Peter L. Berger & Thomas Luckmann,
Tafsir Sosial atas Kenyataan:

Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan

yang tak pernah berhenti pada sampai


 

Kesimpulan:
Sosiologi Pengetahuan dan Teori Sosiologi

Hingga di sini kami telah mencoba memberikan penjelasan umum dan sistematik mengenai peran pengetahuan dalam masyarakat. Kiranya sudah jelas bahwa analisa-analisa kami itu belum menjelaskan seluruh persoalan. Tetapi, kami berharap bahwa upaya kami untuk mengembangkan sebuah teori yang sistematik bagi sosiologi pengetahuan akan mendorong pembahasan yang kritis dan penyelidikan-penyelidikan yang empiris. Mengenai satu hal kami merasa yakin. Suatu pendefinisian kembali mengenai masalah-masalah dan tugas-tugas sosiologi pengetahuan sudah sejak lama diperlukan. Harapan kami, analisa kami ini menunjukkan jalan bagi upaya-upaya selanjutnya agar bisa berhasil.
Namun demikian, konsepsi kami tentang sosiologi pengetahuan juga mengandung beberapa implikasi umum bagi teori sosiologi dan kegiatan-kegiatan dalam bidang sosiologi pada umumnya, dan memberikan suatu perspektif yang berbeda mengenai sejumlah bidang perhatian sosiologis yang spesifik.
Analisa-analisa tentang objektivasi, pelembagaan (institusionalisasi) dan legitimasi, dapat diterapkan secara langsung pada masalah-masalah sosiologi bahasa, teori tentang tindakan dan lembaga-lembaga (institusi) sosial, dan sosiologi agama. Pemahaman kami tentang sosiologi pengetahuan membawa kami pada kesimpulan bahwa sosiologi bahasa dan sosiologi agama tidak dapat dianggap sebagai bidang-bidang periferal yang tidak begitu penting bagi teori sosiologi itu sendiri, melainkan dapat memberikan sumbangan yang sanagt penting kepadanya. Pemahaman seperti ini bukanlah hal yang baru. Pemahaman seper-


-264-
ti itu sudah terdapat pada Durkheim dan mazhabnya, tetapi kemudian dilupakan orang karena berbagai sebab yang dari segi teoritis tidak relevan. Harapan kami, dengan ini kami telah berhasil menjelaskan bahwa sosiologi pengetahuan mengandaikan terlebih dulu suatu sosiologi bahasa, dan bahwa sosiologi pengetahuan tanpa sosiologi agama tidaklah mungkin (dan sebaliknya). Selain itu, kami percaya bahwa kami telah berhasil menunjukkan bagaimana posisi-posisi teoritis Weber dan Durkheim dapat digabungkan menjadi suatu teori yang komprehensif tentang tindakan sosial tanpa kehilangan logika intinya. Akhirnya, kami ingin mengemukakan pendapat bahwa perkaitan yang menurut kesimpulan kami di sini terdapat antara sosiologi pengetahuan dan inti teoritis dari pemikiran mead dan mazhabnya mengisyaratkan adanya suatu kemungkinan yang menarik bagi apa yang mungkin bisa dinamakan suatu psikologi sosiologis. Artinya, suatu psikologi yang memperoleh perspektif-perspektif dasarnya dari suatu pemahaman sosiologis tentang kondisi manusia. Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dalam hubungan ini menunjuk pada suatu program yang tampaknya mengandung harapan dari segi teori.
Secara lebih umum lagi, kami ingin mengemukakan pendapat bahwa analisa peran pengetahuan dalam dialektika antara individu dan masyarakat, antara identitas pribadi dan struktur sosial, memberikan suatu perspektif pelengkap yang sangat penting bagi semua bidang sosiologi. Dengan ini kami sama sekali tidak bermaksud mengingkari bahwa analisa-analisa yang struktural semata-mata tentang fenomena-fenomena sosial sudah memadai sepenuhnya bagi bidang-bidang penyelidikan sosiologis yang luas, mulai dari penelitian kelembagaan besar yang kompleks, seperti ekonomi atau politik. Maksud kami tak lain menyarankan agar "sudut pandang" (angle) sosiologi pengetahuan harus selalu dimasukkan ke dalam semua analisis itu. Dalam banyak kasus hal itu tidak diperlukan untuk dapat mencapai tujuan kognitif yang sudah ditetapkan bagi penelitian-penelitian itu. Tetapi yang kami sarankan adalah bahwa pengintegrasian hasil analisa-analisa tersebut ke dalam perangkat teori


