yang tak pernah berhenti pada sampai
Bab 3 Masyarakat Sebagai Kenyataan Subjektif
Internalisasi Kenyataan
Sosialisasi Primer
Oleh karena masyarakat berada baik sebagai kenyataan objektif maupun subjektif,
maka setiap pemahaman teoritis yang memadai mengenai masyarakat harus mencakup
kedua aspek itu. Seperti telah kami kemukakan, aspek-aspek itu memperoleh pengakuan
yang semestinya apabila masyarakat dipahami dari segi suatu proses dialektis
yang berlangsung terus-menerus dan terdiri dari tiga momen: eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Sejauh yang menyangkut fenomen masyarakat, momen-momen
itu tidak dapat dipikirkan sebagai berlangsung dalam suatu urutan waktu.
Yang benar adalah bahwa masyarakat dan tiap bagian darinya secara serentak dikarakterisasi
oleh ketiga momen itu, sehingga setiap analisa yang hanya dari satu atau dua
segi dari ketiga momen itu, tidak memadai. Hal itu juga berlaku bagi anggota
masyarakat secara individual, yang secara serentak mengeksternalisasi keberadaannya
sendiri ke dalam dunia sosial dan menginternalisasinya sebagai suatu kenyataan
objektif. Dengan kata lain, berada dalam masyarakat berarti berpartisipasi dalam
dialektika itu.
Namun demikian, individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia dilahirkan
dengan suatu pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas, dan ia menjadi
anggota masyarakat. Karena itu, dalam kehidupan setiap individu, memang
ada suatu urutan waktu, dan selama itu ia diimbas ke dalam partisipasi dalam
dialektika masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah
Terbentuknya orang lain pada umumnya dalam kesadaran menandai suatu fase yang menentukan dalam sosialisasi. Ia mencakup internalisasi masyarakat sebagai masyarakat dan kenyataan objektif yang sudah terbentuk di dalamnya, dan pada waktu yang sama, terbentuknya secara subjektif suatu identitas yang koheren dan sinambung. Masyarakat, identitas dan kenyataan diwujudkan secara subjektif dalam proses internalisasi yang sama. Kristalisasi ini berlangsung bersamaan dengan internalisasi bahasa. Sesungguhnyalah dengan alasan-alasan yang su-
-192-
dah jelas dari pemahaman kita sebelumnya tentang bahasa, bahasa merupakan isi
dan alat yang paling penting dari sosialisasi.
Apabila orang lain pada umumnya sudah terwujud dalam kesadaran, maka terbentuklah
suatu hubungan yang simetris antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif.
Yang nyata "di luar" sesuai dengan yang nyata "di dalam".
Kenyataan objektif dengan mudah dapat "diterjemahkan" ke dalam kenyataan
subjektif, dan sebaliknya. Bahasa, sudah tentu merupakan wahana utama dari proses
penerjemahan yang berlangsung terus-menerus dalam kedua arah itu. Namun demikian
perlu ditekankan bahwa simetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif
tidak bisa sempurna. Kedua kenyataan bersesuaian satu sama lain, tetapi tidak
koekstensif, selalu "tersedia" lebih banyak kenyataan objektif daripada
apa yang benar-benar diinternalisasi ke dalam kesadaran tiap individu, semata-mata
karena isi sosialisasi ditentukan oleh distribusi pengetahuan dalam masyarakat.
Tidak ada individu yang menginternalisasikan keseluruhan dari apa yang diobjektivasi
sebagai kenyataan dalam masyarakatnya, juga tidak seandainya masyarakat dan
dunianya merupakan masyarakat dan dunia yang relatif sederhana. Di pihak lain,
selalu terdapat unsur-unsur dari kenyataan subjektif yang tidak berasal dari
sosialisasi, seperti kesadaran mengenai badan saya sendiri sebelum dan terlepas
dari setiap pemahamannya yang dipelajari secara sosial. Biografi subjektif tidak
sepenuhnya bersifat sosial. Individu memahami dirinya sendiri sebagai sekaligus
berada di dalam dan diluar masyarakat.[10]
Ini berarti bahwa simetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif
tidak pernah merupakan satu keadaan yang statis dan tak berubah untuk selama-lamanya.
Ia selalu harus diproduksi dan direproduksi in actu. Dengan kata lain,
hubungan antara individu dan dunia sosial yang objektif merupakan semacam aktual
penyeimbangan yang berlangsung terus-menerus. Akar-akar antropologinya, tentunya,
adalah sama dengan apa
-193-
yang telah kita bahas dalam kaitan dengan posisi manusia yang istimewa dalam
dunia hewan.
Dalam sosialisasi primer tidak ada masalah identifikasi. Orang-orang
yang berpengaruh tidak dapat dilpilih. Masyarakat menyediakan sekelompok orang-orang
berpengaruh tertentu bagi sosialisasi seorang anak, yang harus ia terima sebagaimana
adanya tanpa kemungkinan untuk memilih sekelompok yang lain. Hic Rhodus,
hic salta
saya harus menyesuaikan diri kepada orang tua yang diberikan
kepada saya oleh nasib. Nasib yang tidak adil yang melekat pada situasi keberadaan
seorang anak mengandung konsekuensi yang sudah jelas bahwa walaupun si anak
itu tidak hanya pasif saja dalam proses sosialisasinya, namun orang-orang dewasalah
yang menentukan aturan mainnya. Si anak bisa melakukan permainan itu dengan
antusiasme atau dengan ogah-ogahan. Tetapi, sialnya, tak ada permainan yang
lain baginya. Ini mempunyai satu akibat pasti yang penting. Oleh karena si anak
tidak punya pilihan lain dalam menentukan pengaruh-pengaruhnya, maka pengidentifikasian
dirinya dengan mereka berlangsung secara kuasi-otomatis. Dengan sebab yang sama,
internalisasi kenyataan tertentu dalam diri mereka oleh si anak juga merupakan
sesuatu yang kuasi-tak-terelakkan. Si anak menginternalisasi dunia orang-orang
yang berpengaruh itu tidak sebagai satu diantara banyak dunia yang mungkin.
Ia menginternalisasinya sebagai dunia satu-satunya, sebagai satu-satunya
dunia yang ada dan yang bisa dipahami, sebagai dunia out court. Karena
itulah maka dunia yang diinternaisasikan dalam sosialisasi primer jauh lebih
kuat tertanam dalam kesadaran dibandingkan dengan dunia-dunia yang diinternalisasi
dalam sosialisasi sekunder. Betapapun makna ketidak-terelakkan yang semula itu
mungkin diperlemah dengan kekecewaan-kekecewaan yang dialami kemudian, namun
ingatan kembali akan suatu kepastian yang tak pernah akan terulang lagi-kepastian
tentang fajar pertama dunia kenyataan-akan tetap melekat pada dunia pertama
masa kanak-kanak. Dengan demikian maka sosialisasi primer melaksanakan apa yang
(apabila kita melihat ke masa lampau, tentunya) dapat dipandang sebagai tipuan
yang paling penting yang dilakukan oleh masyarakat terha-
-194-
dap individu-yakni menampilkan kepada individu sebagai suatu keharusan apa yang
dalam kenyataannya hanya merupakan sekumpulan hal-hal yang tidak niscaya, dan
dengan demikian memberi makna kepada kelahirannya yang hanya merupakan peristiwa
kebetulan.
Sudah tentu isi-isi khusus yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer berbeda
dari masyarakat ke masyarakat. Tetapi ada juga yang di mana-mana sama. Yang
pertama-tama sekali harus diinternalisasi adalah bahasa. Dengan bahasa, dan
dengan perantaraannya, berbagai skema motivasi dan interpretasi diinternalisasi
sebagai sudah didefinisikan secara kelembagaan-umpamanya, ingin bersikap sebagai
anak laki-laki yang berani, dan dengan mengandaikan bahwa anak-laki-laki itu
secara alamiah sudah terbagi ke dalam yang berani dan pengecut. Skema-skema
ini memberikan kepada si anak program-program yang sudah dilembagakan bagi kehidupan
sehari-hari; di antaranya ada yang berlaku langsung baginya, dan yang lain mengantisipasi
tindak-tanduk yang ditentukan secara sosial bagi tahap-tahap biografis yang
kemudian-keberanian yang akan memungkinkannya untuk melalui hari yang penuh
dengan berbagai ujian kemauan oleh kelompok sesamanya dan oleh semua kelompok
orang lainnya, dan juga keberanian yang akan dituntut dari seseorang di kemudian
hari-apabila ia, umpamanya, diinisiasi sebagai prajurit, atau apabila ia, siapa
tahu, dipanggil oleh dewa. Program-program itu, baik yang langsung berlaku maupun
yang masih diantisipasi untuk masa mendatang, membedakan identitas seseorang
dari indentitas orang lain-seperti gadis-gadis, anak-anak budak, atau anak-anak
dari clan lain. Akhirnya, ada penginternalisasian perangkat legitimasi,
setidak-tidaknya unsur-unsur dasarnya; si anak belajar tahu "mengapa"
program-program itu harus begitu. Orang harus berani karena ia ingin menjadi
laki-laki sejati; orang harus melakukan berbagai ritual karena jika tidak maka
para dewa akan marah; orang harus setia kepada kepala suku karena hanya dengan
begitu para dewa akan membantunya dalam keadaan-keadaan bahasa; dan sebagainya.
Maka, dalam sosialisasi primerlah, dunia pertama individu terbentuk. Kekukuhannya
yang khas dapat dijelaskan, setidak-
-195-
tidaknya untuk sebagian, oleh hubungan individualnya yang tak terelakkan dengan
orang-orang yang pertama sekali mempengaruhinya. Dunia masa kanak-kanak, dalam
kenyataannya yang gamblang, dengan demikian mendorong timbulnya rasa percaya
tidak hanya bagi pribadi-pribadi orang yang berpengaruh, tetapi juga terhadap
definisi mereka tentang situasi. Dunia masa kanak-kanak adalah benar-benar nyata
dan tak disangsikan lagi.[11]
Barangkali memang harus demikian pada tahap ini, dalam perkembangan kesadaran.
Baru di kemudian hari, individu mampu mengenyam kemewwahan berupa, setidak-tidaknya,
rasa sangsi barang sedikit. Dan bolehjadi keharusan adanya suatu kenyataan pertama
(protorealism) ini dalam pemahaman dunia berlaku baik dari segi filogenetis
maupun segi ontogenetis.[12] Bagaimanapun
juga, dunia masa kanak-kanak terbentuk begitu rupa sehingga menanamkan dalam
diri individu suatu struktur kesadaran di mana ia dapat menaruh kepercahaan
bahwa 'everythings is all right'-untuk meminjam kalimat yang mungkin
paling sering diucapkan seorang ibu kepada anaknya yang sedang menangis. Penemuan
individu di belakang hari bahwa ada hal-hal yang sama sekali tidak "all
right" mungkin akan sangat atau tidak begitu mengejutkan, tergantung
kepada kondisi biografisnya, tetapi bagaimanapun juga dunia masa kanak-kanak
agaknya akan tetap mempunyai kenyataan yang khas apabila orang mengenang kembali
masa lampaunya. Ia tetap merupakan "home world" (dunia rumah
sendiri) bagaimanapun jauhnya orang meninggalkannya dalam kehidupan di kemudian
hari, apabila ia merantau ke daerah-daerahdi mana ia sama sekali tidak merasa
seperti di rumah sendiri.
Sosialisasi primer menyangkut tahap-tahap belajar yang ditentukan secara sosial.
Pada usia A si anak harus belajar X, pada usia B ia harus belajar Y, dan seterusnya.
Program-program itu masing-masing menyangkut suatu pengakuan sosial mengenai
adanya pertumbuhan dan diferensiasi biologis. Dengan demikian
-196-
maka tiap program, dalam tiap masyarakat, harus mengakui bahwa anak yang berusia
satu tahun tidak dapat diharapkan untuk belajar seperti anak yang berusia tiga
tahun. Begitu pula, kebanyakan program agaknya akan didefinisikan persoalannya
dengan cara yang berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Sudah tentu,
pengakuan yang minimal seperti itu dipaksakan kepada masyarakat oleh fakta-fakta
biologis. Tetapi selebihnya terdapat keanekaragaman sosio-historis yang besar
dalam pandangan tentang tahap-tahap belajar. Yang dalam satu masyarakat masih
dipandang sebagai masa kanak-kanak, dalam masyarakat masih dipandang sebagai
masa kanak-kanak, dalam masyarakat lainnya mungkin saja dipandang sebagai sudah
benar-benar termasuk masa dewasa. Dan implikasi sosial dari masa kanak-kanak
bisa sangat bervariasi dari masyarakat ke masyarakat-umpamanya, dilihat dari
segi sifat-sifat emosional, tanggung jawab moral, atau kemampuan intelektual.
Peradaban Barat masa kini (setidak-tidaknya sebelum adanya gerakan Freudian)
cenderung untuk memandang anak-anak secara kodrati "tak berdosa" dan
"manis"; masyarakat-masyarakat lain menganggap mereka secara kodrati
"berdosa dan kotor", dan hanya berbeda dengan orang dewasa dari segi
kekuatan dan pemahaman saja. Demikian pula ada berbagai variasi yang serupa
dalam memandang anak-anak, dari segi kemampuan untuk melakukan kegiatan seksual,
untuk bertanggung jawab atas perbuatan jahat, untuk menerima ilham dari para
dewa dan sebagainya. Keanekaragaman seperti itu dalam pandangan sosial tentang
masa kanak-kanak dan tahap-tahapnya sudah jelas akan mempengaruhi program belajar.[13]
Sifat sosialisasi primer juga dipengaruhi oleh berbagai persyaratan dalam pengalihan
cadangan pengetahuan. Legitimasi tertentu mungkin menuntut tingkat kompleksitas
linguistik yang lebih tinggi bagi pehamahamannya dibandingkan dengan legitimasi
lainnya. Kita dapat menduga, umpamanya, bahwa seorang anak kecil tidak akan
memerlukan begitu banyak kata-kata untuk mengerti bahwa ia tidak boleh melakukan
masturba-
-197-
si karena perbuatan itu akan membuat malaikat pelindungnya menjadi marah dibandingkan
dengan apa yang ia perlukan untuk memahami argumen bahwa masturbasi akan pengganggu
penyesuaian seksualnya di kemudian hari. Tuntutan-tuntutan tatanan kelembagaan
secara keseluruhan selanjutnya akan mempengaruhi sosialisasi primer. Ketrampilan
yang berbeda diperlukan pada usia yang berbeda dalam masyarakat yang satu dibandingkan
dengan masyarakat lainnya, atau malahan dalam sektor-sektor yang berbeda dalam
masyarakat yang sama. Tingkat usia di mana, dalam satu masyarakat, mungkin dianggap
sudah semestinya bagi seorang anak untuk bisa mengendarai sebuah mobil, dalam
masyarakat yang lain mungkin merupakan tingkat usia di mana ia diharapkan sudah
membunuh musuhnya yang pertama. Seorang anak dari keluarga kelas atas mungkin
akan belajar "fakta-fakta kehidupan" pada satu tingkat usia di mana
seorang anak keluarga kelas rendahan telah menguasai dasar-dasar teknik pengguguran
kandungan. Atau, seorang anak keluarga kelas atas mungkin mengalami gejolak
emosi patriotiknya yang pertama kira-kira pada saat di mana rekannya dari kelas
rendahan untuk pertama kalinya mengalami rasa benci terhadap polisi dan segala
sesuatu yang ada hubungannya dengan polisi.
