Menuju Pendefinisian Pop Art
Dalam Pop Art: An Illustrated Dictionary
Ada yang lebih mukjijati dalam pengiling
kopi
Daripada dalam seluruh malaikat surgawi.
Aragon
Keinsafan dengan mana kita di jaman ini dapat
menatap fenomena penting dari Pop Art akan membawa pada apresiasi yang lebih
mendalam dan lebih adil daripada yang selama ini dirasakan. Tapi tidakkah ini
mengada-ada untuk menekankan dengan berlebihan pada objektivitas dalam sebuah
wilayah dimana emosi telah senantiasa memainkan peran yang utama? Pada kenyataannya
tak satu pun karya diperuntukkan pada subjek ini yang tidak, sedikitnya dalam
beberapa hal, dikontradiksikan oleh subjek yang lain: Jim Dine, misalnya,
dipandang oleh beberapa kritikus sebagai di luar Pop Art, menempati sebuah
posisi sentral dalam pandangan kritikus lain; Jamse Rosenquist, pada umumnya
dipandang sebagai salah satu bintang yang patut dipertanyakan dalam tendensi
ini, hampir tak pernah mendapat perhadian dari Christopher Finch, yang pada
gilirannya gagal mengeja nama Wesselmann. Lebih jauh lagi, fakta bahwa pada
prakteknya segenap buku kepustakaan yang mengkhususkan diri pada Pop Art telah
ditulis oleh para penulis Inggris dan Amerika menerangkan—tanpa suatu usaha
membenarkan—perlakuan yang buruk, bukan berarti sikap abai yang total terhadap
manifestasi-manifestasi Pop Art Eropa, Jepang dan bahkan Kanada. Bendera-benderanya Johns telah memainkan
sebuah bagian yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam di antara
tanda-tanda kemunculan gerakan ini, dan tak satu pun, sewaktu ia muncul,
mencoba-coba untuk menyatakan tentang Pop Art tanpa mengibarkan warna-warna nasionalnya. Bisa jadi tanpa keraguan
diklaim sebagai cara terbaik dari usaha menghindarkan target dari
teman-temannya—dan demikian pula Jasper Johns tertarik perhatiannya pada Target-target.
Amat jarang reaksi-reaksi pada sebuah tendensi
artistik baru telah begitu eksesif dan digabngan sampai tingkat tertentu dengan
murni pada sikap chauvinistik. Dalam menyatakan ini kami tidak hanya sedang
memikirkan Amerika Serikat, dimana merupakan tempat lahir Pop Art—berkat
menjamurnya aliran Abstrak Ekspresionisme—semata-mata memperteguh perasaan akan
suatu otonomi kurlutral yang sudah ada sebelumnya. Semakin begitu, semanjak
saat ini—in the opinion of some—itu merupakan permasalahan seni yang lebih
demokratis dan bukan seni demagogik. Akan tetapi tidakboleh lupa bahwa Pop Art tidk
disambut dengan baik di seluruh Amerika, jauh dari sebegitu itu; para kritikus
secara mendalam terlibat pada Ekspresionisme Abstrak, atau, tak lama kemudian,
pada Minimal Art, memperlkukannya dengan perhatian yang minim. Di daratan
Eropa, dimana— dengan sikap abai yang hampir total dari kontribusi Inggris—Pop
Art diperlakukan oleh seniman, kritikus dan publik mirip dengan fenomena tipikal
Amerika, kami dapat katakan tanpa pelebih-lebihan bahwa perasaan pro- dan anti-Amerika
memainkan peran yang lebih decisif daripada pertimbangan-pertimbangan yang
murni artistik pada cara estetika baru itu dicerap. Akan tetapi dikotomi ini
tidak berjalan melulu di antara para partisan Amerika dari Pop Art di satu
pihak dan kaum anti-Amerika yang bersebrangan dengan gerakan tersebut di lain
pihak. Sejauh ini posisi yang paling berai adalah sikap berdiri yang diambil
para seniman yang secara spontan menggabungkan diri pada estetika baru itu
semenjak ia berkoresponden baik dengan tuntutan-tuntutan akan kepekaan para
seniman maupun intelegensi mereka. Meski demikian, perasaan rasa salah yang
misterius karena mengadopsi gaya Amerika seperti itu, mereka obati nuraninya
dengan mengolah, meskipun sewaktu-waktu, subjek-subjek yang memperlihatkan
sikap anti-Amerika mereka. Cara protes yang aneh ini muncul untuk diabaikan
oleh beberapa, jika ada, wakil-wakil yang paling terkemuka dari Pop Art di
daratan Eropa dan, pada saat yang sama, menjelaskan perhatian khusus yang
mereka berikan pada karya dari seorang seniman yang hampir satu-satunya seniman
Amerika yang dikaitkan dengan Pop Art yang mengadopsi satu sikap kritis yang
terbuka pada realitas sosial dan politik Amerika, Peter Saul.
