Saya kira
pemerintah kita tidak terbiasa dengan pola-pola melibatkan masyarakat secara
lebih aktf. Mereka cenderung berpikir yang praktis-praktis saja. Yang penting, ada orang yang kelola
lalau setor ke mereka. Jadi yang
dipentingkan itu ‘bayar’ sewanya bukan kelola kepentingan publiknya.
Sejauh ini pihak-pihak yang berkepentingan
dengan Babakan Siliwangi bisa kita bagi
jadi beberapa kelompok. Ada
komunitas seni, ada DPRD, ada Pemerintah sebagai eksekutif, ada investor atau
pengembang, ada juga pemerhati atau pakar-pakar yang peduli dengan kawasan ini.
Mengapa tidak saja dipertemukan untuk bicara bersama tentang prospek penataaan
dan pengembangan kawasan ini ?
Itu memang ide yang
lebih bagus. Mestinya begitu sehingga konflik itu tidak terjadi berlarut larut.
Ya… inisiatif untuk melakukan yang
demikian harusnya datang dari pemerintah karena memang itu sudah Mestinya
begitu sehingga konflik itu tidak terjadi berlarut larut. Ya… inisiatif
untuk melakukan yang demikian harusnya
datang dari pemerintah atau penguasa
karena memang itu sudah
merupakan tugas mereka. Di luar
negeri, proses seperti ini selalu
terjadi. Kalau pemerintah kita mau melakukan yang demikian tentu akan lebih bagus karena dengan cara seperti
itu maka roda pembangunan tidak akan tertahan oleh persoalan-persoalan yang
sebenarnya bisa diselesaikan. Juga energi kita untuk berproses kreatif tidak
perlu habis hanya untuk berkonflik terus. Mestinya mereka responsif.
PEMDA sekarang boleh kita anggap masih kurang
responsif. Untuk komunitas seniman sendiri, apakah akan terus berjuang di
BAKSIL ?
Saya kira kita akan
terus berjuang sampai target kita tercapai, membangun bukit dan menghutankan
BAKSIL. Kalau pohon-pohon yang kita tanami dicabut atau diabakar, kta tanami
lagi. Akan terus begitu. Strategi perlawanannya adalah perlawanan damai. Kalau
mereka (Pemerintah, Red) strateginya keras; “ membakar “ kita lawan dengan
damai “menanam dan menumbuhkan.”
Ada juga katanya usulan dari komunitas seni
yang ingin menjadikan BAKSIL sebagai kampung seni lukis. Apa tanggapan anda
tentang usulan ini ?
Sebetulnya banyak
sekali ide untuk penataan BAKSIL. Contohnya di sebelah kanan, seberang bekas
RM. Makan yang “terbakar” kan banyak
saung-saung yang selama ini digunakan
oleh para seniman untuk berkarya. Mereka sebenarnya orang-orang yang
peduli dan mau membangun BAKSIL.
Mungkin itu usulan dari sekelompok seniman, sekelompok pelukis. Walaupun kelompok ini tidak sepaham dengan kita yang ingin agar di
BAKSIL tidak perlu ada bangunan lagi. Soalnya kalau sudah mulai dibangun
sedikit demi sedikit pohon-pohon akan ditebang dan suatu saat pasti akan
habis kawasan ini. Jadi kita mengusulkan agar jangan membuat bangunan (seperti
Gedung) lagi di BAKSIL. Ini kan bisa jadi simbol bahwa di Kota Bandung ada
kawasan yang sama sekali tidak dibangun malah ditanami pohon-pohon. Biar dia menjadi ruang yang dapat memberi inspirasi bagi Kota
Bandung. Jadi menata BAKSIL itu harus
dilihat juga hubungannya yang lebih luas dengan Kota Bandung secara keseluruhan
atau secara lebih makro. Kalau saja PEMDA mau berdialog dengan kita, kita akan presentasikan
contoh-contoh di Guang Ju) (Korea), di
Jeman, di Paris dan beberapa kota besar dunia lainnya. Untuk kota-kota yang
menjunjung tinggi kepentingan publik
saya mau juga bekerja sama dengan pemerintah tapi dengan pola-pola yang damai,
transparan dan partisipatif. Jangan
menafsirkan pembangunan kota ini
berdasarkan kemauan mereka saja.
Ada pendapat lain
yang menyangga bahwa BAKSIL itu bukan
kawasan alamih tapi kawasan buat. Bagaimana ?
Memang BAKSIL
dibangun tapi sekarang saya dan teman-teman lebih menginginkan BAKSIL
dihutankan saja. Prinsipnya “Dari alam kembali ke alam”. Jadi kalau dulu
dibangun, kan ada konsepnya. Ada cita-cita atauu tujuan yang hendak dicapati.
Sebaliknya kalau dibangun lagi menjadi gedung dan semacamnya justru akan menimbulkan
konflik baru. Mudah-mudahan gak.
Konflik baru itu misalnya : jika dibangun pusat kebudayaan Sunda, nanti
ada kan orang yang harus ditugaskan.
Mulai lah orang yang ditugaskan itu bisa dianggap yang membakar atau menyetujui
pembakaran.
Bulan lalu ada pembahasan di eksekutif
mengenai penataan BAKSIL.? Apa hasilnya, kita gak tahu. Apakah anda diundang ,
terlibat atau mendapatkan hasil pembahasan tersebut ? , Bagaimana pendapat anda ?