-265-
sosiologi menuntut lebih dari sekedar pengakuan sambil lalu yang mungkin bisa diberikan pada "faktor manusiawi" di balik data struktural yang terungkap. Pengintegrasian seperti itu menuntut suatu penjelasan yang sistematik mengenai hubungan dialektik antara kenyataan-kenyataan struktural dan kegiatan manusia membangun kenyataan-dalam sejarah.
Dengan menulis buku ini, kami tidak bermaksud melibatkan diri dalam polemik. Namun, kiranya bodoh untuk menyangkal bahwa kami sangat menahan diri antusiasme kami terhadap keadaan teori sosiologi dewasa ini. Pertama-tama, kami telah berupaya menunjukkan, melalui analisa kami mengenai hubungan timbal-balik antara proses-proses kelembagaan dan universum-universum simbolik yang memberikan legitimasi, mengapa kita harus memandang versi-versi yang baku dari penjelasan-penjelasan paham fungsionalis dalam ilmu-ilmu sosial sebagai suatu permainan sulap dengan teori. Selain itu, kami harap bahwa suatu sosiologi yang struktural semata-mata secara endemik sedang berada dalam bahaya untuk mereifikasikan fenomena-fenomena sosial. Kalau pun ia mulai dengan sikap rendah hati dan memberikan kepada konstruksi-konstruksinya status heuristik semata-mata, terlalu sering ia pada akhirnya mengacaukan konsepsionalisasi-konsepsionalisasinya sendiri dengan hukum-hukum universum.
Berbeda sekali dengan beberapa di antara cara-cara berteori yang dominan dalam sosiologi masa kini, gagasan-gagasan yang kami coba kembangkan tidak mengandaikan suatu "sistem sosial" yang ahistoris ataupun suatu "kodrat manusia" yang ahistoris. Cara pendekatan yang kami gunakan di sini adalah nonsosiologistik dan nonpsikologistik. Kami tidak bisa menyetujui pendapat bahwa objek sosiologi adalah apa yang dinamakan "dinamika" dari "siste-sistem" sosial dan psikologis, yang secara post facto ditempatkan dalam suatu hubungan yang menyangsikan (secara sambil lalu dapat dikemukakan bahwa perjalanan intelektual yang ditempuh oleh kedua istilah itu patut dijadikan suatu telaah kasus dalam sosiologi pengetahuan yang empiris).


-266-
Pemahaman mengenai dialektika antara kenyataan sosial dan eksistensi individu dalam sejarah, sama sekali bukanlah soal baru. Ia, sudah barang tentu, telah dimasukkan dengan cara yang sangat ampuh ke dalam pemikiran sosial modern oleh Marx. Tetapi yang diperlukan adalah suatu perspektif yang dialektik dalam orientasi teoritis ilmu-ilmu sosial. Tak perlu dikatakan lagi kiranya bahwa yang kami maksudkan bukanlah semacam upaya untuk memasukkan secara doktriner gagasan-gagasan Marx ke dalam teori sosiologi. Demikian pula tidak ada artinya untuk hanya menyatakan bahwa dialektika sebagaimana yang disebutkan diatas, memang ada dalam fakta dan secara umum. Yang diperlukan adalah untuk bertolak dari pernyataan seperti itu menuju suatu pemaparan secara terinci dari proses-proses dialektika itu di dalam suatu kerangka konsep yang selaras dengan tradisi-tradisi besar dalam pemikiran sosiologi. Sekadar berbicara dengan kata-kata yang muluk mengenai dialektika, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh kaum Marxis doktriner, bagi seorang sosiolog tentunya akan tampak sebagai satu bentuk lain dari ketidaktahuan. Namun demikian, kami yakin bahwa hanya suatu pemahaman tentang apa yang oleh Marcel Mauss dinamakan "keseluruhan fakta sosial" (total social fact) akan dapat melindungi sosiolog terhadap reifikasi-reifikasi sosiologisme dan psikologisme yang mengakibatkan distorsi. Dengan latar belakang situasi intelektual itulah, di mana bahaya ganda itu sangat nyata, kami ingin tulisan kami ini dipahami.

Upaya-upaya kami ini sifatnya teoritis. Walau demikian, teori-dalam disiplin empiris yang manapun-harus relevan dengan cara yang ganda bagi "data" yang didefinisikan berhubungan dengan disiplin itu. Ia haruslah selaras dengan data itu, dan ia harus begitu rupa sehingga mendorong penyelidikan empiris lebih lanjut. Di sini terdapat satu bidang masalah empiris yang luas sekali yang terbuka bagi sosiologi pengetahuan. Di sini bukan tempatnya untuk menyajikan suatu daftar yang kami anggap sebagai yang paling menarik di antara masalah-masalah itu, apalagi untuk mengemukakan hipotesa-hipotesa yang spesifik. Kami telah mengemukakan beberapa petunjuk tentang apa