Kebalikannya, Pop Art di Inggris Raya bertampuk dari
satu pro-Amerikanisme tidak hanya segera diakui tapi juga sangat terus terang
sehingga tak ada keraguan—sedikitnya dalam pikiran penulis buku ini—bahwa hal
inilah kenapa seniman Pop Inggris adalah yang pertama yang menetapkan
batas-batas pada mana gaya Amerika dipertengahan abad 20 dikembangkan. Fakta bahwa
gaya ini menemukan definisi pertamanya diluar teritori Amerika seharusnya cukup
meyakinkan bahwa karakteristiknya melewati batas-batas geografis dan keadaan
keadaan historis dan bahwa, dengan kata lain, ia tampil sebagai gaya dari suatu
masyarakat yang canggih seecara teknologis, terutama dalam saluran-saluran
informasi dan komunikasi yang dikenal dengan media massa.
Karena apa yang dipandang memadai pada gaya ini, tidak
hanya di England tapi di seluruh Eropa, meski demikian memiliki sumber-sumber
kultural Amerika (misalnya seperti aliran Ash Cn, kaum Precisionis, Stuart
David, Edward Hopper, atau Joseph Cornell); ia merangkul, sebaliknya, apa pun
yang bebas dari cap-cap kultural. Singkatnya apa yang merupakan hal baru karena
ia adalah impersonal dan ahistoris, seperti foto-foto majalah atau koran, still
film, citra tv, iklan, boarding[1],
neon-sign, pin-ball, bagasi mobil, kotak penyimpan. Dari titik ini menjadi
jelas bahwa sikap-sikap yang bertentangan yang digambarkan di atas dalam term
pro- dan anti-Amerika, berarti sesuatu yang cukup berbeda dengan simpati atau
antipati kepada suatu bangsa tertentu beserta anggota-anggotanya tapi lebih merupakan
penerimaan atau penolakan atas gaya hidup tertentu yang diterapkan melalui
pertumbuhan drastis dari produki industri dan teknik-teknik komersial,
singkatnya gaya hidup dari apa yang sekarang dikenal sebagai “masyarakat-konsumen.”
Pop Art nyatanya merupakan gaya “masyarakat konsumen” yang utama, yang secara
insidentil, menerangkan kesusesan dan penyebaran yang mendunia. Mensalahtafsirkan
fenomena tersebut sebagai “realisme kapitalis”, seperti yang telah dilakukan
beberapa orang, akan membuatnya sekaligus menjadi lawan dan tandingan dari “realisme
sosial”-nya Eropa Timur. Sejak semula Pop Art, terlepas dari fakta bahwa ia
meminjam hampir seluruh bentuk-bentuk yang ia gunakan dari kehidupan
sehari-hari, termasuk pada kategori realisme. Kita hanya perl mempertimbangkan
karya dari Klaes Oldenburg untuk membenarkan bahwa batas yang memisahkan
realisme dari surealisme dalam Pop Art sulit ditentukan. Terlebih lagi, kita
harus ingat bahwa “realisme sosial” di bentuk sekitar 1934 di USSRatas dasar
diktean birokratis dan otoriter baik mengenai gaya maupun isi. Sekarang, Pop
Art tidak hanya merupakan produk spontan dari inisiatif individual tapi juga
akan salah jika memandangnya sebagai selebrasi dari gaya hidup Amerika dalam
masyarakat konsumen pada umumnya. Atau tidak dapat juga tesis lawannya, yang
seringkali dilontarkan di Eropa demi alasan-alasan rasa bersalah yang rahasia
yang sudah pernah disebutkan, dipertahankan. Pop Art pastinya bukan merupakan
dakwaann atas gaya hidup Amerika atau pun atas budaya media massa atau bahkan
atas kota idealnya kaum teknokrat. Dan jika terdapat dalam gerakan itu suatu
benang merah yang dapat orang sebut sebagai ironik (dan yang—kecuali Peter Saul—dapat
kita kaitkan dengan aliran Chicago, terutama seperti yang diteruskan oleh Jim
Nutt dan Ed Paschke, pada mana kita harus menambahkan peran khas yang dimainkan
oleh Ronald B Kitaj dalam kelahiran Pop Art di Inggris), benang merah ini,
menumbuhkan kepenasaran atau inventif seperti biasa, pastilah tidak dapat
