Ayat-ayat Api
Kumpulan Sajak
Sapardi Djoko Darmono
Pengantar
Kumpulan sajak ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama berisi sejumlah sajak — yang sudah diubah di sana-sini, yang pernah dimuat dalam Sihir Hujan, Kuala Lumpur, 1984. Bagian kedua adalah sejumlah sajak yang pernah terbit terbatas dalam rangka pembacaan puisi di Pusat Kebudayaan Jepang, 1998. Bagian ketiga adalah sejumlah sajak yang ditulis tahun 1998-1999, belum pernah terbit sebagai buku.
Saya sampaikan terima kasih kepada Pustaka Firdaus yang bersedia menerbitkan buku ini dengan pertimbangan, antara lain, bahwa tahun ini saya — alhamdulilah — sudah berumur 60 tahun.
Ayat
Nol
RUANG INI
kau seolah mengerti: tak ada lubang angin
di ruang terkunci ini
seberkas bunga plastik di atas meja,
asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka
pada halaman pertama
kaucari catatan kaki itu, sia-sia
CATATAN MASA KECIL, 4
Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua
hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar
dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol.
Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat
Kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam
Ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di
Halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya
Dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat
Sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.
Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.
AUBADE
percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,
daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi—
melintas di depan jendela itu
lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pag ini
DI DEPAN PINTU
di depan pintu: bayang-bayang bulan
terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajak pergi
menghitung jarak dengan sunyi
AKU TENGAH MENANTIMU
aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas
awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah
telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi
ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama
GARIS
menyayat garis-garis hitam
atas warna keemasan; di musim apa
Kita mesti berpisah tanpa
membungkukkan selamat jalan?
sewaktu cahaya tertoreh
ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah
debu, bianglala itu,
kabut diriku?
dan garis-garis tajam (berulang
kembali, berulang
ditolakkan) atas latar keemasan
pertanda aku pun hamil. Kau-tinggalkan
PAGI
ketika angin pagi tiba kita seketika tak ada
di mana saja. Di mana saja bayang-bayang gema
cinta kita
yang semalam sibuk menerka-nerka
di antara meja, kursi, dan jendela? Kamar
berkabut setiap saat kita berda,
jam-jam terdiam
sampai kita gaib begitu saja. Ketika angin
pagi tiba tak terdengar “Di mana kita?” —
masing-masing mulai kembali berkelana
cinta yang menyusur jejak Cinta
yang pada kita tak habis-habisnya menerka
SEHABIS PERCAKAPAN
sehabis percakapan pendek
warna-warna menyisih
ke putih; tamasya yang di luar
sia-sia menunggu
KAMAR
ketika kumasuki kamar ini
pasti dikenalnya kembali aku
suara langkahku, nafasku
dan ujung-ujung jari yang dulu menyentuhnya
dan kali ini — pertemuan ini
tanpa jam dinding
begitu saja di suatu sore hari
sewaktu percakapan tak diperlukan lagi
tanpa engahan-engahan pendek
tanpa “malam begitu cepat lalu!”
dan kulihat bibir-bibirnya sembilu
menoreh kenanganku
PERCAKAPAN
lalu ke mana lagi percakapan kita (desah jam
menggigilkan ruangan, kata-kata yang sudah
dikosongkan. Semakin hijau pohonan di luar
sehabis hujan semalaman; semakin merah
bunga-bunga ros di bawah jendela; dan kabut,
dan kabut yang selalu membuat kita lupa)
sehabis hujan, sewaktu masing-masing mencoba
mengingat-ingat nama, jam semakin putih tiktoknya
SAJAK DALAM TIGA BAGIAN
/i/
dingin malamkah ini
yang kukembalikan padamu
sepenuhnya? Warna-warni mendadak gaib
dalam putih. Tinggal sengal
/ii/
di balik rumpun bambu itu aku tersayat m enunggu,
begitu katamu; ah, kau telah menggodaku untuk bunuh diri
kalau kali ini pun palsu
/iii/
bintang-bintang yang dingin itu telah membuatku mabuk,
menyebut-nyebut namamu
angin yang tajam itu telah membuatku mabuk, menyebut-
nyebut namamu
bunga rumput liar itu telah membuatku mabbuk, menyebut-
nyebut namamu
ternyata sudah lama aku berniat membunuhmu, kekal padamu
JARING
maka berpecahan bunga api. Diam pun
(katakan sesuatu, bisikmu) meretas
di antara berkas-berkas nafasmu. Kubayangkan capung
pada jaring laba-laba, pada silangan-silangan cahaya
SUNYI YANG LEBAT
sunyi yang lebat: ujung-ujung jari
sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga
sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung
sunyi yang dikenal sebagai hutan: pohon-pohon yang roboh,
margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para
pemburu mencari jejak pancaindra …
SALAMKU MATAHARI
salamku matahari! Yang membagi-bagikan warna
di laut, di padang-padang yang dilupakan
ketika layar perahu mengigau
tentang bunga ilalang panjang
SEPASANG LAMPU BECA
Untuk Isma Sawitri
ada sepasang lampu beca bernyanyi lirih di muara gang
tengah malam sementara si abang sudah tertidur sebelum
gerimis reda
mereka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tiba-
tiba sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat
itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori-pori
si abang beca lalu mengalir di sela-sela darahnya sehingga ia
merasa sedang bertapa dalam sebuah gua digoda oleh seribu
bidadari yang menjemputnya ke suralaya dan hal selamat tinggal
dunia
Ayat
Arloji
DONGENG MARSINAH
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
(1993-1996)
BUNGA RANDU ALAS
Bunga randu alas itu telah merekah, dan angin
kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di
sana. “Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutatap
bunga itu,” kata angin yang diam-diam terlanjur telah
mencintainya. “Kenapa bukan warna subuh, atau
setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara
sisa.”