Sosialisasi primer berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya
(dan segala sesuatu yang menyertainya) telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran
individu. Pada titik ini ia sudah merupakan anggota efektif masyarakat dan secara
sumbjektif memiliki suatu diri dan sebuah dunia. Tetapi internalisasi masyarakat,
identitas dan kenyataan ini tidak terjadi sekali jadi dan selesai tuntas. Sosialisasi
tidak pernah total dan tidak pernah selesai. Ini menghadapkan kita kepada dua
masalah lain: pertama, bagaimana kenyataan yang sudah diinternalisasi dalam
sosialisasi primer itu dipertahankan dalam kesadaran; dan kedua, bagaimana internalisasi-internalisasi
berikutnya-atau sosialisasi-sosialisasi sekunder-dalam biografi selanjutnya
dari individu berlangsung. Kita akan membuat masalah-masalah itu dengan urutan
terbalik.
-198-
sosialisasi sekunder
kita bisa membayangkan suatu masyarakat di mana tidak terjadi sosialisasi lebih
lanjut setelah sosialisasi primer. Dengan sendirinya, masyarakat seperti itu
akan merupakan sebuah masyarakat dengan khazanah pengetahuan yang sederhana
sekali. Semua pengetahuan akan relevan secara umum, di mana individu hanya berbeda
dalam perspektif mereka mengenai pengetahuan itu. Konsepsi ini berguna untuk
menetapkan suatu kasus batas, tetapi sejauh ini kita tidak mengenal suatu masyarakat
yang tidak mempunyai suatu tingkat pembagian kerja, dan seiring dengan itu,
suatu tingkat pembagian kerja, dan seiring dengan itu, suatu tingkat
distribusi pengetahuan; dan kalau keadaannya sudah demikian maka sosialisasi
sekunder menjadi perlu.
Sosialisasi sekunder adalah internalisasi sejumlah "subdunia" kelembagaan
atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu lingkup jangkauan dan sifatnya ditentukan
oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat
yang menyertainya. Sudah tentu, pengetahuan yang relevan secara umum pun bisa
didistribusikan secara sosial-umpamanya, dalam bentuk "versi-versi"
yang didasarkan atas kelas-tetapi yang kami maksudkan di sini adalah distribusi
sosial dari "pengetahuan khusus"-pengetahuan yang timbul sebagai akibat
pembagian kerja dan yang "pengemban-pengembannya" ditentukan secara
kelembagaan. Dengan melupakan untuk sejenak dimensi-dimensi lain, kita bisa
mengatakan bahwa sosialisasi sekunder adalah proses yang memperoleh pengetahuan
khusus sesuai dengan peranannya (role-specific knowledge), di mana peranan-peranan
secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja. Ada beberapa
alasan untuk membenarkan definisi sempit seperti itu, tetapi ini sama sekali
belum mencakup seluruh persoalannya. Sosialisasi sekunder memerlukan proses
memperoleh kosa kata khusus yang berdasarkan peranan, yang berarti, antara lain,
internalisasi bidang-bidang semantik yang menstrukturkan penafsiran-penafsiran
dan perilaku rutin di dalam suatu wilayah kelembagaan. Dalam waktu yang bersamaan
diperlukan juga "pemahaman tersirat", evaluasi-evaluasi dan pewarnaan-pewarnaan
afektif dari bidang-bidang semantik itu.
-199-
"Subdunia-subdunia" yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder
pada umumnya merupakan kenyataan-kenyataan parsial, berbeda dengan "dunia
dasar" yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Walaupun demikian, "subdunia-subdunia"
itu pun merupakan kenyataan yang sedikit banyaknya kohesif, bercirikan komponen-komponen
yang normatif dan efektif maupun yang kognitif.
Selain itu, "subdunia" itu pun memerlukan setidak-tidaknya dasar-dasar
perangkat legitimasi, ang sering diiringi simbol-simbol ritual atau material.
Sebagai contoh, suatu diferensiasi bisa timbul antara prajurit infanteri dan
pasukan berkuda. Yang disebut belakangan akan memerlukan latihan khusus, yang
mungkin melibatkan lebih dari sekadar belajar keterampilan-keterampilan fisik
semata-mata yang diperlukan untuk menangani kuda-kuda militer. Bahasa kavaleri
akan berbeda sekali dengan bahasa infanteri. Akan terbentuk suatu terminologi
yang mengacu kepada kuda, sifat-sifat dan kegunaannya, dan kepada situasi-situasi
yang timbul dalam kehidupan kavaleri, yang akan sangat tidak relevan bagi prajurit
infanteri. Kavaleri juga akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam arti lebih
dari segi intrumental saja. Seorang prajurit infanteri akan bersumpah serapah
dengan mengacu kepada kakinya yang sakit, sedangkan prajurit kavaleri mungkin
akan menuding-nuding punggung kudanya. Dengan kata lain, seperangkat perlambang
dan kiasan akan terbentuk di atas landasan instrumental bahasa kavaleri. Bahasa
khusus yang berdasarkan peran ini diinternalisasi secara keseluruhan oleh individu
selama ia menjalani latihan perang berkuda. Ia menjadi prajurit kavaleri tidak
hanya dengan jalan memperoleh berbagai ketrampilan yang diperlukan melainkan
juga dengan memperoleh kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa itu.
Ia lalu dapat berkomunikasi dengan sesama anggota kavaleri dengan menggunakan
ungkapan-ungkapan yang bagi mereka kaya akan makna namun yang akan sulit sekali
untuk dimengerti oleh prajurit-prajurit infanteri. Dengan sendirinya proses
internalisasi ini melibatkan identifikasi subjektif dengan peranan dan norma-normanya
yang sesuai-"Saya prajurit berkuda", "Seorang
-200-
prajurit berkuda tak akan pernah memperlihatkan ekor kudanya kepada musuh",
"Jangan sekali-kali membiarkan wanita melupakan bagaimana rasanya dipacu",
Penunggang kuda yang cepat dalam perang adalah penunggang kuda yang cepat di
tempat judi", dan sebagainya. Sesuai dengan kebutuhan, perangkat makna
ini akan didukung oleh sejumlah legitimasi, mulai dari peribahasa-peribahasa
sederhana seperti di atas sampai kepada konstruksi-konstruksi mitologis yang
kompleks. Akhirnya, mungkin akan ada berbagai ragam upacara persembahan dan
objek-objek jasmaniah-umpamanya, perayaan tahunan hari besar Dewa Kuda, di mana
semua hidangan disantap sambil naik kuda dan anggota kavaleri yang baru dilantik
menerima jimat berupa ekor kuda yang untuk selanjutnya akan mereka kalungkan
di leher.
Sifat sosialisasi sekunder seperti itu tergantung kepada status perangkat pengetahuan
yang bersangkutan di dalam universum simbolis secara keseluruhan. Latihan diperlukan
untuk menangani kuda yang menarik gerobak pupuk kandang atau untuk menungganginya
dalam pertempuran. Tetapi suatu masyarakat yang membatasi penggunaan kuda hanya
untuk menarik gerobak pupuk kandang agaknya tidak akan membumbui kegiatan ini
dengan ritual-ritual yang rumit atau kepercayaan pada jimat, dan personil yang
mendapat tugas itu agaknya tidak akan mengidentifikasikan diri dengan peranan
itu dengan secara mendalam; legitimasi-legitimasinya, sebagaimana adanya, agaknya
akan merupakan semacam kompensasi. Dengan demikian maka dari segi sosio-historis
terdapat keanekaragaman yang besar sekali dalam berbagai representasi yang terlibat
dalam sosialisasi sekunder. Namun demikian, dalam kebanyakan masyarakat, peralihan
dari sosialisasi primer ke sosialisasi sekunder diiringi oleh beberapa ritual.[14]
Proses-proses formal dalam sosialisasi sekunder ditentukan oleh masalah dasarnya:
ia selalu mengandaikan suatu proses sosialisasi primer yang mendahuluinya; artinya
ia berurusan de-
201-
ngan suatu diri yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasi.
Ia tidak bisa membangun kenyataan subjektif ex nihilo. Ini merupakan
satu masalah, karena kenyataan yang sudah diinternalisasi mempunyai kecenderungan
untuk bertahan terus. Isi-isi baru yang bagaimanapun yang sekarang akan diinternalisasi,
tak boleh tidak harus diletakkan di atas kenyataan yang sudah ada itu. Karena
itu ada masalah konsistensi antara internalisasi yang pertama dan internalisasi
baru. Masalah ini pemecahannya bisa sulit atau tidak begitu sulit, tergantung
kepada kasusnya. Sesudah saya belajar mengetahui bahwa kebersihan merupakan
kebaikan untuk diri saya sendiri, saya tidak akan mengalami kesulitan untuk
menerapka hal itu kepada kuda saya. Tetapi setelah saya belajar mengetahui bahwa
mengucapkan kata-kata cabul tertentu merupakan perbuatan yang tercela bagi seorang
anak infanteri, mungkin saya memerlukan beberapa penjelasan bahwa perbuatan
itu sekarang merupakan suatu keharusan bagi seorang anggota kavaleri. Untuk
menciptakan dan mempertahankan konsistensi, sosialisasi sekunder mengandaikan
prosedur-prosedur konseptual untuk mengintegrasikan berbagai perangkat pengetahuan.
Dalam sosialisasi sekunder, keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak diperoleh; artinya, menurut struktur landasan pengetahuan itu. Sebagai contoh, untuk belajar menguasai teknik-teknik berburu tertentu, orang terlebih dulu harus belajar mendaki gunung; atau, untuk belajar kalkulus orang haru terlebih dahulu belajar aljabar. Tahap-tahap belajar itu juga bisa dimanipulasi atas dasar kepentingan mapan dari personil yang mengelola perangkat pengetahuan. Umpamanya, bisa ditetapkan bahwa orang harus belajar dulu menujum dari isi perut binatang sebelum dapat belajar menujum dari cara dan arah terbangnya burung, atau bahwa orang harus terlebih dulu memiliki ijazah SLA sebelum ia dapat diterima sebagai murid sekolah pembalseman (pengawetan mayat), atau bahwa orang harus lulus ujian bahasa Gaelic (bahasa Kelt), sebelum ia dapat dicalonkan untuk menjadi pe-
-202-
gawai negeri di Irlandia. Ketentuan-ketentuan seperti itu merupakan hal-hal
yang ekstrinsik bagi pengetahuan yang diperlukan secara pragmatis untuk melakukan
tugas sebagai ahli nujum, sebagai pengawet mayat atau pegawai negeri Irlandia.
Ketentuan-ketentuan itu ditetapkan secara kelembagaan untuk meninggikan prestise
peranan-peranan yang bersangkutan atau agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan
ideologis lain. Pendidikan sekolah dasar mungkin sudah memadai benar sebagai
syarat untuk dapat mengikuti kurikulum sekolah pengawetan mayat, dan pegawai-pegawai
negeri Irlandia melakukan urusan mereka sehari-hari dalam bahasa Inggris. Malahan
bisa terjadi bahwa urutan belajar yang telah dimanipulasi itu menjadi tidak
fungsional secara pragmatis. Umpamanya, mungkin ada ketentuan bahwa suatu latar
belakang "pendidikan umum" di akademi harus mendahului pendidikan
profesional sebagai sosiolog peneliti, sedangkan kegiatan mereka yang sesungguhnya
(sebagai sosiolog peneliti) sebenarnya mungkin bisa dilaksanakan dengan lebih
efisien jika mereka tidak dibebani "pendidikan" semacam itu.
Sementara sosialisasi primer tidak dapat berlangsung tamnpa suatu identifikasi
yang bermuatan emosi di pihak anak dengan para pengasuhnya, kebanyakan sosialisasi
sekunder tidak memerlukan identifikasi semacam itu, dan bisa berlangsung secara
efektif dengan hanya identifikasi timbal-balik sebanyak yang masuk dalam tiap
komunikasi antara manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang perlu
mencintai ibunya tetapi tidak gurunya. sOsialisasi dalam kehidupan selanjutnya
secara tipikal baru akan bersifat emosional yang mengingatkan kita kepada masa
kanak-kanak, apabila ia berusaha untuk secara radikal mentransformasikan kenyataan
subjektif individu. Ini menimbulkan masalah-masalah khusus yang akan kita analisa
sebentar lagi.
Dalam sosialisasi primer, si anak tidak memahami orang lain yang berpengaruh
sebagai fungsionaris-fungsionaris kelembagaan, tetapi sebagai semata-mata perantara
bagi kenyataan, si anak menginternalisasi dunia orang tuanya sebagai dunia satu-satunya,
dan tidak sebagai dunia yang termasuk dalam suatu konteks ke-
-203-
lembagaan yang spesifik. Berbagai krisis yang terjadi pasca sosialisasi primer
sesungguhnya disebabkan oleh timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah
satu-satunya dunia yang ada, melainkan mempunyai suatu lokasi sosial yang sangat
khusus, barangkali malahan suatu dunia dengan konotasi pejoratif (merendahkan).
Umpamanya, anak yang sudah besar akhirnya mengetahui bahwa dunia yang diwakili
oleh orang tuanya, dunia yang sebelumnya telah ia terima begitu saja sebagai
kenyataan yang tak terelakkan, sebenarnya merupakan dunia orang-orang desa dari
Amerika Serikat bagian Selatan yang tak berpendidikan dan termasuk kelas bawah.
Dalam sosialisasi sekunder, konteks kelembagaannya bisa dipahami. Tak perlu
dikatakan lagi bahwa hal ini tidak perlu melibatkan suatu pemahaman yang canggih
mengenai semua implikasi dari konteks kelembagaannya. Walaupun demikian, anak
dari Selatan dalam contoh kita itu, memahami guru sekolahnya sebagai seorang
fungsionaris kelembagaan dengan cara yang tak pernah ia gunakan dalam memahami
orang tuanya, dan ia memahami peranan gurunya sebagai membawakan makna-makna
kelembagaan yang spesifik-seperti makna bangsa dibandingkan dengan makna daerah,
makna dunia kelas rendah di rumahnya, makna kota besar dibandingkan dengan daerah
pedesaan. Karena itu, interaksi sosial antara guru dan murid bisa diformalisasikan.
