yang tak pernah berhenti pada sampai
Kesimpulan:
Sosiologi Pengetahuan dan Teori Sosiologi
Hingga di sini kami telah mencoba memberikan penjelasan umum dan sistematik
mengenai peran pengetahuan dalam masyarakat. Kiranya sudah jelas bahwa analisa-analisa
kami itu belum menjelaskan seluruh persoalan. Tetapi, kami berharap bahwa upaya
kami untuk mengembangkan sebuah teori yang sistematik bagi sosiologi pengetahuan
akan mendorong pembahasan yang kritis dan penyelidikan-penyelidikan yang empiris.
Mengenai satu hal kami merasa yakin. Suatu pendefinisian kembali mengenai masalah-masalah
dan tugas-tugas sosiologi pengetahuan sudah sejak lama diperlukan. Harapan kami,
analisa kami ini menunjukkan jalan bagi upaya-upaya selanjutnya agar bisa berhasil.
Namun demikian, konsepsi kami tentang sosiologi pengetahuan juga mengandung
beberapa implikasi umum bagi teori sosiologi dan kegiatan-kegiatan dalam bidang
sosiologi pada umumnya, dan memberikan suatu perspektif yang berbeda mengenai
sejumlah bidang perhatian sosiologis yang spesifik.
Analisa-analisa tentang objektivasi, pelembagaan (institusionalisasi) dan legitimasi,
dapat diterapkan secara langsung pada masalah-masalah sosiologi bahasa, teori
tentang tindakan dan lembaga-lembaga (institusi) sosial, dan sosiologi agama.
Pemahaman kami tentang sosiologi pengetahuan membawa kami pada kesimpulan bahwa
sosiologi bahasa dan sosiologi agama tidak dapat dianggap sebagai bidang-bidang
periferal yang tidak begitu penting bagi teori sosiologi itu sendiri, melainkan
dapat memberikan sumbangan yang sanagt penting kepadanya. Pemahaman seperti
ini bukanlah hal yang baru. Pemahaman seper-
-264-
ti itu sudah terdapat pada Durkheim dan mazhabnya, tetapi kemudian dilupakan
orang karena berbagai sebab yang dari segi teoritis tidak relevan. Harapan kami,
dengan ini kami telah berhasil menjelaskan bahwa sosiologi pengetahuan mengandaikan
terlebih dulu suatu sosiologi bahasa, dan bahwa sosiologi pengetahuan tanpa
sosiologi agama tidaklah mungkin (dan sebaliknya). Selain itu, kami percaya
bahwa kami telah berhasil menunjukkan bagaimana posisi-posisi teoritis Weber
dan Durkheim dapat digabungkan menjadi suatu teori yang komprehensif tentang
tindakan sosial tanpa kehilangan logika intinya. Akhirnya, kami ingin mengemukakan
pendapat bahwa perkaitan yang menurut kesimpulan kami di sini terdapat antara
sosiologi pengetahuan dan inti teoritis dari pemikiran mead dan mazhabnya mengisyaratkan
adanya suatu kemungkinan yang menarik bagi apa yang mungkin bisa dinamakan suatu
psikologi sosiologis. Artinya, suatu psikologi yang memperoleh perspektif-perspektif
dasarnya dari suatu pemahaman sosiologis tentang kondisi manusia. Pernyataan-pernyataan
yang dikemukakan dalam hubungan ini menunjuk pada suatu program yang tampaknya
mengandung harapan dari segi teori.
