Peter L. Berger & Thomas Luckmann,
Tafsir Sosial atas Kenyataan:

Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan

 

yang tak pernah berhenti pada sampai


 

Bab 3 Masyarakat Sebagai Kenyataan Subjektif


Internalisasi Kenyataan
Sosialisasi Primer

 


Oleh karena masyarakat berada baik sebagai kenyataan objektif maupun subjektif, maka setiap pemahaman teoritis yang memadai mengenai masyarakat harus mencakup kedua aspek itu. Seperti telah kami kemukakan, aspek-aspek itu memperoleh pengakuan yang semestinya apabila masyarakat dipahami dari segi suatu proses dialektis yang berlangsung terus-menerus dan terdiri dari tiga momen: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Sejauh yang menyangkut fenomen masyarakat, momen-momen itu tidak dapat dipikirkan sebagai berlangsung dalam suatu urutan waktu. Yang benar adalah bahwa masyarakat dan tiap bagian darinya secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen itu, sehingga setiap analisa yang hanya dari satu atau dua segi dari ketiga momen itu, tidak memadai. Hal itu juga berlaku bagi anggota masyarakat secara individual, yang secara serentak mengeksternalisasi keberadaannya sendiri ke dalam dunia sosial dan menginternalisasinya sebagai suatu kenyataan objektif. Dengan kata lain, berada dalam masyarakat berarti berpartisipasi dalam dialektika itu.
Namun demikian, individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia dilahirkan dengan suatu pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas, dan ia menjadi anggota masyarakat. Karena itu, dalam kehidupan setiap individu, memang ada suatu urutan waktu, dan selama itu ia diimbas ke dalam partisipasi dalam dialektika masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah


-186-
internalisasi: pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna; artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subjektif bagi saya sendiri. Ini tidak berarti bahwa saya memahami orang lain itu secara memadai. Malahan saya bisa saja memahami dia secara keliru: ia sedang tertawa dalam suatu ledakan histeria, tapi saya memahami gelak tawanya itu sebagai ungkapan rasa gembira. Namun demikian, subjektivitasnya itu tersedia secara objektif bagi saya dan menjadi bermakna bagi saya, tak peduli apakah ada kesesuaian antara proses subjektifnya dan proses subjektif saya. Kesesuaian sepenuhnya antara kedua makna subjektif, dan pengetahuan timbal balik mengenai kesesuaian itu, mengandaikan terbentuknya pengertian, seperti yang telah kita bahas sebelum ini. Tetapi internalisasi dalam arti umum yang digunakan di sini mendasari baik pengertian maupun bentuk-bentuknya yang lebih kompleks. Secara lebih tepat lagi, internalisasi dalam arti yang umum ini merupakan dasar, pertama bagi pemahaman mengenai sesama saya dan, kedua, bagi pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. [1]
Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai dengan individu "mengambil alih" dunia di mana sudah ada orang lain. Sesungguhnya "pengambilalihan" itu sendiri, sampai tingkat tertentu, merupakan satu proses awal bagi setiap organisme manusiawi; dan setelah "diambil alih", dunia itu bisa dimodifikasikan secara kreatif atau-yang lebih kecil kemungkinannya-malahan diciptakan kembali. Bagaimanapun juga, dalam bentuk internalisasi yang kompleks, saya tidak hanya "memahami" proses-proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat, saya "memahami" dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia saya sendiri. Ini mengandaikan bahwa ia dan saya mengalami kebersamaan dalam waktu dengan cara

+-187-
yang lebih dari sekadar sepintas lalu dan suatu perspektif komprehensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif. Sekarang kami masing-masing tidak hanya memahami definisi dari pihak lainnya tentang situasi-situasi yang dialami bersama, kami juga mendefinisikan situasi-situasi itu secara timbal balik. Suatu hubungan motivasi tercipta antara kami dan menjangkau ke masa depan. Yang paling penting, sekarang terdapat suatu pengidentifikasikan timbal balik yang berlangsung terus menerus antara kami. Kami tidak hanya hidup dalam dunia yang sama, tetapi kami masing-masing berpartisipasi dalam keberadaan pihak lainnya.
Baru setelah mencapai taraf internalisasi ini, individu menjadi anggota masyarakat. Proses ontogenetik untuk mencapai taraf itu adalah sosialisasi, yang dengan demikian dapat didefinisikan sebagai pengimbasan individu secara komprehensif dan konsisten ke dalam dunia objektif suatu masyarakat atau salah satu sektornya. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu dia menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru dunia objektif masyarakatnya. Di sini kita bisa mengesampingkan persoalan yang khusus tentang cara memperoleh pengetahuan tentang dunia objektif berbagai masyarakat di luar masyarakat di mana kita kita pertama-tama menjadi anggotanya, dan proses menginternalisasikan dunia seperti itu sebagai kenyataan-suatu proses yang memperlihatkan, setidak-tidaknya secara sepintas, persamaan-persamaan tertentu dengan sosialisasi primer maupun sekunder, namun yang dari segi strukturnya berbeda dengan kedua-duanya.[2]
Dengan segera tampak dengan jelas, bahwa sosialisasi primer biasanya merupakan sosialisasi yang paling penting bagi individu, dan bahwa struktur dasar dari semua sosialisasi sekunder ha-
+-188-
rus mempunyai kemiripan dengan struktur dasar primer. Tiap individu dilahirkan ke dalam suatu struktur sosial yang objektif di mana ia menjumpai orang-orang yang berpengaruh dan yang bertugas mensosialisasikannya.[3] Orang-orang yang berpengaruh itu ditentukan begitu saja baginya. Definisi tentang situasi dirinya ditetapkan baginya sebagai suatu kenyataan objektif. Dengan demikian, ia dilahirkan tidak hanya ke dalam suatu struktur sosial yang objektif tetapi juga ke dalam suatu dunia sosial objektif. Orang-orang yang berpengaruh yang mengantarai dunia dengan dirinya, memodifikasi dunia itu selama proses pengantaraan berlangsung. Mereka memilih aspek-aspek dari dunia itu yang sesuai dengan lokasi mereka sendiri dalam struktur sosial, dan juga atas dasar watak-watak khas individual mereka yang berakar dalam biografi mereka masing-masing. Dunia sosial "disaring" sebelum sampai kepada individu melalui penyeleksian ganda ini. Dengan demikian, anak dari keluarga kelas bawah tidak hanya menyerap suatu perspektif kelas bawah mengenai dunia sosial, ia juga menyerapnya dalam warna yang khas (idiosinkratik) yang diberikan kepadanya oleh orang tuanya (atau individu-individu lain yang bertugas dalam sosialisasi primernya). Perspektif kelas bawah itu dapat pula menanamkan padanya suatu sikap puas, pasrah, benci yang mendalam, atau sikap berontak yang menggejolak. Karena itu, anak keluarga kelas bawah itu pada akhirnya tidak hanya akan menghuni suatu dunia yang sangat berbeda dengan yang dihuni oleh anak keluarga kelas atas, tetapi juga akan melakukan hal itu dengan cara yang berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh anak keluarga kelas bawah yang tinggal di sebelah.[4]
Kiranya tak perlu ditambahkan bahwa sosialisasi primer melibatkan lebih dari belajar secara kognitif semata-mata. Ia berlangsung dalam kondisi-kondisi yang bermuatan emosi yang tinggi. Sesungguhnya, ada alasan kuat untuk percaya bahwa tanpa hubungan emosional seperti itu dengan orang-orang yang
+-189-
berpengaruh, maka proses belajar itu akan menjadi sulit, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin sama sekali.[5] Si anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang yang mempengaruhinya dengan berbagai cara emosional. Apa pun cara itu, internalisasi hanya berlangsung dengan berlangsungnya identifikasi. Si anak mengoper peranan dan sikap orang-orang yang mempengaruhinya, artinya, ia menginternalisasi dan menjadikannya peranan sikapnya sendiri. Dan melalui identifikasi dengan orang-orang yang berpengaruh itu si anak menjadi mampu untuk mengidentifikasi dirinya sendiri, uantuk memperoleh suatu identitas yang secara subjektif koheren dan masuk akal. Dengan kata lain, diri itu merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mula-mula diambil oleh orang-orang yang berpengaruh terhadap (entitas) diri itu;[6] individu menjadi sebagaimana ia disapa oleh orang-orang yang berpengaruh padanya. Ini bukan suatu proses yang mekanistis dan sepihak. Ia melibatkan suatu dialektika antara identifikasi oleh orang lain dan identifikasi oleh diri sendiri, antara identitas yang diberikan secara objektif dan identitas yang diperoleh secara subjektif. Dialektika, yang berlangsung setiap saat individu mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yang berpengaruh, merupakan semacam partikularisasi dalam kehidupan individu dari dialektika umum masyarakat yang telah kita bahas.
Meskipun rincian-rincian dari dialektika ini, tentu saja, sangat penting bagi psikologi sosial, kita akan melampaui tujuan kita yang sekarang apabila kita membahas lebih lanjut implikasi-implikasinya bagi teori psikologi sosial.[7] Yang paling penting
-190-
bagi pembahasan kita di sini adalah fakta bahwa individu tidak hanya mengoper peranan-peranan dan sikap-sikap dari orang lain, tetapi dalam proses itu juga mengoper dunia mereka. Sesungguhnya, identitas secara objektif didefinisikan sebagai lokasi (tempat keberadaan) di dalam suatu dunia tertentu dan dapat diperoleh secara subjektif hanya bersama-sama dengan dunia itu. Dengan kata lain, semua identifikasi berlangsung di dalam cakrawala-cakrawala yang menunjukkan suatu dunia sosial tertentu. Anak belajar mengetahui bahwa ia adalah nama yang diberikan kepadanya. Tiap nama mengisyaratkan suatu nomenklatur (tatanama), yang pada gilirannya menyingkapkan suatu lokasi sosial yang ditunjukkan.[8] Diberi suatu identitas berarti juga diberi suatu tempat tertentu di dunia. Sementara identitas berarti juga diberi suatu tempat tertentu di dunia. Sementara identitas itu dimiliki secara subjektif oleh si anak "Saya adalah John Smith"), maka begitu pula halnya dengan dunia yang ditunjuk oleh identitas itu. Pemilikan identitas secara subjektif dan pemilikan dunia sosial secara subjektif hanya merupakan aspek-aspek yang berlainan dari proses internalisasi yang sama yang diperantarai oleh orang-orang yang berpengaruh yang itu-itu juga.
Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya. Sebagai contoh, dalam proses internalisasi norma-norma terdapat suatu langkah maju dari "Ibu sedang marah kepadaku sekarang" ke "Ibu marah kepadaku tiap kali aku menumpahkan sup". Sementara orang-orang yang berpengaruh lainnya (ayah, nenek, kakak perempuan, dan sebagainya) mendukung sikap ibu yang negatif terhadap perbuatan menumpahkan
-191-
sup itu, maka keumuman norma itu diperluas secara subjektif. Langkah yang menentukan terjadi apabila si anak menyadari bahwa setiap orang tidak menyetujui perbuatan menumpahkan sup, dan norma itu digeneralisasi menjadi "Orang tidak boleh menumpahkan sup"-dimana "orang" itu adalah dia sendiri sebagai bagian dari orang banyak yang pada hakekatnya mencakup segenap masyarakat sejauh masyarakat itu bermakna bagi si anak. Abstraksi dari berbagai peranan dan sikap orang-orang yang secara kongkrit berpengaruh dinamakan orang lain pada umumnya (generalized other).[9] Pembentukannya dalam kesadaran berarti bahwa individu sekarang mengidentifikasikan dirinya tidak hanya dengan orang-orang lain yang kongkrit, melainkan dengan orang-orang lain pada umumnya; artinya, dengan masyarakat. Hanya berkat identifikasi yang digeneralisasi inilah maka identifikasi dirinya sendiri memperoleh kestabilan dan kesinambungan. Sekarang ia mempunyai tidak hanya suatu identitas tertentu dengan orang berpengaruh yang ini atau yang itu, tetapi suatu identitas secara umum, yang secara subjektif dipahami sebagai tetap tak berubah, tak peduli orang-orang lain yang bagaimana, yang berpengaruh atau tidak, yang dijumpai. Identitas yang baru menjadi koheren ini memasukkan ke dalam dirinya semua peranan dan sikap yang beranekaragam dan yang telah diinternalisasi-termasuk, antara lain, identifikasi-diri sebagai orang yang tidak menumpahkan sup.

Terbentuknya orang lain pada umumnya dalam kesadaran menandai suatu fase yang menentukan dalam sosialisasi. Ia mencakup internalisasi masyarakat sebagai masyarakat dan kenyataan objektif yang sudah terbentuk di dalamnya, dan pada waktu yang sama, terbentuknya secara subjektif suatu identitas yang koheren dan sinambung. Masyarakat, identitas dan kenyataan diwujudkan secara subjektif dalam proses internalisasi yang sama. Kristalisasi ini berlangsung bersamaan dengan internalisasi bahasa. Sesungguhnyalah dengan alasan-alasan yang su-


-192-
dah jelas dari pemahaman kita sebelumnya tentang bahasa, bahasa merupakan isi dan alat yang paling penting dari sosialisasi.
Apabila orang lain pada umumnya sudah terwujud dalam kesadaran, maka terbentuklah suatu hubungan yang simetris antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif. Yang nyata "di luar" sesuai dengan yang nyata "di dalam". Kenyataan objektif dengan mudah dapat "diterjemahkan" ke dalam kenyataan subjektif, dan sebaliknya. Bahasa, sudah tentu merupakan wahana utama dari proses penerjemahan yang berlangsung terus-menerus dalam kedua arah itu. Namun demikian perlu ditekankan bahwa simetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif tidak bisa sempurna. Kedua kenyataan bersesuaian satu sama lain, tetapi tidak koekstensif, selalu "tersedia" lebih banyak kenyataan objektif daripada apa yang benar-benar diinternalisasi ke dalam kesadaran tiap individu, semata-mata karena isi sosialisasi ditentukan oleh distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Tidak ada individu yang menginternalisasikan keseluruhan dari apa yang diobjektivasi sebagai kenyataan dalam masyarakatnya, juga tidak seandainya masyarakat dan dunianya merupakan masyarakat dan dunia yang relatif sederhana. Di pihak lain, selalu terdapat unsur-unsur dari kenyataan subjektif yang tidak berasal dari sosialisasi, seperti kesadaran mengenai badan saya sendiri sebelum dan terlepas dari setiap pemahamannya yang dipelajari secara sosial. Biografi subjektif tidak sepenuhnya bersifat sosial. Individu memahami dirinya sendiri sebagai sekaligus berada di dalam dan diluar masyarakat.[10] Ini berarti bahwa simetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif tidak pernah merupakan satu keadaan yang statis dan tak berubah untuk selama-lamanya. Ia selalu harus diproduksi dan direproduksi in actu. Dengan kata lain, hubungan antara individu dan dunia sosial yang objektif merupakan semacam aktual penyeimbangan yang berlangsung terus-menerus. Akar-akar antropologinya, tentunya, adalah sama dengan apa


-193-
yang telah kita bahas dalam kaitan dengan posisi manusia yang istimewa dalam dunia hewan.
Dalam sosialisasi primer tidak ada masalah identifikasi. Orang-orang yang berpengaruh tidak dapat dilpilih. Masyarakat menyediakan sekelompok orang-orang berpengaruh tertentu bagi sosialisasi seorang anak, yang harus ia terima sebagaimana adanya tanpa kemungkinan untuk memilih sekelompok yang lain. Hic Rhodus, hic salta … saya harus menyesuaikan diri kepada orang tua yang diberikan kepada saya oleh nasib. Nasib yang tidak adil yang melekat pada situasi keberadaan seorang anak mengandung konsekuensi yang sudah jelas bahwa walaupun si anak itu tidak hanya pasif saja dalam proses sosialisasinya, namun orang-orang dewasalah yang menentukan aturan mainnya. Si anak bisa melakukan permainan itu dengan antusiasme atau dengan ogah-ogahan. Tetapi, sialnya, tak ada permainan yang lain baginya. Ini mempunyai satu akibat pasti yang penting. Oleh karena si anak tidak punya pilihan lain dalam menentukan pengaruh-pengaruhnya, maka pengidentifikasian dirinya dengan mereka berlangsung secara kuasi-otomatis. Dengan sebab yang sama, internalisasi kenyataan tertentu dalam diri mereka oleh si anak juga merupakan sesuatu yang kuasi-tak-terelakkan. Si anak menginternalisasi dunia orang-orang yang berpengaruh itu tidak sebagai satu diantara banyak dunia yang mungkin. Ia menginternalisasinya sebagai dunia satu-satunya, sebagai satu-satunya dunia yang ada dan yang bisa dipahami, sebagai dunia out court. Karena itulah maka dunia yang diinternaisasikan dalam sosialisasi primer jauh lebih kuat tertanam dalam kesadaran dibandingkan dengan dunia-dunia yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder. Betapapun makna ketidak-terelakkan yang semula itu mungkin diperlemah dengan kekecewaan-kekecewaan yang dialami kemudian, namun ingatan kembali akan suatu kepastian yang tak pernah akan terulang lagi-kepastian tentang fajar pertama dunia kenyataan-akan tetap melekat pada dunia pertama masa kanak-kanak. Dengan demikian maka sosialisasi primer melaksanakan apa yang (apabila kita melihat ke masa lampau, tentunya) dapat dipandang sebagai tipuan yang paling penting yang dilakukan oleh masyarakat terha-



-194-
dap individu-yakni menampilkan kepada individu sebagai suatu keharusan apa yang dalam kenyataannya hanya merupakan sekumpulan hal-hal yang tidak niscaya, dan dengan demikian memberi makna kepada kelahirannya yang hanya merupakan peristiwa kebetulan.
Sudah tentu isi-isi khusus yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Tetapi ada juga yang di mana-mana sama. Yang pertama-tama sekali harus diinternalisasi adalah bahasa. Dengan bahasa, dan dengan perantaraannya, berbagai skema motivasi dan interpretasi diinternalisasi sebagai sudah didefinisikan secara kelembagaan-umpamanya, ingin bersikap sebagai anak laki-laki yang berani, dan dengan mengandaikan bahwa anak-laki-laki itu secara alamiah sudah terbagi ke dalam yang berani dan pengecut. Skema-skema ini memberikan kepada si anak program-program yang sudah dilembagakan bagi kehidupan sehari-hari; di antaranya ada yang berlaku langsung baginya, dan yang lain mengantisipasi tindak-tanduk yang ditentukan secara sosial bagi tahap-tahap biografis yang kemudian-keberanian yang akan memungkinkannya untuk melalui hari yang penuh dengan berbagai ujian kemauan oleh kelompok sesamanya dan oleh semua kelompok orang lainnya, dan juga keberanian yang akan dituntut dari seseorang di kemudian hari-apabila ia, umpamanya, diinisiasi sebagai prajurit, atau apabila ia, siapa tahu, dipanggil oleh dewa. Program-program itu, baik yang langsung berlaku maupun yang masih diantisipasi untuk masa mendatang, membedakan identitas seseorang dari indentitas orang lain-seperti gadis-gadis, anak-anak budak, atau anak-anak dari clan lain. Akhirnya, ada penginternalisasian perangkat legitimasi, setidak-tidaknya unsur-unsur dasarnya; si anak belajar tahu "mengapa" program-program itu harus begitu. Orang harus berani karena ia ingin menjadi laki-laki sejati; orang harus melakukan berbagai ritual karena jika tidak maka para dewa akan marah; orang harus setia kepada kepala suku karena hanya dengan begitu para dewa akan membantunya dalam keadaan-keadaan bahasa; dan sebagainya.
Maka, dalam sosialisasi primerlah, dunia pertama individu terbentuk. Kekukuhannya yang khas dapat dijelaskan, setidak-


-195-
tidaknya untuk sebagian, oleh hubungan individualnya yang tak terelakkan dengan orang-orang yang pertama sekali mempengaruhinya. Dunia masa kanak-kanak, dalam kenyataannya yang gamblang, dengan demikian mendorong timbulnya rasa percaya tidak hanya bagi pribadi-pribadi orang yang berpengaruh, tetapi juga terhadap definisi mereka tentang situasi. Dunia masa kanak-kanak adalah benar-benar nyata dan tak disangsikan lagi.[11] Barangkali memang harus demikian pada tahap ini, dalam perkembangan kesadaran. Baru di kemudian hari, individu mampu mengenyam kemewwahan berupa, setidak-tidaknya, rasa sangsi barang sedikit. Dan bolehjadi keharusan adanya suatu kenyataan pertama (protorealism) ini dalam pemahaman dunia berlaku baik dari segi filogenetis maupun segi ontogenetis.[12] Bagaimanapun juga, dunia masa kanak-kanak terbentuk begitu rupa sehingga menanamkan dalam diri individu suatu struktur kesadaran di mana ia dapat menaruh kepercahaan bahwa 'everythings is all right'-untuk meminjam kalimat yang mungkin paling sering diucapkan seorang ibu kepada anaknya yang sedang menangis. Penemuan individu di belakang hari bahwa ada hal-hal yang sama sekali tidak "all right" mungkin akan sangat atau tidak begitu mengejutkan, tergantung kepada kondisi biografisnya, tetapi bagaimanapun juga dunia masa kanak-kanak agaknya akan tetap mempunyai kenyataan yang khas apabila orang mengenang kembali masa lampaunya. Ia tetap merupakan "home world" (dunia rumah sendiri) bagaimanapun jauhnya orang meninggalkannya dalam kehidupan di kemudian hari, apabila ia merantau ke daerah-daerahdi mana ia sama sekali tidak merasa seperti di rumah sendiri.
Sosialisasi primer menyangkut tahap-tahap belajar yang ditentukan secara sosial. Pada usia A si anak harus belajar X, pada usia B ia harus belajar Y, dan seterusnya. Program-program itu masing-masing menyangkut suatu pengakuan sosial mengenai adanya pertumbuhan dan diferensiasi biologis. Dengan demikian


-196-
maka tiap program, dalam tiap masyarakat, harus mengakui bahwa anak yang berusia satu tahun tidak dapat diharapkan untuk belajar seperti anak yang berusia tiga tahun. Begitu pula, kebanyakan program agaknya akan didefinisikan persoalannya dengan cara yang berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Sudah tentu, pengakuan yang minimal seperti itu dipaksakan kepada masyarakat oleh fakta-fakta biologis. Tetapi selebihnya terdapat keanekaragaman sosio-historis yang besar dalam pandangan tentang tahap-tahap belajar. Yang dalam satu masyarakat masih dipandang sebagai masa kanak-kanak, dalam masyarakat masih dipandang sebagai masa kanak-kanak, dalam masyarakat lainnya mungkin saja dipandang sebagai sudah benar-benar termasuk masa dewasa. Dan implikasi sosial dari masa kanak-kanak bisa sangat bervariasi dari masyarakat ke masyarakat-umpamanya, dilihat dari segi sifat-sifat emosional, tanggung jawab moral, atau kemampuan intelektual. Peradaban Barat masa kini (setidak-tidaknya sebelum adanya gerakan Freudian) cenderung untuk memandang anak-anak secara kodrati "tak berdosa" dan "manis"; masyarakat-masyarakat lain menganggap mereka secara kodrati "berdosa dan kotor", dan hanya berbeda dengan orang dewasa dari segi kekuatan dan pemahaman saja. Demikian pula ada berbagai variasi yang serupa dalam memandang anak-anak, dari segi kemampuan untuk melakukan kegiatan seksual, untuk bertanggung jawab atas perbuatan jahat, untuk menerima ilham dari para dewa dan sebagainya. Keanekaragaman seperti itu dalam pandangan sosial tentang masa kanak-kanak dan tahap-tahapnya sudah jelas akan mempengaruhi program belajar.[13]
Sifat sosialisasi primer juga dipengaruhi oleh berbagai persyaratan dalam pengalihan cadangan pengetahuan. Legitimasi tertentu mungkin menuntut tingkat kompleksitas linguistik yang lebih tinggi bagi pehamahamannya dibandingkan dengan legitimasi lainnya. Kita dapat menduga, umpamanya, bahwa seorang anak kecil tidak akan memerlukan begitu banyak kata-kata untuk mengerti bahwa ia tidak boleh melakukan masturba-


-197-
si karena perbuatan itu akan membuat malaikat pelindungnya menjadi marah dibandingkan dengan apa yang ia perlukan untuk memahami argumen bahwa masturbasi akan pengganggu penyesuaian seksualnya di kemudian hari. Tuntutan-tuntutan tatanan kelembagaan secara keseluruhan selanjutnya akan mempengaruhi sosialisasi primer. Ketrampilan yang berbeda diperlukan pada usia yang berbeda dalam masyarakat yang satu dibandingkan dengan masyarakat lainnya, atau malahan dalam sektor-sektor yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Tingkat usia di mana, dalam satu masyarakat, mungkin dianggap sudah semestinya bagi seorang anak untuk bisa mengendarai sebuah mobil, dalam masyarakat yang lain mungkin merupakan tingkat usia di mana ia diharapkan sudah membunuh musuhnya yang pertama. Seorang anak dari keluarga kelas atas mungkin akan belajar "fakta-fakta kehidupan" pada satu tingkat usia di mana seorang anak keluarga kelas rendahan telah menguasai dasar-dasar teknik pengguguran kandungan. Atau, seorang anak keluarga kelas atas mungkin mengalami gejolak emosi patriotiknya yang pertama kira-kira pada saat di mana rekannya dari kelas rendahan untuk pertama kalinya mengalami rasa benci terhadap polisi dan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan polisi.