Guru tidak perlu merupakan orang lain yang berpengaruh dalam arti yang bagaimanapun
dari kata itu. Mereka adalah fungsionaris-fungsionaris kelembagaan dengan tugas
formal untuk mengalihkan pengetahuan tertentu. Peranan-peranan dalam sosialisasi
sekunder memiliki anonimitas dengan kadar yang tinggi; artinya peranan itu dapat
dengan mudah dilepaskan dari pelaku-pelaku individualnya. Pengetahuan yang sama
yang diajarkan oleh guru yang satu bisa diajarkan oleh guru yang lainnya. Tiap
fungsionaris jenis ini dapat mengajarkan pengetahuan jenis ini. Sudah tentu,
fungsionaris-fungsionaris itu secara individual orang perorang bisa dibeda-bedakan
secara subjektif dengan berbagai cara (sebagai guru yang lebih atau kurang menyenangkan,
sebagai guru ilmu hitung yang lebih baik atau lebih buruk, dan sebagainya),
-204-
tetapi dalam prinsipnya mereka bisa dipertukarkan satu sama lain.
Formalitas dan anonimitas ini tentunya berkaitan dengan sifat afektif hubungan
sosial dalam sosialisasi sekunder. Tetapi konsekuensinya yang paling penting
adalah bahwa mereka memberikan kepada isi dari apa yang dipelajari dalam sosialisasi
sekunder suatu sifat ketidakterelakan subjektif yang jauh lebih lemah dibandingkan
dengan apa yang terdapat pada isi sosialisasi primer. Karena itu, warna kenyataan
dalam pengetahuan yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder lebih mudah
ditempatkan di antara tanda kurung (artinya, kesadaran subjektif bahwa internalisasi
itu nyata adalah kabur). Diperlukan kejutan-kejutan biografis yang sangat kuat
untuk mencerai-beraikan kenyataan masif yang telah diinternalisasi dalam awal
masa kanak-kanak; dan kejutan-kejutan yang jauh lebih kecil untuk menghancurkan
kenyataanyang diinternalisasi lebih kemudian. Setelah ini dilampaui, relatif
mudah untuk mengesampingkan kenyataan dari internalisasi sekunder. Si anak mau
tak mau hidup dalam dunia sebagaimana yang sudah ditentukan oleh orang tuanya,
tetapi dengan senang hati ia dapat meninggalkan dunia ilmu hitung begitu ia
keluar dari ruang kelas.
Ini memungkinkan individu untuk melepaskan sebagian diri dan kenyataan yang
menyertainya sebagai hanya relevan bagi situasi yang bersangkutan yang timbul
dari adanya peranan tertentu. Individu lalu membuat jarak antara keseluruhan
diri dalam peranan tertentu berikut kenyataannya di pihak lain.[15]
Langkah
-205-
yang penting ini hanya mungkin dilakukan setelah berlangsungnya sosialisasi
primer. Gampangnya, sekali lagi dapat dikatakan bahwa lebih mudah bagi si anak
untuk "bersembunyi" dari gurunya daripada "bersembunyi"
dari ibunya. Sebaliknya, bisa dikatakan bahwa perkembangan kemampuan untuk "bersembunyi"
ini merupakan satu aspek penting dari proses pertumbuhan memasuki masa dewasa.
Warna kenyataan dari pengetahuan yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer
merupakan hal yang timbul secara kuasisomatis. Dalam sosialisasi sekunder ia
harus diperkuat dengan teknik-teknik khusus pedagogis, yang "dibawa ke
rumah" si individu. Ini suatu ungkapan sugestif. Dunia kenyataan awal bagi
si anak memang "rumah". Ia tampil sedemikian rupa, secara tak terelakkan
dan, seolah-olah, secara "kodrati". Dibandingkan dengan itu, semua
kenyataan di kemudian hari adalah "buatan". Demikianlah, maka guru
sekolah berusaha untuk "membawa ke rumah si anak" segala pengetahuan
yang hendak ia tanamkan dengan membuatnya menjadi hidup (artinya, mengaitkannya
dengan struktur relevansi yang sudah terdapat dalam "dunia rumah"
itu) dan menariknya (artinya, mendorong si anak untuk melepaskan perhatiannya
dari objek-objek "kodrati" dan mengarahkannya ke objek-objek "buatan").
Siasat ini perlu karena guru menghadapi dalam diri si anak suatu kenyataan yang
sudah diinternalisasi, yang bersikeras "merintangi" internalisasi
baru. Tingkat dan sifat kecermatan teknik-teknik pedagogi ini akan bervariasi
menurut motivasi
-206-
yang ada pada individu untuk memperoleh pengetahuan baru.
Semakin teknik-teknik baru itu mampu menjadikan kesinambungan antara unsur-unsur
asal dan unsur-unsur baru dari pengetahuan yang secara subjektif masuk akal,
semakin mudah teknik-teknik itu memperoleh warna kenyataan. Orang belajar bahasa
yang kedua dengan jalan membangun di atas kenyataan "bahasa ibu" yang
telah diterimanya begitu saja. Untuk waktu yang lama, ia masih terus menerjemahkan
kembali ke dalam bahasa asalnya setiap unsur dari bahasa baru yang sedang dipelajarinya.
Hanya dengan cara ini bahasa baru itu mulai memperoleh suatu kenyataan. Sementara
kenyataan ini mulai berdiri di atas kakinya sendiri, secara berangsung-angsur
orang itu bisa mengesampingkan penerjemahan kembali. Ia menjadi mampu untuk
"berpikir" dalam bahasa baru itu. Walaupun demikian, jarang sekali
suatu bahasa yang dipelajari di kemudian hari memperoleh status kenyataan yang
tak terelakkan dan jelas-dengan-sendirinya seperti yang dimiliki oleh bahasa
pertama yang dipelajari di masa kanak-kanak. Itulah yang menyebabkan sifat afektif
"bahasa ibu". Mutatis mutandis, karakteristik yang sama dari
pembentukan kenyataan "rumah sendiri", dari perkaitan dengan kenyataan
itu selama berlangsungnya proses belajar dan kemudian secara berangsung-angsur
melepaskan kaitan ini, merupakan tahap-tahap belajar lain dalam sosialisasi
sekunder.
Kenyataan bahwa proses-proses sosialisasi sekunder tidak mengandaikan suatu
tingkat identifikasi yang tinggi dan bahwa isinya tidak memiliki sifat ketidak-terelakan
dapat berguna dari segi pragmatis, karena hal itu memungkinkan tahap-tahap belajar
yang rasional dan terkendali dari segi emosi. Tetapi karena isi internalisasi
jenis ini mempunyai kenyataan subjektif yang rapuh dan tak dapat diandalkan
jika dibandingkan dengan internalisasi sosialisasi primer, maka dalam beberapa
kasus harus dikembangkan teknik-teknik khusus untuk menghasilkan identifikasi
dan ketidak-terelakan yang dianggap perlu. kEbutuhan akan teknik-teknik semacam
itu mungkin bersifat intrinsik dari segi mempelajari dan menerapkan isi internalisasi,
atau mungkin pula ditentukan demi kepentingan mapan dari personil yang mengelola
proses sosialisasi yang bersangkutan. Sebagai contoh,
-207-
seseorang yang ingin menjadi pemusik ulung harus menekuni bidangnya sampai ke
tingkat yang tidak begitu perlu bagi seseorang yang belajar untuk menjadi insinyur.
Pendidikan insinyur bisa berlangsung secara efektif melalui proses-proses formal,
sangat rasional dan tanpa emosi. Sebaliknya, pendidikan pemusik secara khas
menuntut tingkat identifikasi yang jauh lebih tinggi dengan seorang maestro
dan pelibatan diri yang jauh lebih mendalam dalam kenyataan musik. Perbedaan
ini timbul dari perbedaan intrinsik antara pengetahuan keinsinyuran dengan pengetahuan
musik, dan antara cara hidup di mana kedua perangkat pengetahuan itu diterapkan
dalam praktek. Juga seorang revolusioner yang profesional memerlukan tingkat
identifikasi dan keniscayaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
insinyur. Tetapi dalam hal ini kebutuhan itu tidak timbul dari sifat-sifat intrinsik
dari pengetahuan itu sendiri, yang mungkin saja sangat sederhana dan sedikit
isinya, tetapi oleh komitmen pribadi yang dituntut dari seorang revolusioner
dilihat dari segi kepentingan-kepentingan mapan dari gerakan revolusioner. Kadang-kadang
kebutuhan akan teknik-teknik yang lebih intensif bisa ditimbulkan baik oleh
faktor-faktor intrinsik maupun faktor-faktor ekstrinsik. Sosialisasi personil
keagamaan merupakan salah satu contohnya.
Teknik-teknik yang digunakan dalam kasus-kasus seperti itu dimaksudkan untuk
mengintensifkan muatan afektif dari proses sosialisasi. Secara khas, teknik-teknik
itu melibatkan pelembagaan suatu proses inisiasi yang rumit, suatu masa percobaan
di mana individu pada akhirnya mengikat diri sepenuhnya kepada kenyataan yang
sedang diinternalisasi. Apabila prosesnya menuntut suatu transformasi yang sebenranya
dari kenyataan "asal" individu, proses itu lalu meniru semirip mungkin
sifat sosialisasi primer, seperti yang akan kita lihat nanti. Tetapi tanpa adanya
transformasi seperti itu sekalipun, sosialisasi sekunder menjadi bermuatan afektif
sampai ke tingkat peresapan dan pengikatan diri kepada realitas baru yang secara
kelembagaan dianggap perlu. Hubungan antara individu dengan personil sosialisasi
kemudian terisi dengan "signifikansi". Artinya, personil sosialisasi
memperoleh kedudukan sebagai orang-orang
-208-
yang berpengaruh dalam hubungannya dengan individu yang sedang disosialisasikan.
Individu itu lalu mengikat diri secara komprehensif kepada kenyataan baru itu.
Ia "memberikan dirinya" kepada musik, kepada revolusi, kepada kepercayaan,
tidak sekadar setengah-setengah melainkan bersama apa yang secara subjektif
merupakan keseluruhan hidupnya. Dengan sendirinya, kesediaan untuk mengurbankan
diri sendiri merupakan konsekuensi akhir dari jenis sosialisasi ini.
Suatu keadaan penting yang agaknya mengandaikan kebutuhan akan intensifikasi
seperti itu adalah persaingan di antara personil yang mendefinisikan kenyataan
dari berbagai lembagai. Dalam kasus penggemblengan revolusioner, masalah yang
indtrinsik adalah sosialisasi individu ke dalam suatu definisi lawan (kontra-definisi)
tentang kenyataan-artinya, definisi yang menandingi definisi para pemberi legitimasi
"resmi" dalam masyarakat. Apabila dalam masyarakat terdapat persaingan
yang tajam dalam nilai-nilai estetis yang dianut oleh komunitas pemusik. Sebagai
contoh, bisa diandaikan bahwa seorang calon pemusik suatu intensitas emosional
yang tidak diperlukan di Wina abad 19, justru karena dalam situasi Amerika masa
kini terdapat persaingan yang sangat kuat dari apa yang secara subjektif akan
tampil sebagai dunia "materialistis" dan budaya massa" dari "manusia-manusia
tikus". Begitu pula, pendidikan keagamaan dalam suatu situasi majemuk mengandaikan
kebutuhan akan teknik-teknik "buatan" bagi pewarnaan kenyataan yang
tidak akan diperlukan dalam sutuasi yang didominasi oleh suatu monopoli keagamaan.
Di roma masih dianggap "sudah sewajarnya" untuk menjadi pendeta Katolik
dengan cara yang tidak berlaku di Amerika. Karena itu seminari-seminari teologi
Amerika harus bergulat dengan masalah "memasukkan kenyataan" dan memikirkan
teknik agar kenyataan itu bisa "melekat terus". Tidaklah mengherankan
jika mereka menemukan suatu cara pemecahan yang jelas praktis, yakni dengan
mengirimkan siswa-siswa mereka yang paling memberi harapan ke Roma untuk beberapa
waktu.
-209-
variasi-variasi serupa bisa terdapat di dalam konteks kelembagaan yang sama,
tergantung kepada tugas-tugas yang diberikan kepada berbagai kategori personil.
Demikianlah maka kadar keterikatan kepada kemiliteran yang dituntut dari perwira
karir sangat berbeda dengan apa yang dituntut dari para wajib dinas militer,
suatu fakta yang dengan jelas tercermin dalam proses latihan mereka masing-masing.
Begitu pula, terdapat perbedaan yang dituntut dalam keterikatan kepada kenyataan
kelembagaan antara dari seorang eksekutif dan seorang karyawan sosial di bidang
psikiatri, dan seterusnya. Seorang eksekutif harus "secara politis"
sehat dari segi yang tidak dituntut dari seorang kepala bagian pengetikan, dan
suatu "analisa didaktik" diharuskan bagi prikoanalis tetapi hanya
dianjurkan bagi petugas sosial, dan seterusnya. Maka terdapat sistem-sistem
sosialisasi sekunder yang sangat berbeda dalam lembaga-lembaga yang kompleks,
yang kadang-kadang dengan sangat peka disesuaikan kepada kebutuhan-kebutuhan
yang berbeda dari berbagai kategori personil kelembagaan.[16]
Distribusi tugas-tugas yang sudah dilembagakan antara sosialisasi primer dan
sosialisasi sekunder bervariasi menurut kompleksitas distribusi pengetahuan
dalam masyarakat. Selama ia relatif tidak rumit, badan kelembagaan yang sama
dapat melaksanakan sosialisasi mulai dari yang primer dilanjutkan dengan yang
sekunder dan melaksanakan tugas yang disebu belakangan itu sampai ke tingkat
yang tinggi. Apabila distribusi itu sudah sangat kompleks, mungkin perlu dikembangkan
badan-badan khusus untuk sosialisasi sekunder, dengan personil yang merupakan
tenaga-tenaga kerja penuh dan terlatih khusus untuk tugas-tugas pendidikan yang
dimaksudkan. Tanpa spesialisasi seperti itu, mungkin akan ada suatu jajaran
badan-badan sosialisasi yang menggabungkan tugas ini dengan tugas-tugas lainnya.
Dalam hal yang disebut belakangan, umpamanya, bisa terjadi bahwa se-
-210-
orang anak laki-laki pada usia tertentu dipindahkan dari rumah ibunya ke asrama
prajurit di mana ia akan dilatih untuk menjadi penunggang kuda. Ini tidak perlu
melibatkan personil pendidikan yang bertugas penuh. Penunggang-penunggang kuda
yang lebih tua dapat mengajar mereka yang lebih muda. Perkembangan pendidikan
modern, dengan sendirinya, merupakan ilustrasi yang paling baik dari sosialisasi
sekunder yang berlangsung di bawah naungan badan-badan yang terspesialisasi.
Akibat yang berupa menurunya posisi keluarga dalam masalah sosialisasi sekunder
sudah terlalu dikenal untuk dibahas lebih mendalam di sini.[17]
Memelihara dan Mentransformasikan Kenyataan
Subjektif
Oleh karena sosialisasi tidak pernah selesai sepenuhnya dan karena isi yang
diinternalisasi menghadapi ancaman yang terus menerus ke arah kenyataan subjektifnya,
maka tiap masyarakat yang ingin hidup terus harus mengembangkan prosedur-prosedur
pemeliharaan kenyataan untuk menjamin adanya suatu ukuran simetris antara kenyataan
objektif dan kenyataan subjektif. Kita sudah membahas masalah ini dalam kaitannya
dengan legitimasi. Fokus kita di sini adalah kepada soal memelihara kenyataan
subjektif dan bukan yang objektif; kenyataan sebagaimana yang dipahami dalam
kesadaran individu dan bukan kenyataan sebagaimana yang ditentukan secara kelembagaan.