Secara lebih umum lagi, kami ingin mengemukakan pendapat bahwa analisa peran
pengetahuan dalam dialektika antara individu dan masyarakat, antara identitas
pribadi dan struktur sosial, memberikan suatu perspektif pelengkap yang sangat
penting bagi semua bidang sosiologi. Dengan ini kami sama sekali tidak bermaksud
mengingkari bahwa analisa-analisa yang struktural semata-mata tentang fenomena-fenomena
sosial sudah memadai sepenuhnya bagi bidang-bidang penyelidikan sosiologis yang
luas, mulai dari penelitian kelembagaan besar yang kompleks, seperti ekonomi
atau politik. Maksud kami tak lain menyarankan agar "sudut pandang"
(angle) sosiologi pengetahuan harus selalu dimasukkan ke dalam semua
analisis itu. Dalam banyak kasus hal itu tidak diperlukan untuk dapat mencapai
tujuan kognitif yang sudah ditetapkan bagi penelitian-penelitian itu. Tetapi
yang kami sarankan adalah bahwa pengintegrasian hasil analisa-analisa tersebut
ke dalam perangkat teori
-265-
sosiologi menuntut lebih dari sekedar pengakuan sambil lalu yang mungkin bisa
diberikan pada "faktor manusiawi" di balik data struktural yang terungkap.
Pengintegrasian seperti itu menuntut suatu penjelasan yang sistematik mengenai
hubungan dialektik antara kenyataan-kenyataan struktural dan kegiatan manusia
membangun kenyataan-dalam sejarah.
Dengan menulis buku ini, kami tidak bermaksud melibatkan diri dalam polemik.
Namun, kiranya bodoh untuk menyangkal bahwa kami sangat menahan diri antusiasme
kami terhadap keadaan teori sosiologi dewasa ini. Pertama-tama, kami telah berupaya
menunjukkan, melalui analisa kami mengenai hubungan timbal-balik antara proses-proses
kelembagaan dan universum-universum simbolik yang memberikan legitimasi, mengapa
kita harus memandang versi-versi yang baku dari penjelasan-penjelasan paham
fungsionalis dalam ilmu-ilmu sosial sebagai suatu permainan sulap dengan teori.
Selain itu, kami harap bahwa suatu sosiologi yang struktural semata-mata secara
endemik sedang berada dalam bahaya untuk mereifikasikan fenomena-fenomena sosial.
Kalau pun ia mulai dengan sikap rendah hati dan memberikan kepada konstruksi-konstruksinya
status heuristik semata-mata, terlalu sering ia pada akhirnya mengacaukan konsepsionalisasi-konsepsionalisasinya
sendiri dengan hukum-hukum universum.
Berbeda sekali dengan beberapa di antara cara-cara berteori yang dominan dalam
sosiologi masa kini, gagasan-gagasan yang kami coba kembangkan tidak
mengandaikan suatu "sistem sosial" yang ahistoris ataupun suatu
"kodrat manusia" yang ahistoris. Cara pendekatan yang kami gunakan
di sini adalah nonsosiologistik dan nonpsikologistik. Kami tidak bisa menyetujui
pendapat bahwa objek sosiologi adalah apa yang dinamakan "dinamika"
dari "siste-sistem" sosial dan psikologis, yang secara post facto
ditempatkan dalam suatu hubungan yang menyangsikan (secara sambil lalu dapat
dikemukakan bahwa perjalanan intelektual yang ditempuh oleh kedua istilah itu
patut dijadikan suatu telaah kasus dalam sosiologi pengetahuan yang empiris).
-266-
Pemahaman mengenai dialektika antara kenyataan sosial dan eksistensi individu
dalam sejarah, sama sekali bukanlah soal baru. Ia, sudah barang tentu, telah
dimasukkan dengan cara yang sangat ampuh ke dalam pemikiran sosial modern oleh
Marx. Tetapi yang diperlukan adalah suatu perspektif yang dialektik dalam orientasi
teoritis ilmu-ilmu sosial. Tak perlu dikatakan lagi kiranya bahwa yang kami
maksudkan bukanlah semacam upaya untuk memasukkan secara doktriner gagasan-gagasan
Marx ke dalam teori sosiologi. Demikian pula tidak ada artinya untuk hanya menyatakan
bahwa dialektika sebagaimana yang disebutkan diatas, memang ada dalam fakta
dan secara umum. Yang diperlukan adalah untuk bertolak dari pernyataan seperti
itu menuju suatu pemaparan secara terinci dari proses-proses dialektika itu
di dalam suatu kerangka konsep yang selaras dengan tradisi-tradisi besar dalam
pemikiran sosiologi. Sekadar berbicara dengan kata-kata yang muluk mengenai
dialektika, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh kaum Marxis doktriner, bagi
seorang sosiolog tentunya akan tampak sebagai satu bentuk lain dari ketidaktahuan.