Sosialisasi primer berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya (dan segala sesuatu yang menyertainya) telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik ini ia sudah merupakan anggota efektif masyarakat dan secara sumbjektif memiliki suatu diri dan sebuah dunia. Tetapi internalisasi masyarakat, identitas dan kenyataan ini tidak terjadi sekali jadi dan selesai tuntas. Sosialisasi tidak pernah total dan tidak pernah selesai. Ini menghadapkan kita kepada dua masalah lain: pertama, bagaimana kenyataan yang sudah diinternalisasi dalam sosialisasi primer itu dipertahankan dalam kesadaran; dan kedua, bagaimana internalisasi-internalisasi berikutnya-atau sosialisasi-sosialisasi sekunder-dalam biografi selanjutnya dari individu berlangsung. Kita akan membuat masalah-masalah itu dengan urutan terbalik.


-198-
sosialisasi sekunder
kita bisa membayangkan suatu masyarakat di mana tidak terjadi sosialisasi lebih lanjut setelah sosialisasi primer. Dengan sendirinya, masyarakat seperti itu akan merupakan sebuah masyarakat dengan khazanah pengetahuan yang sederhana sekali. Semua pengetahuan akan relevan secara umum, di mana individu hanya berbeda dalam perspektif mereka mengenai pengetahuan itu. Konsepsi ini berguna untuk menetapkan suatu kasus batas, tetapi sejauh ini kita tidak mengenal suatu masyarakat yang tidak mempunyai suatu tingkat pembagian kerja, dan seiring dengan itu, suatu tingkat pembagian kerja, dan seiring dengan itu, suatu tingkat distribusi pengetahuan; dan kalau keadaannya sudah demikian maka sosialisasi sekunder menjadi perlu.
Sosialisasi sekunder adalah internalisasi sejumlah "subdunia" kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu lingkup jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Sudah tentu, pengetahuan yang relevan secara umum pun bisa didistribusikan secara sosial-umpamanya, dalam bentuk "versi-versi" yang didasarkan atas kelas-tetapi yang kami maksudkan di sini adalah distribusi sosial dari "pengetahuan khusus"-pengetahuan yang timbul sebagai akibat pembagian kerja dan yang "pengemban-pengembannya" ditentukan secara kelembagaan. Dengan melupakan untuk sejenak dimensi-dimensi lain, kita bisa mengatakan bahwa sosialisasi sekunder adalah proses yang memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya (role-specific knowledge), di mana peranan-peranan secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja. Ada beberapa alasan untuk membenarkan definisi sempit seperti itu, tetapi ini sama sekali belum mencakup seluruh persoalannya. Sosialisasi sekunder memerlukan proses memperoleh kosa kata khusus yang berdasarkan peranan, yang berarti, antara lain, internalisasi bidang-bidang semantik yang menstrukturkan penafsiran-penafsiran dan perilaku rutin di dalam suatu wilayah kelembagaan. Dalam waktu yang bersamaan diperlukan juga "pemahaman tersirat", evaluasi-evaluasi dan pewarnaan-pewarnaan afektif dari bidang-bidang semantik itu.


-199-
"Subdunia-subdunia" yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder pada umumnya merupakan kenyataan-kenyataan parsial, berbeda dengan "dunia dasar" yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Walaupun demikian, "subdunia-subdunia" itu pun merupakan kenyataan yang sedikit banyaknya kohesif, bercirikan komponen-komponen yang normatif dan efektif maupun yang kognitif.
Selain itu, "subdunia" itu pun memerlukan setidak-tidaknya dasar-dasar perangkat legitimasi, ang sering diiringi simbol-simbol ritual atau material. Sebagai contoh, suatu diferensiasi bisa timbul antara prajurit infanteri dan pasukan berkuda. Yang disebut belakangan akan memerlukan latihan khusus, yang mungkin melibatkan lebih dari sekadar belajar keterampilan-keterampilan fisik semata-mata yang diperlukan untuk menangani kuda-kuda militer. Bahasa kavaleri akan berbeda sekali dengan bahasa infanteri. Akan terbentuk suatu terminologi yang mengacu kepada kuda, sifat-sifat dan kegunaannya, dan kepada situasi-situasi yang timbul dalam kehidupan kavaleri, yang akan sangat tidak relevan bagi prajurit infanteri. Kavaleri juga akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam arti lebih dari segi intrumental saja. Seorang prajurit infanteri akan bersumpah serapah dengan mengacu kepada kakinya yang sakit, sedangkan prajurit kavaleri mungkin akan menuding-nuding punggung kudanya. Dengan kata lain, seperangkat perlambang dan kiasan akan terbentuk di atas landasan instrumental bahasa kavaleri. Bahasa khusus yang berdasarkan peran ini diinternalisasi secara keseluruhan oleh individu selama ia menjalani latihan perang berkuda. Ia menjadi prajurit kavaleri tidak hanya dengan jalan memperoleh berbagai ketrampilan yang diperlukan melainkan juga dengan memperoleh kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa itu. Ia lalu dapat berkomunikasi dengan sesama anggota kavaleri dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang bagi mereka kaya akan makna namun yang akan sulit sekali untuk dimengerti oleh prajurit-prajurit infanteri. Dengan sendirinya proses internalisasi ini melibatkan identifikasi subjektif dengan peranan dan norma-normanya yang sesuai-"Saya prajurit berkuda", "Seorang


-200-
prajurit berkuda tak akan pernah memperlihatkan ekor kudanya kepada musuh", "Jangan sekali-kali membiarkan wanita melupakan bagaimana rasanya dipacu", Penunggang kuda yang cepat dalam perang adalah penunggang kuda yang cepat di tempat judi", dan sebagainya. Sesuai dengan kebutuhan, perangkat makna ini akan didukung oleh sejumlah legitimasi, mulai dari peribahasa-peribahasa sederhana seperti di atas sampai kepada konstruksi-konstruksi mitologis yang kompleks. Akhirnya, mungkin akan ada berbagai ragam upacara persembahan dan objek-objek jasmaniah-umpamanya, perayaan tahunan hari besar Dewa Kuda, di mana semua hidangan disantap sambil naik kuda dan anggota kavaleri yang baru dilantik menerima jimat berupa ekor kuda yang untuk selanjutnya akan mereka kalungkan di leher.
Sifat sosialisasi sekunder seperti itu tergantung kepada status perangkat pengetahuan yang bersangkutan di dalam universum simbolis secara keseluruhan. Latihan diperlukan untuk menangani kuda yang menarik gerobak pupuk kandang atau untuk menungganginya dalam pertempuran. Tetapi suatu masyarakat yang membatasi penggunaan kuda hanya untuk menarik gerobak pupuk kandang agaknya tidak akan membumbui kegiatan ini dengan ritual-ritual yang rumit atau kepercayaan pada jimat, dan personil yang mendapat tugas itu agaknya tidak akan mengidentifikasikan diri dengan peranan itu dengan secara mendalam; legitimasi-legitimasinya, sebagaimana adanya, agaknya akan merupakan semacam kompensasi. Dengan demikian maka dari segi sosio-historis terdapat keanekaragaman yang besar sekali dalam berbagai representasi yang terlibat dalam sosialisasi sekunder. Namun demikian, dalam kebanyakan masyarakat, peralihan dari sosialisasi primer ke sosialisasi sekunder diiringi oleh beberapa ritual.[14]
Proses-proses formal dalam sosialisasi sekunder ditentukan oleh masalah dasarnya: ia selalu mengandaikan suatu proses sosialisasi primer yang mendahuluinya; artinya ia berurusan de-


201-
ngan suatu diri yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasi. Ia tidak bisa membangun kenyataan subjektif ex nihilo. Ini merupakan satu masalah, karena kenyataan yang sudah diinternalisasi mempunyai kecenderungan untuk bertahan terus. Isi-isi baru yang bagaimanapun yang sekarang akan diinternalisasi, tak boleh tidak harus diletakkan di atas kenyataan yang sudah ada itu. Karena itu ada masalah konsistensi antara internalisasi yang pertama dan internalisasi baru. Masalah ini pemecahannya bisa sulit atau tidak begitu sulit, tergantung kepada kasusnya. Sesudah saya belajar mengetahui bahwa kebersihan merupakan kebaikan untuk diri saya sendiri, saya tidak akan mengalami kesulitan untuk menerapka hal itu kepada kuda saya. Tetapi setelah saya belajar mengetahui bahwa mengucapkan kata-kata cabul tertentu merupakan perbuatan yang tercela bagi seorang anak infanteri, mungkin saya memerlukan beberapa penjelasan bahwa perbuatan itu sekarang merupakan suatu keharusan bagi seorang anggota kavaleri. Untuk menciptakan dan mempertahankan konsistensi, sosialisasi sekunder mengandaikan prosedur-prosedur konseptual untuk mengintegrasikan berbagai perangkat pengetahuan.

Dalam sosialisasi sekunder, keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak diperoleh; artinya, menurut struktur landasan pengetahuan itu. Sebagai contoh, untuk belajar menguasai teknik-teknik berburu tertentu, orang terlebih dulu harus belajar mendaki gunung; atau, untuk belajar kalkulus orang haru terlebih dahulu belajar aljabar. Tahap-tahap belajar itu juga bisa dimanipulasi atas dasar kepentingan mapan dari personil yang mengelola perangkat pengetahuan. Umpamanya, bisa ditetapkan bahwa orang harus belajar dulu menujum dari isi perut binatang sebelum dapat belajar menujum dari cara dan arah terbangnya burung, atau bahwa orang harus terlebih dulu memiliki ijazah SLA sebelum ia dapat diterima sebagai murid sekolah pembalseman (pengawetan mayat), atau bahwa orang harus lulus ujian bahasa Gaelic (bahasa Kelt), sebelum ia dapat dicalonkan untuk menjadi pe-


-202-
gawai negeri di Irlandia. Ketentuan-ketentuan seperti itu merupakan hal-hal yang ekstrinsik bagi pengetahuan yang diperlukan secara pragmatis untuk melakukan tugas sebagai ahli nujum, sebagai pengawet mayat atau pegawai negeri Irlandia. Ketentuan-ketentuan itu ditetapkan secara kelembagaan untuk meninggikan prestise peranan-peranan yang bersangkutan atau agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan ideologis lain. Pendidikan sekolah dasar mungkin sudah memadai benar sebagai syarat untuk dapat mengikuti kurikulum sekolah pengawetan mayat, dan pegawai-pegawai negeri Irlandia melakukan urusan mereka sehari-hari dalam bahasa Inggris. Malahan bisa terjadi bahwa urutan belajar yang telah dimanipulasi itu menjadi tidak fungsional secara pragmatis. Umpamanya, mungkin ada ketentuan bahwa suatu latar belakang "pendidikan umum" di akademi harus mendahului pendidikan profesional sebagai sosiolog peneliti, sedangkan kegiatan mereka yang sesungguhnya (sebagai sosiolog peneliti) sebenarnya mungkin bisa dilaksanakan dengan lebih efisien jika mereka tidak dibebani "pendidikan" semacam itu.
Sementara sosialisasi primer tidak dapat berlangsung tamnpa suatu identifikasi yang bermuatan emosi di pihak anak dengan para pengasuhnya, kebanyakan sosialisasi sekunder tidak memerlukan identifikasi semacam itu, dan bisa berlangsung secara efektif dengan hanya identifikasi timbal-balik sebanyak yang masuk dalam tiap komunikasi antara manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang perlu mencintai ibunya tetapi tidak gurunya. sOsialisasi dalam kehidupan selanjutnya secara tipikal baru akan bersifat emosional yang mengingatkan kita kepada masa kanak-kanak, apabila ia berusaha untuk secara radikal mentransformasikan kenyataan subjektif individu. Ini menimbulkan masalah-masalah khusus yang akan kita analisa sebentar lagi.
Dalam sosialisasi primer, si anak tidak memahami orang lain yang berpengaruh sebagai fungsionaris-fungsionaris kelembagaan, tetapi sebagai semata-mata perantara bagi kenyataan, si anak menginternalisasi dunia orang tuanya sebagai dunia satu-satunya, dan tidak sebagai dunia yang termasuk dalam suatu konteks ke-


-203-

lembagaan yang spesifik. Berbagai krisis yang terjadi pasca sosialisasi primer sesungguhnya disebabkan oleh timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah satu-satunya dunia yang ada, melainkan mempunyai suatu lokasi sosial yang sangat khusus, barangkali malahan suatu dunia dengan konotasi pejoratif (merendahkan). Umpamanya, anak yang sudah besar akhirnya mengetahui bahwa dunia yang diwakili oleh orang tuanya, dunia yang sebelumnya telah ia terima begitu saja sebagai kenyataan yang tak terelakkan, sebenarnya merupakan dunia orang-orang desa dari Amerika Serikat bagian Selatan yang tak berpendidikan dan termasuk kelas bawah. Dalam sosialisasi sekunder, konteks kelembagaannya bisa dipahami. Tak perlu dikatakan lagi bahwa hal ini tidak perlu melibatkan suatu pemahaman yang canggih mengenai semua implikasi dari konteks kelembagaannya. Walaupun demikian, anak dari Selatan dalam contoh kita itu, memahami guru sekolahnya sebagai seorang fungsionaris kelembagaan dengan cara yang tak pernah ia gunakan dalam memahami orang tuanya, dan ia memahami peranan gurunya sebagai membawakan makna-makna kelembagaan yang spesifik-seperti makna bangsa dibandingkan dengan makna daerah, makna dunia kelas rendah di rumahnya, makna kota besar dibandingkan dengan daerah pedesaan. Karena itu, interaksi sosial antara guru dan murid bisa diformalisasikan. Guru tidak perlu merupakan orang lain yang berpengaruh dalam arti yang bagaimanapun dari kata itu. Mereka adalah fungsionaris-fungsionaris kelembagaan dengan tugas formal untuk mengalihkan pengetahuan tertentu. Peranan-peranan dalam sosialisasi sekunder memiliki anonimitas dengan kadar yang tinggi; artinya peranan itu dapat dengan mudah dilepaskan dari pelaku-pelaku individualnya. Pengetahuan yang sama yang diajarkan oleh guru yang satu bisa diajarkan oleh guru yang lainnya. Tiap fungsionaris jenis ini dapat mengajarkan pengetahuan jenis ini. Sudah tentu, fungsionaris-fungsionaris itu secara individual orang perorang bisa dibeda-bedakan secara subjektif dengan berbagai cara (sebagai guru yang lebih atau kurang menyenangkan, sebagai guru ilmu hitung yang lebih baik atau lebih buruk, dan sebagainya),


-204-
tetapi dalam prinsipnya mereka bisa dipertukarkan satu sama lain.
Formalitas dan anonimitas ini tentunya berkaitan dengan sifat afektif hubungan sosial dalam sosialisasi sekunder. Tetapi konsekuensinya yang paling penting adalah bahwa mereka memberikan kepada isi dari apa yang dipelajari dalam sosialisasi sekunder suatu sifat ketidakterelakan subjektif yang jauh lebih lemah dibandingkan dengan apa yang terdapat pada isi sosialisasi primer. Karena itu, warna kenyataan dalam pengetahuan yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder lebih mudah ditempatkan di antara tanda kurung (artinya, kesadaran subjektif bahwa internalisasi itu nyata adalah kabur). Diperlukan kejutan-kejutan biografis yang sangat kuat untuk mencerai-beraikan kenyataan masif yang telah diinternalisasi dalam awal masa kanak-kanak; dan kejutan-kejutan yang jauh lebih kecil untuk menghancurkan kenyataanyang diinternalisasi lebih kemudian. Setelah ini dilampaui, relatif mudah untuk mengesampingkan kenyataan dari internalisasi sekunder. Si anak mau tak mau hidup dalam dunia sebagaimana yang sudah ditentukan oleh orang tuanya, tetapi dengan senang hati ia dapat meninggalkan dunia ilmu hitung begitu ia keluar dari ruang kelas.
Ini memungkinkan individu untuk melepaskan sebagian diri dan kenyataan yang menyertainya sebagai hanya relevan bagi situasi yang bersangkutan yang timbul dari adanya peranan tertentu. Individu lalu membuat jarak antara keseluruhan diri dalam peranan tertentu berikut kenyataannya di pihak lain.[15] Langkah


-205-
yang penting ini hanya mungkin dilakukan setelah berlangsungnya sosialisasi primer. Gampangnya, sekali lagi dapat dikatakan bahwa lebih mudah bagi si anak untuk "bersembunyi" dari gurunya daripada "bersembunyi" dari ibunya. Sebaliknya, bisa dikatakan bahwa perkembangan kemampuan untuk "bersembunyi" ini merupakan satu aspek penting dari proses pertumbuhan memasuki masa dewasa.
Warna kenyataan dari pengetahuan yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer merupakan hal yang timbul secara kuasisomatis. Dalam sosialisasi sekunder ia harus diperkuat dengan teknik-teknik khusus pedagogis, yang "dibawa ke rumah" si individu. Ini suatu ungkapan sugestif. Dunia kenyataan awal bagi si anak memang "rumah". Ia tampil sedemikian rupa, secara tak terelakkan dan, seolah-olah, secara "kodrati". Dibandingkan dengan itu, semua kenyataan di kemudian hari adalah "buatan". Demikianlah, maka guru sekolah berusaha untuk "membawa ke rumah si anak" segala pengetahuan yang hendak ia tanamkan dengan membuatnya menjadi hidup (artinya, mengaitkannya dengan struktur relevansi yang sudah terdapat dalam "dunia rumah" itu) dan menariknya (artinya, mendorong si anak untuk melepaskan perhatiannya dari objek-objek "kodrati" dan mengarahkannya ke objek-objek "buatan"). Siasat ini perlu karena guru menghadapi dalam diri si anak suatu kenyataan yang sudah diinternalisasi, yang bersikeras "merintangi" internalisasi baru. Tingkat dan sifat kecermatan teknik-teknik pedagogi ini akan bervariasi menurut motivasi


-206-
yang ada pada individu untuk memperoleh pengetahuan baru.
Semakin teknik-teknik baru itu mampu menjadikan kesinambungan antara unsur-unsur asal dan unsur-unsur baru dari pengetahuan yang secara subjektif masuk akal, semakin mudah teknik-teknik itu memperoleh warna kenyataan. Orang belajar bahasa yang kedua dengan jalan membangun di atas kenyataan "bahasa ibu" yang telah diterimanya begitu saja. Untuk waktu yang lama, ia masih terus menerjemahkan kembali ke dalam bahasa asalnya setiap unsur dari bahasa baru yang sedang dipelajarinya. Hanya dengan cara ini bahasa baru itu mulai memperoleh suatu kenyataan. Sementara kenyataan ini mulai berdiri di atas kakinya sendiri, secara berangsung-angsur orang itu bisa mengesampingkan penerjemahan kembali. Ia menjadi mampu untuk "berpikir" dalam bahasa baru itu. Walaupun demikian, jarang sekali suatu bahasa yang dipelajari di kemudian hari memperoleh status kenyataan yang tak terelakkan dan jelas-dengan-sendirinya seperti yang dimiliki oleh bahasa pertama yang dipelajari di masa kanak-kanak. Itulah yang menyebabkan sifat afektif "bahasa ibu". Mutatis mutandis, karakteristik yang sama dari pembentukan kenyataan "rumah sendiri", dari perkaitan dengan kenyataan itu selama berlangsungnya proses belajar dan kemudian secara berangsung-angsur melepaskan kaitan ini, merupakan tahap-tahap belajar lain dalam sosialisasi sekunder.
Kenyataan bahwa proses-proses sosialisasi sekunder tidak mengandaikan suatu tingkat identifikasi yang tinggi dan bahwa isinya tidak memiliki sifat ketidak-terelakan dapat berguna dari segi pragmatis, karena hal itu memungkinkan tahap-tahap belajar yang rasional dan terkendali dari segi emosi. Tetapi karena isi internalisasi jenis ini mempunyai kenyataan subjektif yang rapuh dan tak dapat diandalkan jika dibandingkan dengan internalisasi sosialisasi primer, maka dalam beberapa kasus harus dikembangkan teknik-teknik khusus untuk menghasilkan identifikasi dan ketidak-terelakan yang dianggap perlu. kEbutuhan akan teknik-teknik semacam itu mungkin bersifat intrinsik dari segi mempelajari dan menerapkan isi internalisasi, atau mungkin pula ditentukan demi kepentingan mapan dari personil yang mengelola proses sosialisasi yang bersangkutan. Sebagai contoh,