Sosialisasi primer menginternalisasi suatu kenyataan yang dipahami sebagai niscaya.
Internalisasi ini bisa dikatakan berhasil jika kesadaran akan keniscayaan itu
hampir selalu hadir, setidak-tidaknya sementara individu melakukan kegiatan
dalam dunia kehidupan sehari-harinya. Tetapi bahkan apabila dunia kehidupan
sehari-hari itu tetap memelihara kenyataannya yang masif dan diterima begitu
saja in actu, ia diancam oleh situasi-situasi marjinal dalam pengalaman
manusia yang tidak bisa sepenuhnya ditempatkan di antara tanda kurung dalam
kegiatan sehari-hari.
-211-
Ia senantiasa dihantui oleh kehadiran metamorfosa baik yang benar-benar diingat
maupun yang hanya dirasakan sebagai kemungkinan yang menakutkan. Juga ada ancaman
yang lebih langsung dari definisi-definisi tandingan mengenai kenyataan yang
bisa dijumpai dalam kehidupan sosial. Seorang pria yang berkelakuan baik bisa
saja mimpi tentang pesta-pora seksual yang tak terperikan dalam kesendiriannya
di malam hari. Tetapi soalnya menjadi lain jika ia melihat mimpi itu diwujudkan
secara empiris oleh para penghuni pemukiman kaum libertarian di dekat rumahnya.
Mimpi dapat dengan lebih mudah dikarantinakan di dalam kesadaran sebagai "nonsens"
yang harus dikesampingkan atau secara diam-diam disesalkan sebagai penyimpangan-penyimpangan
mental: ia tetap bersifat khayalan vis a vis kenyataan kehidupan sehari-hari.
Suatu perbuatan aktual mendesakkan diri ke dalam kesadaran dengan cara yang
jauh lebih keras. Ia mungkin harus dihancurkan dalam faktanya sebelum ia dapat
ditanggulangi dalam pikiran. Bagaimana pun juga, ia tidak bisa diingkari sebagaimana
kita sekurang-kurannya dapat berusaha mengingkari metamorfosa situasi-situasi
marjinal.
Sifat sosialisasi sekunder yang lebih "artifisial" menyebabkan kenyataan
subjektif dari internalisasinya lebih terbuka lagi terhadap definisi-definisi
tandingan tentang kenyataan, bukan karena mereka tidak diterima sebagai sudah
sewajarnya atau karena dipahami sebagai kurang nyata dalam kehidupan sehari-hari,
melainkan karena kenyataan mereka tidak begitu kukuh berakar dalam kesadaran
dan dengan demikian lebih mudah digeser lagi. Sebagai contoh, baik larangan
untuk bertelanjang-yang berkaitan dengan rasa malu dan diinternalisasi dalam
sosialisasi primer-maupun aturan-aturan tentang cara berpakaian yang semestinya
untuk berbagai kesempatan sosial, yang diperoleh sebagai internalisasi sekunder,
diterima sebagai hal yang sudah sewajarnya dalam kehidupan sehari-hari. Selama
tidak mendapat tantangan masyarakat, hal itu juga tidak merupakan masalah bagi
individu. Tetapi tentangan itu harus jauh lebih kuat dalam hal yang pertama
dibandingkan dengan hal yang kedua, untuk bisa menjadi ancaman terhadap kenyataan
dari rutinitas yang sudah diterima sebagai kewajaran itu. Suatu pergeseran
-212-
yang relatif kecil saja dalam definisi subjektif tentang kenyataan yang sudah
cukup bagi seorang individu untuk menganggap sebagai sudah sewajarnya bahwa
orang boleh masuk kantor tanpa mengenakan dasi. Pergeseran yang jauh lebih drastis
akan diperlukan untuk dapat mendorong orang itu untuk bepergian dalam keadaan
telanjang bulat dan menganggap hal itu sebagai sudah sewajarnya. Pergeseran
yang pertama cukup ditimbulkan oleh sebab-sebab sosial seperti sekadar perubahan
tempat kerja-umpamanya, dari kampus sekolah di daerah pedalaman ke kampus sekolah
di ibukota. Hal itu akan melibatkan suatu revolusi sosial dalam lingkungan individu
yang bersangkutan; secara subjektif hal itu akan dipahami sebagai suatu perubahan
keyakinan yang sangat mendalam, mungkin setelah melewati suatu perlawanan batin
yang pada mulanya sangat kuat.
Kenyataan dari internalisasi sekunder tidak begitu terancam oleh situasi-situasi
marjinal, karena ia tidak relevan bagi situasi itu. Yang bisa terjadi adalah
bahwa kenyataan seperti itu dipahami sebagai remeh justru karena sudah tersingkap
irrelevansinya dengan situasi marjinal. Demikianlah maka bisa dikatakan bahwa
maut yang sudah mendekat mengancam secara mendalam kenyataan identifikasi-diri
sebelumnya dari seseorang sebagai laki-laki, sebagai makhluk bermoral, atau
sebagai orang Kristen. Identifikasi-diri seseorang sebagai asisten manajer bagian
penjualan pakaian dalam wanita tidak akan terancam melainkan hanya dianggap
sebagai tak penting saja dalam situasi yang sama. Sebaliknya, dapat dikatakan
bahwa dapat dipertahankannya internalisasi primer dalam situasi-situasi marjinal
merupakan satu ukuran bagi memadainya kenyataan subjektif. Ukuran seperti itu
sangat tidak relevan jika diterapkan kepada kebanyakan sosialisasi sekunder.
Orang bisa merasakan makna kematian sebagai laki-laki tetapi sama sekali tidak
sebagai asisten manajer bagian penjualan pakaian dalam wanita. Dan lagi, di
mana internalisasi sekunder diharapkan secara sosial memiliki tingkat ketahanan
kenyataan seperti ini dalam menghadapi situasi-situasi marjinal, maka prosedur
sosialisasinya akan harus diintensifkan dan diperkuat dengan cara seperti yang
telah dibahas sebelumnya. Di sini pun proses-proses sosialisasi sekunder di
bidang keagamaan
-213-
dan militer dapat dikemukakan sebagai ilustrasi.
Demi mudahnya kita bisa membedakan antara dua tipe umum cara memelihara kenyataan-cara
pemeliharaan rutin dan cara pemeliharaan dalam keadaan kritis. Yang disebut
pertama dimaksudkan untuk mempertahankan kenyataan yang sudah diinternalisasi
dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan yang disebut belakangan dimaksudkan untuk
mengatasi situasi-situasi krisis. Keduanya melibatkan proses-proses sosial yang
pada dasarnya, meskipun perlu dicatat adanya beberapa perbedaan.
Seperti telah kita lihat, kenyataan hidup sehari-hari dapat mempertahankan diri
karena sudah terkandung dalam kegiatan-kegiatan rutin, yang merupakan inti pelembagaan.
Tetapi selain itu, kenyataan hidup sehari-hari secara terus-menerus diperkuat
kembali dalam interaksi individu dengan orang-orang lain. Seperti halnya kenyataan
pada mulanya diinternalisasi oleh suatu proses sosial, maka begitu pula ia dipertahankan
dalam kesadaran oleh proses-proses sosial. Proses-proses yang disebut belakangan
ini tidak berbeda secara drastis dengan proses-proses internalisasi yang sebelumnya.
Proses-proses yang disebut belakangan ini tidak berbeda secara drastis dengan
proses-proses internalisasi yang sebelumnya. Proses-proses itu pun mencerminkan
fakta dasar bahwa kenyataan subjektif harus berkaitan dengan suatu kenyataan
objektif yang didefinisikan secara sosial.
Dalam proses sosial untuk memelihara kenyataan adalah mungkin membedakan antara
orang-orang yang berpengaruh dan orang-orang lain yang kurang penting.[18]
Degan cara yang penting, semua, atau setidak-tidaknya sebagian besar orang lain
yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari oleh individu berfungsi untuk menegaskan
kembali kenyataan subjektifnya. Ini terjadi bahkan dalam suatu situasi yang
"tidak berarti" sekali-
-214-
pun seperti ketika naik kereta ulang-alik. Individu mungkin saja tidak mengenal
seorang pun dalam gerbong kereta dan tidak berbicara dengan seorang pun. Walau
demikian, semua sesama penumpang itu menegaskan kembali struktur dasar dari
kehidupan sehari-hari. Dengan tingkah laku mereka secara keseluruhan, sesama
penumpang itu membebaskan individu dari kenyataan yang kabur dari keadaan ketika
ia baru bangun tidur di pagi hari dan mempermaklumkan dengan cara yang jelas
sekali bahwa dunia ini terdiri dari orang-orang yang bersungguh-sungguh yang
sedang menuju tempat kerja mereka, dari tanggung jawab dan jadwal-jadwal waktu,
New Haven Railroad dan surat kabar New York Times (NYT). Yang disebut paling
akhir (koran NYT), tentunya, menegaskan kembali kordinat-kordinat paling luas
dari kenyataan individu. Mulai dari berita cuaca sampai kepada iklan lowongan
kerja, koran itu, meyakinkannya bahwa ia benar-benar berada dalam dunia yang
paling nyata. Dengan demikian koran itu juga mengiyakan status yang tidak begitu
nyata dari pengalaman-pengalaman yang menakutkan sebelum ia sarapan pagi-bentuk
yang asing dari apa yang dianggapnya benda-benda yang sudah tak asing lagi ketika
ia terbangun dari suatu mimpi buruk, kejutan yang dialaminya ketika ia tidak
mengenal wajahnya sendiri dalam cermin di kamar mandi, kecurigaan yang tak terperikan
beberapa saat kemudian bahwa istri dan anak-anaknya sendiri adalah orang-orang
asing yang misterius. Kebanyakan orang yang rentan terhadap teror-teror metafisis
seperti itu berhasil untuk sedikit-banyaknya membebaskan diri dari ketakutan
itu melalui ritual-ritual pagi yang mereka lakukan dengan ketat, sehingga kenyataan
hidup sehari-hari setidak-tidaknya dapat dibangun kembali sedikit-demi-sedikit
pada saat mereka keluar dari pintu depan. Tetapi kenyataan itu baru mulai bisa
diandalkan dengan cukup kuat dalam kebersamaan anonim dalam gerbong kereta.
Dan kenyataan itu menjadi sangat meyakinkan pada saat kereta api memasuki stasiun
Besar. Saat itu individu bisa berbisik pada dirinya sendiri: ergo sum
(saya ada) dan dalam keadaan sadar sepenuhnya disertai kepercayaan pada diri
sendiri ia pun melangkah menuju kantornya.
-215-
Oleh sebab itu keliru untuk mengandaikan bahwa hanya orang-orang berpengaruh
sajalah yang dapat mempertahankan kenyataan subjektif. Tetapi orang-orang berpengaruh
itu menduduki tempat yang sentral dalam ekonomi mempertahankan kenyataan. Mereka
khususnya penting bagi individu untuk dapat secara terus-menerus mengkonfirmasikan
unsur yang sangat mengentukan dari kenyataan yang kita namakan identitas. Untuk
tetap percaya bahwa ia memang orang seperti yang ia pikirkan sendiri, individu
memerlukan tidak hanya konfirmasi secara implisit atas identitasnya, yang akan
diperolehnya dalam kontak-kontak setiap hari yang paling sepintas-lalu sekalipun,
tetapi juga konfirmasi yang eksplisit dan bermuatan emosi yang diberikan kepadanya
oleh orang-orang yang berpenagruh. Dalam ilustrasi terdahulu, orang yang tinggal
di daerah pinggiran kota itu agaknya akan berusaha memperoleh konfirmasi tersebut
dari keluarganya dan orang lain dalam pergaulan pribadinya dalam lingkungan
suasana kekeluargaan (lingkungan rukun tetangga, gereja, perkumpulan, dan sebagainya),
walaupun rekan-rekan usaha yang dekat pun melakukan fungsi ini. Dan jika, selain
itu, ia juga tidur bersama sekretarisnya, maka identitasnya selain dikonfirmasikan
juga diperkukuh lagi. Ini mengandaikan bahwa individu menyukai identitas yang
sedang dikonfirmasikan itu. Proses yang sama berlaku untuk konfirmasi identitas
yang mungkin tidak disenangi oleh individu itu. Kenalan-kenalan sepintas lalu
sekalipun dapat mengkonfirmasikan identifikasi-dirinya sebagai orang yang gagal
sama sekali; tetapi istrinya, anak-anaknya dan sekretarisnya mensahkan keadaan
itu dengan suatu finalitas yang tak terbantahkan lagi. Proses dari definisi
kenyataan objektif ke pemeliharaan kenyataan subjektif adalah sama dalam kedua
kasus.
Orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupan individu merupakan agen-agen utama
untuk mempertahankan kenyataan subjektifnya. Orang-orang lain yang tidak begitu
berpengaruh berfungsi sebagai semacam koor pengiring. Istri, anak dan sekretaris
dengan khidmat menegaskan kembali tiap hari bahwa seseorang merupakan manusia
yang penting, atau manusia yang gagal tanpa harapan lagi; bibi yang belum kawin,
koki dan pela-
-216-
yan lift mengiyakan hal itu dengan kekuatan yang berbeda-beda. Dengan
sendirinya mungkin saja terdapat perbedaan pendapat di antara orang-orang itu.
Dalam hal ini individu menghadapi masalah konsistensi, yang secara khas dapat
ia pecahkan dengan jalan memodifikasi kenyataannya atau hubungan-hubungannya
yang memelihara kenyataan itu. Ia mungkin punya pilihan antara menerima baik
identitasnya sebagai suatu kegagalan, atau memecat sektretarisnya atau juga
menceraikan istrinya,. Ia juga bisa memilih untuk menurunkan beberapa di antara
orang-orang itu dari status orang-orang yang berpengaruh, lalu berpaling kepada
orang-orang lain untuk memperoleh konfirmasi yang bermakna bagi kenyataannya-katakanlah,
psikoanalisnya, atau kawan-kawan lamanya dalam klub. Ada banyak kemungkinan
kompleksitas bagi pengorganisasian hubungan untuk mempertahankan kenyataan itu,
terutama dalam suatu masyarakat yang sangat mobil derangn peranan-pranan yang
terdiferensiasi.[19]
Hubungan antara orang-orang yang berpengaruh dan "koor pengiring"
dalam pemeliharaan-pemeliharaan merupakan hubungan dialektik. Artinya, mereka
berinteraksi satu sama lain dan juga dengan kenyataan subjektif yang mereka
konfirmasikan. Suatu pengidentifikasian yang sangat negatif dari pihak lingkungan
yang lebih luas pada akhirnya bisa mempengaruhi identifikasi yang diberikan
oleh orang-orang yang berpengaruh-apabila pelayan lift sekali pun tidak
lagi menyapa dengan "tuan", maka sang istri pun bisa melepaskan ifentifikasinya
terhadap suaminya sebagai orang penting. Sebaliknya, orang-orang yang berpengaruh
pada akhirnya bisa mempengaruhi lingkungan yang lebih luas-seorang istri yang
"setia" dapat sangat menolong dengan berbagai cara sementara sang
suami berusaha untuk menanamkan identitas tertentu mengenai dirinya pada rekan-rekan
usahanya. Dengan demikian, mempertahankan kenyataan dan mengonfirmasikan kenyataan
melibatkan keseluruhan situasi sosial individu, walaupun orang-orang yang berpengaruh
menduduki tempat yang istimewa dalam proses-proses itu.