mengklaim sebagai wakil dari ciri-ciri spesifik Pop Art pada umumnya. Karena itu
jika kita menyarankan suatu definisi tentang Pop Art sebagai sebuah gaya dari
masyarakat konsumen, implikasi itu tidak bahwa seniman-seniman Pop bermufakat
[bersatu haluan] atau dengan atau menentangnya, tapi bahwa tema-tema mereka dan
cara perlakuan mereka merupakan akibat langsung dari urbanisasi[2]
dari masyarakat yang telah disebutkan di atas itu. Utang pada lingkungan urban
ini telah membidani di lain pihak pada legenda, yang dipelihara dengan rasa cemburu oleh suatu dandyisme Pop tertentu,
dari suatu sikap tawar hati seniman Pop pada subjeknya, suatu sikap tawar hati
yang beberapa teoritikus telah usulkan dalam prinsip estetis dari “constat”:
yang dengannya si seniman, mereduksi perannya sebagai aparat pencatat (dan
adalah benar bahwa seorang Andy Warhol, misalnya, tidak pernah mampu menghibur
diri karena tidak menjadi sebuah kamera atau tape-recorder) yang harus “menangkap”
semampu dia apa-apa yang merupakan bagian dari citra, gestur, dan suara yang
tak henti-hentinya menerpa dia dan merekonstituir semua itu sejujur yang
dimungkinkan oleh teknik yang dia pilih. Pasifitas exempler seperti itu tidak
dapat tidak membawa kita kembali pada apa yang dipandang sebgai model par excellence dari Pop Art, ready-made-nya Marcel Duchamp.
Sekali lagi di sini kita harus jelaskan: jika
ready-made, seperti yang “didefinisikan” Duchamp dipenghujung 1913, dipandang
sebagai prototip estetik Pop Art, itu tidak sejauh itu karena pengaruhnya
dengan sadar dirasakan oleh para seniman Pop semenjak kelihatannya bahwa hanya
para kreator dari proto-Pop Art Amerika, Jasper Johns dan Robert Rauschenberg,
barangkali juga Jim Dine dan Joe Goode, telah benar-benar memikirkan kontribusi
Duchamp. Apa yang penting adalah signifikansi frofetis dari tindak Duchamp
dalam menaikkan produk konsumen, sebuah barang pabrikan, pada keagungan
artistik: roda sepeda, pengering botol, tempat pipis dan sebagainya, atau
citra-citra yang diproduksi secara massal (ilustrasi kalender, plakat-plakat
iklan, reproduksi dari gambar terkenal). Dengan kata lain, gestur yang, sekitar
periode PD I, tidak bermakna apa-apa kecuali untuk Duchamp sendiri (dengan
Picabia makna dari ready-made telah diplesetkan melalui humor) menjadi dapat
dipahami oleh publik luas 40 atau 50 tahun kemudian, meskipun bukan berarti
tanpa bahawa misunderstanding. Adalah tidak dapat diperdebatkan, misalnya,
bahwa sistematisasi dari pengertian ready-made, yang dilakukan George Brecht
dan Ben berlawanan dengan sejumlah kecil intervensi” pada mana Duchamp berniat
membatasi diri dengan maksud menjaga makna mereka tetap dalam batas-batasnya. Apa
pun yang kita pikirkan tentang interprertasi-interpretasi salah seperti itu,
memperkenalkan ready made ke dalam pembahasan ini memiliki manfaat tidak hanya
memberikan suatu titik acuan yang dapati digunakan tapi juga menolong kita
membedakan dua fase yang cukup berjauuhan dari Pop Art, menurut pada apakah
ready made itu terdiri dari satu objek aktual atau dari citra dari objek
tersebut seperti yang ditampilkan oleh media massa. Meski pun penamaan “Pop
Art” terutama telah dikaitkan dengan yang kedua dari fase ini, pandangan itu
tidak lagi dapat dipertahankan sekarang ini, kelihatan bagi kita, bahwa ia
seharusnya dipandang terpisah dari yang lain yang seringkali meneranginya. Untuk
mempertimbangkan keduanya karena itu, kami menawarkan untuk menggunakan
designasi Pop Art 1 dan Pop Art 2.