Sama sekali tidak karena
mereka sudah paranoid. Pasti
mereka itu sudah memiliki Dead Line
dengan pihak-pihak penyandang dana, atau juga pembuat keputusan. Mungkin juga
ada hubungan dengan target walikota dll. Saya curiga kawasan ini akan
dihabiskan. Dan kita cenderung dianggap sebagai lawan. Kalau mereka transparan
menyampaikan apa yang telah mereka buat dalam rencana, sebetulnya kita mau saja
memberikan masukan.
Melihat kenyataan, BAKSIL memang
ditelantarkan walau ada berbagai kebijakan yang ditetapkan. Mengapa hal seperti
ini seing terjadi ?
Saya kira itulah pola-pola
yang diterapkan oleh pemerintah, bahwa kebijakan selalu dibuat dengan mengabaikan realitas dalam praktek
kesehariannya.
Setelah peristiwa kemarin, anda mulai
menami kawasan BAKSIL bersama rekan-rekan. Apakah ini tidak
berbenturan dan bagaimana sikap
pemerintah ?
Sampai sekarang diam saja.
Jangankan gerakan menanam pohon kalau pun kita mengisi di Kawasan BAKSIL,
seperti teater, pertunjukkan, latihan, diskusi dan semacamnya; mereka seolah
tidak peduli.
Kalau begitu sebenarnya mau dijadikan apa
BAKSIL, itu tergantung kita. Begitukah ?
Bisa-bisa saja tergantung
kita namun yang saya takutkan kalau sudah
kita tata malah diambil alih oleh pemerintah atau dianggap menyalahi.
Walikota Dada Rosada, sudah sempat mengatakan itu di media. “ Jangan sampai terjadi
2x pembangunannya. Jangan sampai rugi dua kali. “
Apakah semua bentuk “penindakan “ yang
dilakukan oleh Walikota Dada Rosada
sekarang-sekarang ini berkaitan dengan
upaya mewujudkan citra dan kesan yang baik menjelang Konferensi Asia
Afrika 2005 mendatang ?
Ya, saya kira bisa saja
begitu. PKL ditertibkan, Tegalega, Sariitem
dibersihkan. Prinsipnya yang
penting bersih. “Pokoknya nanti acara gua,lu-lu harus sudah bersih, jangan sampai
menggangu. “ Jadi warga kota sama
sekali tidak dipandang hak-hak mereka lagi. Sementara, di BAKSIL itu ada lahan yang dipakai sebagai lapangan untuk Adu Domba. Memang kegiatan ini juga muncul dari masyarakat
tapi itu dibuka secara resmi oleh Dada
Rosada.
Kembali lagi mengenai perjuangan teman-teman
di BAKSIL, bisa diuraikan sedikit agenda dan target-targetnya ?
Target minimum kita adalah
pembuatan buku, menjalankan agenda-agenda diskusi. Bahwa pada suatu saat, kalau
muncul kekerasan dan terpaksa harus dibangun,kita punya catatan proses
perjuangan yang sudah jadi buku. Dengan
demikian akan ada dokumen tentang perlawanan cultural masyarakat terhadap
kekerasan yang dilakukan oleh negara. Manfaatnya bisa dijadikan sebagai acuan pembelajaran bagi kota-kota
lain. Juga untuk pendidikan seni di sekolah-sekolah, kalau kita mencontohkan
bahwa seni selalu berkaitan dengan proses sosial masyarakat, kita bisa
mencontohkannya dengan Dokumen BAKSIL, tidak harus dari contoh-contoh di luar negeri.
Secara konseptual, kita
dapat membangun pemahaman bahwa karya seni selalu mengabstraksikan,
merepresentasikan proses dan realitas sosial. Dokumen seperti ini penting agar
tidak terulang kejadian seperti SABUGA; tiba-tiba sudah ada SABUGA tanpa orang
tahu latar belakang dan proses yang
dilewati hingga ada bangunan tersebut.
Karya seni anda selalu mengabstraksikan
realitas sosial dan politik tertentu. Apa pandangan anda mengenai situasi kita
saat ini ?
Bangsa kita memang bangsa
yang luar biasa. Ada orang yang hampir tidak
punya biaya untuk makan sehari saja tapi ada orang yang rumahnya lebih
dari dua, mobil lebih dari tiga. Apalagi dalam dunia seni, ada dosen saya Pak
Srihadi ,juga Pak Sunaryo. Satu lukisannya paling murah dibeli dengan harga Rp.
150 juta Kalau pameran, paling-paling dia keluarkan satu sampai tiga lukisan
saja; selalu tahan harga.Padahal lukisannya biasa saja, lukisan orang menari.
Ya…aliran realis begitu. Tapi banyak
orang “kaya gila” yang ngantri untuk membeli, sampai-sampai ada yang minta saya
jadi perantara agar lukisan itu bisa dibeli. Lalu saya bilang, kenapa gak lukisan saya aja yang anda beli.
Mereka bilang, lukisan anda gak laku, ngeliat aja takut karena penuh muatan
politik.
Padahal lukisan yang mereka beli itu, menampilkan keindahan
semata yang sebenaranya kamuflase. Ya,, memang bangsa kita ini suka akan kamuflase.
Yang dibeli itu selalu hasil kamuflase.
Kalau tentang kebudayaan kita, apa ada
komentar lain ?
Kalau sedang berada di luar
negeri itu terasa sekali. Saya pernah sekolah di Jerman, ya ada sekolah
alternafif di Bronsweg. Siswanya datang dari berbagai negara. Kadang ketika
sedang makan di kantin, ada yang nyeletuk,.’ Tisna, tadi aku lihat di internet,
negara kamu itu miskin ya. Di sana kamu makan apa ? “ Jadi gak enak makan,
kagok edan sekalian saya bilang “ makan kerangkeng”. Belum tahu dia kalau Indonesia
itu kaya.