-217-
arti penting yang relatif dari orang-orang yang berpengaruh itu serta koor pengiring
bisa dilihat dengan cara yang paling mudah jika kita memperhatikan kasus-kasus
dis-konfirmasi kenyataan subjektif. Suatu tindakan diskonfirmasi kenyataan
oleh istri, sebagai apa adanya, mempunyai potensi yang jauh lebih besar daripada
tindakan serupa yang dilakukan oleh seorang kenalan sambil lalu. Tindakan-tindakan
dari yang disebut belakangan harus memiliki suatu tingkat kepadatan tertntu
untuk bisa menyamai potensi tindakan yang disebut pertama. Pendapat yang dikemukakan
berulang kali oleh kawan baik saya bahwa koran-koran tidak memberitakan perkembangan
penting yang sedang terjadi di bawah permukaan bumi mungkin mempunyai bobot
yang lebih besar daripada pendapat yang sama yang dikemukakan oleh tukang cukur
saya. Tetapi pendapat yang sama yang dinyatakan secara berturut-turut oleh sepuluh
kawan tidak-akrab saya, mungkin akan mulai mempunyai bobot yang lebih besar
daripada pendapat sebaliknya yang dikemukakan oleh tukang cukur saya. Tetapi
pendapat yang sama yang dinyatakan secara berturut-turut oleh sepuluh kawan
tidak-akrab saya, mungkin akan mulai mempunyai bobot yang lebih besar daripada
pendapat sebaliknya yang dikemukakan oleh kawan karib saya. Kristalisasi yang
akan diperoleh secara subjektif sebagai hasil berbagai definisi tentang kenyataan
itu lalu akan menentukan bagaimana saya kiranya akan bereaksi terhadap penampilan
serombongan orang Cina yang berwajah seram, yang dengan mulut terkatup menenteng
tas di dalam gerbong kereta pada satu pagi hari; artinya, akan menentukan bobot
yang saya berikan kepada fenomen itu berdasarkan definisi saya sendiri tentang
kenyataan. Satu ilustrasi lainnya, jika saya seorang Katolik yang beriman maka
kenyataan kepercayaan saya itu tidak perlu terancam oleh rekan-rekan usaha saya
yang tidak percaya. Tetapi kepercayaan itu besar sekali kemungkinannya akan
terancam oleh istri saya yang tidak percaya. Karena itu, di dalam masyarakat
yang majemuk, adalah logis jika Gereja Katolik masih mengizinkan adanya keanekaragaman
yang besar dalam asosiasi-asosiasi antar kepercayaan dalam kehidupan ekonomi
dan politik, tetapi tetap tidak merestui perkawinan antar-agama. Pada umumnya,
dalam situasi di mana terdapat persaingan antara berbagai badan pendefinisi
kenyataan, segala macam hubungan kelompok sekunder dengan para pesaing bisa
dibiarkan selama ada hubungan kelom-
-218-
pok primer yang kukuh di mana kenyataan yang satu ditegaskan kembali
secara terus-menerus dalam menghadapi para pesaing itu.[20]
Cara yang ditempuh oleh Gereja Katolik untuk menyesuaikan diri kepada situasi
yang majemuk di Amerika merupakan satu ilustrasi yang baik sekali.
Wahana yang paling penting untuk memelihara kenyataan adalah percakapan. Kita
bisa memandang kehidupan sehari-hari individu sebagai suatu alat percakapan
yang bekerja giat untuk secara terus-menerus memelihara, memodifikasi, dan membangun
kembali kenyataan subjektifnya.[21]
Percakapan terutama bahwa orang berbicara satu sama lain. Dengan ini tidak berarti
mengingkari kekayaan suasana komunikasi non-verbal yang mewarnai tuturan. Namun,
tuturan tetap menduduki tempat istimewa dalam keseluruhan alat percakapan. Meskipun
demikian, penting ditekankan bahwa bagian terbesar dari proses memelihara kenyataan
dalam percakapan adalah implisit, tidak eksplisit. Kebanyakan percakapan tidaklah
menggunakan banyak kata untuk mendefinisikan kodrat dunia. Percakapan berlangsung
dengan latar belakang suatu dunia yang secara diam-diam diterima sebagai yang
sudah sewajarnya. Demikianlah maka percakapan singkat seperti, "Nah, sudah
waktunya aku berangkat ke stasiun," dan "Baiklah, sayang, selamat
bekerja di kantor", mengimplikasikan suatu keseluruhan dunia yang didalamnya
ucapan-ucapan yang tampaknya sederhana itu mempunyai arti. Berdasarkan implikasi
ini maka percakapan itu mengkonfirmasikan kenyataan subjektif dunia ini.
Jika ini dipahami, maka kita dengan mudah akan melihat bahwa bagian terbesar,
jika bukan seluruhnya, dari percakapan sehari-hari memelihara kenytaan subjektif.
Sesungguhnyalah
-219-
kemasifannya dicapai melalui akumulasi dan konsistensi percakapan sambil lalu-percakapan
yang bisa dilakukan secara sambil lalu justru karena ia mengacu kepada
hal-hal rutin dari dunia yang diterima sebagai sudah sewajarnya. Ketiadaan sifat
sambil lalu menandakan adanya keterputusan dalam kegiatan rutin dan, setidak-tidaknya
secara potensial, merupakan ancaman terhadap kenyataan yang diterima sebagai
sudah sewajarnya itu. Demikianlah maka kita bisa membayangkan efek terhadap
kesambil-laluan itu dari percakapan seperti ini: "Nah, sudah wktunya aku
berangkat ke stasiun", "Baiklah sayang, jangan lupa bawa pistolmu".
Sementara alat percakapan secara terus-menerus memelihara kenyataan, maka pada
waktu yang bersamaan ia secara terus-menerus memodifikasinya. Unsur-unsur lama
dibuang, unsur-unsur baru ditambahkan, dengan memperlemah beberapa sektor dari
apa yang masih dianggap sebagai sudah sewajarnya sambil memperkuat sektor-sektor
lainnya. Dengan demikian kenyataan subjektif mengenai sesuatu yang belum pernah
diomongkan menjadi guncang. Orang bisa saja melakukan suatu tindakan seksual
yang merikuhkan. Tetapi soalnya menjadi lain jika ia membicarakannya sebelum
atau sesudahnya. Sebaliknya percakapan memberikan garis-garis bentuk yang jelas
kepada hal-hal yang tadinya hanya dipahami dengan cara sepintas dan kabur. Orang
bisa mempunyai kesangsian terhadap agamanya; kesangsian itu menjadi nyata dengan
cara yang lain sekali apabila ia membicarakannya. Dalam hal ini ia "masuk
ke dalam percakapan" tentang kesangsian-kesangsian itu; kesangsian-kesangsian
itu diobjektifikasi sebagai kenyataan di dalam kesadarannya sendiri. Pada umumnya,
alat percakapan memelihara kenyataan dengan jalan "berbicara melalui"
berbagai unsur pengalaman dan mengalokasikan kepada mereka tempat tertentu dalam
dunia nyata.
Potensi percakapan untuk melahirkan kenyataan ini sudah diberikan dalam fakta
objektifikasi linguistik. Kita melihat bagaimana bahasa mengobjektifikasi dunia,
mentransformasikan panta rhei pengalaman menjadi suatu tatanan yang kohesif.
Dalam menciptakan tatanan ini, bahasa mewujud-nyatakan su-
-220-
atu dunia, dalam arti ganda memahami dan memproduksinya. Percakapan adalah aktualisasi
keefektifan bahasa untuk perwujudan ini dalam situasi tatap muka dalam eksistensi
individu. Dalam percakapan, objektifikasi bahasa menjadi objek kesadaran individu.
Dengan demikian maka fakta yang mendasar dari pemeliharaan-kenyataan itu adalah
penggunaan bahasa yang sama secara terus-menerus untuk mengobjektifikasi pengalaman
biografis yang sedang berkembang. Dalam arti yang paling luas, maka semua orang
yang menggunakan bahasa yang sama ini adalah orang-orang lain yang memelihara
kenyataan. Arti hal ini bisa diddiferensiasi lebih lanjut dari segi apa yang
dimaksudkan dengan "bahasa bersama"-mulai dari bahasa khas-kelompok
yang digunakan oleh kelompok-kelompok primer sampai kepada dialek-dialek kedaerahan
atau kelas dan komunitas nasional yang mendefinisikan dirinya dari segi bahasa.
Sejalan dengan itu ada "jalan kembali ke kenyataan" bagi individu
yang kembali kepada sejumlah orang yang mengerti sindir-sampir (allusions)
yang digunakan dalam kelompoknya (in-group allusions), kepada bagian
masyarakat yang mencakup logatnya, atau kepada kolektivitas besar yang telah
mengidentifikasikan dirinya dengan suatu tradisi linguistik tertentu-dengan
urutan yang terbalik, katakanlah, kembali ke Amerika Serikat, ke Brooklyn, dan
kepada orang-orang yang belajar di sekolah negeri yang sama.
Agar bisa memelihara kenyataan subjektif secara efektif, alat percakapan harus
sinambung dan konsisten. Terputusnya kesinambungan atau konsistensi ipso
facto menimbulkan ancaman bagi kenyataan subjektif yang bersangkutan. Kita
sudah membahas cara-cara praktis yang bisa ditempuh oleh individu untuk menanggulangi
ancaman inkonsistensi. Juga ada berbagai teknik untuk menanggulangi ancaman
ketidaksinambungan. Melakukan surat-menyurat untuk melanjutkan percakapan yang
bermakna walaupun individu-individu yang bersangkutan secara fisik terpisah
satu sama lain, bisa disebutkan sebagai ilustrasi.[22]
-221-
Berbagai percakapan bisa diperbandingkan dari segi kepadatan kenyataan yang
dilahirkannya atau dipertahankannya. Secara keseluruhan, frekuensi percakapan
meningkatkan potensinya untuk melahirkan kenyataan, namun kekurangan frekuensi
itu kadang-kadang bisa dikompensasi oleh intensitas percakapan yang berlangsung.
Orang mungkin hanya bisa bertemu dengan kekasihnya sekali sebulan, namun percakapan
yang berlangsung pada kesempatan itu mempunyai intensitas yang cukup untuk mengimbangi
kejarangannya yang relatif. Percakapan-percakapan tertentu juga bisa didefinisikan
dan dilegitimasikan secara eksplisit sebagai memiliki status istimewa-seperti
percakapan seseorang dengan pastor yang menerima pengakuan dosanya, dengan psiko-analisnya,
atu dengan tokoh "otoritas" yang serupa. "Otoritas" dalam
hal ini terletak dalam status kognitif dan normatif yang lebih tinggi yang diberikan
kepada percakapan-percakapan tersebut.
Dengan demikian maka kenyataan subjektif selalu tergantung kepada struktur kemasuk-akalan
(plausibility structures) tertentu; artinya, landasan sosial dan proses-proses
sosial tertentu yang diperlukan untuk memeliharanya. Orang hanya dapat mempertahankan
identifikasi dirinya sebagai orang penting dalam suatu lingkungan pergaulan
yang mengkonfirmasikan identitas itu, orang hanya dapat mempertahankan identitas
itu, orang hanya dapat mempertahankan kepercayaan Katoliknya jika ia bisa mempertahankan
hubungannya yang berarti dengan komunitas Katolik; dan seterusnya. Terputusnya
percakapan yang berarti dengan para perantara struktur kemasuk-akalan masing-masing,
mengancam kenyataan subjektif yang bersangkutan. Sebagaimana ditunjukkan contoh
surat-menyurat tadi, individu bisa menggunakan berbagai teknik memelihara bahkan
tanpa berlangsungnya percakapan yang sebenarnya, tetapi potensi teknik-teknik
ini untuk melahirkan kenyataan jauh lebih kecil dibandingkan dengan percakapan-percakapan
tatap-muka yang hendak ditiru melalui teknik-teknik tersebut. Semakin lama teknik-teknik
ini terisolasi dari konfirmasi tatap-muka, semakin kecil kemungkinannya bahwa
cara-cara itu akan mampu memelihara warna kenyataan. Individu yang selama sekian
tahun hidupnya di tengah-tengah
-222-
penduduk yang beragama lain dan terputus hubungannya dengan komunitas orang
yang seagama dengannya, bisa saja terus mengidentifikasikan dirinya sebagai,
katakanah, orang Katolik. Melalui pembacaan doa, kebaktian, dan teknik-teknik
serupa, kenyataan Katoliknya yang lama dapat terus mempunyai relevansi subjektif
baginya. Paling tidak, teknik-teknik itu akan dapat mendukung upayanya untuk
terus mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Katolik. Tetapi teknik-teknik
itu secara subjektif akan menjadi hampa dari kenyataan yang "hidup"
jika tidak "dihidupkan kembali" oleh kontak sosial dengan orang-orang
Katolik lainnya. Mamang benar bahwa individu biasanya bisa mengingat kembali
kenyataan-kenyataan dari masa lampaunya. Tetapi cara untuk "menyegarkan
kembali" ingatan itu adalah mengadakan percakapan dengan orang-orang yang
baginya kenyataan itu sama-sama relevan.[23]
Struktur kemasuk-akalan juga merupakan landasan sosial bagi penangguhan kesangsian
khusus, yang tanpa itu definisi kenyataan yang bersangkutan tidak akan dapat
dipelihara dalam kesadaran. Di sini sanksi-sanksi sosial tertentu terhadap kesangsian
seperti itu, yang bisa membuyarkan (mendisintegrasikan) kenyataan, sudah diinternalisasi
dan ditegaskan kembali secara terus-menerus. Ejekan merupakan salah satu sanksi
seperti itu. Selama ia tetap berada dalam struktur kemasuk-akalan, individu
merasa dirinya tercemooh setiap kali dalam hatinya timbul kesangsian subjektif
mengenai kenyataan yang bersangkutan. Ia tahu orang-orang lain akan melemparkan
senyum kepadanya jika ia mengemukakan kesangsian itu. Ia dapat secara diam-diam
tersenyum kepada dirinya sendiri, secara imajiner mengangkat bahu-dan terus
bereksistensi di dalam dunia yang sudah dibenarkan itu. Tak perlu dijelaskan
lagi kiranya bahwa prosedur ototerapi seperti itu akan jauh lebih sulit jika
struktur kemasukakalan tidak tersedia lagi sebagai matrik sosialnya. Senyum
itu
-223-
lalu akan dipaksakan, dan pada akhirnya mungkin akan digantikan oleh kerutan
wajah yang keruh.