-207-
seseorang yang ingin menjadi pemusik ulung harus menekuni bidangnya sampai ke tingkat yang tidak begitu perlu bagi seseorang yang belajar untuk menjadi insinyur. Pendidikan insinyur bisa berlangsung secara efektif melalui proses-proses formal, sangat rasional dan tanpa emosi. Sebaliknya, pendidikan pemusik secara khas menuntut tingkat identifikasi yang jauh lebih tinggi dengan seorang maestro dan pelibatan diri yang jauh lebih mendalam dalam kenyataan musik. Perbedaan ini timbul dari perbedaan intrinsik antara pengetahuan keinsinyuran dengan pengetahuan musik, dan antara cara hidup di mana kedua perangkat pengetahuan itu diterapkan dalam praktek. Juga seorang revolusioner yang profesional memerlukan tingkat identifikasi dan keniscayaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan seorang insinyur. Tetapi dalam hal ini kebutuhan itu tidak timbul dari sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan itu sendiri, yang mungkin saja sangat sederhana dan sedikit isinya, tetapi oleh komitmen pribadi yang dituntut dari seorang revolusioner dilihat dari segi kepentingan-kepentingan mapan dari gerakan revolusioner. Kadang-kadang kebutuhan akan teknik-teknik yang lebih intensif bisa ditimbulkan baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun faktor-faktor ekstrinsik. Sosialisasi personil keagamaan merupakan salah satu contohnya.
Teknik-teknik yang digunakan dalam kasus-kasus seperti itu dimaksudkan untuk mengintensifkan muatan afektif dari proses sosialisasi. Secara khas, teknik-teknik itu melibatkan pelembagaan suatu proses inisiasi yang rumit, suatu masa percobaan di mana individu pada akhirnya mengikat diri sepenuhnya kepada kenyataan yang sedang diinternalisasi. Apabila prosesnya menuntut suatu transformasi yang sebenranya dari kenyataan "asal" individu, proses itu lalu meniru semirip mungkin sifat sosialisasi primer, seperti yang akan kita lihat nanti. Tetapi tanpa adanya transformasi seperti itu sekalipun, sosialisasi sekunder menjadi bermuatan afektif sampai ke tingkat peresapan dan pengikatan diri kepada realitas baru yang secara kelembagaan dianggap perlu. Hubungan antara individu dengan personil sosialisasi kemudian terisi dengan "signifikansi". Artinya, personil sosialisasi memperoleh kedudukan sebagai orang-orang


-208-
yang berpengaruh dalam hubungannya dengan individu yang sedang disosialisasikan. Individu itu lalu mengikat diri secara komprehensif kepada kenyataan baru itu. Ia "memberikan dirinya" kepada musik, kepada revolusi, kepada kepercayaan, tidak sekadar setengah-setengah melainkan bersama apa yang secara subjektif merupakan keseluruhan hidupnya. Dengan sendirinya, kesediaan untuk mengurbankan diri sendiri merupakan konsekuensi akhir dari jenis sosialisasi ini.
Suatu keadaan penting yang agaknya mengandaikan kebutuhan akan intensifikasi seperti itu adalah persaingan di antara personil yang mendefinisikan kenyataan dari berbagai lembagai. Dalam kasus penggemblengan revolusioner, masalah yang indtrinsik adalah sosialisasi individu ke dalam suatu definisi lawan (kontra-definisi) tentang kenyataan-artinya, definisi yang menandingi definisi para pemberi legitimasi "resmi" dalam masyarakat. Apabila dalam masyarakat terdapat persaingan yang tajam dalam nilai-nilai estetis yang dianut oleh komunitas pemusik. Sebagai contoh, bisa diandaikan bahwa seorang calon pemusik suatu intensitas emosional yang tidak diperlukan di Wina abad 19, justru karena dalam situasi Amerika masa kini terdapat persaingan yang sangat kuat dari apa yang secara subjektif akan tampil sebagai dunia "materialistis" dan budaya massa" dari "manusia-manusia tikus". Begitu pula, pendidikan keagamaan dalam suatu situasi majemuk mengandaikan kebutuhan akan teknik-teknik "buatan" bagi pewarnaan kenyataan yang tidak akan diperlukan dalam sutuasi yang didominasi oleh suatu monopoli keagamaan. Di roma masih dianggap "sudah sewajarnya" untuk menjadi pendeta Katolik dengan cara yang tidak berlaku di Amerika. Karena itu seminari-seminari teologi Amerika harus bergulat dengan masalah "memasukkan kenyataan" dan memikirkan teknik agar kenyataan itu bisa "melekat terus". Tidaklah mengherankan jika mereka menemukan suatu cara pemecahan yang jelas praktis, yakni dengan mengirimkan siswa-siswa mereka yang paling memberi harapan ke Roma untuk beberapa waktu.


-209-
variasi-variasi serupa bisa terdapat di dalam konteks kelembagaan yang sama, tergantung kepada tugas-tugas yang diberikan kepada berbagai kategori personil. Demikianlah maka kadar keterikatan kepada kemiliteran yang dituntut dari perwira karir sangat berbeda dengan apa yang dituntut dari para wajib dinas militer, suatu fakta yang dengan jelas tercermin dalam proses latihan mereka masing-masing. Begitu pula, terdapat perbedaan yang dituntut dalam keterikatan kepada kenyataan kelembagaan antara dari seorang eksekutif dan seorang karyawan sosial di bidang psikiatri, dan seterusnya. Seorang eksekutif harus "secara politis" sehat dari segi yang tidak dituntut dari seorang kepala bagian pengetikan, dan suatu "analisa didaktik" diharuskan bagi prikoanalis tetapi hanya dianjurkan bagi petugas sosial, dan seterusnya. Maka terdapat sistem-sistem sosialisasi sekunder yang sangat berbeda dalam lembaga-lembaga yang kompleks, yang kadang-kadang dengan sangat peka disesuaikan kepada kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari berbagai kategori personil kelembagaan.[16]
Distribusi tugas-tugas yang sudah dilembagakan antara sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder bervariasi menurut kompleksitas distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Selama ia relatif tidak rumit, badan kelembagaan yang sama dapat melaksanakan sosialisasi mulai dari yang primer dilanjutkan dengan yang sekunder dan melaksanakan tugas yang disebu belakangan itu sampai ke tingkat yang tinggi. Apabila distribusi itu sudah sangat kompleks, mungkin perlu dikembangkan badan-badan khusus untuk sosialisasi sekunder, dengan personil yang merupakan tenaga-tenaga kerja penuh dan terlatih khusus untuk tugas-tugas pendidikan yang dimaksudkan. Tanpa spesialisasi seperti itu, mungkin akan ada suatu jajaran badan-badan sosialisasi yang menggabungkan tugas ini dengan tugas-tugas lainnya. Dalam hal yang disebut belakangan, umpamanya, bisa terjadi bahwa se-


-210-
orang anak laki-laki pada usia tertentu dipindahkan dari rumah ibunya ke asrama prajurit di mana ia akan dilatih untuk menjadi penunggang kuda. Ini tidak perlu melibatkan personil pendidikan yang bertugas penuh. Penunggang-penunggang kuda yang lebih tua dapat mengajar mereka yang lebih muda. Perkembangan pendidikan modern, dengan sendirinya, merupakan ilustrasi yang paling baik dari sosialisasi sekunder yang berlangsung di bawah naungan badan-badan yang terspesialisasi. Akibat yang berupa menurunya posisi keluarga dalam masalah sosialisasi sekunder sudah terlalu dikenal untuk dibahas lebih mendalam di sini.[17]

Memelihara dan Mentransformasikan Kenyataan Subjektif
Oleh karena sosialisasi tidak pernah selesai sepenuhnya dan karena isi yang diinternalisasi menghadapi ancaman yang terus menerus ke arah kenyataan subjektifnya, maka tiap masyarakat yang ingin hidup terus harus mengembangkan prosedur-prosedur pemeliharaan kenyataan untuk menjamin adanya suatu ukuran simetris antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif. Kita sudah membahas masalah ini dalam kaitannya dengan legitimasi. Fokus kita di sini adalah kepada soal memelihara kenyataan subjektif dan bukan yang objektif; kenyataan sebagaimana yang dipahami dalam kesadaran individu dan bukan kenyataan sebagaimana yang ditentukan secara kelembagaan.
Sosialisasi primer menginternalisasi suatu kenyataan yang dipahami sebagai niscaya. Internalisasi ini bisa dikatakan berhasil jika kesadaran akan keniscayaan itu hampir selalu hadir, setidak-tidaknya sementara individu melakukan kegiatan dalam dunia kehidupan sehari-harinya. Tetapi bahkan apabila dunia kehidupan sehari-hari itu tetap memelihara kenyataannya yang masif dan diterima begitu saja in actu, ia diancam oleh situasi-situasi marjinal dalam pengalaman manusia yang tidak bisa sepenuhnya ditempatkan di antara tanda kurung dalam kegiatan sehari-hari.


-211-
Ia senantiasa dihantui oleh kehadiran metamorfosa baik yang benar-benar diingat maupun yang hanya dirasakan sebagai kemungkinan yang menakutkan. Juga ada ancaman yang lebih langsung dari definisi-definisi tandingan mengenai kenyataan yang bisa dijumpai dalam kehidupan sosial. Seorang pria yang berkelakuan baik bisa saja mimpi tentang pesta-pora seksual yang tak terperikan dalam kesendiriannya di malam hari. Tetapi soalnya menjadi lain jika ia melihat mimpi itu diwujudkan secara empiris oleh para penghuni pemukiman kaum libertarian di dekat rumahnya. Mimpi dapat dengan lebih mudah dikarantinakan di dalam kesadaran sebagai "nonsens" yang harus dikesampingkan atau secara diam-diam disesalkan sebagai penyimpangan-penyimpangan mental: ia tetap bersifat khayalan vis a vis kenyataan kehidupan sehari-hari. Suatu perbuatan aktual mendesakkan diri ke dalam kesadaran dengan cara yang jauh lebih keras. Ia mungkin harus dihancurkan dalam faktanya sebelum ia dapat ditanggulangi dalam pikiran. Bagaimana pun juga, ia tidak bisa diingkari sebagaimana kita sekurang-kurannya dapat berusaha mengingkari metamorfosa situasi-situasi marjinal.
Sifat sosialisasi sekunder yang lebih "artifisial" menyebabkan kenyataan subjektif dari internalisasinya lebih terbuka lagi terhadap definisi-definisi tandingan tentang kenyataan, bukan karena mereka tidak diterima sebagai sudah sewajarnya atau karena dipahami sebagai kurang nyata dalam kehidupan sehari-hari, melainkan karena kenyataan mereka tidak begitu kukuh berakar dalam kesadaran dan dengan demikian lebih mudah digeser lagi. Sebagai contoh, baik larangan untuk bertelanjang-yang berkaitan dengan rasa malu dan diinternalisasi dalam sosialisasi primer-maupun aturan-aturan tentang cara berpakaian yang semestinya untuk berbagai kesempatan sosial, yang diperoleh sebagai internalisasi sekunder, diterima sebagai hal yang sudah sewajarnya dalam kehidupan sehari-hari. Selama tidak mendapat tantangan masyarakat, hal itu juga tidak merupakan masalah bagi individu. Tetapi tentangan itu harus jauh lebih kuat dalam hal yang pertama dibandingkan dengan hal yang kedua, untuk bisa menjadi ancaman terhadap kenyataan dari rutinitas yang sudah diterima sebagai kewajaran itu. Suatu pergeseran


-212-
yang relatif kecil saja dalam definisi subjektif tentang kenyataan yang sudah cukup bagi seorang individu untuk menganggap sebagai sudah sewajarnya bahwa orang boleh masuk kantor tanpa mengenakan dasi. Pergeseran yang jauh lebih drastis akan diperlukan untuk dapat mendorong orang itu untuk bepergian dalam keadaan telanjang bulat dan menganggap hal itu sebagai sudah sewajarnya. Pergeseran yang pertama cukup ditimbulkan oleh sebab-sebab sosial seperti sekadar perubahan tempat kerja-umpamanya, dari kampus sekolah di daerah pedalaman ke kampus sekolah di ibukota. Hal itu akan melibatkan suatu revolusi sosial dalam lingkungan individu yang bersangkutan; secara subjektif hal itu akan dipahami sebagai suatu perubahan keyakinan yang sangat mendalam, mungkin setelah melewati suatu perlawanan batin yang pada mulanya sangat kuat.
Kenyataan dari internalisasi sekunder tidak begitu terancam oleh situasi-situasi marjinal, karena ia tidak relevan bagi situasi itu. Yang bisa terjadi adalah bahwa kenyataan seperti itu dipahami sebagai remeh justru karena sudah tersingkap irrelevansinya dengan situasi marjinal. Demikianlah maka bisa dikatakan bahwa maut yang sudah mendekat mengancam secara mendalam kenyataan identifikasi-diri sebelumnya dari seseorang sebagai laki-laki, sebagai makhluk bermoral, atau sebagai orang Kristen. Identifikasi-diri seseorang sebagai asisten manajer bagian penjualan pakaian dalam wanita tidak akan terancam melainkan hanya dianggap sebagai tak penting saja dalam situasi yang sama. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa dapat dipertahankannya internalisasi primer dalam situasi-situasi marjinal merupakan satu ukuran bagi memadainya kenyataan subjektif. Ukuran seperti itu sangat tidak relevan jika diterapkan kepada kebanyakan sosialisasi sekunder. Orang bisa merasakan makna kematian sebagai laki-laki tetapi sama sekali tidak sebagai asisten manajer bagian penjualan pakaian dalam wanita. Dan lagi, di mana internalisasi sekunder diharapkan secara sosial memiliki tingkat ketahanan kenyataan seperti ini dalam menghadapi situasi-situasi marjinal, maka prosedur sosialisasinya akan harus diintensifkan dan diperkuat dengan cara seperti yang telah dibahas sebelumnya. Di sini pun proses-proses sosialisasi sekunder di bidang keagamaan


-213-
dan militer dapat dikemukakan sebagai ilustrasi.
Demi mudahnya kita bisa membedakan antara dua tipe umum cara memelihara kenyataan-cara pemeliharaan rutin dan cara pemeliharaan dalam keadaan kritis. Yang disebut pertama dimaksudkan untuk mempertahankan kenyataan yang sudah diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan yang disebut belakangan dimaksudkan untuk mengatasi situasi-situasi krisis. Keduanya melibatkan proses-proses sosial yang pada dasarnya, meskipun perlu dicatat adanya beberapa perbedaan.
Seperti telah kita lihat, kenyataan hidup sehari-hari dapat mempertahankan diri karena sudah terkandung dalam kegiatan-kegiatan rutin, yang merupakan inti pelembagaan. Tetapi selain itu, kenyataan hidup sehari-hari secara terus-menerus diperkuat kembali dalam interaksi individu dengan orang-orang lain. Seperti halnya kenyataan pada mulanya diinternalisasi oleh suatu proses sosial, maka begitu pula ia dipertahankan dalam kesadaran oleh proses-proses sosial. Proses-proses yang disebut belakangan ini tidak berbeda secara drastis dengan proses-proses internalisasi yang sebelumnya. Proses-proses yang disebut belakangan ini tidak berbeda secara drastis dengan proses-proses internalisasi yang sebelumnya. Proses-proses itu pun mencerminkan fakta dasar bahwa kenyataan subjektif harus berkaitan dengan suatu kenyataan objektif yang didefinisikan secara sosial.
Dalam proses sosial untuk memelihara kenyataan adalah mungkin membedakan antara orang-orang yang berpengaruh dan orang-orang lain yang kurang penting.[18] Degan cara yang penting, semua, atau setidak-tidaknya sebagian besar orang lain yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari oleh individu berfungsi untuk menegaskan kembali kenyataan subjektifnya. Ini terjadi bahkan dalam suatu situasi yang "tidak berarti" sekali-


-214-
pun seperti ketika naik kereta ulang-alik. Individu mungkin saja tidak mengenal seorang pun dalam gerbong kereta dan tidak berbicara dengan seorang pun. Walau demikian, semua sesama penumpang itu menegaskan kembali struktur dasar dari kehidupan sehari-hari. Dengan tingkah laku mereka secara keseluruhan, sesama penumpang itu membebaskan individu dari kenyataan yang kabur dari keadaan ketika ia baru bangun tidur di pagi hari dan mempermaklumkan dengan cara yang jelas sekali bahwa dunia ini terdiri dari orang-orang yang bersungguh-sungguh yang sedang menuju tempat kerja mereka, dari tanggung jawab dan jadwal-jadwal waktu, New Haven Railroad dan surat kabar New York Times (NYT). Yang disebut paling akhir (koran NYT), tentunya, menegaskan kembali kordinat-kordinat paling luas dari kenyataan individu. Mulai dari berita cuaca sampai kepada iklan lowongan kerja, koran itu, meyakinkannya bahwa ia benar-benar berada dalam dunia yang paling nyata. Dengan demikian koran itu juga mengiyakan status yang tidak begitu nyata dari pengalaman-pengalaman yang menakutkan sebelum ia sarapan pagi-bentuk yang asing dari apa yang dianggapnya benda-benda yang sudah tak asing lagi ketika ia terbangun dari suatu mimpi buruk, kejutan yang dialaminya ketika ia tidak mengenal wajahnya sendiri dalam cermin di kamar mandi, kecurigaan yang tak terperikan beberapa saat kemudian bahwa istri dan anak-anaknya sendiri adalah orang-orang asing yang misterius. Kebanyakan orang yang rentan terhadap teror-teror metafisis seperti itu berhasil untuk sedikit-banyaknya membebaskan diri dari ketakutan itu melalui ritual-ritual pagi yang mereka lakukan dengan ketat, sehingga kenyataan hidup sehari-hari setidak-tidaknya dapat dibangun kembali sedikit-demi-sedikit pada saat mereka keluar dari pintu depan. Tetapi kenyataan itu baru mulai bisa diandalkan dengan cukup kuat dalam kebersamaan anonim dalam gerbong kereta. Dan kenyataan itu menjadi sangat meyakinkan pada saat kereta api memasuki stasiun Besar. Saat itu individu bisa berbisik pada dirinya sendiri: ergo sum (saya ada) dan dalam keadaan sadar sepenuhnya disertai kepercayaan pada diri sendiri ia pun melangkah menuju kantornya.


-215-
Oleh sebab itu keliru untuk mengandaikan bahwa hanya orang-orang berpengaruh sajalah yang dapat mempertahankan kenyataan subjektif. Tetapi orang-orang berpengaruh itu menduduki tempat yang sentral dalam ekonomi mempertahankan kenyataan. Mereka khususnya penting bagi individu untuk dapat secara terus-menerus mengkonfirmasikan unsur yang sangat mengentukan dari kenyataan yang kita namakan identitas. Untuk tetap percaya bahwa ia memang orang seperti yang ia pikirkan sendiri, individu memerlukan tidak hanya konfirmasi secara implisit atas identitasnya, yang akan diperolehnya dalam kontak-kontak setiap hari yang paling sepintas-lalu sekalipun, tetapi juga konfirmasi yang eksplisit dan bermuatan emosi yang diberikan kepadanya oleh orang-orang yang berpenagruh. Dalam ilustrasi terdahulu, orang yang tinggal di daerah pinggiran kota itu agaknya akan berusaha memperoleh konfirmasi tersebut dari keluarganya dan orang lain dalam pergaulan pribadinya dalam lingkungan suasana kekeluargaan (lingkungan rukun tetangga, gereja, perkumpulan, dan sebagainya), walaupun rekan-rekan usaha yang dekat pun melakukan fungsi ini. Dan jika, selain itu, ia juga tidur bersama sekretarisnya, maka identitasnya selain dikonfirmasikan juga diperkukuh lagi. Ini mengandaikan bahwa individu menyukai identitas yang sedang dikonfirmasikan itu. Proses yang sama berlaku untuk konfirmasi identitas yang mungkin tidak disenangi oleh individu itu. Kenalan-kenalan sepintas lalu sekalipun dapat mengkonfirmasikan identifikasi-dirinya sebagai orang yang gagal sama sekali; tetapi istrinya, anak-anaknya dan sekretarisnya mensahkan keadaan itu dengan suatu finalitas yang tak terbantahkan lagi. Proses dari definisi kenyataan objektif ke pemeliharaan kenyataan subjektif adalah sama dalam kedua kasus.
Orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupan individu merupakan agen-agen utama untuk mempertahankan kenyataan subjektifnya. Orang-orang lain yang tidak begitu berpengaruh berfungsi sebagai semacam koor pengiring. Istri, anak dan sekretaris dengan khidmat menegaskan kembali tiap hari bahwa seseorang merupakan manusia yang penting, atau manusia yang gagal tanpa harapan lagi; bibi yang belum kawin, koki dan pela-


-216-
yan lift mengiyakan hal itu dengan kekuatan yang berbeda-beda. Dengan sendirinya mungkin saja terdapat perbedaan pendapat di antara orang-orang itu. Dalam hal ini individu menghadapi masalah konsistensi, yang secara khas dapat ia pecahkan dengan jalan memodifikasi kenyataannya atau hubungan-hubungannya yang memelihara kenyataan itu. Ia mungkin punya pilihan antara menerima baik identitasnya sebagai suatu kegagalan, atau memecat sektretarisnya atau juga menceraikan istrinya,. Ia juga bisa memilih untuk menurunkan beberapa di antara orang-orang itu dari status orang-orang yang berpengaruh, lalu berpaling kepada orang-orang lain untuk memperoleh konfirmasi yang bermakna bagi kenyataannya-katakanlah, psikoanalisnya, atau kawan-kawan lamanya dalam klub. Ada banyak kemungkinan kompleksitas bagi pengorganisasian hubungan untuk mempertahankan kenyataan itu, terutama dalam suatu masyarakat yang sangat mobil derangn peranan-pranan yang terdiferensiasi.[19]
Hubungan antara orang-orang yang berpengaruh dan "koor pengiring" dalam pemeliharaan-pemeliharaan merupakan hubungan dialektik. Artinya, mereka berinteraksi satu sama lain dan juga dengan kenyataan subjektif yang mereka konfirmasikan. Suatu pengidentifikasian yang sangat negatif dari pihak lingkungan yang lebih luas pada akhirnya bisa mempengaruhi identifikasi yang diberikan oleh orang-orang yang berpengaruh-apabila pelayan lift sekali pun tidak lagi menyapa dengan "tuan", maka sang istri pun bisa melepaskan ifentifikasinya terhadap suaminya sebagai orang penting. Sebaliknya, orang-orang yang berpengaruh pada akhirnya bisa mempengaruhi lingkungan yang lebih luas-seorang istri yang "setia" dapat sangat menolong dengan berbagai cara sementara sang suami berusaha untuk menanamkan identitas tertentu mengenai dirinya pada rekan-rekan usahanya. Dengan demikian, mempertahankan kenyataan dan mengonfirmasikan kenyataan melibatkan keseluruhan situasi sosial individu, walaupun orang-orang yang berpengaruh menduduki tempat yang istimewa dalam proses-proses itu.