Pohon randu alas itu menjulang di kuburan samping
rumah kami; setiap kemarau bunga-bunganya yang
merah suka melengking, bahkan sampai larut malam.
Angin, yang sering terjepit di antara batang bambu, telah
jatuh cinta padanya — hanya Tuhan yang tahu kenapa
jadi begitu.
Angin itu jugalah yang bersijingkat mengantar
lengking bunga itu sampai ke sudut-sudut paling jauh
dalam tidur nyenyakku. Dalam lengking bunga itulah
tersirat lirih suaranya sendiri, “Mengapa bara sisa yang
terbayang, dan bukan kobaran api?”
TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya dari koran, tidak begitu jelas memang,
kenapanya atau bagaimana (bukanlah semuanya
demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan
untuk mencintainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu sasja, hari itu ia mati;
begitu berita yang ada di koran pagi ini —
entah kenapa aku mencintainya
karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran,
tapi aku tak ingat lagi,
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
mati hari itu — dan ada sasja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
merasa was-was akan nasib kita
yang telah meributkan mahasiswa mati.
YANG PALING MENAKJUBKAN
Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.
Kita bisa membayangkannya sebagai jantung
yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel-el darah agar bisa menerobos
urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.
Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata
yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya, “Apa yang Tuan lihat di sana?”
Kita bisa membayangkannya sebagai lidah
yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, entah kapan
pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.
Sungguh, yang paling menakjubkan di dunia kita ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya
sementara orang berhak juga menganggap kita gila.
IKLAN
Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar
hiburan,” kata lelaki itu. “Siaran berita dan cerita itu
sekedar selingan.” Ia tahan seharian di depan televisi.
Istrinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang
kacang atau kentang goreng untuk menemaninya
mengunyah iklan.
Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia
menirukan lagu iklan supermi — kepalanya bergoyang-
goyang dan matanya berbinar-binar. Anak lelakinya
sering memandangnya curiga jika ia tertawa melihat
badut itu mengiklankan sepatu sandal — kakinya digerak-
gerakkannya ke kanan-kiri. Dan istrinya suka tidak
paham jika ia mendadak terbahak-bahak ketika
menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu — dua
tangannya terkepal dan dihentak-hentakkannya.
Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang
terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah
“Hdup Iklan!” Sejak itu istrinya gemar duduk di depan
televisi, bersama anak-anaknya, menebak-nebak iklan
mana gerangan yang menurut dokter itu telah
menyebabkannya begitu bersemangat sehingga
jantungnya mendadak berhenti.
KELERENG
Kalah main, kelerengku tinggal lima butir. Aku anak
laki-laki tidak boleh manangis, kata Ibu. Kupungut
kelereng itu satu demi satu, kumasukkan ke saku. Di
jalan pulang, selalu kuraba-raba sebab khawatir kalau-kalau
ada yang terjatuh dri lubang kantung celanaku.
Ketika mau belajar, selesai makan malam, kudapati
kelerengku berkurang satu. Kutaruh semua yang sisa di
atas meja, tak ada lagi yang bulat sempurnya sebab
seharian berbenturan dengan sesama, tetapi di mana
gerangan kelerengku yang belimbing, yang warnanya
biru? Aku anak laki-laki, tidak berhak menangis, kata
Ibu.
Aku boleh saja tak peduli, tetapi kelerengku yang lain
— yang bintik-bintik, yang belimbing coklat, yang susu,
dan yang loreng merah hijau — akan selalu bertanya
padaku di mana gerangan temannya yang satu itu. Itu
sebabnya aku harus mencarinya, tetapi ke mana aku tak
tahu.
IBU
Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia
adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi
ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah
makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja
dari rrumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian ke
makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang,
menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan
pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia
tahu benar apa yang terjadi.”
Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah
utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka
mengingatkanku untuk menengok makam ayah,
mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah
mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat
sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah
mempercayai segala yang dikatakannya.”
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil
menengok ke luar jendela pesawat udara, sering
kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku
berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di
antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan
terbang dari mega ke mega — dan tidak mondar-mandir
dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan
menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu sangat
sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun sering
dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami
igauan-igauanmu.”