Namun demikian, kami yakin bahwa hanya suatu pemahaman tentang apa yang oleh
Marcel Mauss dinamakan "keseluruhan fakta sosial" (total social
fact) akan dapat melindungi sosiolog terhadap reifikasi-reifikasi sosiologisme
dan psikologisme yang mengakibatkan distorsi. Dengan latar belakang situasi
intelektual itulah, di mana bahaya ganda itu sangat nyata, kami ingin tulisan
kami ini dipahami.
Upaya-upaya kami ini sifatnya teoritis. Walau demikian, teori-dalam disiplin
empiris yang manapun-harus relevan dengan cara yang ganda bagi "data"
yang didefinisikan berhubungan dengan disiplin itu. Ia haruslah selaras dengan
data itu, dan ia harus begitu rupa sehingga mendorong penyelidikan empiris lebih
lanjut. Di sini terdapat satu bidang masalah empiris yang luas sekali yang terbuka
bagi sosiologi pengetahuan. Di sini bukan tempatnya untuk menyajikan suatu daftar
yang kami anggap sebagai yang paling menarik di antara masalah-masalah itu,
apalagi untuk mengemukakan hipotesa-hipotesa yang spesifik. Kami telah mengemukakan
beberapa petunjuk tentang apa
-267-
yang kami maksudkan dalam beberapa di antara ilustrasi-ilustrasi argumen teoritis
kami. Di sini kami hanya ingin menambahkan bahwa, dalam pandangan kami, penelitian
empiris mengenai hubungan antara lembaga-lembaga dan universum-universum simbolik
yang melegitimasikannya akan sangat meningkatkan pemahaman sosiologis mengenai
masyarakat masa kini. Dalam bidang ini masalah-masalahnya banyak sekali. Masalah-masalah
itu menjadi kabur dan bukannya menjadi jelas apabila kita berbicara tentang
masyarakat masa kini dari segi "sekularisasi", "jaman ilmu pengetahuan",
"masyarakat massa"; atau-sebaliknya-dari segi "individu yang
otonom", "penemuan apa yang tidak disadari", dan sebagainya.
Istilah-istilah itu hanya menunjukkan sangat luasnya masalah yang menuntut penjelasan
secara ilmiah. Kita mungkin akan mengakui dengan cepat bahwa manusia Barat masa
kini, pada umumnya, hidup didalam suatu dunia yang sangat berbeda dengan dunia
sebelumnya. Namun demikian, apa artinya yang sesungguhnya, dari segi kenyataan,
yang objektif dan subjektif, di mana manusia-manusia itu menjalani kehidupan
mereka sehari-hari dan di mana krisis-krisis mereka terjadi, masih sangat jauh
dari jelas. Penelitian empiris mengenai masalah-masalah itu, yang berbeda dengan
spekulasi yang sedikit-banyaknya masuk akal, baru saja dimulai. Harapan kami,
penjelasan-penjelasan yang telah kami coba di sini akan menunjuk pada msalah-masalah
bagi penelitian semacam itu yang dengan mudah diabaikan dalam perspektif-perspektif
teoritis lainnya. Sekadar satu contoh, perhatian ilmuwan sosial yang sekarang
diberikan terhadap teori-teori yang diperoleh dari psikoanalisa akan memperoleh
warna yang sangat berbeda begitu teori-teori itu tidak dipandang, secara negatif
atau positif, sebagai proposisi-proposisi "ilmu pengetahuan", melainkan
dianalisa sebagai legitimasi dari suatu konstruksi kenyataan yang sangat khas
dan mungkin sangat penting dalam masyarakat modern. Analisa seperti itu, dengan
sendirinya akan menempatkan, di antara tanda kurung, pertanyaan tentang "validitas
ilmiah" teori-teori itu, dan hanya memandangnya sebagai data bagi suatu
pemahaman mengenai kenyataan subjektif dan objektif dari mana
-268-
data itu telah muncul dan yang, pada gilirannya, mereka pengaruhi.