-217-
arti penting yang relatif dari orang-orang yang berpengaruh itu serta koor pengiring bisa dilihat dengan cara yang paling mudah jika kita memperhatikan kasus-kasus dis-konfirmasi kenyataan subjektif. Suatu tindakan diskonfirmasi kenyataan oleh istri, sebagai apa adanya, mempunyai potensi yang jauh lebih besar daripada tindakan serupa yang dilakukan oleh seorang kenalan sambil lalu. Tindakan-tindakan dari yang disebut belakangan harus memiliki suatu tingkat kepadatan tertntu untuk bisa menyamai potensi tindakan yang disebut pertama. Pendapat yang dikemukakan berulang kali oleh kawan baik saya bahwa koran-koran tidak memberitakan perkembangan penting yang sedang terjadi di bawah permukaan bumi mungkin mempunyai bobot yang lebih besar daripada pendapat yang sama yang dikemukakan oleh tukang cukur saya. Tetapi pendapat yang sama yang dinyatakan secara berturut-turut oleh sepuluh kawan tidak-akrab saya, mungkin akan mulai mempunyai bobot yang lebih besar daripada pendapat sebaliknya yang dikemukakan oleh tukang cukur saya. Tetapi pendapat yang sama yang dinyatakan secara berturut-turut oleh sepuluh kawan tidak-akrab saya, mungkin akan mulai mempunyai bobot yang lebih besar daripada pendapat sebaliknya yang dikemukakan oleh kawan karib saya. Kristalisasi yang akan diperoleh secara subjektif sebagai hasil berbagai definisi tentang kenyataan itu lalu akan menentukan bagaimana saya kiranya akan bereaksi terhadap penampilan serombongan orang Cina yang berwajah seram, yang dengan mulut terkatup menenteng tas di dalam gerbong kereta pada satu pagi hari; artinya, akan menentukan bobot yang saya berikan kepada fenomen itu berdasarkan definisi saya sendiri tentang kenyataan. Satu ilustrasi lainnya, jika saya seorang Katolik yang beriman maka kenyataan kepercayaan saya itu tidak perlu terancam oleh rekan-rekan usaha saya yang tidak percaya. Tetapi kepercayaan itu besar sekali kemungkinannya akan terancam oleh istri saya yang tidak percaya. Karena itu, di dalam masyarakat yang majemuk, adalah logis jika Gereja Katolik masih mengizinkan adanya keanekaragaman yang besar dalam asosiasi-asosiasi antar kepercayaan dalam kehidupan ekonomi dan politik, tetapi tetap tidak merestui perkawinan antar-agama. Pada umumnya, dalam situasi di mana terdapat persaingan antara berbagai badan pendefinisi kenyataan, segala macam hubungan kelompok sekunder dengan para pesaing bisa dibiarkan selama ada hubungan kelom-


-218-
pok primer yang kukuh di mana kenyataan yang satu ditegaskan kembali secara terus-menerus dalam menghadapi para pesaing itu.[20] Cara yang ditempuh oleh Gereja Katolik untuk menyesuaikan diri kepada situasi yang majemuk di Amerika merupakan satu ilustrasi yang baik sekali.
Wahana yang paling penting untuk memelihara kenyataan adalah percakapan. Kita bisa memandang kehidupan sehari-hari individu sebagai suatu alat percakapan yang bekerja giat untuk secara terus-menerus memelihara, memodifikasi, dan membangun kembali kenyataan subjektifnya.[21] Percakapan terutama bahwa orang berbicara satu sama lain. Dengan ini tidak berarti mengingkari kekayaan suasana komunikasi non-verbal yang mewarnai tuturan. Namun, tuturan tetap menduduki tempat istimewa dalam keseluruhan alat percakapan. Meskipun demikian, penting ditekankan bahwa bagian terbesar dari proses memelihara kenyataan dalam percakapan adalah implisit, tidak eksplisit. Kebanyakan percakapan tidaklah menggunakan banyak kata untuk mendefinisikan kodrat dunia. Percakapan berlangsung dengan latar belakang suatu dunia yang secara diam-diam diterima sebagai yang sudah sewajarnya. Demikianlah maka percakapan singkat seperti, "Nah, sudah waktunya aku berangkat ke stasiun," dan "Baiklah, sayang, selamat bekerja di kantor", mengimplikasikan suatu keseluruhan dunia yang didalamnya ucapan-ucapan yang tampaknya sederhana itu mempunyai arti. Berdasarkan implikasi ini maka percakapan itu mengkonfirmasikan kenyataan subjektif dunia ini.
Jika ini dipahami, maka kita dengan mudah akan melihat bahwa bagian terbesar, jika bukan seluruhnya, dari percakapan sehari-hari memelihara kenytaan subjektif. Sesungguhnyalah


-219-
kemasifannya dicapai melalui akumulasi dan konsistensi percakapan sambil lalu-percakapan yang bisa dilakukan secara sambil lalu justru karena ia mengacu kepada hal-hal rutin dari dunia yang diterima sebagai sudah sewajarnya. Ketiadaan sifat sambil lalu menandakan adanya keterputusan dalam kegiatan rutin dan, setidak-tidaknya secara potensial, merupakan ancaman terhadap kenyataan yang diterima sebagai sudah sewajarnya itu. Demikianlah maka kita bisa membayangkan efek terhadap kesambil-laluan itu dari percakapan seperti ini: "Nah, sudah wktunya aku berangkat ke stasiun", "Baiklah sayang, jangan lupa bawa pistolmu".
Sementara alat percakapan secara terus-menerus memelihara kenyataan, maka pada waktu yang bersamaan ia secara terus-menerus memodifikasinya. Unsur-unsur lama dibuang, unsur-unsur baru ditambahkan, dengan memperlemah beberapa sektor dari apa yang masih dianggap sebagai sudah sewajarnya sambil memperkuat sektor-sektor lainnya. Dengan demikian kenyataan subjektif mengenai sesuatu yang belum pernah diomongkan menjadi guncang. Orang bisa saja melakukan suatu tindakan seksual yang merikuhkan. Tetapi soalnya menjadi lain jika ia membicarakannya sebelum atau sesudahnya. Sebaliknya percakapan memberikan garis-garis bentuk yang jelas kepada hal-hal yang tadinya hanya dipahami dengan cara sepintas dan kabur. Orang bisa mempunyai kesangsian terhadap agamanya; kesangsian itu menjadi nyata dengan cara yang lain sekali apabila ia membicarakannya. Dalam hal ini ia "masuk ke dalam percakapan" tentang kesangsian-kesangsian itu; kesangsian-kesangsian itu diobjektifikasi sebagai kenyataan di dalam kesadarannya sendiri. Pada umumnya, alat percakapan memelihara kenyataan dengan jalan "berbicara melalui" berbagai unsur pengalaman dan mengalokasikan kepada mereka tempat tertentu dalam dunia nyata.
Potensi percakapan untuk melahirkan kenyataan ini sudah diberikan dalam fakta objektifikasi linguistik. Kita melihat bagaimana bahasa mengobjektifikasi dunia, mentransformasikan panta rhei pengalaman menjadi suatu tatanan yang kohesif. Dalam menciptakan tatanan ini, bahasa mewujud-nyatakan su-


-220-
atu dunia, dalam arti ganda memahami dan memproduksinya. Percakapan adalah aktualisasi keefektifan bahasa untuk perwujudan ini dalam situasi tatap muka dalam eksistensi individu. Dalam percakapan, objektifikasi bahasa menjadi objek kesadaran individu. Dengan demikian maka fakta yang mendasar dari pemeliharaan-kenyataan itu adalah penggunaan bahasa yang sama secara terus-menerus untuk mengobjektifikasi pengalaman biografis yang sedang berkembang. Dalam arti yang paling luas, maka semua orang yang menggunakan bahasa yang sama ini adalah orang-orang lain yang memelihara kenyataan. Arti hal ini bisa diddiferensiasi lebih lanjut dari segi apa yang dimaksudkan dengan "bahasa bersama"-mulai dari bahasa khas-kelompok yang digunakan oleh kelompok-kelompok primer sampai kepada dialek-dialek kedaerahan atau kelas dan komunitas nasional yang mendefinisikan dirinya dari segi bahasa. Sejalan dengan itu ada "jalan kembali ke kenyataan" bagi individu yang kembali kepada sejumlah orang yang mengerti sindir-sampir (allusions) yang digunakan dalam kelompoknya (in-group allusions), kepada bagian masyarakat yang mencakup logatnya, atau kepada kolektivitas besar yang telah mengidentifikasikan dirinya dengan suatu tradisi linguistik tertentu-dengan urutan yang terbalik, katakanlah, kembali ke Amerika Serikat, ke Brooklyn, dan kepada orang-orang yang belajar di sekolah negeri yang sama.
Agar bisa memelihara kenyataan subjektif secara efektif, alat percakapan harus sinambung dan konsisten. Terputusnya kesinambungan atau konsistensi ipso facto menimbulkan ancaman bagi kenyataan subjektif yang bersangkutan. Kita sudah membahas cara-cara praktis yang bisa ditempuh oleh individu untuk menanggulangi ancaman inkonsistensi. Juga ada berbagai teknik untuk menanggulangi ancaman ketidaksinambungan. Melakukan surat-menyurat untuk melanjutkan percakapan yang bermakna walaupun individu-individu yang bersangkutan secara fisik terpisah satu sama lain, bisa disebutkan sebagai ilustrasi.[22]


-221-
Berbagai percakapan bisa diperbandingkan dari segi kepadatan kenyataan yang dilahirkannya atau dipertahankannya. Secara keseluruhan, frekuensi percakapan meningkatkan potensinya untuk melahirkan kenyataan, namun kekurangan frekuensi itu kadang-kadang bisa dikompensasi oleh intensitas percakapan yang berlangsung. Orang mungkin hanya bisa bertemu dengan kekasihnya sekali sebulan, namun percakapan yang berlangsung pada kesempatan itu mempunyai intensitas yang cukup untuk mengimbangi kejarangannya yang relatif. Percakapan-percakapan tertentu juga bisa didefinisikan dan dilegitimasikan secara eksplisit sebagai memiliki status istimewa-seperti percakapan seseorang dengan pastor yang menerima pengakuan dosanya, dengan psiko-analisnya, atu dengan tokoh "otoritas" yang serupa. "Otoritas" dalam hal ini terletak dalam status kognitif dan normatif yang lebih tinggi yang diberikan kepada percakapan-percakapan tersebut.
Dengan demikian maka kenyataan subjektif selalu tergantung kepada struktur kemasuk-akalan (plausibility structures) tertentu; artinya, landasan sosial dan proses-proses sosial tertentu yang diperlukan untuk memeliharanya. Orang hanya dapat mempertahankan identifikasi dirinya sebagai orang penting dalam suatu lingkungan pergaulan yang mengkonfirmasikan identitas itu, orang hanya dapat mempertahankan identitas itu, orang hanya dapat mempertahankan kepercayaan Katoliknya jika ia bisa mempertahankan hubungannya yang berarti dengan komunitas Katolik; dan seterusnya. Terputusnya percakapan yang berarti dengan para perantara struktur kemasuk-akalan masing-masing, mengancam kenyataan subjektif yang bersangkutan. Sebagaimana ditunjukkan contoh surat-menyurat tadi, individu bisa menggunakan berbagai teknik memelihara bahkan tanpa berlangsungnya percakapan yang sebenarnya, tetapi potensi teknik-teknik ini untuk melahirkan kenyataan jauh lebih kecil dibandingkan dengan percakapan-percakapan tatap-muka yang hendak ditiru melalui teknik-teknik tersebut. Semakin lama teknik-teknik ini terisolasi dari konfirmasi tatap-muka, semakin kecil kemungkinannya bahwa cara-cara itu akan mampu memelihara warna kenyataan. Individu yang selama sekian tahun hidupnya di tengah-tengah


-222-
penduduk yang beragama lain dan terputus hubungannya dengan komunitas orang yang seagama dengannya, bisa saja terus mengidentifikasikan dirinya sebagai, katakanah, orang Katolik. Melalui pembacaan doa, kebaktian, dan teknik-teknik serupa, kenyataan Katoliknya yang lama dapat terus mempunyai relevansi subjektif baginya. Paling tidak, teknik-teknik itu akan dapat mendukung upayanya untuk terus mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Katolik. Tetapi teknik-teknik itu secara subjektif akan menjadi hampa dari kenyataan yang "hidup" jika tidak "dihidupkan kembali" oleh kontak sosial dengan orang-orang Katolik lainnya. Mamang benar bahwa individu biasanya bisa mengingat kembali kenyataan-kenyataan dari masa lampaunya. Tetapi cara untuk "menyegarkan kembali" ingatan itu adalah mengadakan percakapan dengan orang-orang yang baginya kenyataan itu sama-sama relevan.[23]

Struktur kemasuk-akalan juga merupakan landasan sosial bagi penangguhan kesangsian khusus, yang tanpa itu definisi kenyataan yang bersangkutan tidak akan dapat dipelihara dalam kesadaran. Di sini sanksi-sanksi sosial tertentu terhadap kesangsian seperti itu, yang bisa membuyarkan (mendisintegrasikan) kenyataan, sudah diinternalisasi dan ditegaskan kembali secara terus-menerus. Ejekan merupakan salah satu sanksi seperti itu. Selama ia tetap berada dalam struktur kemasuk-akalan, individu merasa dirinya tercemooh setiap kali dalam hatinya timbul kesangsian subjektif mengenai kenyataan yang bersangkutan. Ia tahu orang-orang lain akan melemparkan senyum kepadanya jika ia mengemukakan kesangsian itu. Ia dapat secara diam-diam tersenyum kepada dirinya sendiri, secara imajiner mengangkat bahu-dan terus bereksistensi di dalam dunia yang sudah dibenarkan itu. Tak perlu dijelaskan lagi kiranya bahwa prosedur ototerapi seperti itu akan jauh lebih sulit jika struktur kemasukakalan tidak tersedia lagi sebagai matrik sosialnya. Senyum itu


-223-
lalu akan dipaksakan, dan pada akhirnya mungkin akan digantikan oleh kerutan wajah yang keruh.
Dalam situasi krisis, pada pokoknya prosedurnya sama seperti prosedur rutin untuk memelihara kenyataan, kecuali bahwa konfirmasi kenyataannya harus eksplisit dan intensif. Seringkali digunakan teknik-teknik ritual. Sementara individu bisa berimprovisasi dalam prosedur memelihara kenyataan dalam menghadapi krisis, masyarakat sendiri sudah menentukan prosedur-prosedur tertentu bagi situasi yang diakui melibatkan risiko akan ambruknya kenyataan. Termasuk dalam situasi yang sudah ditentukan itu adalah situasi marjinal tertentu, antarala lain yang paling penting adalah kematian. Tetapi krisis-krisis kenyataan bisa terjadi dalam kasus-kasus yang jumlahnya jauh lebih besar daripada yang diandaikan oleh situasi marjinal. Krisis itu bisa bersifat kolektif atau individual, tergantung kepada sifat tantangan terhadap kenyataan yang sudah didefinisikan secara sosial. Sebagai contoh, ritual kolektif untuk memelihara kenyataan bisa dilembagakan pada waktu terjadinya bencana alam, ritual individual pada waktu dimana seseorang tertentu mengalami musibah. Atau, contoh lainnya, prosedur-prosedur tertentu untuk memelihara kenyataan dapat ditetapkan untuk menghadapi orang asing dan ancaman mereka yang potensial terhadap kenyataan yang "resmi". Individu mungkin harus menjalani upacara penyucian yang rumit sesudah mengadakan kontak dengan orang asing. Penyucian itu diinternalisasi sebagai penihilan subjektif dari kenyataan alternatif yang diwakili oleh orang asing itu. Demikian pula, tabu, pengusiran roh jahat, dan kutukan terhadap orang asing, orang bid'ah atau orang gila, bertujuan pemepiharaan "kesehatan mental" individu. Keras-tidaknya prosedur-prosedur pertahanan ini akan sebanding dengan anggapan akan gawat tidaknya ancaman itu. Apabila kontak-kontak dengan kenyataan alternatif dan wakil-wakilnya menjadi sering, prosedur defensif itu dengan sendirinya dapat kehilangan sifat krisisnya dan menjadi rutin. Tiap kali seseorang berjumpa dengan orang asing, umpamanya, ia harus meludah tiga kali-tanpa memikirkan hal itu lebih lanjut.
Dengan sesuatu yang telah dikemukakan hingga di sini me-


-224-
ngenai sosialisasi mengimplikasikan kemungkinan bahwa kenyataan subjektif bisa ditransformasikan. Berada dalam suatu masyarakat sudah berarti melibatkan diri dalam proses yang terus-menerus untuk memodifikasi kenyataan subjektif. Maka berbicara tentang transformasi melibatkan suatu pembahasan tentang berbagai tingkat modifikasi. Di sini kita akan memusatkan perhatian kita kepada kasus yang ekstrim, di mana terjadi suatu transformasi yang hampir total; yakni, di mana individu "berganti dunia". Jika proses-proses yang terlibat dalam kasus ekstrim ini bisa dijelaskan, maka proses-proses dalam kasus yang tidak begitu ekstrim akan lebih mudah dipahami.
Secara khas, transformasi itu secara subjektif dipahami sebagai total. Hal ini, tentunya, merupakans alah pengertian. Oleh karena kenyataan subjektif tidak pernah disosialisasikan sepenuhnya, ia tidak bisa ditransformasikan sepenuhnya oleh proses-proses sosial. Paling tidak, individu yang mengalami transformasi itu akan memiliki badan yang sama dan hidup dalam universum jasmaniah yang sama. Meskipun demikian, ada kasus-kasus transformasi yang tampak total jika dibandingkan dengan modifikasi tingkat rendahan. Transformasi seperti itu kita namakan penyelingan (alternation).[24]
Penyelingan memerlukan proses re-sosialisasi. Proses-proses itu mirip dengan sosialisasi primer, karena harus secara radikal memindahkan warna-warna kenyataan dan, karena itu, harus meniru sedapat mungkin pengidentifikasian yang sangat afektif dengan personil sosialisasi yang merupakan ciri khas masa kanak-kanak. Proses-proses itu berbeda dengan sosialisasi primer yang tidak memulai secara ex nihilo, dan karena itu harus menanggulangi masalah pembongkaran, pembuyaran struktur nomik yang sudah ada pada kenyataan sobjektif. Bagaimana caranya?
Sebuah "resep" bagi penyelingan yang berhasil harus mencakup kondisi-kondisi sosial maupun konseptual, di mana yang sosial, tentunya, berfungsi sebagai matriks bagi yang


-225-
konseptual. Kondisi sosial yang paling penting adalah tersedianya suatu struktur kemasuk-akalan yang efektif; yakni, suatu landasan sosial yang berfungsi sebagai "laboratorium" transformasi. Struktur kemasuk-akalan ini akan diantarkan kepada individu melalui orang-orang berpengaruh yang dengannya ia harus mengadakan pengidentifikasian afektif yang kuat. Tak mungkin terjadi suatu transformasi kenyataan subjektif yang radikal (remasuk, tentunya, identitas) tanpa pengidentifikasian seperti itu, yang secara tak terelakkan meniru pengalaman-pengalaman ketergantungan emosional masa kanak-kanak kepada orang-orang yang berpengaruh.[25] Orang-orang yang berpengaruh itu merupakan pemandu memasuki kenyataan baru. Mereka mewakili struktur kemasukakalan dalam peranan yang mereka mainkan berhadapan dengan individu (peranan yang secara khas ditentukan secara eksplisit menurut fungsi resosialisasi mereka), dan mereka mengantarai dunia baru itu kapada individu. Dunia individu sekarang memperoleh fokus kognitif dan afektifnya dalam struktur kemasukakalan tersebut. Dari segi sosial, hal ini berarti suatu konsentrasi yang intens dari semua interaksi yang bermakna di dalam kelompok yang mengandung struktur kemasuk-akalan itu, dan khususnya terdapat personil yang mendapat tugas resosialisasi.
Prototipe historis penyelingan adalah peristiwa konversi (berganti agama). Pertimbangan-pertimbangan di atas bisa diterapkan kepada peristiwa ini dengan pernyataan extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tak ada penyelamatan). Dengan salus kami maksudkan di sini (dengan permintaan maaf yang semestinya kepada para teolog yang mempunyai maksud-mak-


-226-
sud lain ketika mereka menciptakan ungkapan ini) pelaksanaan konversi yang secara empiris berhasil. Hanya di dalam komunitas agamalah, yakni ecclesia, konversi itu bisa dipertahankan dengan efektis sebagai masuk akal. Ini tidak berarti mengingkari bahwa konversi mungkin saja mendahului masuknya orang yang bersangkutan ke dalam komunitas-Sulus dari Tarsus mencari komunitas Kristen sesudah "pengalamannya di Damaskus". Tetapi bukan itu soalnya. Mengalami konversi tidak berarti banyak. Yang penting adalah untuk bisa terus menganggapnya secara sungguh-sungguh; untuk tetap menyadari kemasuk-akalannya. Di sinilah pentingnya komunitas agama. Ia memberikan struktur (kemasuk-akalan) yang diperlukan bagi kenyataan baru. Dengan kata lain, Saulus bisa saja menjadi Paulus dalam kesendiriannya ekstase relijiusnya, tetapi ia hanya bisa tetap sebagai Paulus dalam konteks komunitas Kristen yang mengakuinya sebagai demikian dan yang mengkonfirmasikan "keberadaan baru" di mana ia sekarang menempatkan identitas ini. Hubungan antara konversi dan komunitas ini bukan merupakan fenomen yang hanya terdapat dalam dunia Kristen (meskipun dalam hal ini ecclesia Kristen secara historis mempunyai ciri-ciri yang istimewa). Seorang Muslim tidak akan bisa tetap Muslim bila berada di luar ummat Islam, begitu pula seorang Buddhis di luar sangha, dan barangkali tidak ada pemeluk agama Hindu di luar India. Agama memerlukan suatu komunitas keagamaan, dan hidup di dalam suatu dunia keagamaan memerlukan keanggotaan di dalam komunitas itu.[26] Struktur kemasuk-akalan dari konversi keagamaan telah ditiru oleh badan-badan penyelingan sekular. Contoh-contoh paling baik terdapat dalam bidang indoktrinasi politik dan psikoterapi.[27]