“TIGA SAJAK RINGKAS TENTANG CAHAYA
/1/
Cahaya itu, yang sesat
di antara pencakar langit,
sia-sia mencari
bayang-bayangnya.
“Apakah ada cahaya
yang tanpa bayang-bayang?”
pikirnya,
ketika sore begitu cepat tiba
dan matahari sampai serak
memanggilnya.
Malam hari, begitu banyak
bayang-bayang bersijingkat
di sekitar gedung-gedung tinggi ini.
Mereka berjumpa si Sesat itu
dan berkata, hampir serempak,
“Tapi kau bukan sumberku!”
/2/
Pada suatu hari
sebuah cahaya
yang sangat terang
berniat mencari sumbernya.
Setelah menempuh hutan,
menyusur sungai,
mendaki gunung,
dan meluncur di padang salju
sampailah ia
ke sebuah padang pasir.
Suatu bayang-bayang
yang sangat panjang,
dan sangat hitam, menyambutnya,
“Aku sumbermu,” katanya.
Letih dan lelah, tokoh kita
si cahaya terang itu
berhenti dan berkata ya saja,
meskipun ia curiga
bagaimana bisa di padang pasir
yang begitu luas dan rata
dan tak ada sosok apa pun itu
bisa tercipta bayang-bayang.
/3/
Ketika bangun pagi ini,
kudapati cahaya kecil,
sisa semalam,
bersembunyi di sudut kamarku.
Aku hampir tidak mengenalinya
sampai ketika hampir keluar kamar
ia berkata, “Tutup kembali
pintu itu, cepat,
aku tak tahan mendapati
cahaya di luar itu!”
Tentu saja,
sumber mereka berbeda,
pikirku.
“Siapa bilang begitu!”
hardik cahaya di luar
yang menyilaukan itu.
HAWA DINGIN
dingin malam memang tak pernah mau
menegurmu, dan membiarkanmu telanjang;
berdiri saja ia di sudut itu
dan membentakku, “Ia hanya bayang-bayang!”
“Bukan, ia tulang rusukku,” sahutku
sambil menyaksikannya mendadak menyebar
ke seluruh kamar — yang tersisa tinggal abu
sesudah kita berdua habis terbakar.
ADAM DAN HAWA
biru langit
menjadi sangat dalam
awan menjelma burung
berkas-berkas cahaya
sibuk jalin-menjalin
tanpa pola
angin tersesat
di antara sulur pohonan
di hutan
ketika Adam
tiba-tiba saja
melepaskan diri
dari pelukan perempuan itu
dan susah-payah
berdiri, berkata
“kau ternyata
bukan perawan lagi
lalu Siapa gerangan
yang telah
lebih dahulu
menidurimu?”
“MEMANCING
batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan
ke dalam kolam pemancingan itu
mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan
yang menyambar-nyambar mata kailmu
tapi batu kecil memang bukan ikan
dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu
tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan
sehingga batu itu mendambakan kailmu
batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang
di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran
sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang
di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian
RUANG TUNGGU
ada yang terasa sakit
di pusat perutnya
ia pun pergi ke dokter
belum ada seorang pun di ruang tunggu
beberapa bangku panjang yang kosong
tak juga mengundangnya duduk
ia pun mondar-mandir saja
menunggu dokter memanggilnya
namun mendadak seperti didengarnya
suara yang sangat lirih
dari kamar periksa
ada yang sedang menyanyikan
beberapa ayat kitab suci
yang sudah sangat dikenalnya
tapi ia seperti takut mengikutinya
seperti sudah lupa yang mana
mungkin karena ia masih ingin
sembuh dari sakitnya.
TERBARING
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan ada selembar daun tua
kena angin dan lepas dari tangkainya
melayang ke sana ke mari tanpa tenaga
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan kalian nun di Bukit sana
berebut menangkap daun yang melayang-layang itu
dan penuh rindu menciumnya berulang kali
TIGA SAJAK KECIL
/1/
Pada suatu pagi hari
seorang gadis kecil
mengendarai selembar daun
meniti berkas-berkas cahaya.
“Mau ke mana, Wuk?”
“Ke Selatan situ.”
“Mau apa, Wuk?”
“Menangkap kupu-kupu.”
/2/
Pada suatu siang hari
seorang gadis kecil
belajar menggunting kertas,
gorden, dan taplak meja;
“Guntingan-guntingan ini
indah sekali, akan kujahit
jadi perca merah, hijau, dan biru
bahan baju untuk Ibu.”
/3/
Pada suatu malam hari
seorang gadis kecil
menodong ibunya membaca cerita
nina-bobok sebelum tidur;
“Malam ini Puteri Salju,
kemarin Bawang Putih,
besok Sinderela, ya Bu
biar Pangeran datang menjemputku.”
LAYANG-LAYANG
Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin
memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang,
ia tak boleh diam — menggeleng ke kiri ke kanan,
menukik,
menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain.