Dalam situasi krisis, pada pokoknya prosedurnya sama seperti prosedur rutin
untuk memelihara kenyataan, kecuali bahwa konfirmasi kenyataannya harus eksplisit
dan intensif. Seringkali digunakan teknik-teknik ritual. Sementara individu
bisa berimprovisasi dalam prosedur memelihara kenyataan dalam menghadapi krisis,
masyarakat sendiri sudah menentukan prosedur-prosedur tertentu bagi situasi
yang diakui melibatkan risiko akan ambruknya kenyataan. Termasuk dalam situasi
yang sudah ditentukan itu adalah situasi marjinal tertentu, antarala lain yang
paling penting adalah kematian. Tetapi krisis-krisis kenyataan bisa terjadi
dalam kasus-kasus yang jumlahnya jauh lebih besar daripada yang diandaikan oleh
situasi marjinal. Krisis itu bisa bersifat kolektif atau individual, tergantung
kepada sifat tantangan terhadap kenyataan yang sudah didefinisikan secara sosial.
Sebagai contoh, ritual kolektif untuk memelihara kenyataan bisa dilembagakan
pada waktu terjadinya bencana alam, ritual individual pada waktu dimana seseorang
tertentu mengalami musibah. Atau, contoh lainnya, prosedur-prosedur tertentu
untuk memelihara kenyataan dapat ditetapkan untuk menghadapi orang asing dan
ancaman mereka yang potensial terhadap kenyataan yang "resmi". Individu
mungkin harus menjalani upacara penyucian yang rumit sesudah mengadakan kontak
dengan orang asing. Penyucian itu diinternalisasi sebagai penihilan subjektif
dari kenyataan alternatif yang diwakili oleh orang asing itu. Demikian pula,
tabu, pengusiran roh jahat, dan kutukan terhadap orang asing, orang bid'ah
atau orang gila, bertujuan pemepiharaan "kesehatan mental" individu.
Keras-tidaknya prosedur-prosedur pertahanan ini akan sebanding dengan anggapan
akan gawat tidaknya ancaman itu. Apabila kontak-kontak dengan kenyataan alternatif
dan wakil-wakilnya menjadi sering, prosedur defensif itu dengan sendirinya dapat
kehilangan sifat krisisnya dan menjadi rutin. Tiap kali seseorang berjumpa dengan
orang asing, umpamanya, ia harus meludah tiga kali-tanpa memikirkan hal itu
lebih lanjut.
Dengan sesuatu yang telah dikemukakan hingga di sini me-
-224-
ngenai sosialisasi mengimplikasikan kemungkinan bahwa kenyataan subjektif bisa
ditransformasikan. Berada dalam suatu masyarakat sudah berarti melibatkan diri
dalam proses yang terus-menerus untuk memodifikasi kenyataan subjektif. Maka
berbicara tentang transformasi melibatkan suatu pembahasan tentang berbagai
tingkat modifikasi. Di sini kita akan memusatkan perhatian kita kepada kasus
yang ekstrim, di mana terjadi suatu transformasi yang hampir total; yakni, di
mana individu "berganti dunia". Jika proses-proses yang terlibat dalam
kasus ekstrim ini bisa dijelaskan, maka proses-proses dalam kasus yang tidak
begitu ekstrim akan lebih mudah dipahami.
Secara khas, transformasi itu secara subjektif dipahami sebagai total. Hal ini,
tentunya, merupakans alah pengertian. Oleh karena kenyataan subjektif tidak
pernah disosialisasikan sepenuhnya, ia tidak bisa ditransformasikan sepenuhnya
oleh proses-proses sosial. Paling tidak, individu yang mengalami transformasi
itu akan memiliki badan yang sama dan hidup dalam universum jasmaniah yang sama.
Meskipun demikian, ada kasus-kasus transformasi yang tampak total jika dibandingkan
dengan modifikasi tingkat rendahan. Transformasi seperti itu kita namakan penyelingan
(alternation).[24]
Penyelingan memerlukan proses re-sosialisasi. Proses-proses itu mirip dengan
sosialisasi primer, karena harus secara radikal memindahkan warna-warna kenyataan
dan, karena itu, harus meniru sedapat mungkin pengidentifikasian yang sangat
afektif dengan personil sosialisasi yang merupakan ciri khas masa kanak-kanak.
Proses-proses itu berbeda dengan sosialisasi primer yang tidak memulai secara
ex nihilo, dan karena itu harus menanggulangi masalah pembongkaran, pembuyaran
struktur nomik yang sudah ada pada kenyataan sobjektif. Bagaimana caranya?
Sebuah "resep" bagi penyelingan yang berhasil harus mencakup kondisi-kondisi
sosial maupun konseptual, di mana yang sosial, tentunya, berfungsi sebagai matriks
bagi yang
-225-
konseptual. Kondisi sosial yang paling penting adalah tersedianya suatu struktur
kemasuk-akalan yang efektif; yakni, suatu landasan sosial yang berfungsi sebagai
"laboratorium" transformasi. Struktur kemasuk-akalan ini akan diantarkan
kepada individu melalui orang-orang berpengaruh yang dengannya ia harus mengadakan
pengidentifikasian afektif yang kuat. Tak mungkin terjadi suatu transformasi
kenyataan subjektif yang radikal (remasuk, tentunya, identitas) tanpa pengidentifikasian
seperti itu, yang secara tak terelakkan meniru pengalaman-pengalaman ketergantungan
emosional masa kanak-kanak kepada orang-orang yang berpengaruh.[25]
Orang-orang yang berpengaruh itu merupakan pemandu memasuki kenyataan baru.
Mereka mewakili struktur kemasukakalan dalam peranan yang mereka mainkan berhadapan
dengan individu (peranan yang secara khas ditentukan secara eksplisit menurut
fungsi resosialisasi mereka), dan mereka mengantarai dunia baru itu kapada individu.
Dunia individu sekarang memperoleh fokus kognitif dan afektifnya dalam struktur
kemasukakalan tersebut. Dari segi sosial, hal ini berarti suatu konsentrasi
yang intens dari semua interaksi yang bermakna di dalam kelompok yang mengandung
struktur kemasuk-akalan itu, dan khususnya terdapat personil yang mendapat tugas
resosialisasi.
Prototipe historis penyelingan adalah peristiwa konversi (berganti agama). Pertimbangan-pertimbangan
di atas bisa diterapkan kepada peristiwa ini dengan pernyataan extra ecclesiam
nulla salus (di luar gereja tak ada penyelamatan). Dengan salus kami maksudkan
di sini (dengan permintaan maaf yang semestinya kepada para teolog yang mempunyai
maksud-mak-
-226-
sud lain ketika mereka menciptakan ungkapan ini) pelaksanaan konversi yang secara
empiris berhasil. Hanya di dalam komunitas agamalah, yakni ecclesia,
konversi itu bisa dipertahankan dengan efektis sebagai masuk akal. Ini tidak
berarti mengingkari bahwa konversi mungkin saja mendahului masuknya orang yang
bersangkutan ke dalam komunitas-Sulus dari Tarsus mencari komunitas Kristen
sesudah "pengalamannya di Damaskus". Tetapi bukan itu soalnya.
Mengalami konversi tidak berarti banyak. Yang penting adalah untuk bisa terus
menganggapnya secara sungguh-sungguh; untuk tetap menyadari kemasuk-akalannya.
Di sinilah pentingnya komunitas agama. Ia memberikan struktur (kemasuk-akalan)
yang diperlukan bagi kenyataan baru. Dengan kata lain, Saulus bisa saja menjadi
Paulus dalam kesendiriannya ekstase relijiusnya, tetapi ia hanya bisa tetap
sebagai Paulus dalam konteks komunitas Kristen yang mengakuinya sebagai demikian
dan yang mengkonfirmasikan "keberadaan baru" di mana ia sekarang menempatkan
identitas ini. Hubungan antara konversi dan komunitas ini bukan merupakan fenomen
yang hanya terdapat dalam dunia Kristen (meskipun dalam hal ini ecclesia
Kristen secara historis mempunyai ciri-ciri yang istimewa). Seorang Muslim tidak
akan bisa tetap Muslim bila berada di luar ummat Islam, begitu pula seorang
Buddhis di luar sangha, dan barangkali tidak ada pemeluk agama Hindu
di luar India. Agama memerlukan suatu komunitas keagamaan, dan hidup di dalam
suatu dunia keagamaan memerlukan keanggotaan di dalam komunitas itu.[26]
Struktur kemasuk-akalan dari konversi keagamaan telah ditiru oleh badan-badan
penyelingan sekular. Contoh-contoh paling baik terdapat dalam bidang indoktrinasi
politik dan psikoterapi.[27]
-227-
Struktur kemasuk-akalan itu harus menjadi dunia individu, menggantikan semua
dunia-dunia lainnya, khususnya dunia yang "dihuni" oleh individu itu
sebelum penyelingannya. Ini menuntut pemisahan individu dari "para penghuni"
dunia-dunia lainnya, terutama yang merupakan "sesama penghuninya"
di dunia yang telah ia tinggalkan. Secara ideal ini merupakan satu pemisahan
secara jasmaniah. Jika itu tidak mungkin, karena alasan apa pun, maka pemisahannya
ditentukan menurut definisi; artinya, oleh definisi tentang orang-orang lain
yang meniadakan mereka. Individu yang mengalami penyelingan melepaskan diri
dari dunianya yang lama dan dari struktur kemasukakalan yang mendukungnya, secara
jasmani jika mungkin, dan secara rohaniah jika itu tidak mungkin. Bagaimanapun
juga, ia tidak lagi "dipasang bersama-sama dengan orang-orang yang tidak
percaya", dan dengan demikian ia terlindung dari pengaruh mereka yang potensial
untuk merusak kenyataan. Pemisahan seperti itu terutama penting dalam tahap-tahap
awal penyelingan (tahap "masa percobaan"). Begitu kenyataan baru itu
sudah mengental, hubungan dengan orang-orang luar bisa diadakan lagi dengan
cara hati-hati, meskipun orang-orang luar yang dulu berpengaruh secara biografis
masih berbahaya. Mereka orang-orang akan berkata, "kembalilah, Saulus",
dan mungkin ada saat-saat di mana kenyataan lama yang mereka serukan mewujudkan
diri sebagai godaan.
Dengan demikian penyelingan melibatkan satu reorganisasi dari alat percakapan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam percakapan yang bermakna berubah. Dan dalam
percakapan dengan orang-orang baru yang berpengaruh, kenyataan subjektif mengalami
transformasi. Ia dipelihara dengan percakapan yang berlanjut dengan mereka atau
di dalam komunitas yang mereka wakili. Gampangnya, ini berarti bahwa orang sekarang
harus sangat hati-hati dengan lawan bicaranya. Orang dan gagasan yang tidak
cocok dengan definisi baru tentang kenyataan, secara
-228-
sistematis dihindari.[28] Oleh
karena upaya itu jarang berhasil sepenuhnya, mungkin karena ingatan terhadap
kenyataan yang lampau, struktur kemasuk-akalan yang baru secara khas akan menyediakan
berbagai prosedur terapeutik untuk mengatasi kecenderungan "tergelincir
kembali" itu. Prosedur-prosedur ini mengikuti pola terapi yang umum, seperti
yang telah kita bahas sebelum ini.
Persyaratan konseptual yang paling penting bagi pengelingan adalah tersedianya
suatu aparat legitimasi untuk keseluruhan tahapan transformasi. Yang harus dilegitimasikan
itu tidak hanya kenyataan baru, tetapi tahap-tahap yang dilalui untuk memperoleh
dan memeliharanya, serta untuk meninggalkan atau menolak semua kenyataan alternatif.
Segi penihilan dari peralatan konseptual ini sangat penting mengingat masalah
pembongkaran yang harus dipecahkan. Kenyataan lama, serta berbagai kolektivitas
dan orang-orang yang berpengaruh yang sebelumnya mengantarai kenyataan itu dengan
individu, harus ditafsirkan kembali di dalam rangka aparat legitimasi
kenyataan. Penafsiran kembali ini menimbulkan keterputusan dalam biografi subjektif
individu dari segi pengertian-pengertian seperti "Sebelum Masehi"
dan "Tahun Masehi", "masa pra-Damaskus" dan "masa pasca-Damaskus".
Segala sesuatu yang mendahului penyelingan sekarang dipahami sebagai menuju
ke arahnya (katakanlah semacam "Kitab Perjanjian Lama", atau sebagai
preparatio evangelii), dan segala sesuatu yang terjadi sesudahnya sebagai
mengalir dari kenyataan baru. Ini melibatkan suatu penafsiran kembali biografi
masa lampau secara keseluruhan, menurut rumus "Dulu saya berpikir
sekarang saya tahu". Seringkali hal ini mencakup retrojeksi
ke masa lampau dari skema-skema penafsiran yang sekarang (yang rumusnya adalah,
"dulu saya sudah tahu, meski belum dengan jelas
") dan motif-motif
yang secara subjektif tidak terdapat di masa lampau, tetapi yang sekarang diperlukan
untuk menafsirkan kembali apa yang telah terjadi di waktu dulu itu (yang rumus-
-229-
nya adalah, "Saya sesungguhnya telah melakukan hal ini karena
").
Biografi dari sebelum penyelingan secara khas ditiadakan seluruhnya dengan jalan
memasukkannya ke dalam suatu kategori negatif yang menduduki tempat yang strategis
dalam aparat legitimasi baru: "Ketika saya masih didorong oleh kebutuhan-kebutuhan
neurotik yang tidak disadari itu". Dengan demikian keterputusan biografis
itu diidentifikasi dengan suatu pemisahan kognitif antara yang gelap dan yang
terang.
Di samping penafsiran kembali secara keseluruhan ini harus ada pula penafsiran
kembali peristiwa-peristiwa khusus masa lalu dan orang-orang yang dulu berpengaruh.
Bagi individu yang mengalami penyelingan itu, tentunya, yang paling baik adalah
apabila ia dapat melupakan sama sekali beberapa diantaranya. Tetapi untuk melupakannya
sama sekali sangatlah sulit. Maka, yang diperlukan adalah suatu penafsiran kembali
yang radikal makna peristiwa-peristiwa dan orang-orang dari masa lampau dalam
biografi seseorang. Oleh karena relatif lebih mudah untuk membuat-buat hal-hal
yang belum terjadi daripada untuk melupakan hal-hal yang telah terjadi, maka
individu mungkin akan mengarang dan menyisipkan peristiwa-peristiwa yang dianggap
perlu untuk menyelaraskan apa yang masih diingat dengan yang sudah ditafsirkan
kembali dari masa lampau. Oleh karena yang sekarang tampak paling masuk akal
baginya adalah kenyataan baru dan bukan kenyataan lama, ia mungkin sungguh-sungguh
"jujur" dalam prosedur seperti itu-secara subjektif, ia tidak berbohong
tentang masa lampau melainkan menyesuaikannya dengan kebenaran satu-satunya
yang, tak boleh tidak, mencakup masa kini dan masa lalu. Sambil lalu dapat dikemukakan
bahwa hal ini penting sekali jika kita ingin memahami secara memadai motif-motif
di balik pemutarbalikan dan pemalsuan dokumen-dokumen keagamaan yang berulangkali
terjadi dalam sejarah. Juga orang-orang, terutama yang berpengaruh, ditafsirkan
kembali dengan cara seperti itu. Orang-orang itu sekarang merupakan pelaku-pelaku
yang enggan dalam suatu drama yang maknanya memang tidak jelas bagi mereka;
-230-
dan, tidak mengherankan, mereka secara khas menolak peranan yang diberikan kepada
mereka itu. Itulah sebabnya mengapa para nabi mengalami nasib buruk di kota
kelahiran mereka sendiri; dan dalam konteks inilah kita dapat memahami ucapan
Yesus bahwa pengikut-pengikutnya harus meninggalkan ayah dan ibu mereka.