-227-
Struktur kemasuk-akalan itu harus menjadi dunia individu, menggantikan semua dunia-dunia lainnya, khususnya dunia yang "dihuni" oleh individu itu sebelum penyelingannya. Ini menuntut pemisahan individu dari "para penghuni" dunia-dunia lainnya, terutama yang merupakan "sesama penghuninya" di dunia yang telah ia tinggalkan. Secara ideal ini merupakan satu pemisahan secara jasmaniah. Jika itu tidak mungkin, karena alasan apa pun, maka pemisahannya ditentukan menurut definisi; artinya, oleh definisi tentang orang-orang lain yang meniadakan mereka. Individu yang mengalami penyelingan melepaskan diri dari dunianya yang lama dan dari struktur kemasukakalan yang mendukungnya, secara jasmani jika mungkin, dan secara rohaniah jika itu tidak mungkin. Bagaimanapun juga, ia tidak lagi "dipasang bersama-sama dengan orang-orang yang tidak percaya", dan dengan demikian ia terlindung dari pengaruh mereka yang potensial untuk merusak kenyataan. Pemisahan seperti itu terutama penting dalam tahap-tahap awal penyelingan (tahap "masa percobaan"). Begitu kenyataan baru itu sudah mengental, hubungan dengan orang-orang luar bisa diadakan lagi dengan cara hati-hati, meskipun orang-orang luar yang dulu berpengaruh secara biografis masih berbahaya. Mereka orang-orang akan berkata, "kembalilah, Saulus", dan mungkin ada saat-saat di mana kenyataan lama yang mereka serukan mewujudkan diri sebagai godaan.
Dengan demikian penyelingan melibatkan satu reorganisasi dari alat percakapan. Pihak-pihak yang terlibat dalam percakapan yang bermakna berubah. Dan dalam percakapan dengan orang-orang baru yang berpengaruh, kenyataan subjektif mengalami transformasi. Ia dipelihara dengan percakapan yang berlanjut dengan mereka atau di dalam komunitas yang mereka wakili. Gampangnya, ini berarti bahwa orang sekarang harus sangat hati-hati dengan lawan bicaranya. Orang dan gagasan yang tidak cocok dengan definisi baru tentang kenyataan, secara


-228-
sistematis dihindari.[28] Oleh karena upaya itu jarang berhasil sepenuhnya, mungkin karena ingatan terhadap kenyataan yang lampau, struktur kemasuk-akalan yang baru secara khas akan menyediakan berbagai prosedur terapeutik untuk mengatasi kecenderungan "tergelincir kembali" itu. Prosedur-prosedur ini mengikuti pola terapi yang umum, seperti yang telah kita bahas sebelum ini.
Persyaratan konseptual yang paling penting bagi pengelingan adalah tersedianya suatu aparat legitimasi untuk keseluruhan tahapan transformasi. Yang harus dilegitimasikan itu tidak hanya kenyataan baru, tetapi tahap-tahap yang dilalui untuk memperoleh dan memeliharanya, serta untuk meninggalkan atau menolak semua kenyataan alternatif. Segi penihilan dari peralatan konseptual ini sangat penting mengingat masalah pembongkaran yang harus dipecahkan. Kenyataan lama, serta berbagai kolektivitas dan orang-orang yang berpengaruh yang sebelumnya mengantarai kenyataan itu dengan individu, harus ditafsirkan kembali di dalam rangka aparat legitimasi kenyataan. Penafsiran kembali ini menimbulkan keterputusan dalam biografi subjektif individu dari segi pengertian-pengertian seperti "Sebelum Masehi" dan "Tahun Masehi", "masa pra-Damaskus" dan "masa pasca-Damaskus". Segala sesuatu yang mendahului penyelingan sekarang dipahami sebagai menuju ke arahnya (katakanlah semacam "Kitab Perjanjian Lama", atau sebagai preparatio evangelii), dan segala sesuatu yang terjadi sesudahnya sebagai mengalir dari kenyataan baru. Ini melibatkan suatu penafsiran kembali biografi masa lampau secara keseluruhan, menurut rumus "Dulu saya berpikir … sekarang saya tahu". Seringkali hal ini mencakup retrojeksi ke masa lampau dari skema-skema penafsiran yang sekarang (yang rumusnya adalah, "dulu saya sudah tahu, meski belum dengan jelas …") dan motif-motif yang secara subjektif tidak terdapat di masa lampau, tetapi yang sekarang diperlukan untuk menafsirkan kembali apa yang telah terjadi di waktu dulu itu (yang rumus-


-229-
nya adalah, "Saya sesungguhnya telah melakukan hal ini karena …"). Biografi dari sebelum penyelingan secara khas ditiadakan seluruhnya dengan jalan memasukkannya ke dalam suatu kategori negatif yang menduduki tempat yang strategis dalam aparat legitimasi baru: "Ketika saya masih didorong oleh kebutuhan-kebutuhan neurotik yang tidak disadari itu". Dengan demikian keterputusan biografis itu diidentifikasi dengan suatu pemisahan kognitif antara yang gelap dan yang terang.
Di samping penafsiran kembali secara keseluruhan ini harus ada pula penafsiran kembali peristiwa-peristiwa khusus masa lalu dan orang-orang yang dulu berpengaruh. Bagi individu yang mengalami penyelingan itu, tentunya, yang paling baik adalah apabila ia dapat melupakan sama sekali beberapa diantaranya. Tetapi untuk melupakannya sama sekali sangatlah sulit. Maka, yang diperlukan adalah suatu penafsiran kembali yang radikal makna peristiwa-peristiwa dan orang-orang dari masa lampau dalam biografi seseorang. Oleh karena relatif lebih mudah untuk membuat-buat hal-hal yang belum terjadi daripada untuk melupakan hal-hal yang telah terjadi, maka individu mungkin akan mengarang dan menyisipkan peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu untuk menyelaraskan apa yang masih diingat dengan yang sudah ditafsirkan kembali dari masa lampau. Oleh karena yang sekarang tampak paling masuk akal baginya adalah kenyataan baru dan bukan kenyataan lama, ia mungkin sungguh-sungguh "jujur" dalam prosedur seperti itu-secara subjektif, ia tidak berbohong tentang masa lampau melainkan menyesuaikannya dengan kebenaran satu-satunya yang, tak boleh tidak, mencakup masa kini dan masa lalu. Sambil lalu dapat dikemukakan bahwa hal ini penting sekali jika kita ingin memahami secara memadai motif-motif di balik pemutarbalikan dan pemalsuan dokumen-dokumen keagamaan yang berulangkali terjadi dalam sejarah. Juga orang-orang, terutama yang berpengaruh, ditafsirkan kembali dengan cara seperti itu. Orang-orang itu sekarang merupakan pelaku-pelaku yang enggan dalam suatu drama yang maknanya memang tidak jelas bagi mereka;


-230-
dan, tidak mengherankan, mereka secara khas menolak peranan yang diberikan kepada mereka itu. Itulah sebabnya mengapa para nabi mengalami nasib buruk di kota kelahiran mereka sendiri; dan dalam konteks inilah kita dapat memahami ucapan Yesus bahwa pengikut-pengikutnya harus meninggalkan ayah dan ibu mereka.
Sekarang tidak sulit untuk menawarkan suatu "resep" khusus bagi penyelingan ke dalam kenyataan yang bagaimanapun yang bisa dibayangkan, betapa pun tak masuk akalnya dari sudut pandang orang luar. Adalah mungkin untuk menentukan prosedur-prosedur spesifik untuk, umpamanya, meyakinkan individu-individu bahwa mereka bisa berkomunikasi dengan makhluk dari angkasa luar asalkan saja dan selama mereka berpegang teguh kepada diet makanan yang hanya terdiri dari ikan mentah. Kami menyerahkan kepada daya khayal pembaca, jika mau, untuk mengembangkan lebih lanjut rincian dari sekte Ikhtiosofis seperti itu. "Resep" itu akan melibatkan pembangunan suatu struktur kemasuk-akalan Ikhtiosofis, yang dipisahkan sebagaimana mestinya dari dunia luar serta dilengkapi dengan personil sosialisasi dan terapi yang diperlukan; pengembangan lebih jauh perangkat pengetahuan Ikhtiosofi sehingga cukup canggih untuk menjelaskan mengapa perkaitan yang sudah begitu jelas dengan sendirinya antara ikan mentah dan telepati yang menerobos bimasakti itu tidak ditemukan sebelumnya; dan legitimasi serta penihilan-penihilan yang perlu agar perjalanan individu menuju kebenaran besar itu masuk akal. Jika prosedur-prosedur ini ditaati dengan cermat, kemungkinan besar untuk berhasil, begitu seorang individu telah dapat dipikat atau diculik dan dimasukkan ke dalam lembaga cuci otak Ikhtiosofis.
Dalam prakteknya sudah tentu terdapat banyak tipe yang berada di antara sosialisasi kembali seperti yang baru dibahas itu dan sosialisasi sekunder yang membangun di atas internalisasi primer. Dalam prosedur-prosedur ini terjadilah transformasi parsial dari kenyataan subjektif atau sektorsektor tertentunya saja. Transformasi-transformasi seperti itu lazim dalam masyarakat masa kini dalam hubungannya dengan


-231-
mobilitas sosial dan pendidikan bidang kerja individu.[29] Dalam hal ini transformasi kenyataan subjektif bisa mencapai tingkat tinggi, sementara individu dibentuk ke dalam tipe kelas-menengah-atas yang dapat diterima atau menjadi seorang dokter yang dapat diterima, dan sementara ia menginternalisasi tetek bengek kenyataan yang semestinya. Tetapi transformasi-transformasi ini secara khas tidak dapat mencapai tingkat sosialisasi kembali. Transformasi-transformasi ini membangun di atas landasan internalisasi primer dan pada umumnya menghindari keterputusan yang mendadak di dalam biografi subjektif individu. Sebagai akibatnya maka transformasi-transformasi itu menghadapi masalah pemeliharaan konsistensi antara unsur-unsur yang lama dan yang baru pada kenyataan subjektif. Masalah ini, yang tidak terdapat dalam bentuk sosialisasi kembali ini, yang menimbulkan keterputusan dalam biografi subjektif dan menafsirkan kembali masa lalu dan bukan menghubungkan masa kini dengannya, menjadi lebih gawat dengan semakin miripnya sosialisasi sekunder dengan sosialisasi-kembali tanpa benar-benar menjadi sosialisasi-kembali itu. Sosialisasi-kembali adalah semacam pemutusan "simpul Gordius"-yakni dengan jalan menghentikan saja usaha mencari konsistensi dan membangun kembali kenyataan de novo (baru).
Prosedur untuk memelihara konsistensi juga melibatkan manipulasi masa lampau, tetapi dengan cara yang tidak begitu radikal-suatu cara pendekatan yang dituntut oleh fakta bahwa dalam kasus-kasus seperti itu biasanya terdapat suatu asosiasi yang berlangsung terus dengan orang-orang dan kelompok yang berlangsung terus dengan orang-orang dan kelompok yang berpengaruh di masa lampau. Orang-orang dan kelompok itu masih ada, mereka agaknya akan memprotes penafsiran-penafsiran ulang yang terlalu mengada-ada, dan karena itu harus diyakinkan bahwa transformasi-transformasi seperti yang telah terjadi itu masuk akal. Sebagai contoh, dalam kasus transformasi yang terjadi bersamaan dengan mobilitas sosial, sudah terdapat skema-skema penafsiran yang siap pakai yang


-232-
menjelaskan apa yang telah terjadi kepada semua pihak yang bersangkutan tanpa mengandaikan suatu metamorfosa menyeluruh individu yang bersangkutan. Dengan demikian, orang tua individu yang mengalami mobilitas ke atas akan dapat menerima perubahan-perubahan tertentu dalam kelakuan dan sikap anak mereka sebagai sesuatu yang harus menyertai kedudukan barunya dalam kehidupan dan malahan sebagai hal yang dianggap baik. "Sudah tentu", mereka akan sependapat bahwa Irving harus memperlunak sifat keyahudiannya sekarang sesudah ia menjadi dokter yang berhasil di daerah pinggiran kota; "sudah tentu" ia sekarang mempunyai gaya berpakaian dan berbicara yang berbeda; "sudah tentu" ia sekarang memberikan suaranya kepada Partai Republik; "sudah tentu" ia kawin dengan seorang gadis Vassar-dan barangkali juga akan dianggap sebagai sudah sewajarnya bahwa ia sekarang jarang berkunjung ke rumah orang tuanya. Skema-skema penafsiran seperti itu, yang sudah tersedia dalam keadaan siap pakai dalam suatu masyarakat dengan tingkat mobilitas ke atas yang tinggi dan yang sudah diinternalisasi oleh individu sebelum ia sendiri mengalami mobilitas, menjamin kesinambungan biografis dan memperhalus inkonsistensi yang timbul.[30]

Prosedur-prosedur serupa berlangsung dalam situasi di mana transformasi terjadi dengan cukup radikal tetapi ditentukan sebagai hal yang berlangsung untuk sementara waktu saja-umpamanya, dalam pendidikan untuk dinas militer jangka pendek atau dalam kasus-kasus perawatan jangka pendek di rumah sakit.[31] Dalam hal ini perbedaannya dengan sosialisasi-kembali yang penuh sangat mudah dilihat-dengan jalan memperbandingkan apa yang terjadi itu dengan pendidikan untuk dinas militer karir atau dengan sosialisasi pasien kronis. Dalam kasus-


-233-
kasus yang disebut duluan, konsistensi dengan kenyataan dan identitas yang lama (eksistensi sebagai orang sipil atau sebagai orang yang sehat) sudah diandaikan dengan adanya asumsi bahwa orang yang bersangkutan nantinya akan kembali ke kenyataan dan identitas yang lama itu.
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa prosedur-prosedur yang terlibat mempunyai sifat yang saling berlawanan. Dalam sosialisasi-kembali, masa lalu ditafsirkan kembali agar sesuai dengan kenyataan yang sekarang, disertai kecenderungan untuk meretrojeksikan ke masa lampau berbagai usnur yang secara subjektif tidak tersedia ketika itu. Dalam sosialisasi sekunder masa sekarang ditafsirkan begitu rupa sehingga mempunyai hubungan kesinambungan dengan masa lalu, disertai kecenderungan untuk meminimalkan transformasi-transformasi yang benar-benar terjadi. Dengan kata lain, landasan kenyataan bagi sosialisasi-kembali adalah masa sekarang dan bagi sosialisasi sekunder adalah masa lalu.


Internalisasi dan Struktur Sosial

Sosialisasi selalu berlangsung dalam konteks suatu struktur sosial tertentu. Tidak hanya isinya, tetapi juga tingkat "keberhasilannya", mempunyai kondisi sosial-struktural dan konsekuensi sosial-struktural. Dengan kata lain, analisa mikro-sosiologis atau sosial-psikologis dari fenomen-fenomen internalisasi harus selalu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman makro-sosial tentang aspek-aspek strukturalnya.[32]
Pada tingkat analisa teoritis yang hendak dicoba di sini kita tidak dapat memasuki suatu pembahasan terinci mengenai berbagai hubungan empiris antara isi sosialisasi dan konfigurasi


-234-
sosial-struktural.[33] Namun demikian, beberapa catatan umum bisa dikemukakan mengenai aspek-aspek sosial-struktural dari sosialisasi yang "berhasil". Dengan "sosialisasi yang berhasil" kami maksudkan terciptanya suatu tingkat simetri yang tinggi antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif (dan dengan sendirinya, juga identitas). Sebaliknya, "sosialisasi yang tidak berhasil" hendaknya dilihat dari segi adanya asimetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif. Seperi yang telah kita lihat, sosialisasi yang berhasil sepenuhnya tidaklah mungkin dari segi antropologis. Sosialisasi yang sama sekali tidak berhasil, paling tidak, sangat jarang terjadi, dan hanya terbatas pada kasus-kasus individu yang gagal dalam sosialisasi yang paling minim sekalipun karena patologi organik yang sangat berat. Karena itu, analisa kita harus tertuju pada tingkat-tingkat yang terletak pada suatu kontinum yang kedua ujungnya secara empiris tidak tersedia bagi kita. Analisa seperti itu berguna karena dengan demikian memungkinkan mengungkapkan beberapa pernyataan umum mengenai berbagai kondisi dan konsekuensi sosialisasi yang berhasil.

Keberhasilan yang maksimal dalam sosialisasi agaknya akan terjadi dalam masyarakat-masyarakat dengan pembagian kerja yang masih sangat sederhana dan distribusi pengetahuan yang masih minim. Sosialisasi dalam kondisi-kondisi seperti itu menghasilkan identitas-identitas yang secara sosial sudah didefinisikan lebih dulu dan garis-garis besarnya sudah ditetapkan dengan sangat seksama. Karena tiap individu dihadapkan pada program kelembagaan yang pada pokoknya sama bagi kehidupannya dalam masyarakat, maka segenap kekuatan tatanan kelembagaan dikerahkan dengan bobot yang kurang lebih sama untuk mempengaruhi tiap individu, sehingga menghasilkan suatu kemasifan yang memaksa (a compelling massivity) bagi kenyataan objektif yang hendak diinternalisasi.


-235-
karena itu identitas sudah dirancang dengan sangat seksama, dalam arti dapat mencerminkan sepenuhnya kenyataan objektif di mana identitas itu berada. Singkatnya, setiap orang adalah benar-benar apa yang diandaikan tentang dia. Dalam masyarakat seperti itu, identitas mudah dikenal, secara objektif maupun subjektif. Setiap orang tahu siapa tiap orang lain dan siapa dirinya. Seorang ksatria adalah ksatria dan seorang petani adalah petani, bagi orang lain maupun bagi diri mereka sendiri. Karena itu tidak ada masalah identitas. Pertanyaan, "Siapa aku ini?" agaknya tak akan timbul dalam kesadaran, karena jawabannya yang sudah didefinisikan lebih dulu secara sosial sudah sangat nyata subjektif dan secara terus-menerus dikonfirmasikan dalam semua interaksi sosial yang berarti. Ini sama sekali tidak mengandung arti bahwa individu merasa bahagia dengan identitasnya. Umpamanya, sejak dulu pun kiranya tidak terlalu menyenangkan hidup sebagai petani. Hidup sebagai petani melibatkan segala macam masalah, yang hanya secara subjektif, yang menekan dan jauh dari menghasilkan kebahagiaan. Tetapi, itu tidak melibatkan masalah identitas. Seseorang adalah petani yang sengsara, dan barangkali malahan yang suka memberontak. Tapi ia adalah petani. Orang-orang yang dibentuk dalam kondisi-kondisi seperti itu agaknya tak mungkin memahami diri mereka sendiri dari segi "kedalaman-kedalaman yang tersembunyi" dalam pengertian psikologis. Diri "di permukaan" dan diri "di bawah permukaan" hanya dibedakan dari segi jangkauan realitas subjektif yang hadir dalam kesadaran dalam saat-saat tertentu, tidak dari segi pembedaan permanen "lapisan-lapisan" diri. Sebagai contoh, petani memahami dirinya dalam suatu peran ketika ia sedang memukuli istrinya dan dalam peran yang lain ketika ia membungkuk-bungkuk di hadapan tuannya. Dalam tiap kasus, peran yang lainnya berada "di bawah permukaan"; artinya tidak diperhatikan dalam kesadaran si petani itu. Tetapi dari kedua peran itu tidak ada yang diandaikan sebagai diri yang "lebih dalam" atau "lebih nyata". Dengan kata lain, individu dalam masyarakat seperti itu tidak hanya apa yang diandaikan tentang dirinya, tetapi ia memang demikian dengan cara yang menyatu


-236-
"tanpa lapisan-lapisan".[34]
Dalam kondisi-kondisi seperti itu, sosialisasi yang tidak berhasil hanya terjadi sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan biografis, biologis atau sosial. Umpamanya, sosialisasi primer seorang anak mungkin terganggu akibat suatu cacat jasmani yang dianggap aib oleh masyarakat atau akibat terkena noda yang didasarkan atas definisi-definisi sosial.[35] Anak yang pincang atau yang lahir di luar perkawinan merupakan prototipe kedua kasus itu. Ada juga kemungkinan bahwa sosialisasi secara intrinsik dihalang-halangi oleh hambatan-hambatan biologis, seperti dalam kasus kelemahan mental yang berat. Semua kasus itu bersifat sebagai nasib buruk individu. Kasus-kasus itu tidak memberikan landasan bagi pelembagaan identitas-identitas tandingan (counter-identities) dan kenyataan tandingan (counter-reality). Sesungguhnya, fakta ini merupakan ukuran bagi nasib buruk yang terdapat dalam biografi-biografi seperti itu. Dalam masyarakat semacam itu, orang yang pincang atau yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak memiliki pertahanan subjektif terhadap identitas ternoda yang diperuntukkan baginya. Ia adalah sebagaimana yang diandaikan tentang dirinya, bagi dirinya sendiri maupun bagi para pengasuhnya dan bagi komunitas secara keseluruhan. Memang benar ia bisa bereaksi terhadap nasibnya itu dengan rasa benci atau amarah yang besar, tetapi kebencian dan kemarahannya itu dalam keadaannya sebagai makhluk yang lebih rendah. Kebencian dan kemarahannya malahan bisa berfungsi sebagai pengesahan yang menentukan atas identitasnya yang didefinisikan secara sosial sebagai makhluk yang lebih rendah, karena sesamanya yang lebih baik-menurut definisinya-berada di atas emosi-emosi yang kasar seperti itu. Ia terkurung


-237-
di dalam kenyataan objektif masyarakatnya, meskipun kenyataan itu secara subjektif menampilkan diri kepadanya dengan cara yang asing dan terpotong. Indiidu semacam itu sosialisasinya akan gagal; artinya, akan terdapat tingkat asimetri yang tinggi antara realitas yang didefinisikan secara sosial di mana ia de facto terperangkap, seperti dalam suatu dunia yang asing, dan kenyataan subjektifnya sendiri, yang hanya dapat mencerminkan dunia itu dengan cara yang sangat tidak sempurna. Tetapi asimetri itu tidak akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi struktural yang akumulatif, karena ia tidak mempunyai landasan sosial yang dapat diwujudkan menjadi suatu dunia-tandingan (counter-world) dengan perangkat identitas-identitas tandingannya sendiri yang sudah dilembagakan. Individu yang sosialisasinya tidak berhasil itu sendiri sudah didefinisikan sebelumnya secara sosial sebagai satu tipe yang sudah digariskan dengan jelas-si pincang, si anak haram, si dungu, dan sebagainya. Karena itu, apa pun identitas-diri yang berlawanan, yang mungkin timbul dari waktu ke waktu dalam kesadarannya sendiri, tidak akan memiliki struktur masuk-akal yang dapat mentransformasikannya menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar khayalan-khayalan yang berlalu begitu saja.
Awal definisi-definisi tandingan tentang kenyataan dan identitas akan menampilkan diri begitu individu-individu seperti itu bergabung dalam kelompok-kelompok yang secara sosial mampu bertahan lama. Hal ini akan mencetuskan suatu proses perubahan yang akan menghasilkan distribusi pengetahuan yang lebih kompleks. Sekarang suatu kenyataan tandingan mungkin akan mulai diobjektivasikan di dalam kelompok marjinal orang-orang yang sosialisasinya tidak berhasil itu. Pada titik ini, tentunya, kelompok itu akan memulai proses-proses sosialisasinya sendiri. Sebagai contoh, orang-orang penderita kusta dan orang-orang keturunan penderita kusta mungkin akan dianggap terkutuk dalam suatu masyarakat. Cap seperti itu mungkin hanya terbatas pada orang-orang yang benar-benar secara fisik menderita penyakit itu, atau bisa juga mencakup orang-orang lain berdasarkan definisi sosial-umpamanya, setiap orang yang lahir pada saat sedang terjadi gempa bumi.