Sejak membuatnya dari kertas tipis dan potongan
bambu, anak-anak itu telah menjanjikan pertemuannya dengan
angin.
“Kita akan panggil angin Barat, bukan badai atau petir.
Kita akan minta kambing mengembik, kuda meringkik,
dan sapi melenguh agar angin meniupkan gerak-gerikmu,
mengatur tegang-kendurnya benang itu.” Sejak itu
ia tak habis-habisnya mengagumi angin, terutama ketika
siang
melandai dan aroma sore tercium di atas kota kecil itu.
Dari angkasa disaksikannya kelak-kelok anak sungai,
pohon-pohon jambu, asam jawa, bunga sepatu, lamtara,
gang-gang kecil, orang-orang menimba di sumur tua,
dan satu-dua sepeda melintas di jalan raya.
Ia suka gemas pada angin. Ia telah menghayati sentuhan,
terpaan, dan bantingannya; mungkin itu tanda
bahwa ia telah mencintainya. Ia barulah layang-layang
jika
melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin.
RUMAH OOM YOS
Untuk Mas Gondo
di lereng bukit, rumah itu indah sekali
pekarangannya beberapa ribu meter persegi
dari serambi depan dapat disaksikan
matahari menggiring kabut ke perbukitan
dari serambi belakang: butir-butir embun
jalanan menanjak jalanan menurun
ruang dan kamarnya minta ampun besarnya
penuh barang antik: cermin-cermin tua
keramik, perabotan, sekat-sekat ruangan
lampu gantung entah dari zaman kapan
kepala harimau dan kijang di dinding-dindingnya
jam-burung dan patung-patung Eropa
di luar membentang hamparan rumput
awas, jalan setapak itu agak berlumut
sebelah sana kebun bunga aneka rupa
ada mawar, tentu saja, dan anggrek langka
dekat jalan berliku-liku di sebelah sana
ditanam ubi jalar, ditanam jagung pula
kadang kami suka mendapat rejeki
dikirimi jagung manis dan ubi
kalau si empunya kebetulan mampir
ke rumahnya sendiri, istilahnya: parkir
ya, ia memang jarang pulang ke mari
dalam setahun hanya beberapa hari
soalnya ia punya apartemen di Singapura
di LA dan entah di mana di Eropa
tapi konon ia lebih sering di Hong Kong
jalan-jalan atau sekedar nongkrong
anak-cucunya pun tak punya waktu lagi
mengurus rumah yang astagfirulah ini
sebab sangat amat sibuk sekali
dengan bisnis mereka sendiri-sendiri
di rumah ini sepanjang tahun
ada belasan pembantu dan tukang kebun
yang sudah menyatu dengan aneka unggas
di dalam sangkar, menatap ke alam bebas
AYAT-AYAT TOKYO
/1/
angin memahatkan tiga patah kata
di kelopak sakura —
ada yang diam-diam membacanya
/2/
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu;
“kita bergegas,” katanya
/3/
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan
/4/
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung —
tak tahu mesti ke mana
angin menyambar bunga gugur itu
/5/
lengking sakura —
tapi angin tuli
dan langit buta
/6/
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam —
angin musim semi
AYAT-AYAT KYOTO
/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau — tentu saja
/2/
gerimis musim semi —
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak
/3/
kita sakura —
gugur sebelum musim semi
tak terlacak pula
TUKANG KEBUN
Setelah beberapa kali ketukan,
pintu kubuka; rupanya ada tamu
yang, katanya, menjemputku sore hari ini.
Apakah aku sudah pernah mengenalnya?
Waktu kutanyakan pergi ke mana,
jawabnya ringkas, “Ke sana, ke samudra raya!”
Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:
gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca.
Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan
di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar
menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,
mengurus pagar dan membersihkan rumah.
Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.
Pandanganku tinggal sejengkal,
dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal. T
amu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk.
Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya
siapa gerangan yang telah mengutusnya.
PADA SUATU MAGRIB
Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini;
hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip
JAKARTA Juli 1996
Katamu kemarin telah terjadi
ribut-ribut di sini.
Sisa-sisa pidato, yel, teriakan,
umpatan, rintihan, derum truk,
semprotan air, dan tembakan
masih terekam lirih sekali di got
dan selokan yang mampet.
Aku seperti mengenali suaramu
di sela-ela ribut-ribut yang lirih itu,
tapi sungguh mati aku tak tahu
kau ini sebenarnya sang pemburu
atau hewan yang luka itu.
SAJAK
“Biar kunyalakan lampu, agar tampak jelas
di mana pintu, tempat aku bebas keluar masuk.
Aku laki-laki, kau tahu, tak tentram dalam gelap.”
Perempuan itu diam; mungkin ia lebih suka
menebak-nebak saja apakah yang nafasnya sengit
dan keringatnya anyir itu Arjuna atau Rahwana.
PERTANYAAN KERIKIL YANG GOBLOK
“Kenapa aku berada di sini?”
tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja
dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki,
merontokkan beberapa lembar daun mangga,
menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat,
dan sejenak membuat lengkungan yang indah
di udara, lalu jatuh di jalan raya
tepat ketika ada truk lewat di sana.
Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban
dan malah bertanya kenapa;
ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana,
ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata,
“Mengganggu saja!”
DONGENG KUCING
Lengking klakson dan rem mobil itu
meninggalkan jejak asap knalpot, debu,
dan seekor kucing yang sekarat.
Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil,
lalu suara menghibur seorang ibu
menyelundupkan ajal ke negeri dongeng.
Jalan memang dibangun untuk mobil,
manusia, dan juga — tentu saja — kucing;
tak boleh kita mencurigai campur-tangan-Mu, bukan?
DALAM SETIAP DIRI KITA
Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga
segerombolan serigala.
Di ujung kampung, lewat pengeras suara,
para kyai menanyai setiap selokan,
setiap lubang di tengah jalan,
dan setiap tikungan;
para pendeta menghardik setiap pagar,
setiap pintu yang terbuka,
dan setiap pekarangan.
Gamelan jadi langka. Di keramaian kota
kita mencari burung-burung
yang diusir dari perbukitan
dan suka bertengger sepanjang kabel listrik,
yang mendadak lenyap begitu saja
sejak sering terdengar
suara senapan angin orang-orang berseragam itu.
Entah kena sawan apa, rombongan sulap itu
membakar kota sebagai permainannya.
SEBELUM FAJAR
Beberapa saat sebelum fajar,
sambil buru-buru menyalakan api,
kita suka membayangkan hari ini
dengan dua atau tiga patah kata
yang tak pernah terucapkan.
Sementara anak-anak masih lelap tidur —
di mata mereka yang tertutup
dua atau tiga patah kata itu
bersitahan sabar
menunggu matahari, bukan api.
BUKU CERITA ANAK
Untuk Riris
ketika kami sibuk memperkosa perempuan-perempuan itu
dalam buku cerita para kurcaci sedang berdebar
menyaksikan
Sang Pangeran mencium kening Putri Tidur —
kobaran api itu melepaskan isyarat yang tak ada lagi
kuncinya
SONET: ENTAH SEJAK KAPAN
Entah sejak kapan kita suka gugup
di antara frasa-frasa pongah
di kain rentang yang berlubang-lubang
sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan
di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak
di kain rentang yang ditiup angin,
yang diikat di antara batang pohon
dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela
huruf-huruf kaku yang tindih-menindih
di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan
yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama
rupanya kita suka membayangkan diri kita
menjelma kain rentang koyak-morak itu, sebisanya
bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin.
SAJAK-SAJAK KECIL TENTANG CINTA
/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku
IA TAK PERNAH
ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api
ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon
ia tidak pernah berjanji kepada api
untuk mengembalikan pohon
kepada burung
TENTU. KAU BOLEH
Tentu. Kau boleh saja masuk,
masih ada ruang
di sela-sela butir-butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran
yang tak ditutup rapat;
dan di jalan
sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
air tempias lewat lubang angin,
selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
genting bocor dan aku capek
menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan
percintaan ini.
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.
POHON DI TEPI JALAN
pohon, yang biasa disiram dua kali sehari
yang berdiri sejajar tiang listrik di tepi jalan itu,
tak bosan-bosannya menggoda mobil tua
yang merayap di aspal yang suka meleleh
di bawah matahari; pohon, yang sudah lupa
asal-usulnya, suka menghirup asap knalpot
dan menyebutnya kekasih, sumber kehidupan kota;
kita tak pernah sempat memahami kelakar mereka
SONET: KAU BERTANYA APA
untuk Wing Kardjo
Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih,
di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya
suara orang berkotbah, berceramah, dan berselisih.
Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah,
menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan
rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus,
pohon-pohon tumbang — di dalam kata masih saja
setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis
diusut keterlibatan maknanya. konon, dulu,
di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil,
cericit anak-anak burung, siut daun jatuh,
dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita
saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan.
Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.
Ayat
api
KATA, 1
Matahari, yang akhir-akhir ini jarang sekali kauperhatikan, pagi
ini menerobos celah-celah jendela kamar sampai
ke wajahmu.
“Jam berapa ini?” Sudah pagi. Masih juga belum kautemukan
kata sambung itu. Kau kenal betul setiap kata yang ada
dalam kamus itu, karena ikut
menyusunnya dulu: yang,
karena, dari, atas, terhadap — tetapi bukan semua tu.
Akhirnya kauperhatikan juga matahari itu, dan kau seperti
bertanya sejak kapan ia berada di sana, sejak kapan ia
seperti suka menyalah-nyalahkan kita, sejak kapan ia
menyebabkan kau bertanya, “Jam berapa ini?”
Masalahnya, belum juga kautemukan kata sambung itu. Apakah
kami berhak mengatakan padamu, “Sudahlah!”?
KATA, 2
“Ada sepatah kata bergerak ke sana ke mari jauh dalam dirimu;
biarkan saja, ia tak punya bahasa.”
Tapi ia suka membangunkanku.