Sekarang tidak sulit untuk menawarkan suatu "resep" khusus bagi penyelingan
ke dalam kenyataan yang bagaimanapun yang bisa dibayangkan, betapa pun tak masuk
akalnya dari sudut pandang orang luar. Adalah mungkin untuk menentukan prosedur-prosedur
spesifik untuk, umpamanya, meyakinkan individu-individu bahwa mereka bisa berkomunikasi
dengan makhluk dari angkasa luar asalkan saja dan selama mereka berpegang teguh
kepada diet makanan yang hanya terdiri dari ikan mentah. Kami menyerahkan
kepada daya khayal pembaca, jika mau, untuk mengembangkan lebih lanjut rincian
dari sekte Ikhtiosofis seperti itu. "Resep" itu akan melibatkan pembangunan
suatu struktur kemasuk-akalan Ikhtiosofis, yang dipisahkan sebagaimana mestinya
dari dunia luar serta dilengkapi dengan personil sosialisasi dan terapi yang
diperlukan; pengembangan lebih jauh perangkat pengetahuan Ikhtiosofi sehingga
cukup canggih untuk menjelaskan mengapa perkaitan yang sudah begitu jelas dengan
sendirinya antara ikan mentah dan telepati yang menerobos bimasakti itu tidak
ditemukan sebelumnya; dan legitimasi serta penihilan-penihilan yang perlu agar
perjalanan individu menuju kebenaran besar itu masuk akal. Jika prosedur-prosedur
ini ditaati dengan cermat, kemungkinan besar untuk berhasil, begitu seorang
individu telah dapat dipikat atau diculik dan dimasukkan ke dalam lembaga cuci
otak Ikhtiosofis.
Dalam prakteknya sudah tentu terdapat banyak tipe yang berada di antara sosialisasi
kembali seperti yang baru dibahas itu dan sosialisasi sekunder yang membangun
di atas internalisasi primer. Dalam prosedur-prosedur ini terjadilah transformasi
parsial dari kenyataan subjektif atau sektorsektor tertentunya saja. Transformasi-transformasi
seperti itu lazim dalam masyarakat masa kini dalam hubungannya dengan
-231-
mobilitas sosial dan pendidikan bidang kerja individu.[29]
Dalam hal ini transformasi kenyataan subjektif bisa mencapai tingkat tinggi,
sementara individu dibentuk ke dalam tipe kelas-menengah-atas yang dapat diterima
atau menjadi seorang dokter yang dapat diterima, dan sementara ia menginternalisasi
tetek bengek kenyataan yang semestinya. Tetapi transformasi-transformasi
ini secara khas tidak dapat mencapai tingkat sosialisasi kembali. Transformasi-transformasi
ini membangun di atas landasan internalisasi primer dan pada umumnya menghindari
keterputusan yang mendadak di dalam biografi subjektif individu. Sebagai akibatnya
maka transformasi-transformasi itu menghadapi masalah pemeliharaan konsistensi
antara unsur-unsur yang lama dan yang baru pada kenyataan subjektif. Masalah
ini, yang tidak terdapat dalam bentuk sosialisasi kembali ini, yang menimbulkan
keterputusan dalam biografi subjektif dan menafsirkan kembali masa lalu dan
bukan menghubungkan masa kini dengannya, menjadi lebih gawat dengan semakin
miripnya sosialisasi sekunder dengan sosialisasi-kembali tanpa benar-benar menjadi
sosialisasi-kembali itu. Sosialisasi-kembali adalah semacam pemutusan "simpul
Gordius"-yakni dengan jalan menghentikan saja usaha mencari konsistensi
dan membangun kembali kenyataan de novo (baru).
Prosedur untuk memelihara konsistensi juga melibatkan manipulasi masa lampau,
tetapi dengan cara yang tidak begitu radikal-suatu cara pendekatan yang dituntut
oleh fakta bahwa dalam kasus-kasus seperti itu biasanya terdapat suatu asosiasi
yang berlangsung terus dengan orang-orang dan kelompok yang berlangsung terus
dengan orang-orang dan kelompok yang berpengaruh di masa lampau. Orang-orang
dan kelompok itu masih ada, mereka agaknya akan memprotes penafsiran-penafsiran
ulang yang terlalu mengada-ada, dan karena itu harus diyakinkan bahwa transformasi-transformasi
seperti yang telah terjadi itu masuk akal. Sebagai contoh, dalam kasus transformasi
yang terjadi bersamaan dengan mobilitas sosial, sudah terdapat skema-skema penafsiran
yang siap pakai yang
-232-
menjelaskan apa yang telah terjadi kepada semua pihak yang bersangkutan tanpa
mengandaikan suatu metamorfosa menyeluruh individu yang bersangkutan. Dengan
demikian, orang tua individu yang mengalami mobilitas ke atas akan dapat menerima
perubahan-perubahan tertentu dalam kelakuan dan sikap anak mereka sebagai sesuatu
yang harus menyertai kedudukan barunya dalam kehidupan dan malahan sebagai hal
yang dianggap baik. "Sudah tentu", mereka akan sependapat bahwa Irving
harus memperlunak sifat keyahudiannya sekarang sesudah ia menjadi dokter yang
berhasil di daerah pinggiran kota; "sudah tentu" ia sekarang mempunyai
gaya berpakaian dan berbicara yang berbeda; "sudah tentu" ia sekarang
memberikan suaranya kepada Partai Republik; "sudah tentu" ia kawin
dengan seorang gadis Vassar-dan barangkali juga akan dianggap sebagai sudah
sewajarnya bahwa ia sekarang jarang berkunjung ke rumah orang tuanya. Skema-skema
penafsiran seperti itu, yang sudah tersedia dalam keadaan siap pakai dalam suatu
masyarakat dengan tingkat mobilitas ke atas yang tinggi dan yang sudah diinternalisasi
oleh individu sebelum ia sendiri mengalami mobilitas, menjamin kesinambungan
biografis dan memperhalus inkonsistensi yang timbul.[30]
Prosedur-prosedur serupa berlangsung dalam situasi di mana transformasi terjadi
dengan cukup radikal tetapi ditentukan sebagai hal yang berlangsung untuk sementara
waktu saja-umpamanya, dalam pendidikan untuk dinas militer jangka pendek atau
dalam kasus-kasus perawatan jangka pendek di rumah sakit.[31]
Dalam hal ini perbedaannya dengan sosialisasi-kembali yang penuh sangat mudah
dilihat-dengan jalan memperbandingkan apa yang terjadi itu dengan pendidikan
untuk dinas militer karir atau dengan sosialisasi pasien kronis. Dalam kasus-
-233-
kasus yang disebut duluan, konsistensi dengan kenyataan dan identitas yang lama
(eksistensi sebagai orang sipil atau sebagai orang yang sehat) sudah diandaikan
dengan adanya asumsi bahwa orang yang bersangkutan nantinya akan kembali ke
kenyataan dan identitas yang lama itu.
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa prosedur-prosedur yang terlibat mempunyai
sifat yang saling berlawanan. Dalam sosialisasi-kembali, masa lalu ditafsirkan
kembali agar sesuai dengan kenyataan yang sekarang, disertai kecenderungan untuk
meretrojeksikan ke masa lampau berbagai usnur yang secara subjektif tidak tersedia
ketika itu. Dalam sosialisasi sekunder masa sekarang ditafsirkan begitu rupa
sehingga mempunyai hubungan kesinambungan dengan masa lalu, disertai kecenderungan
untuk meminimalkan transformasi-transformasi yang benar-benar terjadi. Dengan
kata lain, landasan kenyataan bagi sosialisasi-kembali adalah masa sekarang
dan bagi sosialisasi sekunder adalah masa lalu.
Internalisasi dan Struktur Sosial
Sosialisasi selalu berlangsung dalam konteks suatu struktur sosial tertentu.
Tidak hanya isinya, tetapi juga tingkat "keberhasilannya", mempunyai
kondisi sosial-struktural dan konsekuensi sosial-struktural. Dengan kata lain,
analisa mikro-sosiologis atau sosial-psikologis dari fenomen-fenomen internalisasi
harus selalu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman makro-sosial tentang aspek-aspek
strukturalnya.[32]
Pada tingkat analisa teoritis yang hendak dicoba di sini kita tidak dapat memasuki
suatu pembahasan terinci mengenai berbagai hubungan empiris antara isi sosialisasi
dan konfigurasi
-234-
sosial-struktural.[33] Namun demikian,
beberapa catatan umum bisa dikemukakan mengenai aspek-aspek sosial-struktural
dari sosialisasi yang "berhasil". Dengan "sosialisasi yang berhasil"
kami maksudkan terciptanya suatu tingkat simetri yang tinggi antara kenyataan
objektif dan kenyataan subjektif (dan dengan sendirinya, juga identitas). Sebaliknya,
"sosialisasi yang tidak berhasil" hendaknya dilihat dari segi adanya
asimetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif. Seperi yang telah
kita lihat, sosialisasi yang berhasil sepenuhnya tidaklah mungkin dari segi
antropologis. Sosialisasi yang sama sekali tidak berhasil, paling tidak, sangat
jarang terjadi, dan hanya terbatas pada kasus-kasus individu yang gagal dalam
sosialisasi yang paling minim sekalipun karena patologi organik yang sangat
berat. Karena itu, analisa kita harus tertuju pada tingkat-tingkat yang terletak
pada suatu kontinum yang kedua ujungnya secara empiris tidak tersedia bagi kita.
Analisa seperti itu berguna karena dengan demikian memungkinkan mengungkapkan
beberapa pernyataan umum mengenai berbagai kondisi dan konsekuensi sosialisasi
yang berhasil.
Keberhasilan yang maksimal dalam sosialisasi agaknya akan terjadi dalam masyarakat-masyarakat
dengan pembagian kerja yang masih sangat sederhana dan distribusi pengetahuan
yang masih minim. Sosialisasi dalam kondisi-kondisi seperti itu menghasilkan
identitas-identitas yang secara sosial sudah didefinisikan lebih dulu dan garis-garis
besarnya sudah ditetapkan dengan sangat seksama. Karena tiap individu dihadapkan
pada program kelembagaan yang pada pokoknya sama bagi kehidupannya dalam masyarakat,
maka segenap kekuatan tatanan kelembagaan dikerahkan dengan bobot yang kurang
lebih sama untuk mempengaruhi tiap individu, sehingga menghasilkan suatu kemasifan
yang memaksa (a compelling massivity) bagi kenyataan objektif yang hendak
diinternalisasi.
-235-
karena itu identitas sudah dirancang dengan sangat seksama, dalam arti dapat
mencerminkan sepenuhnya kenyataan objektif di mana identitas itu berada. Singkatnya,
setiap orang adalah benar-benar apa yang diandaikan tentang dia. Dalam
masyarakat seperti itu, identitas mudah dikenal, secara objektif maupun subjektif.
Setiap orang tahu siapa tiap orang lain dan siapa dirinya. Seorang ksatria adalah
ksatria dan seorang petani adalah petani, bagi orang lain maupun bagi
diri mereka sendiri. Karena itu tidak ada masalah identitas. Pertanyaan,
"Siapa aku ini?" agaknya tak akan timbul dalam kesadaran, karena jawabannya
yang sudah didefinisikan lebih dulu secara sosial sudah sangat nyata subjektif
dan secara terus-menerus dikonfirmasikan dalam semua interaksi sosial yang berarti.
Ini sama sekali tidak mengandung arti bahwa individu merasa bahagia dengan identitasnya.
Umpamanya, sejak dulu pun kiranya tidak terlalu menyenangkan hidup sebagai petani.
Hidup sebagai petani melibatkan segala macam masalah, yang hanya secara subjektif,
yang menekan dan jauh dari menghasilkan kebahagiaan. Tetapi, itu tidak
melibatkan masalah identitas. Seseorang adalah petani yang sengsara, dan barangkali
malahan yang suka memberontak. Tapi ia adalah petani. Orang-orang yang
dibentuk dalam kondisi-kondisi seperti itu agaknya tak mungkin memahami diri
mereka sendiri dari segi "kedalaman-kedalaman yang tersembunyi" dalam
pengertian psikologis. Diri "di permukaan" dan diri "di bawah
permukaan" hanya dibedakan dari segi jangkauan realitas subjektif yang
hadir dalam kesadaran dalam saat-saat tertentu, tidak dari segi pembedaan permanen
"lapisan-lapisan" diri. Sebagai contoh, petani memahami dirinya dalam
suatu peran ketika ia sedang memukuli istrinya dan dalam peran yang lain ketika
ia membungkuk-bungkuk di hadapan tuannya. Dalam tiap kasus, peran yang lainnya
berada "di bawah permukaan"; artinya tidak diperhatikan dalam kesadaran
si petani itu. Tetapi dari kedua peran itu tidak ada yang diandaikan sebagai
diri yang "lebih dalam" atau "lebih nyata". Dengan kata
lain, individu dalam masyarakat seperti itu tidak hanya apa yang diandaikan
tentang dirinya, tetapi ia memang demikian dengan cara yang menyatu
-236-
"tanpa lapisan-lapisan".[34]
Dalam kondisi-kondisi seperti itu, sosialisasi yang tidak berhasil hanya terjadi
sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan biografis, biologis atau sosial. Umpamanya,
sosialisasi primer seorang anak mungkin terganggu akibat suatu cacat jasmani
yang dianggap aib oleh masyarakat atau akibat terkena noda yang didasarkan atas
definisi-definisi sosial.[35]
Anak yang pincang atau yang lahir di luar perkawinan merupakan prototipe kedua
kasus itu. Ada juga kemungkinan bahwa sosialisasi secara intrinsik dihalang-halangi
oleh hambatan-hambatan biologis, seperti dalam kasus kelemahan mental yang berat.