-238-
Dengan demikian, individu-individu bisa didefinisikan sebagai penderita kusta sejak lahir, dan definisi ini dapat sangat mempengaruhi sosialisasi primer mereka-umpamanya, di bawah asuhan seorang wanita tua gila yang menghidupi mereka secara fisik di luar lingkungan komunitas dan yang memperkenalkan mereka pada tradisi-tradisi kelembagaan komunitas itu secara minim. Selama individu seperti itu, bahkan andaikata jumlah mereka lebih dari segelintir orang sekalipun, tidak membentuk komunitas-tandingan mereka sendiri, maka identitas-identitas mereka baik yang objektif maupun yang subjektif akan sudah lebih dulu ditentukan sesuai dengan program kelembagaan komunitas itu bagi mereka. Mereka akan tetap merupakan penderita kusta, tidak lebih dari itu.
Situasi ini akan mulai berubah apabila ada suatu tempat pemukiman penderita kusta yang cukup besar dan mampu bertahan untuk berfungsi sebagai suatu struktur masuk-akal bagi definisi-definisi tandingan tentang kenyataan-dan tentang nasib penderita kusta. Menjadi penderita kusta, apakah secara biologis atau sosial, mungkin sekarang akan dianggap sebagai suatu pertanda khusus bahwa orang yang bersangkutan sudah dipilih oleh para dewa. Individu-individu yang tadinya tidak mungkin menginternalisasi sepenuhnya kenyataan komunitas, sekarang mungkin akan bisa disosialisasikan ke dalam kenyataan tandingan dari tempat pemukiman penderita kusta; artinya, kegagalan sosialisasi ke dalam suatu dunia sosial dapat diiringi oleh keberhasilan sosialisasi ke dalam dunia sosial yang lain. Pada tiap tahap awal dari proses perubahan seperti itu, perwujudan kenyataan tandingan dan identitas tandingan mungkin berlangsung di luar pengetahuan masyarakat luas, yang masih saja berpegang pada pradefinisi dan identitas individu-individu itu sebagai penderita kusta, tak lain dari itu. Mereka tidak tahu bahwa, "sesungguhnya" orang-orang itu adalah anak-anak dewa yang diistimewakan.
Pada tingkat ini, individu yang digolognkan ke dalam kategori penderita kusta mungkin akan menemukan "kedalaman tersembunyi" dalam dirinya sendiri. Pertanyaan "Siapa aku ini?" lalu menjadi mungkin, karena sekarang dari


-239-
segi sosial tersedia dua jawaban bertentangan-jawaban yang diberikan oleh si wanita tua gila ("kau ini penderita kusta") dan jawaban yang diberikan oleh personil sosialisasi pemukiman penderita kusta itu sendiri ("kau ini anak dewa"). Karena individu di dalam kesadarannya memberikan status yang istimewa kepada definisi-definisi yang diberikan di dalam pemukiman itu tentang kenyataan dan dirinya sendiri, maka terjadilah suatu keterputusan antara perilakunya yang "tampak" dalam masyarakat luas dan identifikasi dirinya yang "tidak tampak" sebagai orang yang lain sekali. Dengan kata lain, terjadi perpecahan antara "penampilan" dan "kenyataan" dalam pemahaman-diri individu. Ia tidak lagi apa yang diandaikan tentang dirinya. Ia berprilaku sebagai penderita kusta-ia adalah anak dewa. Jika kita maju selangkah lagi dalam contoh itu, sampai ke titik di mana perpecahan itu diketahui oleh komunitas bukan penderita kusta, maka tidak akan sulit untuk dipahami bahwa kenyataan komunitas itu sendiri pun akan terpengaruh oleh perubahan itu. Secara minimal, komunitas itu tidak lagi akan begitu mudah mengakui identitas mereka yang didefinisikan sebagai penderita kusta-orang tidak lagi begitu yakin apakah individu yang didefinisikan demikian itu juga mengidentifikasikan dirinya dengan cara yang sama atau tidak. Secara maksimal, tidak akan merupakan soal yang mudah lagi untuk mengakui identitas siapa pun-sebab apabila para penderita kusta dapat menolak menjadi apa yang diandaikan tentang mereka, maka orang-orang lainnya pun dapat berbuat begitu; barangkali, juga saya sendiri. Jika proses ini pada mulanya seakan-akan mengada-ada, ia dengan indah sekali diilustrasikan oleh Gandhi yang memberikan nama harijan ("anak-anak Tuhan") kepada kaum paria dalam Hinduisme.
Begitu distribusi pengetahuan dalam masyarakat menjadi lebih kompleks, kegagalan sosialisasi bisa disebabkan karena para pengasuh yang berlainan mengantarkan berbagai kenyataan objektif kepada individu. Dengan kata lain, kegagalan sosialisasi bisa merupakan akibat heterogenitas di kalangan personil sosialisasinya. Ini bisa terjadi dengan berbagai cara. Bisa timbul suatu situasi di mana semua pengasuh dalam sosialisasi primer


-240-
mengantarkan kenyataan yang sama tetapi dari perspektif yang sangat berbeda satu sama lain. Sudah tentu, sampai tingkat tertentu, setiap pengasuh mempunyai perspektif yang berbeda mengenai kenyataan bersama, hanya karena ia adalah seorang individu tertentu dengan biografi tertentu pula. Tetapi konsekuensi-konsekuensi yang kami maksudkan di sini hanya terjadi apabila perbedaan-perbedaan di antara para penasuh itu menyangkut tipe-tipe sosial mereka dan bukan kekhasan mereka sebagai individu. Sebagai contoh, pria dan wanita bisa "menghuni" dunia sosial yang sangat berbeda dalam suatu masyarakat. Jika pria maupun wanita sama-sama berfungsi sebagai penasuh dalam sosialisasi primer, maka mereka akan mengantarkan kenyataan yang berbeda satu sama lain kepada si anak. Hal itu, pada dirinya sendiri, tidak menimbulkan ancaman terhadap keberhasilan sosialisasi. Versi-versi pria dan wanita tentang realitas sudah diakui secara sosial, dan pengakuan ini pun dialihkan dalam sosialisasi primer. Maka pada anak laki-laki, versi pria yang sesuai dengan pradefinisi akan lebih menonjol, sedangkan pada anak perempuan versi wanitalah yang lebih kuat. Anak akan mengetahui versi yang berlaku bagi lawan jenisnya sejauh hal itu diantarkan kepadanya oleh pengasuh dari lawan jenisnya, tetapi ia tidak akan mengidentifikasikan dirinya dengan versi ini. Distribusi pengetahuan yang minim sekalipun mengandaikan yuridiksi-yuridiksi spesifik bagi versi-versi yang berbeda tentang kenyataan bersama. Dalam kasus di atas, versi wanita didefinisikan secara sosial sebagai tidak memiliki yuridiksi atas anak laki-laki. Biasanya definisi tentang "tempat semestinya" dari kenyataan lawan jenisnya ini diinternalisasikan oleh si anak yang mengidentifikasikan "dengan semestinya" kenyataan di mana ia sudah ditempatkan.
Tetapi "ketidaknormalan" menjadi suatu kemungkinan biografis apabila terjadi persaingan tertentu antara definisi-definisi tentang kenyataan, sehingga ada kemungkinan untuk memilih di antaranya. Karena berbagai sebab biografis, seorang anak bisa saja melakukan "pilihan yang salah". Misalnya saja, seorang anak laki-laki bisa saja menginternalisasi unsur-unsur "yang tidak semestinya" dari dunia wanita, karena


-241-
ayahnya tidak hadir selama periode sosialisasi primer yang sangat menentukan itu dan karenanya sosialisasi itu hanya dilaksanakan ibunya dan ketiga kakaknya yang perempuan. Mereka bisa saja mengantarkan definisi-definisi yurisdiksional yang "semestinya" kepada anak itu sehingga ia tahu bahwa ia dianggap tidak hidup dalam dunia wanita. Namun demikian ia bisa mengidentifikasikan dirinya dengan dunia itu. "Sifat kewanita-wanitaannya" yang dihasilkan oleh sosialisasi itu bisa "tampak" atau "tidak tampak". Tetapi, bagaimanapun juga, akan ada suatu asimetri antara identitasnya yang ditentukan secara sosial dan identitasnya yang nyata secara subjektif.[36]
Tentunya masyarakat akan memiliki mekanisme-mekanisme tetrapi untuk menanggulangi kasus-kasus "abnormal" seperti itu. Di sini kita tidak perlu mengulang apa yang telah dikatakan tentang terapi, kecuali menandaskan bahwa kebutuhan akan mekanisme-mekanisme terapi itu akan bertambah sejalan dengan bertambahnya potensi sosialisasi yang tidak berhasil, yang disebabkan oleh faktor-faktor struktural. Dalam contoh yang baru dikemukakan di atas, anak-anak yang berhasil dalam sosialisasi mereka paling tidak akan menekan anak-anak "yang keliru". Selama belum ada konflik yang mendasar antara definisi-definisi tentang kenyataan yang diantarkan, melainkan hanya ada perbedaan-perbedaan antara versi-versi tentang kenyataan bersama yang itu-itu juga, keberhasilan terapi berpeluang baik.
Sosialisasi yang gagal juga bisa disebabkan oleh pengantaran dunia-dunia yang sangat bertentangan satu sama lain oleh para pengasuh selama berlangsungnya sosialisasi primer. Dengan semakin kompleksnya distribusi pengetahuan, dunia-dunia yang saling bertentangan menjadi tersedia dan dapat diantarkan oleh berbagai pengasuh dalam sosialisasi primer. Hal ini tidak begitu sering terjadi dibandingkan dengan situasi yang baru saja kita bahas, di mana terdapat berbagai versi dari dunia bersama


-242-
yang itu-itu juga di kalangan personil sosialisasi, karena individu-individu (katakanlah, sepasang suami-istri) yang cukup kohesif sebagai satu kelompok untuk melaksanakan tugas sosiologi primer agaknya akan menciptakan semacam dunia bersama di antara mereka. Namun demikian, situasi-di mana terdapat dunia-dunia yang saling bertentangan-memang bisa ditemukan dan dari segi teori sangat penting artinya.
Sebagai contoh, seorang anak mungkin saja dibesarkan tidak hanya oleh orang tuanya tetapi juga oleh seorang pengasuh yang berasal dari suatu submasyarakat etnik atau kelas. Orang tua mengantarkan kepada si anak, katakanlah, dunia aristokrasi penakluk dari suatu ras; pengasuh mengantarkan dunia kaum tani yang ditundukkan dari ras yang lain. Bahkan ada kemungkinan bahwa kedua pengantaran itu menggunakan bahasa yang berbeda sama sekali, yang dipelajari secara bersama oleh si anak, tetapi secara timbal balik tidak dimengerti oleh orang tua dan si pengasuh. Dalam kasus seperti itu, dunia orang tua, tentunya, akan lebih berpengaruh berkat pradefinisi. Si anak akan dikenal oleh semua pihak yang bersangkutan dan oleh dia sendiri sebagai termasuk dalam golongan orang tuanya dan tidak dalam golongan pengasuhnya. Walaupun demikian, pradefinisi tentang yurisdiksi masing-masing dari kedua kenyataan tersebut bisa dikacaukan oleh berbagai kejadian biografis yang sifatnya kebetulan, sama halnya seperti dalam situasi pertama yang kita bicarakan, kecuali bahwa sosialisasi yang gagal itu kali ini melibatkan kemungkinan penyelingan yang diinternalisasikan sebagai suatu ciri yang permanen dari pemahaman-diri subjektif individu. Pilihan yang sekarang tersedia secara potensial bagi si anak lebih tegas, melibatkan dunia-dunia yang berbeda dan bukan sekedar versi-versi yang berbeda dari dunia yang sama. Kiranya tak perlu dijelaskan lagi bahwa dalam prakteknya akan terdapat banyak gradasi antara situasi yang pertama dan situasi yang kedua.
Apabila dunia-dunia yang sangat bertentangan satu sama lain diantarkan dalam sosialisasi primer, individu dihadapkan kepada suatu pilihan di antara identitas-identitas yang jelas yang dipahaminya sebagai kemungkinan-kemungkinan biografis yang


-243-
sesungguhnya. Ia bisa menjadi seorang laki-laki menurut paham ras A atau menurut paham ras B. ini terjadi apabila muncul kemungkinan bagi suatu identitas yang benar-benar tersembunyi, yang tidak mudah dikenali menurut tipifikasi-tipifikasi yang tersedia secara objektif. Dengan kata lain, bisa terdapat suatu asimetri yang tersembunyi secara sosial antara biografi "umum" dan biografi prive. Bagi orang tua, si anak sekarang sudah siap untuk memasuki tahap persiapan menjadi ksatria. Di luar pengetahuan mereka, tetapi didukung oleh struktur kemasuk-akalan yang diberikan oleh submasyarakat pengasuhnya, anak itu sendiri "hanya main-main" dalam proses ini, sementara ia "sesungguhnya" sedang mempersiapkan diri untuk menggeluti rahasia-rahasia keagamaan yang lebih tinggi dari golongan yang ditundukkan itu. Pertentangan yang serupa terdapat di kalangan keluarga dan proses sosialisasi dalam kelompok sepergaulan (peer group). Bagi keluarga, si anak sudah siap untuk lulus dari sekolah lanjutan pertama. Bagi golongan sepergaulannya, ia sudah siap untuk menempuh ujian pertamanya yang sungguh-sungguh guna membuktikan keberaniannya dengan jalan mencuri mobil. Dengan sendirinya, situasi-situasi seperti itu sarat dengan kemungkinan-kemungkinan konflik batin dan rasa bersalah.
Agaknya, semua orang, apabila sudah disosialisasikan, secara potensial merupakan "pengkhianat terhadap diri sendiri". Tetapi secara batiniah "pengkhianatan" seperti itu menjadi semakin kompleks jika ia melibatkan masalah lebih lanjut mengenai soal "diri" yang mana yang sedang dikhianati pada saat tertentu; suatu masalah yang muncul begitu terjadi pengidentifikasian dengan sejumlah orang termasuk orang-orang yang berpengaruh pada umumnya. Si anak mengkhianati orang tuanya ketika ia bersiap-siap untuk memasuki rahasia-rahasia keagamaan itu, dan ia mengkhianati pengasuhnya ketika ia melatih diri untuk menjadi ksatria, sebagaimana ia mengkhianati kelompok sepergaulannya karena menjadi seorang ilmuwan muda yang "jujur" dan mengkhianati orang tuanya dengan mencuri mobil. Tiap pengkhianatan itu diiringi oleh "pengkhianatan ter-


-244-
hadap diri sendiri" sejauh ia telah diidentifikasikan dengan kedua dunia yang saling bertentangan itu. Kita telah membahas berbagai pilihan yang tersedia baginya di dalam analisa kita sebelumnya mengenai penyelingan meskipun akan menjadi jelas kiranya bahwa pilihan-pilihan itu mempunyai kenyataan subjektif yang berbeda apabila sudah diinternalisasikan dalam sosialisasi primer. Kiranya tidak akan meleset kalau beranggapan bahwa penyelingan tetap merupakan ancaman seumur hidup terhadapa apa pun kenyataan subjektif yang muncul dari konflik-konflik seperti itu, sebagai hasil dan pilihan yang bagaimanapun-suatu ancaman yang akan ada untuk selama-lamanya dengan timbulnya kemungkinan penyelingan dalam sosialisasi primer itu sendiri.
Kemungkinan bagi "individualisme" (artinya, pilihan individu antara kenyataan-kenyataan dan identitas-identitas yang tidak sesuai satu sama lain) berkaitan langsung dengan kemungkinan sosialisasi yang tidak berhasil kita sudah mengemukakan bahwa sosialisasi yang gagal menimbulkan pertanyaan "Siapa aku ini?" Di dalam konteks sosial-struktural di mana sosialisasi yang gagal diakui begitu rupa, pertanyaan yang sama muncul bagi individu yang sosialisasinya berhasil sebagai akibat renungannya mengenai orang-orang yang gagal tersosialisasi. Cepat atau lambat ia akan menjumpai orang-orang dengan "diri tersembunyi" itu, para "pengkhianat", mereka yang telah mengalami penyelingan atau yang sedang bolak-balik antara dunia-dunia yang saling berlawanan. Melalui semacam efek cermin, pertanyaan itu pada akhirnya bisa berlaku bagi dirinya sendiri, mula-mula dengan rumus "Yah, kalau tidak karena perlindungan Tuhan, aku pun akan berbuat begitu, dan, pada akhirnya mungkin menurut rumus, "Kalau mereka begitu, mengapa aku tidak". Ini lalu membuka "kotak Pandora" yang berisi pilihan-pilihan "individualistik", dan yang akhirnya digeneralisasikan, tak peduli apakah jalan biografis orang yang bersangkutan ditentukan oleh pilihan yang "benar" atau "salah". Si "individualis" muncul sebagai suatu tipe sosial tertentu yang setidak-tidaknya memiliki potensi untuk bermigrasi di antara sejumlah dunia yang tersedia


-245-
dan yang secara sengaja dan sadar telah membangun suatu diri dari "bahan-bahan" yang diberikan oleh sejumlah identitas yang tersedia.
Situasi penting ketiga yang mengarah pada kegagalan sosialisasi timbul apabila terdapat pertentangan antara sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Kesatuan sosialisasi primer dipertahankan, tetapi dalam sosialisasi sekunder tampil kenyataan-kenyataan dan identitas-identitas alternatif sebagai pilihan subjektif. Pilihan itu, dengan sendirinya, dibatasi oleh konteks sosial-struktural individu bersangkutan. Sebagai contoh, ia mungkin ingin menjadi ksatria, tetapi kedudukan sosialnya membuat keinginan itu sebagai suatu ambisi gila. Apabila sosialisasi sekunder sudah terdiferensiasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya disidentifikasi subjektif seseorang dari "tempat semestinya" dalam masyarakat, dan apabila bersamaan dengan itu struktur sosial tidak memberi peluang perwujudan identitas yang telah dipilih secara subjektif itu, maka terjadilah suatu perkembangan yang menarik. Identitas yang telah dipilih secara subjektif itu lalu menjadi identitas khayalan (fantasy identity), yang diobkjektifikasikan di dalam kesadaran individu sebagai "dirinya yang sesungguhnya". Bisa diasumsikan bahwa orang selalu mempunyai impian-impian mengenai keinginan-keinginan yang tak mungkin dicapai, dan yang semaca itu. Keistimewaan khayalan khusus ini terletak dalam pengobjektifikasian, pada tingkat imajinasi, dari suatu identitas yang lain dari identitas yang telah diperuntukkan secara objektif kepada orang yang bersangkutan dan yang sebelumnya sudah diinternalisasikan dalam sosialisasi primer. Jelaslah kiranya bahwa distribusi yang lebih luas dari fenomen ini akan menyusupkan ketegangan dan keresahan ke dalam struktur sosial yang akan mengancam program-program kelembagaan serta kenyataannya yang sudah diterima begitu saja.
Konsekuensi lainnya yang sangat penting apabila terdapat pertentangan antara sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder adalah kemungkinan bahwa individu sudah mempunyai hubungan dengan dunia-dunia yang saling bertentangan dan


-246-
yang secara kualitatif berbeda dengan hubungan-hubungan dalam situasi-situasi yang telah dibahas sebelumnya. Jika dunia-dunia yang saling bertentangan muncul dalam sosialisasi primer, individu mempunyai pilihan untuk mengidentifikasikan diri dengan salah satu diantaranya dan menolak yang lain-lainnya--uatu proses yang, karena terjadi dalam sosialisasi primer, dari segi agektif akan bermuatan sangat tinggi. Identifikasi, disidentifikasi dan penyelingan, semuanya akan disertai krisis-krisis afektif, karena proses-proses itu akan selalu tergantung pada pengantaran pengasuh-pengasuh. Penampilan dunia-dunia yang saling bertentangan dalam sosialisasi sekunder menghasilkan konfigurasi yang berbeda sama sekali. Dalam sosialisasi sekunder, internalisasi tidak perlu disertai pengidentifikasian yang bermuatan afektif dengan pengasuh-pengasuh; individu bisa menginternalisasikan kenyataan-kenyataan yang berbeda tanpa mengidentifikasikan diri dengan para pengasuh itu. Karena itu, apabila suatu dunia alternatif muncul dalam sosialisasi sekunder, individu mungkin akan memilihnya dengan cara yang manipulatif. Dalam hal ini kita bisa berbicara tentang penyelingan yang "dingin". Individu menginternalisasikan kenyataan yang baru itu, tetapi bukan sebagai kenyataannya, melainkan sebagai suatu kenyataan yang bisa digunakan untuk tujuan-tujuan khusus. Sejauh hal ini melibatkan perlunya memainkan peran-peran tertentu, ia secara subjektif tetap terlepas dari peran-peran itu-ia "melakukan" peran-peran itu dengan sengaja dan dengan tujuan tertentu. Jika fenomena seperti itu menjadi tersebar luas, tatanan kelembagaan secara keseluruhan mulai memperoleh sifat suatu jaringan manipulasi timbal-balik.[37]
Suatu masyarakat dimana dunia-dunia yang saling bertentangan tersedia secara umum atas dasar hukum pasar melibatkan konstelasi-konstelasi khusus kenyataan dan identitas subjektif. Dalam situasi itu akan kian meningkat kesadaran umum terhadap relatifnya semua dunia, termasuk dunia diri