Kami dengan sengaja tidak menelusuri lebih lanjut implikasi-implikasi metodologis
dari konsepsi kami mengenai sosiologi pengetahuan. Namun demikian, sudah jelas
kiranya, bahwa cara pendekatan kami itu adalah non-positivistik, jika positivisme
diartikan sebagai suatu posisi filosofis yang mendefinisikan objek ilmu-ilmu
sosial dengan cara yang begitu rupa sehingga mengesampingkan masalah-masalahnya
yang paling penting. Walaupun demikian, kami tidak meremehkan jasa "positivisme"-dalam
pengertian yang luas-dalam mendefinisikan kembali aturan-aturan penyelidikan
empiris bagi ilmu-ilmu sosial.
Sosiologi pengetahuan memahami kenyataan manusia sebagai kenyataan yang dibangun
secara sosial. Karena konstitusi kenyataan-secara tradisional-merupakan suatu
masalah yang sentral bagi filsafat, maka pemahaman ini mempunyai implikasi-implikasi
filosofis tertentu. Sejauh ada satu kecenderungan yang kuat bagi masalah ini,
dengan segala pertanyaan yang terlibat di dalamnya, untuk diremehkan dalam filsafat
masa kini, maka sosiolog mungkin akan menemukan dirinya, arangkali dengan perasaan
sangat heran, sebagai ahli waris dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang oleh
filosof-filosof profesional tidak lagi dianggap penting. Dalam berbagai bagian
dari tulisan ini, khususnya dalam analisa tentang landasan-landasan pengetahuan
dalam kehidupan sehari-hari serta dalam pembahasan tentang objektivasi dan pelembagaan
dalam kaitannya dengan perkiraan biologis eksistensi manusia, kami telah memberikan
beberapa petunjuk tentang sumbangan yang mungkin diberikan oleh pemikiran yang
berorientasi sosiologis pada antropologi filosofis.
Ringkasnya, konsepsi kami mengenai sosiologi pengetahuan mengimplikasikan suatu
konsepsi yang spesifik mengenai sosiologi pada umumnya. Ia tidak mengimplikasikan
bahwa sosiologi bukan ilmu pengetahuan, bahwa metode-metodenya harus lain dari
metode empiris, atau bahwa ia tidak bisa "bebas nilai". Yang diimplikasikannya
adalah bahwa sosiologi menduduki tempatnya bersama-sama dengan ilmu-ilmu
pengetahuan
-269-
yang menganggap manusia sebagai manusia; bahwa ia, dalam arti spesifik
itu, merupakan suatu disiplin yang humanistik. Suatu konsekuensi yang penting
dari konsepsi ini adalah bahwa sosiologi harus dikembangkan dalam suatu percakapan
yang terus menerus dengan sejarah dan filsafat jika tidak ingin kehilangan objek
penyelidikannya yang semestinya. Objeknya itu adalah masyarakat sebagai bagian
dari suatu dunia manusiawi, yang dibuat oleh manusia, dihuni oleh manusia, dan-pada
akhirnya-membuat manusia berada dalam suatu proses historis yang berlangsung
terus menerus. Hal itu bukanlah buah hasil yang paling tidak berarti dari suatu
sosiologi humanistik yang menghidupkan kembali ketakjuban kita atas fenomena
yang sangat mengherankan itu.