Pop Art 1, yang dalam kasus-kasus tertentu dapat
disebut proto-pop art dan dalam kebanyakan kasus Pop Art assemblagis, dicirikan
oleh partisipasi artefak-artefak itu sendiri apakah yang belakangan
diintegrasikan pada karya seni ataukah—sendirian atau digabungkan dengan karya
lain—ia berdiri otonom dan mandiri. Pop Art 1 meliputi sejumlah pendahulu, yang
dimulai dengan Still-life with Chaircaningnya
Picasso (1912), diikuti dengan konstruksi-konstruksinya, ready-made-nya Duchamp,
beberapa karya Picabia, Merzbilder-nya
Schwitters dan “objek-objek surealis” dan “kotak-kotak”nya Joseph Cornell. Akan
tetapi fakta yang tetap ada bahwa Pop Art dalam totalitasnya berbeda dengan
anteseden-antesedennya yang bermacam ragam dalam cara ia memperlihatkan diri
terutama dengan menyadari relasi yang dia bina—melalui perantaraan
barang-barang konsumen—dengan lingkungan urban yang belakangan menabrak
conurbation mayor dari masyarakat industri maju di pertengahan abad 20. Kesadaran
akan relasi seperti itu menghasilkan beragam konsekuensi menurut pada apakah
para seniman—seperti yang merupakan kasus dengan seniman Nouveau Réalisme—secara
total mengabaikan the human drama ataukah, jika tidak, mererka berusaha
mengungkapkannya dengan mempersatukan detritus
urban ke dalam tema-tema mereka; apakah melalu sejenis sublimasi teatrikal kita
menemukan dalam “happening-happening” Kaprow, Oldenburg dan Jim Kline atau
apakah dalam emosi-emosi liar dari Krenholz dan Bruce Cnner. Jika kriteria kita
adalah prioritas historis yang tegas—dalam semua peristiwa di USA—dari Pop Art 1
atau Pop Art 2 (kaum Assemblagis membuat kehadiran mereka dikenal, terutama
pesisirCalifornia di tahun 1950; lukisan-lukisasn gabung awal Rauschenberg
bertanggal dari 1954-55; Oldenburg dan Dine menampilkan happening-happening
berskala besar di tahun 1959), kita digoda untuk menyimpulkan bahwa fase-fase
kaum Assemblagis mempersiapkan jalan bagi fase piktorial atau fase skulptural
yang di New York mulai di tahun 1961. Dia pandang sebagai keseluruhan dan
sedikitnya di budaya New York, suksesi ini berkaitan dengan fakta-fakta
tersebut. Akan tetapi kita mesti hati-hati untuk tidak memikirkannya sebagai
suatu aturan yang ketat dan kaku semenjak banyak kaum Assemblagis, termasuk
beberapa dari yang paling penting, tidak meninggalkan Assemblage sejak saat itu
(lebih jauh lagi, jika Oldenburg dengan bijak memilih beralih ke seni patung,
Rauschenberg tampaknya tidak memperoleh apa-apa dengan membuang lukisan-lukisan
gabung). Seperti itu pula kita seharusnya waspada dalam mencurigai bahwa
terdapat suatu hierarki estetik tertentu yang mempersatukan Pop Art 1 dengan Pop
Art 2. Perbedaan nyata antara dua fase itu barangkali perbedaan metafisis,
barangkali tatanan poetik. Ia sama sekali tidak punya sangkut paut dengan
kualitas estetik.