-247-
sendiri, yang sekarang secara subjektif dipahami sebagai "suatu dunia", dan bukan "dunia satu-satunya". Karena itu perilaku saya sendiri yang sudah melembaga bsa dipahami sebagai "sebuah peran" yang bisa saya lepaskan secara sadar, dan yang dapat saya "mainkan" dengan pengendalian manipulatif. Sebagai contoh, seorang aristokrat tidak lagi sekadar merupakan aristokrat, melainkan ia memainkan peran aristokrat, begitu seterusnya. Maka situasinya mengandung konsekuensi yang sangat lebih jauh jangkauannya dibandingkan dengan kemungkinan individu-individu memainkan peran yang bukan perannya. Mereka juga memainkan peran mereka yang seharusnya-suatu hal yang sama sekali lain lagi. Situasi ini semakin khas bagi masyarakat industri masa kini, tetapi kiranya sudah jelas bahwa kita akan melampaui lingkup pembahasan kita sekarang lebih jauh memasuki analisa sosiologi pengetahuan dan sosial-psikologis dari konstelasi ini.[38] Yang perlu ditekankan, situasi seperti itu tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan menghubungkannya secara terus-menerus dengan konteks sosial-strukturalnya, yang secara logis bergerak dari hubungan yang perlu antara pembagian kerja secara sosial (dengan konsekuensi-konsekuensinya bagi struktur sosial) dan distribusi pengetahuan secara sosial (dengan konsekuensi-konsekuensinya bagi objektivasi realitas secara sosial). Di dalam situasi mutakhir hal ini melibatkan analisa kemajemukan kenyataan maupun identitas dalam kaitannya dengan dinamika struktural dari industrialisme, khususnya dinamika pola-pola pelapisan sosial yang ditimbulkan oleh industrialisme.[39]


-248-

Teori-teori Identitas
Identitas, dengan sendirinya, merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan, sebagaimana semua kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitulah memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya, memodifikasinya, atau malahan membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah dan didalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus; tetapi, sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu.
Apabila kita selalu ingat akan adanya dialektika ini, maka kita akan dapat menghindari pengertian yang menyesatkan tentang "identitas-identitas kolektif" yang tidak memperhitungkan keunikan, sub specie aeternitatis, dari eksistensi individu.[40] Struktur-struktur sosial historis tertentu melahirkan tipe-tipe identitas, yang bisa dikenali dalam kasus-kasus individual. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa seorang Amerika memiliki identitas yang berbeda dengan seorang Prancis, seorang warga New York mempunyai identitas berbeda dengan seorang warga dari Bagian Barat-Tengah, seorang eksekutif mempunyai idetitas berbeda dengan seorang gelandangan, dan seterusnya. Seperti telah kita lihat, orientasi dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari tergantung pada tipifikasi-tipifikasi seperti itu. Ini berarti bahwa tipe-tipe identi-


-249-
tas bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari dan bahwa pernyataan-pernyataan seperti yang dikemukakan di atas bisa diverifikasi-atau disangkal-oleh orang-orang biasa dengan akal sehat. Orang Amerika yang menyangsikan bahwa orang-orang Prancis berbeda dengan dirinya, bisa pergi ke Prancis dan membuktikannya sendiri. Jelaslah bahwa status tipifikasi dalam konstruksi-konstruksi ilmu sosial, demikian pula verifikasi dan penyangkalannya tidak mengikuti aturan-aturan menurut metode ilmiah. Kita harus mengesampingkan masalah metodologis tentang bagaimana persisnya hubungan antara tipifikasi-tipifikasi kehidupan sosial dan konstruksi-konstruksi ilmiah (seorang Puritan mengenal dirinya sebagai Puritan dan diakui demikian oleh, katakanlah, para penganut Anglikan tanpa pikir panjang; tetapi ilmuwan ilmu sosial yang ingin mengecek tesis Max Weber mengenai etika Puritan harus menempuh prosedur-prosedur yang agak berbeda dan lebih kompleks untuk bisa "mengenal" rujukan-rujukan empiris tipe ideal dari Weber itu). Yang menarik dalam konteks sekarang, tipe-tipe identitas itu "bisa diamati" dan "bisa diverifikasi" dalam pengalaman pra-teoritis, dan dengan demikian pra-ilmiah.
Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Sebaliknya, tipe-tipe identitas merupakan produk-produk sosial semata-mata, unsur-unsur yang relatif stabil dari kenyataan sosial objektif (yang tingkat stabilitasnya, dengan sendirinya, pada gilirannya ditentukan secara sosial). Dengan demikian, tipe-tipe identitas itu merupakan pokok dari suatu bentuk kegiatan berteori dalam tiap masyarakat, sekalipun tipe-tipe itu stabil, dan pembentukan identitas-identitas individu relatif tidak menimbulkan masalah. Teori-teori tentang identitas selalu berakar dalam penafsiran yanglebih umum tentang kenyataan; teori-teori itu "dipasang dalam" universum simbolik dan legitimasi-legitimasi teoritisnya, serta bervariasi dengan sifat yang disebut belakangan. Identitas akan-tetap tak bisa dipahami kecuali jika ia berlokasi dalam suatu dunia. Karena itu, setiap kegiatan berteori tentang identitas-dan tentang tipe-tipe identitas tertentu-


-250-
harus dilakukan di dalam kerangka tafsiran-tafsiran teoritis di mana identitas dan tipe-tipe identitas itu berada. Sebentar lagi kita akan kembali ke soal ini.
Kiranya perlu ditekankan kembali bahwa yang kami maksudkan di sini adalah teori-teori tentang identitas sebagai suatu fenomena sosial; artinya, tanpa berprasangka mengenai diterima-tidaknya oleh ilmu pengetahuan modern. Sesungguhnya, kami akan merujuk teori-teori seperti itu sebagai "psikologi-psikologi" dan akan memasukkan setiap teori tentang identitas yang mengaku dapat menjelaskan fenomena empirisnya dengan cara yang komprehensif, tak peduli apakah penjelasan seperti itu "berlaku" atau tidak bagi disiplin keilmuan mutakhir yang memakai nama itu.
Apabila teori-teori tentang identitas selalu berakar dalam teori-teori yang lebih komprehensif tentang kenyataan maka hal itu harus dipahami menurut logika yang mendasari apa yang disebut belakangan. Misalnya, suatu psikologi yang menafsirkan fenomena-fenomena empiris tertentu sebagai kemasukan roh jahat mempunyai-sebagai matrisnya-sebuah teori mitologis mengenai kosmos, dan tidaklah pada tempatnya untuk menafsirkannya dalam suatu kerangka non-mitologis. Begitu pula, suatu psikologi yang menafsirkan fenomena yang sama dari segi gangguan-gangguan listrik pada otak mempunyai-sebagai latar belakangnya-suatu teori ilmiah yang menyeluruh tentang kenyataan baik yang insaniah maupun yang tak insaniah, dan memperoleh konsistensinya dari logika yang mendasari teori itu. Singkatnya, psikologi selalu mengandaikan kosmologi.
Soal ini dengan baik dapat diilustrasikan dengan mengacu pada istilah psikiatri yang sering digunakan, yakni "berorientasi ke kenyataan" (reality-oriented).[41] Seorang psikiater yang sedang berusaha mendiagnosa seseorang yang status psikologisnya sedang disangsikan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya untuk memastikan tingkat "orientasinya pada ke-


-251-
nyataan". Ini cukup logis; dari sudut pandang psikiatri, jelas ada hal yang problematis mengenai individu yang tidak tahu nama hari, atau begitu saja mengaku telah berbicara dengan arwah orang yang sudah meninggal. Sesungguhnya, istilah "berorientasi pada kenyataan" itu sendiri dapat berguna dalam konteks seperti itu. Tetapi seorang sosiolog harus mengajukan pertanyaan tambahan: "Kenyataan yang mana?". Secara sambil lalu dapat dikatakan bahwa tambahan itu bukannya tidak relevan dari segi psikiatri. Psikiater tentunya akan memperhitungkannya pula, apabila seseorang tidak tahu nama hari itu ketika ia baru saja tiba dengan pesawat jet dari sebuah benua lain. Ia mungkin tidak tahu nama hari itu semata-ata karena ia mash merasa "dalam waktu yang lain"-misalnya, waktu Kalkuta dan bukan waktu Amerika Bagian Timus. Jika psikiater itu peka terhadap konteks sosio-budaya dari kondisi-kondisi psikologis ia juga akan sampai pada diagnosa-diagnosa yang berbeda mengenai invididu yang bercakap-cakap dengan orang-orang yang sudah mati itu, tergantung pada apakah individu itu berasal dari, umpamanya, New York City atau dari daerah pedesaan di Haiti. Individu itu bisa saja berada "dalam kenyataan yang lain" yang objektif secara sosial dalam arti yang sama seperti halnya orang yang disebut duluan berada "dalam waktu yang lain". Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan yang berstatus psikologis tidak bisa diputuskan tanpa mengakui definisi-definisi tentang kenyataan yang sudah diterima begitu saja dalam siatuasi sosial dari individu yang bersangkutan. Secara lebih tegas lagi, status psikologis relatif terhadap definisi-definisi sosial tentang kenyataan pada umumnya dan ia sendiri diddefinisikan secara sosial.[42]
Munculnya psikologi-psikologi itu melahirkan suatu hubungan dialektik lebih lanjut antara identitas dan masyarakat-hubungan antara teori psikologis dan unsur-unsur kenyataan subjektif yang hendak didefinisikan dan dijelaskan. Tingkat kegiatan berteori seperti itu, dengan sendirinya, bisa sangat


-252-
bervariasi, seperti halnya dengan legitimasi-legitimasi teoritis. Apa yang telah dikatakan sebelumnya tentang asal-mula dan tahap-tahap teori legitimasi berlaku juga di sini dengan kesahihan yang sama, tetapi dengan suatu perbedaan yang bukannya tidak penting. Psikologi-psikologi menyangkut suatu dimensi dari kenyataan yang mempunyai relevansi subjektif yang paling besar dan paling sinambung bagi semua individu. Karena itu dialektika antara teori dan kenyataan mempengaruhi individu dengan cara yang jelas-jelas langsung dan intensif.
Apabila teori-teori psikologi mencapai tingkat kerumitan intelektual yang tinggi, maka teori-teori itu agaknya akan dikelola oleh personil yang secara khusus dididik dalam perangkat pengetahuan ini. Bagaimanapun organisasi sosial spesialis-spesialis ini, teori-teori psikologi masuk kembali ke dalam kehidupan sehari-hari dengan jalan memberikan skema-skema penafsiran untuk menanggulangi kasus-kasus problematis. Masalahnya timbul dari dialektika antara identitas subjektif dan identitas yang dtentukan secara sosial, atau antara identitas dan substratum biologisnya (soal ini akan dibahas lebih lanjut nanti), yag bisa diklasifikasikan menurut kategori-kategori teoritis-yang, dengan sendirinya, merupakan perkiraan bagi tiap terapi. Maka teori-teori psikologi itu berfungsi untuk melegitimasi prosedur-prosedur pemeliharaan identitas dan perbaikan identitas yang telah ditetapkan dalam masyarakat, sehingga memberikan kaitan teoritis antara identitas dan dunia, karena keduanya-identitas dan dunia-itu didefinisikan secara sosial dan dimiliki secara subjektif.
Teori-teori psikologi secara empiris mungkin memadai atau tidak memadai; maksud kami: memadai tidaknya bukan dari segi aturan-aturan prosedur ilmu empiris, melainkan sebagai skema-skema penafsiran yang bisa digunakan oleh seorang pakar maupun seorang awam terhadap fenomena-fenomena empiris kehidupan sehari-hari. Misalnya, suatu teori psikologi yang mengandaikan adanya kerasukan setan agaknya tidak akan memadai untuk menafsirkan masalah-masalah identitas orang-orang intelektual Yahudi dari kelas menengah di New York City. Orang-orang itu jelas tidak memiliki identitas yang


-253-
mampu menghasilkan fenomena-fenomena yang dapat ditafsirkan seperti itu. Setan-setan itu, kalaupun ada, tampaknya menghindari mereka. Sebaliknya, psikoanalisa agaknya tidak akan memadai untuk menafsirkan masalah-masalah identitas di pedesaan Haiti, sedangkan semacam skema-skema penafsiran yang mempunyai tingkat ketepatan empiris yang tinggi. Kedua psikologi itu membuktikan kememadaian empiris mereka dengan kemampuan mereka untuk digunakan dalam terapi, tetapi dengan demikian kedua teori itu tidak membuktikan status ontologis dari kategori-kategori mereka. Begitu pula dewa-dewa Voudun ataupun enersi libido tidak bisa bereksistensi di luar dunia yang didefinisikan dalam konteks sosial masing-masing. Tetapi dalam konteks-konteks itu mereka memang bereksistensi berdasarkan definisi sosial dan diinternalisasikan sebagai kenyataan selama berlangsungnya sosialisasi. Orang-orang desa di Haiti memang kesurupan dan orang-orang intelektual di New York memang neurotik. Dengan demikian kesurupan dan neurosis merupakan unsur-unsur pokok kenyataan yang objektif maupun yang subjektif di dalam konteks-konteks itu. Kenyataan ini tersedia secara empiris dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing teori-teori psikologi secara empiris memadai dalam arti betul-betul sama sepenuhnya. Tentang soal apakah atau bagaimana teori-teori bisa dikembangkan untuk dapat mengatasi kerelatifan sosio-historis ini, tidak perlu kita bahas di sini.
Sejauh teori-teori psikologi itu memadai dalam artian ini, teori-teori itu bisa diverifikasi dalam arti ilmiah, melainkan pengujian dalam pengalaman kehidupan sosial sehari-hari. Sebagai contoh, mungkin ada anggapan bahwa orang-orang yang dilahirkan pada tanggal-tanggal tertentu punya kemungkinan untuk kesurupan, atau bahwa orang-orang yang dikuasai oleh ibunya punya kemungkinan untuk neurotik. Proposisi-proposisi seperti itu bisa diverifikasi secara empiris sejauh proposisi-proposisi itu tergolong dalam teori-teori yang memadai, dalam pengertian seperti yang dikemukakan di atas.


-254-
Verifikasi seperti itu bisa dilakukan oleh para peserta maupun rorang-orang dari luar yang mengamati situasi-situasi sosial yang bersangkutan. Seorang etnolog Haiti bisa menemukan neurosis di New York secara empiris, sama halnya seperti seorang etnolog amerika dapat menemukan kesurupan Voudun secara empiris. Pesyaratan bagi penemuan-penemuan seperti tu hanyalah bahwa pengamat dari luar itu bersedia menggunakan peralatan konsep psikologi setempat untuk melakukan penyelidikannya itu. Apakah ia juga mau memberikan kesahihan epistemologis yang lebih umum pada psikologi tersebut tidaklah relevan bagi penyelidikan empiris itu sendiri.
Cara lain untuk mengatakan bahwa teori-teori psikologi itu memadai adalah dengan mengatakan bahwa teori-teori itu mencerminkan kenyataan psikologis yang hendak dijelaskannya. Tetapi, jika soalnya hanya itu saja, hubungan antara teori dan kenyataan dalam hal ini tidak dialektis. Padahal, di sini terlibat suatu dialektika yang sesunguhnya karena teori-teori psikologi mempunyai potensi untuk merealisasikan. Sejauh teori-teori psikologi merupakan unsur-unsur definisi sosial tentang kenyataan, kemampuan mereka untuk menciptakan kenyataan merupakans atu sifat yang juga dimiliki oleh teori-teori legitimasi lainnya; namun, potensi teori-teori itu untuk merealisasikan sangat besar karena diaktualisasikan oleh proses-proses pembentukan identitas yang bermuatan emosi. Apabila suatu psikologi berlaku secara sosial (artinya, diakui secara umum sebagai suatu tafsiran yang memadai mengenai kenyataan objektif), maka ia cenderung untuk mewujudkan dirinya dengan cara yang meyakinkan dalam fenomena-fenomena yang hendak ditafsirkannya itu. Penginternalisasiannya dipercepat oleh kenyataan bahwa ia menyangkut kenyataan internal, sehingga individu mewujudkannya justru ketika ia menginternalisasikannya. Begitu pula, karena menurut definisinya suatu psikologi menyangkut kenyataan internal, sehingga individu mewujudkannya justru ketika ia menginternalisasikannya. Begitu pula, karena menurut definisinya suatu psikologi menyangkut identitas, maka penginternalisasiannya agaknya akan disertai oleh pengidentifikasian, dan karena itu ipso facto agaknya akan membentuk identitas. Dalam kaitan erat antara internalisasi dan identifikasi ini, teori-teori psikologi sangat berbeda dengan tipe-tipe


-255-
teori lainnya. Karena masalah sosialisasi yang gagal sangat mendorong kegiatan berteori semacam itu, maka tidaklah mengherankan jika teori-teori psikologi lebih cenderung mempunyai efek-efek sosialisasi. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa psikologi-psikologi itu sifatnya memverifikasi-diri. Seperti telah ditunjukkan, verifikasi dilakukan dengan jalan menghadapi teori-teori psikologi dan kenyataan psikologis sebagai hal-hal yang tersedia secara empiris. Psikologi melahirkan suatu kenyataan, yang pada gilirannya berfungsi sebagai landasan bagi verifikasinya. Dengan kata lain, di sini kita berurusan dengan dialektika, bukan dengan tautologi.
Orang desa di Haiti yang menginternalisasikan psikologi Voudun akan menjadi kesurupan begitu ia menemukan tanda-tanda tertentu yang sudah didefinisikan dengan jelas. Demikian pula, intelektual New York yang menginternalisasikan psikologi menurut ajaran Freud akan menjadi neurotik begitu ia mendiagnosa gejala-gejala tertentu yang sudah dikenal dengan baik. Sesungguhnya, di dalam suatu konteks biografis tertentu, tanda-tanda atau gejala-gejala mungkin akan ditimbulkan oleh individu itu sendiri. dAlam kasus itu, orang Haiti akan menimbulkan bukan akan memperlihatkan gejala-gejala neurosis melainkan tanda-tanda kesurupan, sedangkan orang New York akan memperlihatkan neurosisnya sesuai dengan gejala-gejalanya yang sudah diakui. Ini tak ada sangkut-pautnya dengan "histeria massa", apalagi dengan perbuatan pura-pura sakit, melainkan dengan penanaman ingatan tentang tipe-tipe identitas sosial pada kenyataan subjektif individual orang-orang biasa dengan akal normal. Tingkat identifikasinya akan bervariasi menurut kondisi-kondisi internalisasi, seperti yang telah dibahas, dan tergantung, umpamanya, pada soal apakah hal itu berlangsung dalam sosialisasi primer atau sekunder. Terbentuknya suatu psikologi secara sosial, yang juga menyangkut pemberian peran-peran sosial tertentu kepada personilnya yang menata teori itu serta penerapan terapinya, dengan sendirinya tergantung pada berbagai kondisi sosio-historis.[43] Tetapi, semakin


-256-
mapan secara sosial, akan semakin melimpah pula fenomena yang dianggap dapat ditafsirkannya.
Jika kita menerima kemungkinan bahaw psikologi-psikologi tertentu menjadi memadai dalam perjalanan suatu proses realisasi, pertanyaannya apakah sebabnya teori-teori yang masih belum memadai (sebagaimana keadaan teori-teori itu dalam tahap-tahap awal proses ini) sampai bisa muncul? Secara sederhana, apa sebabnya suatu psikologi menggantikan psikologi lainnya dalam sejarah? Jawaban umum adalah bahwa perubahan seperti itu terjadi ketika identitas tampil sebagai suatu masalah, dengan sebab apa pun. Masalah itu mungkin saja timbul dari dialektika antara kenyataan psikologis dan struktur sosial. Perubahan-perubahan radikal dalam struktur sosial (seperti, perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh Revolusi Industri) dapat disertai dengan perubahan-perubahan dalam kenyataan psikologis. Dalam hal seperti itu, teori-teori psikologi yang baru bisa muncul karena teori-teori lama tidak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena-fenomena empiris yang dihadapi. Kegiatan berteori tentang identitas pada saat itu akan terpusat pada transformasi identitas yang sungguh-sungguh telah terjadi, dan dalam proses itu identitas itu sendiri akan mengalami transformasi. Di pihak lain, identitas bisa menjadi masalah pada tingkat teori itu sendiri; artinya, sebagai akibat perkembangan teoritis yang isntrinsik. Dalam hal itu teori-teori psikologi boleh dikatakan akan diciptakan "sebelum ada faktanya". Pengakuan sosialnya, yang terjadi kemudian, yang disertai potensinya untuk mewujudkan kenyataan bisa terjadi sebagai akibat sejumlah afinitas antara personil yang berteori dan berbagai kepentingan sosial. Salah satu kemungkinan historisnya adalah manipulasi politik secara disengaja oleh golongan-golongan kepentingan politik.