“Biarkan saja. Ia toh akhirnya akan menyadari bahwa bukan
yang kaucari, dan akan mengembara lagi jauh dalam
dirimu jika kau terjaga dan tenang kembali.”
Tapi aku tak bisa lagi terjaga.
POKOK KAYU
“suara angin di rumpun bambu
dan suara kapak di pokok kayu,
adakah bedanya, Saudaraku?”
“jangan mengganggu,” hardik seekor tempua
yang sedang mengerami telur-telurnya
di kusut rambut Nuh yang sangat purba
ADA POHON BERNAPAS
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap helaannya seratus burung pulang
mendengar cericit anak-anaknya
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap hembusannya seratus warna bunga
berhamburan menyambut godaan cahaya
AKIK
ada sebutir batu akik diletakkan
pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu
ia sangat tua dan berbintik-bintik hitam
mengkilap setelah puluhan tahun diupam
ia ingin seperti layang-layang, tinggi-tinggi
lalu putus dan diperebutkan anak-anak itu
ia ingin menjadi surat yang dikirim
ke sebuah rumah yang tak begitu jelas alamatnya
tapi ia sebutir batu akik yang diletakkan
pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu
AYAT-AYAT API
/1/
mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
di mana gerangan kemarau, yang malamnya dingin
yang langitnya bersih; yang siangnya menawarkan
bunga randu alas dan kembang celung, yang dijemput angin
di bukit-bukit, yang tidak mudah tersinggung
yang lebih suka menunggu sampai penghujan
dengan ikhlas meninggalkan kampung-kampung
(diusir kerumunan bunga dan kawanan burung)
di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga
yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan
/2/
(kepada Wislawa Szymborska)
seorang anak laki-laki
menoleh ke kiri ke kanan
lalu cepat-cepat menyelinap
dalam kerumunan itu
dan tidak kembali
tiga orang lelaki separo baya
bergegas menyusulnya
dan tidak kembali
lima enam tujuh orang perempuan
meledak bersama dalam api
dan, tentu saja,
tidak kembali
agak ke sebelah sana
di seberang jalan
seorang penjual rokok
membayangkan dirinya duduk
di depan pesawat televisi
takjub menyaksikan
sulapan itu
/3/
ada seorang perempuan
diam saja berdiri
di dekat tukang rokok
di seberang jalan raya itu
ada satpam memperhatikannya
dari ujung gang itu
ada polisi sekilas melihatnya
dari dekat gardu telepon itu
ada anak tetangga sebelah
menyapanya
ada guru sd
yang masih mengenalnya
menepuk bahunya
ada neneknya di rumah
yang sudah suka lupa —
ada suaminya ada anak-anaknya
(yang
mungkin
saja
sedang
memikirkannya
juga)
yang kini
(tentunya
mungkin
moga-moga
saja
tidak!)
berada dalam sebuah toko besar
(atau
tidak
lagi
bisa)
yang sedang terbakar
/4/
“Entah kenapa, pagi ini,
seluruh tubuhku terasa gemetar,
tidak seperti biasanya. Dulu
kau pernah berkata,
kita ini bagai daun tua
gemetar sebelum disapu angin
gemetar karena menguji diri sendiri
apakah kita masih kuat bertahan
di dahan
sebelum angin terakhir
sebelum siang terakhir
sebelum tik-tok terakhir —
tapi sudahlah,
aku toh harus juga ke kantor
sehabis tetek-bengek pagi: segelas kopi,
setangkep roti.
Hari ini akan mendung tanpa hujan,
kata ramalan cuaca.
Aku akan pulang cepat nanti
sebelum makan malam.”
Tapi tukang sulap, entah kenapa,
ternyata punya kehendak lain.