Pop Art 2, yang dapat dengan sama baiknya disebut Pop
Art piktorial (dan dalam kasus-kasus yang sangat terbatas, skulptural) atau
yang lebih sering disebut Pop Art didasarkan citra dari suatu objek seperti
yang media massa tampilkan—cinema, poster, tv, kartun strip. Foto-foto
suratkabar atau majalah, kartun animasi, dsb. Dengankata lain gaya dari seni
lukis Pop ini memutuskan segala hubungan engan aturan-aturan piktorial yang
sakral dari masa lalu, termasuk Akademisme Fotografis dari abad 19 dan bahkan dengan
gerakan-gerakan yang melangsungkan pemberontakan-pemberontakan seni modern
dengan perwakilannya seperti misalnya Impresionisme, Kubisme, Abstraksi
Geometris, Otomatisme Surealis, dan Ekspresionime Abstrak. Akan tetapi cita
rasa akan suatu sikap dingin tertentu dalam eksekusi membawa Pop Art 2 dekat
dengan Purisme dan karena itulah kenapa Fernard Leger dan seorang pengagum
Amerikanya, Stuart Davis ata, bahkan lebih lagi pada, Precisionis, Demuth dan
Sheeler, para pelukis pabrik, lumbung, dan kapal laut, menemu berkah dalam
pandangan kaum Puris Pop. Sesungguhnya, seringkali terdapat suatu usaha membuktikan
bagya kesukaan mereka pada citra-citra yang disederhanakan dan seringnya mereka
kembali pada karya yang berskala besar, mengkaitkan merekapada suatu derajat
yang tinggi dengan kesibukan-kesibukan dari teman-teman sejaman dan senegara
mereka, Ellsworth Kelly, Kenneth Noland dan Frank Stella, para kreator dari
lukisan abstrak besar dalam mana citra aktual direduksi sampai pada taraf
minimum. Perbandingan seperti itu yang memiliki justifikasi formal tertentu
cenderung menyembunyikan fakta bahwa apa yang merupakan virtue yang paling pokok dari Pop Art adalah agresinya yang disengaja terhadap cita rasa yang baik dan
tradisi artistik masa lalu yang bangsawan, suatu agresi yang mengambil bentuk
tindak melemparimuka publik dengan binatang-binatang yang dibekukan yang Rauschenberg
letakkan pada kanvasnya, lampu-lampu elektrik perunggu-nya Jasper Johns, kaleng
soup Campble’s yang diulang-ulang ad
nauseam oleh Andy Warhol, diagram-diagram Tarian-nya Rosenquist (fox-trot)
atau piring-piring spaghetti, tampuk susu yang dicat-nya Wesselmann dan bibir
wanita yang sedang merokok, pembesaran-pembesaran yang menakjubkan atas
citra-citra komik surat kabar pada mana Lichtenstein memusatkan perhatiannya,
monster bags of chips dan kursi-kursi WC yang “lunak”, dibuat oleh Oldenburg. Bukanlah
bahwa Pop Art dan Pop Art 2, khususnya, mengabaikan dimensi nostalfik, ataupun
tidak menyadari drama dari individu dan tawar hati pada peristiwa-peristiwa
internasional. Kebaruan dan specifitasnya, akan tetapi, terutama memusatkan
perhatian penonton pada objek-objek atau citra-citra yang tidak asing, setelah
menyematkan pada objek-objek dan citra-citra itu dengan daya yang asing. Memanfaatkan
komplisitas ini yang dihasilkan dari referensi sistematis pada elemen-elemen
sehari-hari dan banal dalam “masyarakat konsumen”, para seniman Pop akhirnya
membuka mata juga meyakinkan hati teman sejamannya pada sebuah dunia puisi dengan
memperlihatkan bahwa dari citra-citra yang mereka yakini dengan segala alasan
merupakan citra-citra dari ketawakalan dan konformisme filosofis sosial, dapat
dengan sekonyong-konyong memunculkan kesan-kesan yang sebelumnya tidak pernah
dialami dan, terutama karena sebab itu, revolusioner.
Akan tetapi kita telah menahan diri dari godaan untuk memperlakukan kisah tentang Pop Art New York—the most glorious of all and although it all happened against the backclotch of the most “pop” city in the world—sebagai unik dan tidak dapat dielakkan. Sejak momen ketika karakter internasional ari gerakan ini dikenali, adalah tidak beralasan untuk melihat New York, pada prinsipnya, di atas London atau San Francisco, tanpa menyebut Paris, Roma atau Düsseldorf. Karena siapa yang dapat membuktikan bahwa gaya “masyarakat konsumen“ tidak berutang banyak pada Peter Blake, Konrad Klapheck, Titina Maselli, atau pada Nouveau Réalisme sebagai suatu keseluruhan, seperti pada Rauschenberg, Johns, Rosenquist, dan Wesselmann? Atau tidak juga bahwa kesuksesan itu sendiri tampak bagi kita sebagai suatu kriteria yang mencukupi, terlepas dari fakta bahwa penopang-penopang yang telah menyediakan personalitas artistik ini atau itu tidak dapat diabaikan. Dan jika hal ini hanya benar untuk membiarkan Lichtenstein, Oldenburg, dan Warhol menduduki tempat yang menjadi hak mereka, adalah bahkan lebih tidak dapat dibenarkan untuk menolaknya, misalnya. Pada Marisol, Mel Ramos, atau Marjorie Strider. Para seniman Pop, seperti seniman lain, tidak seharusnya dinilai dengan cara mereka menandai jaman sewaktu mengikuti ramainya suatu trend tapi melalui respon yang tidak tertandingi kecerdikannya, tidak dapat diduga dan orisinil yang mereka buat pada undangan-undangan masyarakat sewaktu mereka berjalan, berlari atau menari.
José Pierre.