Organisme dan Identitas
Jauh sebelum bab ini, kita telah membahas perkiraan tentan organisme dan pembatasan-pembatasan dalam pembentukan kenyataan sosial. Sekarang penting untuk ditekankan bahwa


-257-
organisme terus mempengaruhi tiap tahap kegiatan manusia untuk membentuk kenyataan dan bahwa organisme itu, pada gilirannya, juga dipengaruhi oleh kegiatan itu. Kasarnya, kebinatangan (animality) manusia ditransformasikan dalam sosialisasi, tapi tidak ditiadakan sama sekali. Dengan demikian, perut manusia akan tetap keroncongan kalaupun ia sedang sibuk dengan kegiatannya membangun dunia. Sebaliknya, peristiwa-peristiwa-dalam hal ini merupakan produknya-bisa membuat perutnya keroncongan lebih keras, lebih pelan, atau dengan cara yang berbeda. Manusia malahan bisa makan dan berteori pada waktu yang bersamaan. Koeksistensi yang berlangsung terus antara kebinatangan manusia dan sosialitasna bisa diamati dengan baik pada setiap percakapan tentang makan.
Kita bisa berbicara tentang dialektika antara alam dan masyarakat.[44] Dialektika ini terjadi dalam kondisi manusia dan mewujudkan diri kembali dalam diri tiap individu. Bagi individu, tentunya, hal itu berarti mengungkapkan diri dalam suatu sosio-historis yang sudah berstruktur. Ada suatu dialektika yang berlangsung terus-menerus, yang mewujud pada tahap-tahap sosialisasi paling awal dan yang terus berkembang selama eksistensi individu dalam masyarakat, antara biantang manusia dan situasi sosio-historisnya. Secara lahiriah, ia merupakan dialektika antara binatang individual dan dunia sosial. Secara batin, ia merupakan dialektika antara substratum biologis individu dan identitasnya yang merupakan produk sosial.
Dari aspek lahirnya, kita masih dapat mengatakan bahwa organisme menetapkan batas-batas bagi apa yang mungkin


-258-
secara sosial. Seperti dikatakan oleh ahli-ahli hukum tatanegara Inggris, Parlemen bisa melakukan apa saja kecuali membuat laki-laki bisa melahirkan. Jika Parlemen berusaha juga, rencananya akan terbentuk pada fakta-fakta biologis manusia yang tak dapat diganggu-gugat lagi. Faktor-faktor biologis membatasi lingkup kemungkinan-kemungkinan sosial yang terbuka bagi tiap individu, tetapi dunia sosial, yang sudah ada sebelum tiap individu lahir, pada gilirannya menetapkan batas-batas bagi apa yang secara biologis mungkin bagi organisme. Dialektika itu memanifestasikan diri dalam pembatasan timbal-balik antara organisme dan masyarakat.
Suatu ilustrasi yang jelas sekali mengenai pembatasan oleh masyarakat terhadp kemungkinan-kemungkinan biologis bagi organisme adalah umur panjang. Tingkat harapan hidup (life expectancy) bervariasi menurut lokasi sosialnya. Dalam masyarakt Amerika masa kini sekalipun, tingkat harapan hidup antara orang-orang dari kelas rendah dan orang-orang dari kelas atas mempunyai perbedaan yang sangat besar. Selain itu, patologi pun bervariasi menurut lokasi sosial, baik dari segi banyaknya penderita maupun dari segi sifat penyakitnya. Orang-orang dari kelas rendah lebih sering sakit dibandingkan dengan orang-orang dari kelas atas; disamping itu penyakit-penyakitnya pun berbeda. Dengan kata lain, masyarakat menentukan untuk berapa lama dan dengan cara bagaimana organisme individu bisa hidup. Determinasi ini mungkin sudah diprogramkan secara kelembagaan dalam operasi kendali-kendali sosial, seperti dalam lembaga hukum. Masyarakat bisa melukai dan membunuh. Sesungguhnya, dalam kekuasaannya atas hidup dan mati itulah masyarakat memanifestasikan penguasaannya yang paling mendasar atas individu.
Masyarakat juga secara langsung menembus organisme dalam cara berfungsinya, dan yang paling penting adalah dalam kaitannya dengan seksualitas dan soal makanan (nutrisi). Sementara seksualitas dan soal makanan berakar dalam dorongan-dorongan biologis, dorongan-dorongan itu sangat lentur dalam diri binatang manusia. Manusia didorong oleh konstitusi biologisnya untuk mencari pemenuhan seksual dan makanan. Te-


-259-
tapi konstitusi biologisnya tidak memberitahukannya di mana ia harus mencari pemenuhan kebutuhan seksualnya itu dan apa yang harus ia makan. Karena dibiarkan untuk memutuskan sendiri, manusia boleh dikatakan bisa menggunakan benda apa saja untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dan mampu sepenuhnya untuk memakan barang-barang yang bisa mematikannya. Pemenuhan kebutuhan seksual dan kebutuhan akan makanan disalurkan ke arah-arah tertentu secara sosial dan bukan secara biologis, suatu cara penyaluran yang tidak hanya membatasi kegiatan-kegiatan itu, tetapi secara langsung mempengaruhi fungsi-fungsi organisme. Demikianlah, maka individu yang mengalami sosialisasi yang berhasil tidak mampu berfungsi secara seksual dengan objek-objek sosial yang "salah" dan mungkin akan muntah jika dihadapkan dengan makanan yang "salah". Seperti telah kita lihat, penyaluran kegiatan secara sosial merupakan inti sari pelembagaan, yang merupakan landasan bagi perbuatan manusia. Maka dapat dikatakan bahwa kenyataan sosial menentukan tidak hanya kegiatan dan kesadaran, tetapi-sampai tingkat cukup jauh-juga berfungsinya organisme. Demikianlah, maka fungsi-fungsi biologis yang instrinsik seperti organisme dan pencernaan makanan distrukturkan secara sosial. Masyarakat juga menentukan caranya organisme digunakan dalam kegiatan; cara mengungkapkan diri, gaya berjalan dan gerak-isyarat distrukturkan secara sosial. Kemungkinan bagi suatu sosiologi badan yang ditimbulkan oleh kenyataan-kenyataan itu tidak perlu kita bahas di sini.[45] Pokoknya masyarakat menentukan batas-batas bagi organisme, seperti juga organisme menentukan batas-batas bagi masyarakat.
Dari segi aspek batin, dialektika berwujud dalam bentuk perlawanan substratum biologis terhadap pengaruh-pengaruh


-260-
sosial yang hendak memberi bentuk kepadanya.[46] Ini tentunya, paling jelas tampak dalam proses sosialisasi primer. Kesulitan-kesulitan dalam upaya pertama untuk mensosialisasikan seorang anak kecil tidak bisa dijelaskan hanya dari segi masalah-masalah belajar yang sifatnya intrinsik. Katakanlah bahwa binatang kecil itu melawan. Fakta bahwa ia sudah ditakdirkan untuk kalah dalam pertempuran itu tidak menyebabkan hilangnya perlawanan kebinatangannya terhadap pengaruh dunia sosial yang semakin menyusup ke dalam dirinya. Sebagai contoh, si anak menolak struktur waktu (temporal structure) masyarakat yang hendak dipaksakan kepada kewaktuan alami (natural temporality) organismenya.[47] Ia menolak untuk makan dan tidur pada waktu-waktu yang ditentukan dan bukannya berdasarkan tuntutan-tuntutan organismenya yang sudah ditentukan secara biologis. Perlawanan itu secara berangsur-angsur dapat dipatahkan selama berlangsungnya sosialisasi, namun apabila masyarakat melarang individu yang lapar untuk makan dan invididu yang sudah mengantuk pergi tidur, maka akan mengekalkan frustrasinya. Sosialisasi tak terelakkan lagi melibatkan frustrasi-frustrasi biologis semacam ini. Eksistensi sosial tergantung pada ditundukkannya secara terus-menerus perlawanan yang mempunyai akar biologis dalam diri individu, dan yang melibatkan legitimasi serta pelembagaan. Dengan demikian, masyarakat memberikan berbagai penjelasan kepada individu tentang soal-soal seperti apa sebabnya ia harus makan tiga kali sehari, dan tidak setiap saat ia merasa lapar, dan penjelasan-penjelasan yang lebih meyakinkan lagi tentang apa sebabnya ia tidak boleh tidur dengan saudaranya yang perempuan. Masalah-masalah serupa yang menyangkut penyesuaian organisme dengan dunia yang dibentuk secara sosial terdapat juga dalam sosialisasi sekunder, meskipun, tentunya, frustrasi biologisnya agaknya tidak begitu tajam.
Dalam diri individu yang sudah disosialisasikan sepenuhnya


-261-
terdapat dialektika batin yang berlangsung terus-menerus antara identitas dan substratum biologisnya.[48] Individu terus mengalami dirinya sebagai suatu organisme, terlepas dari, dan kadang-kadang berlawanan dengan, objektifikasi-objektifikasi tentang dirinya yang diperoleh secara sosial. Seringkali dialektika ini dirasakan sebagai suatu pertarungan antara diri yang "lebih tinggi" dan diri yang "lebih rendah", yang masing-masing dipersamakan dengan identitas sosial dari kebinatangan yang prasosial dan mungkin antisosial. Diri yang "lebih tinggi" harus berulang-ulang menguasai diri yang "lebih rendah", terkadang melalui adu kekuatan yang gawat. Umpamanya, seseorang harus menguasai rasa takut naluriahnya terhadap kematian dengan keberanian dalam pertempuran. Dalam hal ini diri yang "lebih rendah" didera agar tunduk kepada diri yang "lebih tinggi", suatu tindakan yang tegas untuk menunjukkan kekuasaan atas substratum biologis yang diperlukan untuk dapat mempertahankan identitas sosial seorang prajurit, baik secara objektif maupun secara subjektif. Begitu pula, seseorang mungkin harus memaksakan dirinya untuk melakukan hubungan seksual dengan mengalahkan perlawanan berupa rasa enggan yang diakibatkan oleh kejenuhan fisiologisnya, hanya untuk dapat mempertahankan identitasnya sebagai manusia jantan yang harus diteladani. Demikian pula, diri yang "lebih rendah" itu dipaksa untuk mengabdi kepada diri yang "lebih tinggi". Kemenangan atas rasa takut dan kemenangan atas kelesuan seksual mengilustrasikan caranya substratum biologis melawan dan ditundukkan oleh diri sosial dalam batin manusia. Dengan sendirinya terdapat banyak kemenangan yang kurang penting artinya, yang secara rutin terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti juga terdapat kekalahan-kekalahan yang kecil dan yang besar.
Dari segi biologis, manusia sudah ditakdirkan untuk membentuk dan menghuni suatu dunia bersama-sama dengan manusia-manusia lainnya. Dunia ini baginya menjadi kenyataan yang dominan dan yang diberi batasan. Batas-batasnya ditentukan oleh alam; tetapi, begitu sudah dibangun, dunia ini berbalik


-262-
mempengaruhi alam. Dalam dialektika alam dan dunia yang dibangun secara sosial itu organisme manusia sendiri ditransformasikan. Dalam dialektika yang sama, manusia menciptakan kenyataan dan dengan itu menciptakan dirinya sendiri.



Catatan Kaki:

 

1.Konsepsi kami mengenai "memahami orang lain" berasal dari Weber dan Schutz.
2.Definisi kami mengenai sosialisasi dan kedua subtipenya mengikuti dengan seksama cara yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Kami hanya mengadaptasi perumusannya agar sesuai dengan kerangka teoritis kami secara keseluruhan.
3.Deskripsi kami di sini, sudah tentu, sangat bertumpu pada teori Mead tentang sosialisasi.
4.Konsep "pengantaraan" (mediation) berasal dari Sartre, yang tidak mempunyai suatu teori yang memadai tentang sosialisasi.
5.Matra afektif dari proses belajar di masa kanak-kanak terutama ditekankan oleh psikologi anak menurut ajaran Freud, meskipun ada berbagai kesimpulan mengenai teori belajar yang behavioristik yang cenderung membenarkannya. Di sini kami tidak mengimplikasikan sikap menerima perkiraan teoritis salah satu dari kedua mazhab psikologi itu.
6.Konsepsi kami tentang sifat diri yang direfleksikan berasal dari Cooley dan Mead. Akar-akarnya bisa ditemukan dalam analisa tentang "diri sosial" ("social self") oleh William James (Principles of Psychology).
7.Meskipun hal itu tidak bisa dikembangkan di sini, kiranya sudah cukup banyak dikatakan untuk menunjukkan kemungkinan bagi suatu psikologi sosial yang benar-benar dialektik. Ini akan sama pentingnya bagi antropologi filosofis dan bagi masyarakat. Sejauh yang menyangkut yang disebut belakangan, psikologi sosial semacam itu (yang pada dasarnya berorientasi pada ajaran Mead, tapi ditambah unsur-unsur penting dari aliran-aliran lain dalam pemikiran ilmu pengetahuan sosial) tidak perlu mencari persekutuan yang tidak bisa dipertahankan dengan psikologisme Freud atau psikologisme behavioristik.
8.Mengenai nomenklatur, cf. Claude Lévi-Strauss, La Pensée sauvage, hal. 253 ff.
9.Di sini konsep generalized other (orang lain pada umumnya), sepenuhnya dipakai dalam pengertian menurut Mead.
10.Bandingkan dengan George Simmel mengenai pemahaman-diri manusia yang berada di dalam dan di luar masyarakat. Konsep Plessner tentang keanehan (eccentricity) juga relevan di sini.
11.Bandingkan dengan Piaget tentang kenyataan masif dunia anak-anak
12.bandingkan pendapat Lévy-Bruhl mengenai analogi filogenetis dengan "realisme" kekanak-kanakan menurut Piaget.
13.Cf. Philippe Aries, Centuries of Childhood (New York: Knopf, 1962).
14.Di sini bandingkan analisa-analisa kultural-antropologis tentang "ritus perjalanan" (rites of passage) yang berkaitan dengan pubertas.
15.Konsep "jarak peran" (role distance) dikembangkan oleh Erving Goffman terutama dalam Asylums (Garden City, N.Y.: Doubleday-Anchor, 1961). Analisa kami menyarankan bahwa jarak seperti itu hanya mungkin dalam kenyataan-kenyataan yang telah diinternalisasikan dalam sosialisasi sekunder. Jika ia diperluas sehingga mencakup kenyataan-kenyataan yang telah diinternalisasikan dalam sosialisasi primer, kita akan berada dalam bidang apa yang dalam psikiatri Amerika dinamakan "psikopat", yang mengimplikasikan suatu pembentukan identitas yang tidak lengkap. Hal yang sangat menarik lainnya yang disarankan dalam analisa kami itu menyangkut batas-batas struktural yang di dalamnya mungkin akan bisa dipertahankan suatu "Goffmanian model" interaksi sosial-yakni, masyarakat-masyarakat yang berstruktur begitu rupa, sehingga unsur-unsur yang sifatnya menentukan dari kenyataan yang diobjektivasikan diinternalisasikan dalam proses-proses sosialisasi sekunder. Secara sambil lalu dapat dikemukakan bahwa pertimbangan ini hendaknya membuat kita berhati-hati untuk tidak mempersamakan "model" Goffman itu (yang, perlu kita tambahkan, sangat berguna untuk menganalisa ciri-ciri penting masyarakat industrial modern) dengan suatu "model dramatik" secara begitu saja. Akhirnya pernah ada drama-drama lain yang berbeda dengan drama manusia organisasi masa kini yang memusatkan jerih payahnya pada "pengelolaan kesan-kesan" (impression management).
16.Berbagai telaah dalam sosiologi pekerjaan, seperti yang telah dikembangkan terutama oleh Everett Hughes, memberikan bahan-bahan yang menarik mengenai soal ini.
17.Cf. Talcott Parsons, Essays in Sociological Theory, Pure and Applied (Chicago: Free Press, 1949), hal. 233 ff.
18.Hans H. Gerth dan C. Wright Mills, dalam Character and Social Structure (New York: Harcourt, Brace, 1953; London: Routledge & Kegan Paul), menyarankan istilah intimate others bagi pengasuh-pengasuh (significant others) yang terlibat dalam pemeliharaan kenyataan bagi tingkat usia yang belakangan. Kami memilih tidak menggunakan istilah ini karena istilah ini mirip dengan Intimsphäre, yang telah banyak dipakai dalam sosiologi berbahasa Jerman belakangan ini, yang konotasinya sangat berbeda.
19.Bandingkan lagi Goffman mengenai soal ini, serta David Riesman.
20.Konsep-konsep primary group (kelompok primer) dan secondary group (kelompok sekunder) berasal dari Cooley. Kami di sini mengikuti kelaziman yang berlaku sekarang dalam sosiaogi Amerika.
21.Mengenai konsep conversational apparatus, cf. Peter L. Berger dan Hansfried Kellner, "Marriage and the Construction of Reality", Dioenes 46 (1964), hal. 1 ff. Friedrich Tenbruck (op.cit.) dengan agak rinci membahas fungsi jaringan-jaringan komunikasi untuk mempertahankan kenyataan bersama.
22.Mengenai korespondensi, cf. Georg Simmel, Soziologie, hal. 287.
23.Dalam hubungan ini konsep tentang reference group (kelompok acuan) relevan. Bandingkan dengan analisa Merton tentang ini, di dalam bukunya, Social Theory and Social structure.
24.Cf. Peter L. Berger, Invitation to Sociology (Garden City, N.Y.: Doubleday-Anchor, 1963), hal. 54 ff.
25.Konsep psikoanalitis tentang "pemindahan" (transference) justru mengacu pada fenomena ini. Apa yang tidak dimengerti oleh para psikoanalis yang menggunakannya, sudah tentu, adalah bahwa fenomena itu bisa ditemukan dalam setiap proses sosialisasi kembali dengan hasilnya berupa identifikasi dengan pengasuh-pengasuh yang ditugasi sosialisasi itu, sehingga darinya tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai kesahihan kognitif dari "pemahaman" (insights) yang terjadi dalam situasi psikoanalitik.
26.Inilah yang diacu oleh Durkheim dalam analisasnya mengenai sifat sosial agama yang tak terelakkan. Tetapi, kami tidak akan menggunakan istilahnya, "gereja", untuk mengacu pada "komunitas moral" agama, karena istilah itu hanya cocok bagi suatu kasus historis yang spesifik dalam pelembagaan agama.
27.Telaah-telaah mengenai teknik-teknik "cuci-otak" (brain washing) yang dipakai oleh kaum komunis Cina menyingkapkan banyak hal tentang pola-pola dasar penyelingan. Cf., umpamanya, Edward Hunter, Brainwashing in Red China, (New York: Vanguard Press, 1951). Goffman, di dalam karyanya, Asylums, sudah mendekati prosedur yang paralel dengan psikoterapi kelompok di Amerika.
28.Kembali, bandingkan dengan Festinger mengenai penghindaran definisi-definisi yang saling bertentangan tentang kenyataan.
29.Cf. Thomas Luckmann dan Peter L. Berger, "Social Mobility and Personal Identity", European Journal of Sociology V, hal. 331 ff. (1964).
30.Dalam hal ini konsep Riesman tentang "arah yang lain" (other direction) dan konsep Merton tentang "Sosialisasi yang lebih dahulu" (anticipatory socialization) relevan.
31.Cf. esei-esei mengenai sosiologi kedokteran oleh Eliot Freidson, Theodor J. Litman dan Julius A. Roth dalam Arnold Rosè (ed.) Human Behaviour and Social Processes.
32.Argumen kami mengimplikasikan perlunya suatu latar belakang makro sosiologis bagi analisa-analisa mengenai internalisasi; artinya, perlunya suatu pemahaman tentang struktur sosial yang didalamnya berlangsung internalisasi. Psikologi sosial Amerika sekarang ini sangat dilemahkan oleh fakta bahwa latar belakang seperti itu tidak terdapat di kalangan luas.
33.Cf. Gerth dan Mills, op.cit. Juga Tenbruck, op.cit. yang menempatkan landasan-landasan struktural kepribadian (personality) pada posisi yang penting dalam tipologinya mengenai masyarakat-masyarakat primitif, tradisional dan modern.
34.Implikasinya yang penting adalah bahwa kebanyakan model psikologis, termasuk psikologi ilmiah masa kini, hanya mempunyai terapan sosio-historis yang terbatas saja. Implikasi lainnya, psikologi sosiologis pada waktu yang bersamaan haruslah merupakan psikologi historis.
35.Cf. Erving Goffman, Stigma (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1963). Juga, cf. A. Kardiner dan L. Ovesey, The Mark of Oppresion (New York: Norton, 1951).
36.Cf. Donald W. Cory, The Homosexual in America(New York: Greenbert, 1951).
37.Di sini kami ingin menandaskan sekali lagi kondisi-kondisi sosial-struktural untuk memungkinkan diterapkannya analisa "model Goffman".
38.Helmut Schelsky menciptakan istilah yang sugestif permanent reflectiveness (Dauerreflektion) sebagai padanan psikologis dari istilah kontemporer "pasar dunia" (market of worlds) ("Its die Dauerreflektion instituionalisierbar?", Zeit fue evangelische Ethik, 1957). Latar belakang teoritis dari argumen Schelsky adalah teori umum Gehlen tentang subjektivisasi (subjectivization) dalam masyarakat moderen. Teori ini dikembangkan lebih lanjut dari segi sosiologi agama kontemporer oleh Luckmann, op.cit.
39.Cf. Luckmann dan Berger, loc.cit.
40.Sebaliknya kita jangan berbicara tentang "identitas kolektif" karena adanya bahaya hipostatisasi palsu (dan mereifikasikan). Exemplum horribile dari hipostatisasi seperti itu adalah sosiologi "Hegelian" Jerman dari 1920an dan 1930an (seperti karya Othmar Spann). Bahaya itu sedikit-banyaknya terdapat dalam berbagai karya mazhab Durkheim dan mazhab "budaya dan kepribadian" dalam antropologi budaya Amerika.
41.Implikasinya di sini, tentunya, adalah suatu kritik sosiologis terhadap "prinsip kenyataan" menurut ajaran Freud.
42.Cf. Peter L. Berger, "Towards a Sociological Understanding of Psychoanalysis", Social Research, Spring 1965, hal. 26 ff.
43.Cf. ibid.
44.Dengan cara apa pun dialektika antara alam dan masyarakat yang dibahas di sini hendaknya jangan dipersamakan dengan "dialektika alam" (dialectic of nature) seperti yang dikembangkan oleh Engels dan kemudian oleh Marxisme. Dialektika yang disebut duluan menggarisbawahi bahwa hubungan manusia dengan badannya sendiri (seperti dengan alam pada umumnya) sudah merupakan suatu hubungan yang spesifik manusiawi. Sebaliknya, dialektika yang disebut belakangan memproyeksikan fenomena-fenomena yang spesifik manusiawi ke dalam alam non-manusiawi, kemudian secara teoritis mendehumanisasikan manusia dengan jalan memandangnya hanya sebagai objek kekuatan-kekuatan alami atau hukum-hukum alam.
45.Mengenai kemungkinan bagi suatu disiplin sosiosomatik ini, cf. Georg Simmel, op.cit. hal. 483 ff. (esei tentang sociology of the senses): Marcell Mause, Sociologie et anthropologie (Paris: Presses Universitaires de France, 1950), hal. 365 ff. (esei tentang "techniques of the body"); Edward T. Hall, The Silent Language (Garden City, N.Y., Doubleday, 1959). Analisa sosiologis tentang seksualitas mungkin akan menghasilkan bahan empiris yang paling kaya bagi disiplin semacam itu.
46.Hal ini dipahami benar dalam konsepsi Freud tentang sosialisasi. Ia sangat diremehkan dalam adaptasi-adaptasi kaum fungsionalis atas ajaran Freud, dari Malinowski dan seterusnya.
47.Bandingkan dengan Henri Bergson (terutama teorinya tentang durée), Maurice Merleau-Ponty, Alfred Schutz dan Jean Piaget.
48.Bandingkan dengan Durkheim maupun Plessner, serta Freud.

 

back , next

Free Web Hosting