/5/
di antara yang meretas dalam kepala kita
dan api yang berkobar di seberang sana
melandai beberapa patah sabda
di antara yang di kepala, yang berkobar, dan sabda
bergetar ayat-ayat yang kita hapal lafaznya
yang hanya bisa kita tafsir-tafsirkan maknanya
/6/
ada yang menghitung waktu api
dengan bunyi-bunyi aneh
seperti yang pernah kita dengar
ketika masih dalam rahim ibu
ada yang menghitung jam api
dengan isyarat-isyarat ganjil
seperti yang pernah kita kenal
ketika masih dalam kobaran itu
ada yang menghitung detik api
dengan kedap-kedip pelik
seperti yang pernah mereka lihat
ketika orang-orang memakamkan kita
/7/
gambar-gambar
di koran hari ini
godaan
bagi kita
untuk tetap
menyisakan
aneka
kata seru
/8/
di atap rumah seberang jalan
seekor burung gereja mengibas-ngibaskan
sayapnya sehabis gerimis
di pagi (yang bagai mata kena jeruk) itu
kelopak air berguguran ke sana ke mari
sementara di sudut atas gedung itu
di seberang sana, di bekas sarangnya
asap sisa api kemarin masih juga
/9/
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya ia tidak bisa
menjadi fosil
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya kita luluh-lantak
dalam kobarannya
/10/
sore itu akhirnya ia berubah juga
menjadi abu sepenuhnya
sebelum sempat menyadari
bahwa ternyata ada saat untuk istirahat
di antara gundukan-gundukan
yang sulit dipilah-pilahkan
— ah, untuk apa pula
toh segera diterbangkan angin selagi hangat
/11/
di akhir isian panjang itu
tertera pertanyaan
“apa yang masih terisa dari tubuhmu”
isi saja “tak ada”
tapi, o ya, mungkin kenangan
yang tentunya juga sia-sia bertahan
/12/
ia akhirnya menerima perannya
sebagai tokoh khayali; digeser ke sana
ke mari: di halaman koran, di layar televisi,
dan sulapan bunyi-bunyian di radio;
ia pun harus pandai-pandai
menempatkan dirinya dalam deretan
gagasan, peristiwa, dan benda
yang harus segera kita lupakan
/13/
kau tak berhak mengingat apa-apa lagi
dekat perbatasan kaurogoh ktp-mu — tapi untuk apa pula
kau akan menyeberangi kenyataan terakhir
sesudah bentukmu diubah sama sekali
kau tak lagi memerlukan apa pun: sisir, sepatu,
pakaian seragam, bahkan ingatan akan penyeberangan ini
duduklah baik-baik, kau tak berhak mondar-madir lagi
tak berhak punya maksud apa pun: ini bukan lakon Anoman
Obong
/14/
kami memang sangat banyak
astagfirulah
menumpuk di dekat sampah
tak sempat diangkut
tergoda minyak
habis terbakar
kami memang sangat banyak
astagfirulah
/15/
waktu upacara hampir usai kau tak ingat
bahwa kuburan di kampung sudah penuh
mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa
adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami
(1998-1999)
TENTANG DIRI SENDIRI
Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah, pada tanggal 20 Maret 1940. Ia tinggal di Ngadijayan, kampungnya Pangeran Hadiwijaya, kira-kira 500 meter dari W.S. Rendra dan B. Sutiman yang tinggal di Kampung Patangpuluhan, dan sekitar 500 metr dari Bakdi Soemanto dan Sugiarta Sriwibawa yang tinggal di Kampung Kratonan — tetapi ketika itu ia sama sekali tidak mengenal “calon-calon” penyair tersebut. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Kraton “Kasatriyan” tempat ia bergaul dengan para putra pangeran, sementara di rumah ia menikmati kehidupan sebagai anak kampung dengan menghabiskan msa kecilnya bermain benthik, gobaksodor, dhelikan, jamuran, cari belut, main jailangkung, adu jangkrik, main kelereng, main layang-layang, dan bal-balan di gang sempit atau di Alun-alun Selatan. Suasana perjuangan yang berlangsung sampai dengan tahun 1949, yang kadang-kadang berupa pemboman oleh pesawat terbang Belanda dan dar-dor di malam hari oleh pejuang kita, seperti tidak mempengaruhi keasyikan masa kanaknya.
Selain itu ia juga suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang waktu itu banyak terdapat di kotanya. Di sana ia mengenal dunia rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo Djauhar Arifin, William Saroyan. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain—di samping berbagai jenis komikseperti yang diciptakan oleh R.A. Kosasih. Ia, bersama adik satu-satunya, bahkan pernah “mengusahakan” persewaan komik bagi anak-anak di kampungnya. Masa kanak itu berlangsung seperti lama sekali dan tak akan penah selesai, sampai mendadak pada tahun 1957 rumah warisan keluarganya dijual dan keluarganya pindah ke pinggir kota di sebelah utara, di desa yang waktu itu belum berlistrik dan suasana desa-kampungnya diwarnai rumpun bambu, kicau urung, bunga sepatu, air kali, dan bedhidhing kalau kemarau. Sama sekali berbeda dengan Ngadijayan yang di pusat kota dan senantiasa hiruk pikuk itu. Waktu itu ia duduk di kelas dua SMA. Dan waktu itu pulalah ia mulai menulis puisi, tidak pernah berhenti sampai sekarang.
Sejak itu waktu bagai melesat, berlalu cepat sekali, berbeda dengan masa kanaknya. Selepas SMA ia belajar di Yogya. Di masa mahasiswa ia suka main drama, main musik, siaran sastra di radio, menerjemahkan, dan terus nulis puisi. Lulus dari UGM ia cepat-cepat berumah tangga, bekerja sebagai guru di Madiun, Solo, dan Semarang. Belajar sebentar di Amerika, lalu pindah ke Jakarta pada tahun 1973. Pada tahun itu juga ia diminta membantu Australian Film Commission membuat du film semi dokumenter mengenai dampak modernisasi bagi kehidupan keluarga di Bali dan Solo, masing-masing selama dua bulan. Ia pernah mondar-mandir Jakarta-Semarang selama hampir dua tahun, mengajar di Universitas Dipenogoro dan menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil bekerja di majalah Horison ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra UI dan terus menulis sambil mencari tambahan nafkah sebagai penerjemah dan juri pelbagai sayembara penulisan, lomba baca puisi, dan festival teater.
Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, pelaksana harian Pusat Dokumentasi H.B. Yassin, dan pengurus RT. Ia pun pernah menjadi anggota redaksi majalah Basis di Yogya, country editor untuk Tenggara, jurnal sastra Asia Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur, dan correspondent untuk Indonesia Circle, jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies, University of London. Setelah bekerja selam 20 tahun, ia mengundurkan diri dari Horison dan kemudian membantu Kalam, sebuah jurnal kebudayaan. Bersama-sama Subagio Sastrowardojo, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan John H. McGlynn ia mendirikan Yayasan Lontar yang terutama bergerak di bidang penerbitan terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris. Bersama rekan-rekannya di FSUI ia mendirikan Yayasan Puisi, yang menerbitkan jurnal Puisi, yang sekarang ini mengalami kesulitan dana tetapi moga-moga saja ada yang membantu agar bisa hidup lagi untuk selama-lamanya. Amin.
Meskipun sudah menerbitkan sajak-sajaknya di majalah sejak tahun 1957, Sapardi baru menerbitkan kumpulan sajak pada tahun 1969, berjudul Duka-Mu abadi. Penerbitan itu sepenuhnya ditanggung oleh pelukis Jeihan, temannya keluyuran sejak SMA. Pada tahun 1974 terbit Mata Pisau dan Akuarium, tahun 1983 terbit Perahu Kertas, tahun 1984 Sihir Hujan, tahun 1994 Hujan Bulan Juni, dan tahun 1998 Arloji. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Arab, Hindi, Cina, Jepang, Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Bali, dan Jawa. Sejumlah sajaknya diterbitkan dalam bahasa Inggris, berjudul Suddenly the Night. Jika selam usia likuran ia sangat subur, ternyata semakin tua ia merasa semakin terbata-bata menulis puisi — meskipun tetap saja menulis puii, mungkin sebab itulah pekerjaan tetapnya yang tidak memberinya nafkah. Namun, karena menulis puisi ia diundang baca puisi ke mana-mana di Eropa, Asia, dan Australia. Dan ia senang ketika salah sebuah sajaknya dikutip oleh Perdana Menteri India, Narasimha Rao, dalam pidatonya di sebuah KTT Nonblok, ketika sejumlah (mantan) mahasiswanya menggunakan beberapa sajaknya untuk disusun menjadi nyanyian, ketika salah satu sajak yang dinyanyikan itu dijadikan lagu tema dalam film Gagrin Nugroho Cinta dalam Sepotong Roti, ketika sajak yang sama itu muncul pula sejumlah undangan kawin, kalender, poster, t-shirt, dan bloknot. Setidaknya ia merasa tidak sia-sia telah menulis dalam bahasa Indonesia karena ternyata ada saja yang membaca dan memanfaatkannya, meskipun kadang-kadang ia bertanya-tana mengapa tidak menulis puisi dalam bahasa Jawa, bahasa ibunya.
Sapardi juga suka menulis berbagai jenis esai dan karangan ilmiah, terutama untuk dicampaikan di seminar-seminar. Karangan-karangannya jenis itu yang dibukukan antara lain Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) di samping dalam sejumlah antologi karangan bersama. Kesukaannya menerjemahkan telah menghasilkan beberapa buku antara lain Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak Geroge Seferis, Mendorong Jack Kunti-kunti; Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah (terjemahan dari :Song of Lawino” dan “Song of Ocol” oleh Okot p’Bitek), Lelaki tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway) Daisy Manis (Daisy Miller, Henry James), Codot di Pohon Kemerdekaan (kumpulan cerpen Albert Wendt dari Samoa), Tiga Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra (Mourning becomes Electra, drama trilogi Eugene O’Neill), Shakuntala, dan Amarah (The Grapes of Wrath, John Steinbeck). Bersama rekan-rekannya di FSUI ia menerjemahkan karya Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Sejumlah terjemahannya yang sudah diterbitkan di majalah dan koran atau dipentaskan, tetapi belum dibukukan, antara lain Pembunuhan di Katedral (Murder in the Chatedral, T.S. Elliot) Singa dan Permata (The Lion and The Jewel, Wole Soyinka), Brown sang Dewa Agung (The Great God Brown, O’Nell), Asap Musim Panas (Summer and Smoke, Tenessee Williams), Di Bawah Langit Afrika (kumpulan cerpen Afrika), dan sejumlah besar sajak, drama pendek, dan cerpen.
Kegiatannya di bidang karang-mengarang telah memberinya beberapa penghargaan, yakni Cultural Award (1978) dari Austrlia, Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand, Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah RI. Kegiatannya sebagai guru menghasilkan gelar doktor dan guru besar, di samping beberapa jabatan struktural antara lain Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999). Ia juga mengetuai bidang humaniora di Majlis Penelitian Pendidikan Tinggi dan menjadi anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Ia tinggal di Perumahan Dosen UI di Ciputat.***