-267-
yang kami maksudkan dalam beberapa di antara ilustrasi-ilustrasi argumen teoritis kami. Di sini kami hanya ingin menambahkan bahwa, dalam pandangan kami, penelitian empiris mengenai hubungan antara lembaga-lembaga dan universum-universum simbolik yang melegitimasikannya akan sangat meningkatkan pemahaman sosiologis mengenai masyarakat masa kini. Dalam bidang ini masalah-masalahnya banyak sekali. Masalah-masalah itu menjadi kabur dan bukannya menjadi jelas apabila kita berbicara tentang masyarakat masa kini dari segi "sekularisasi", "jaman ilmu pengetahuan", "masyarakat massa"; atau-sebaliknya-dari segi "individu yang otonom", "penemuan apa yang tidak disadari", dan sebagainya. Istilah-istilah itu hanya menunjukkan sangat luasnya masalah yang menuntut penjelasan secara ilmiah. Kita mungkin akan mengakui dengan cepat bahwa manusia Barat masa kini, pada umumnya, hidup didalam suatu dunia yang sangat berbeda dengan dunia sebelumnya. Namun demikian, apa artinya yang sesungguhnya, dari segi kenyataan, yang objektif dan subjektif, di mana manusia-manusia itu menjalani kehidupan mereka sehari-hari dan di mana krisis-krisis mereka terjadi, masih sangat jauh dari jelas. Penelitian empiris mengenai masalah-masalah itu, yang berbeda dengan spekulasi yang sedikit-banyaknya masuk akal, baru saja dimulai. Harapan kami, penjelasan-penjelasan yang telah kami coba di sini akan menunjuk pada msalah-masalah bagi penelitian semacam itu yang dengan mudah diabaikan dalam perspektif-perspektif teoritis lainnya. Sekadar satu contoh, perhatian ilmuwan sosial yang sekarang diberikan terhadap teori-teori yang diperoleh dari psikoanalisa akan memperoleh warna yang sangat berbeda begitu teori-teori itu tidak dipandang, secara negatif atau positif, sebagai proposisi-proposisi "ilmu pengetahuan", melainkan dianalisa sebagai legitimasi dari suatu konstruksi kenyataan yang sangat khas dan mungkin sangat penting dalam masyarakat modern. Analisa seperti itu, dengan sendirinya akan menempatkan, di antara tanda kurung, pertanyaan tentang "validitas ilmiah" teori-teori itu, dan hanya memandangnya sebagai data bagi suatu pemahaman mengenai kenyataan subjektif dan objektif dari mana


-268-
data itu telah muncul dan yang, pada gilirannya, mereka pengaruhi.
Kami dengan sengaja tidak menelusuri lebih lanjut implikasi-implikasi metodologis dari konsepsi kami mengenai sosiologi pengetahuan. Namun demikian, sudah jelas kiranya, bahwa cara pendekatan kami itu adalah non-positivistik, jika positivisme diartikan sebagai suatu posisi filosofis yang mendefinisikan objek ilmu-ilmu sosial dengan cara yang begitu rupa sehingga mengesampingkan masalah-masalahnya yang paling penting. Walaupun demikian, kami tidak meremehkan jasa "positivisme"-dalam pengertian yang luas-dalam mendefinisikan kembali aturan-aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial.
Sosiologi pengetahuan memahami kenyataan manusia sebagai kenyataan yang dibangun secara sosial. Karena konstitusi kenyataan-secara tradisional-merupakan suatu masalah yang sentral bagi filsafat, maka pemahaman ini mempunyai implikasi-implikasi filosofis tertentu. Sejauh ada satu kecenderungan yang kuat bagi masalah ini, dengan segala pertanyaan yang terlibat di dalamnya, untuk diremehkan dalam filsafat masa kini, maka sosiolog mungkin akan menemukan dirinya, arangkali dengan perasaan sangat heran, sebagai ahli waris dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang oleh filosof-filosof profesional tidak lagi dianggap penting. Dalam berbagai bagian dari tulisan ini, khususnya dalam analisa tentang landasan-landasan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari serta dalam pembahasan tentang objektivasi dan pelembagaan dalam kaitannya dengan perkiraan biologis eksistensi manusia, kami telah memberikan beberapa petunjuk tentang sumbangan yang mungkin diberikan oleh pemikiran yang berorientasi sosiologis pada antropologi filosofis.
Ringkasnya, konsepsi kami mengenai sosiologi pengetahuan mengimplikasikan suatu konsepsi yang spesifik mengenai sosiologi pada umumnya. Ia tidak mengimplikasikan bahwa sosiologi bukan ilmu pengetahuan, bahwa metode-metodenya harus lain dari metode empiris, atau bahwa ia tidak bisa "bebas nilai". Yang diimplikasikannya adalah bahwa sosiologi menduduki tempatnya bersama-sama dengan ilmu-ilmu pengetahuan


-269-
yang menganggap manusia sebagai manusia; bahwa ia, dalam arti spesifik itu, merupakan suatu disiplin yang humanistik. Suatu konsekuensi yang penting dari konsepsi ini adalah bahwa sosiologi harus dikembangkan dalam suatu percakapan yang terus menerus dengan sejarah dan filsafat jika tidak ingin kehilangan objek penyelidikannya yang semestinya. Objeknya itu adalah masyarakat sebagai bagian dari suatu dunia manusiawi, yang dibuat oleh manusia, dihuni oleh manusia, dan-pada akhirnya-membuat manusia berada dalam suatu proses historis yang berlangsung terus menerus. Hal itu bukanlah buah hasil yang paling tidak berarti dari suatu sosiologi humanistik yang menghidupkan kembali ketakjuban kita atas fenomena yang sangat mengherankan itu.

 

back , back to siluetkomix

Free Web Hosting