Semua kasus itu bersifat sebagai nasib buruk individu. Kasus-kasus itu tidak
memberikan landasan bagi pelembagaan identitas-identitas tandingan (counter-identities)
dan kenyataan tandingan (counter-reality). Sesungguhnya, fakta ini merupakan
ukuran bagi nasib buruk yang terdapat dalam biografi-biografi seperti itu. Dalam
masyarakat semacam itu, orang yang pincang atau yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah tidak memiliki pertahanan subjektif terhadap identitas ternoda yang
diperuntukkan baginya. Ia adalah sebagaimana yang diandaikan tentang
dirinya, bagi dirinya sendiri maupun bagi para pengasuhnya dan bagi komunitas
secara keseluruhan. Memang benar ia bisa bereaksi terhadap nasibnya itu dengan
rasa benci atau amarah yang besar, tetapi kebencian dan kemarahannya itu dalam
keadaannya sebagai makhluk yang lebih rendah. Kebencian dan kemarahannya
malahan bisa berfungsi sebagai pengesahan yang menentukan atas identitasnya
yang didefinisikan secara sosial sebagai makhluk yang lebih rendah, karena sesamanya
yang lebih baik-menurut definisinya-berada di atas emosi-emosi yang kasar seperti
itu. Ia terkurung
-237-
di dalam kenyataan objektif masyarakatnya, meskipun kenyataan itu secara subjektif
menampilkan diri kepadanya dengan cara yang asing dan terpotong. Indiidu semacam
itu sosialisasinya akan gagal; artinya, akan terdapat tingkat asimetri yang
tinggi antara realitas yang didefinisikan secara sosial di mana ia de facto
terperangkap, seperti dalam suatu dunia yang asing, dan kenyataan subjektifnya
sendiri, yang hanya dapat mencerminkan dunia itu dengan cara yang sangat tidak
sempurna. Tetapi asimetri itu tidak akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi struktural
yang akumulatif, karena ia tidak mempunyai landasan sosial yang dapat diwujudkan
menjadi suatu dunia-tandingan (counter-world) dengan perangkat identitas-identitas
tandingannya sendiri yang sudah dilembagakan. Individu yang sosialisasinya tidak
berhasil itu sendiri sudah didefinisikan sebelumnya secara sosial sebagai satu
tipe yang sudah digariskan dengan jelas-si pincang, si anak haram, si dungu,
dan sebagainya. Karena itu, apa pun identitas-diri yang berlawanan, yang mungkin
timbul dari waktu ke waktu dalam kesadarannya sendiri, tidak akan memiliki struktur
masuk-akal yang dapat mentransformasikannya menjadi sesuatu yang lebih dari
sekadar khayalan-khayalan yang berlalu begitu saja.
Awal definisi-definisi tandingan tentang kenyataan dan identitas akan menampilkan
diri begitu individu-individu seperti itu bergabung dalam kelompok-kelompok
yang secara sosial mampu bertahan lama. Hal ini akan mencetuskan suatu proses
perubahan yang akan menghasilkan distribusi pengetahuan yang lebih kompleks.
Sekarang suatu kenyataan tandingan mungkin akan mulai diobjektivasikan di dalam
kelompok marjinal orang-orang yang sosialisasinya tidak berhasil itu. Pada titik
ini, tentunya, kelompok itu akan memulai proses-proses sosialisasinya sendiri.
Sebagai contoh, orang-orang penderita kusta dan orang-orang keturunan penderita
kusta mungkin akan dianggap terkutuk dalam suatu masyarakat. Cap seperti itu
mungkin hanya terbatas pada orang-orang yang benar-benar secara fisik menderita
penyakit itu, atau bisa juga mencakup orang-orang lain berdasarkan definisi
sosial-umpamanya, setiap orang yang lahir pada saat sedang terjadi gempa bumi.
-238-
Dengan demikian, individu-individu bisa didefinisikan sebagai penderita kusta
sejak lahir, dan definisi ini dapat sangat mempengaruhi sosialisasi primer mereka-umpamanya,
di bawah asuhan seorang wanita tua gila yang menghidupi mereka secara fisik
di luar lingkungan komunitas dan yang memperkenalkan mereka pada tradisi-tradisi
kelembagaan komunitas itu secara minim. Selama individu seperti itu, bahkan
andaikata jumlah mereka lebih dari segelintir orang sekalipun, tidak membentuk
komunitas-tandingan mereka sendiri, maka identitas-identitas mereka baik yang
objektif maupun yang subjektif akan sudah lebih dulu ditentukan sesuai dengan
program kelembagaan komunitas itu bagi mereka. Mereka akan tetap merupakan penderita
kusta, tidak lebih dari itu.
Situasi ini akan mulai berubah apabila ada suatu tempat pemukiman penderita
kusta yang cukup besar dan mampu bertahan untuk berfungsi sebagai suatu struktur
masuk-akal bagi definisi-definisi tandingan tentang kenyataan-dan tentang nasib
penderita kusta. Menjadi penderita kusta, apakah secara biologis atau sosial,
mungkin sekarang akan dianggap sebagai suatu pertanda khusus bahwa orang yang
bersangkutan sudah dipilih oleh para dewa. Individu-individu yang tadinya tidak
mungkin menginternalisasi sepenuhnya kenyataan komunitas, sekarang mungkin akan
bisa disosialisasikan ke dalam kenyataan tandingan dari tempat pemukiman penderita
kusta; artinya, kegagalan sosialisasi ke dalam suatu dunia sosial dapat diiringi
oleh keberhasilan sosialisasi ke dalam dunia sosial yang lain. Pada tiap tahap
awal dari proses perubahan seperti itu, perwujudan kenyataan tandingan dan identitas
tandingan mungkin berlangsung di luar pengetahuan masyarakat luas, yang masih
saja berpegang pada pradefinisi dan identitas individu-individu itu sebagai
penderita kusta, tak lain dari itu. Mereka tidak tahu bahwa, "sesungguhnya"
orang-orang itu adalah anak-anak dewa yang diistimewakan.
Pada tingkat ini, individu yang digolognkan ke dalam kategori penderita kusta
mungkin akan menemukan "kedalaman tersembunyi" dalam dirinya sendiri.
Pertanyaan "Siapa aku ini?" lalu menjadi mungkin, karena sekarang
dari
-239-
segi sosial tersedia dua jawaban bertentangan-jawaban yang diberikan oleh si
wanita tua gila ("kau ini penderita kusta") dan jawaban yang diberikan
oleh personil sosialisasi pemukiman penderita kusta itu sendiri ("kau ini
anak dewa"). Karena individu di dalam kesadarannya memberikan status yang
istimewa kepada definisi-definisi yang diberikan di dalam pemukiman itu tentang
kenyataan dan dirinya sendiri, maka terjadilah suatu keterputusan antara perilakunya
yang "tampak" dalam masyarakat luas dan identifikasi dirinya yang
"tidak tampak" sebagai orang yang lain sekali. Dengan kata lain, terjadi
perpecahan antara "penampilan" dan "kenyataan" dalam pemahaman-diri
individu. Ia tidak lagi apa yang diandaikan tentang dirinya. Ia berprilaku
sebagai penderita kusta-ia adalah anak dewa. Jika kita maju selangkah
lagi dalam contoh itu, sampai ke titik di mana perpecahan itu diketahui oleh
komunitas bukan penderita kusta, maka tidak akan sulit untuk dipahami bahwa
kenyataan komunitas itu sendiri pun akan terpengaruh oleh perubahan itu. Secara
minimal, komunitas itu tidak lagi akan begitu mudah mengakui identitas mereka
yang didefinisikan sebagai penderita kusta-orang tidak lagi begitu yakin apakah
individu yang didefinisikan demikian itu juga mengidentifikasikan dirinya dengan
cara yang sama atau tidak. Secara maksimal, tidak akan merupakan soal yang mudah
lagi untuk mengakui identitas siapa pun-sebab apabila para penderita kusta dapat
menolak menjadi apa yang diandaikan tentang mereka, maka orang-orang lainnya
pun dapat berbuat begitu; barangkali, juga saya sendiri. Jika proses ini pada
mulanya seakan-akan mengada-ada, ia dengan indah sekali diilustrasikan oleh
Gandhi yang memberikan nama harijan ("anak-anak Tuhan") kepada
kaum paria dalam Hinduisme.
Begitu distribusi pengetahuan dalam masyarakat menjadi lebih kompleks, kegagalan
sosialisasi bisa disebabkan karena para pengasuh yang berlainan mengantarkan
berbagai kenyataan objektif kepada individu. Dengan kata lain, kegagalan sosialisasi
bisa merupakan akibat heterogenitas di kalangan personil sosialisasinya. Ini
bisa terjadi dengan berbagai cara. Bisa timbul suatu situasi di mana semua pengasuh
dalam sosialisasi primer
-240-
mengantarkan kenyataan yang sama tetapi dari perspektif yang sangat berbeda
satu sama lain. Sudah tentu, sampai tingkat tertentu, setiap pengasuh mempunyai
perspektif yang berbeda mengenai kenyataan bersama, hanya karena ia adalah seorang
individu tertentu dengan biografi tertentu pula. Tetapi konsekuensi-konsekuensi
yang kami maksudkan di sini hanya terjadi apabila perbedaan-perbedaan di antara
para penasuh itu menyangkut tipe-tipe sosial mereka dan bukan kekhasan mereka
sebagai individu. Sebagai contoh, pria dan wanita bisa "menghuni"
dunia sosial yang sangat berbeda dalam suatu masyarakat. Jika pria maupun wanita
sama-sama berfungsi sebagai penasuh dalam sosialisasi primer, maka mereka akan
mengantarkan kenyataan yang berbeda satu sama lain kepada si anak. Hal itu,
pada dirinya sendiri, tidak menimbulkan ancaman terhadap keberhasilan sosialisasi.
Versi-versi pria dan wanita tentang realitas sudah diakui secara sosial, dan
pengakuan ini pun dialihkan dalam sosialisasi primer. Maka pada anak laki-laki,
versi pria yang sesuai dengan pradefinisi akan lebih menonjol, sedangkan pada
anak perempuan versi wanitalah yang lebih kuat. Anak akan mengetahui
versi yang berlaku bagi lawan jenisnya sejauh hal itu diantarkan kepadanya oleh
pengasuh dari lawan jenisnya, tetapi ia tidak akan mengidentifikasikan
dirinya dengan versi ini. Distribusi pengetahuan yang minim sekalipun mengandaikan
yuridiksi-yuridiksi spesifik bagi versi-versi yang berbeda tentang kenyataan
bersama. Dalam kasus di atas, versi wanita didefinisikan secara sosial sebagai
tidak memiliki yuridiksi atas anak laki-laki. Biasanya definisi tentang "tempat
semestinya" dari kenyataan lawan jenisnya ini diinternalisasikan oleh si
anak yang mengidentifikasikan "dengan semestinya" kenyataan di mana
ia sudah ditempatkan.
Tetapi "ketidaknormalan" menjadi suatu kemungkinan biografis apabila
terjadi persaingan tertentu antara definisi-definisi tentang kenyataan, sehingga
ada kemungkinan untuk memilih di antaranya. Karena berbagai sebab biografis,
seorang anak bisa saja melakukan "pilihan yang salah". Misalnya saja,
seorang anak laki-laki bisa saja menginternalisasi unsur-unsur "yang tidak
semestinya" dari dunia wanita, karena
-241-
ayahnya tidak hadir selama periode sosialisasi primer yang sangat menentukan
itu dan karenanya sosialisasi itu hanya dilaksanakan ibunya dan ketiga kakaknya
yang perempuan. Mereka bisa saja mengantarkan definisi-definisi yurisdiksional
yang "semestinya" kepada anak itu sehingga ia tahu bahwa ia
dianggap tidak hidup dalam dunia wanita. Namun demikian ia bisa mengidentifikasikan
dirinya dengan dunia itu. "Sifat kewanita-wanitaannya" yang dihasilkan
oleh sosialisasi itu bisa "tampak" atau "tidak tampak".
Tetapi, bagaimanapun juga, akan ada suatu asimetri antara identitasnya yang
ditentukan secara sosial dan identitasnya yang nyata secara subjektif.[36]
Tentunya masyarakat akan memiliki mekanisme-mekanisme tetrapi untuk menanggulangi
kasus-kasus "abnormal" seperti itu. Di sini kita tidak perlu mengulang
apa yang telah dikatakan tentang terapi, kecuali menandaskan bahwa kebutuhan
akan mekanisme-mekanisme terapi itu akan bertambah sejalan dengan bertambahnya
potensi sosialisasi yang tidak berhasil, yang disebabkan oleh faktor-faktor
struktural. Dalam contoh yang baru dikemukakan di atas, anak-anak yang berhasil
dalam sosialisasi mereka paling tidak akan menekan anak-anak "yang keliru".
Selama belum ada konflik yang mendasar antara definisi-definisi tentang kenyataan
yang diantarkan, melainkan hanya ada perbedaan-perbedaan antara versi-versi
tentang kenyataan bersama yang itu-itu juga, keberhasilan terapi berpeluang
baik.
Sosialisasi yang gagal juga bisa disebabkan oleh pengantaran dunia-dunia yang
sangat bertentangan satu sama lain oleh para pengasuh selama berlangsungnya
sosialisasi primer. Dengan semakin kompleksnya distribusi pengetahuan, dunia-dunia
yang saling bertentangan menjadi tersedia dan dapat diantarkan oleh berbagai
pengasuh dalam sosialisasi primer. Hal ini tidak begitu sering terjadi dibandingkan
dengan situasi yang baru saja kita bahas, di mana terdapat berbagai versi dari
dunia bersama
-242-
yang itu-itu juga di kalangan personil sosialisasi, karena individu-individu
(katakanlah, sepasang suami-istri) yang cukup kohesif sebagai satu kelompok
untuk melaksanakan tugas sosiologi primer agaknya akan menciptakan semacam dunia
bersama di antara mereka. Namun demikian, situasi-di mana terdapat dunia-dunia
yang saling bertentangan-memang bisa ditemukan dan dari segi teori sangat penting
artinya.
Sebagai contoh, seorang anak mungkin saja dibesarkan tidak hanya oleh orang
tuanya tetapi juga oleh seorang pengasuh yang berasal dari suatu submasyarakat
etnik atau kelas. Orang tua mengantarkan kepada si anak, katakanlah, dunia aristokrasi
penakluk dari suatu ras; pengasuh mengantarkan dunia kaum tani yang ditundukkan
dari ras yang lain. Bahkan ada kemungkinan bahwa kedua pengantaran itu menggunakan
bahasa yang berbeda sama sekali, yang dipelajari secara bersama oleh si anak,
tetapi secara timbal balik tidak dimengerti oleh orang tua dan si pengasuh.
Dalam kasus seperti itu, dunia orang tua, tentunya, akan lebih berpengaruh berkat
pradefinisi. Si anak akan dikenal oleh semua pihak yang bersangkutan dan oleh
dia sendiri sebagai termasuk dalam golongan orang tuanya dan tidak dalam golongan
pengasuhnya. Walaupun demikian, pradefinisi tentang yurisdiksi masing-masing
dari kedua kenyataan tersebut bisa dikacaukan oleh berbagai kejadian biografis
yang sifatnya kebetulan, sama halnya seperti dalam situasi pertama yang kita
bicarakan, kecuali bahwa sosialisasi yang gagal itu kali ini melibatkan kemungkinan
penyelingan yang diinternalisasikan sebagai suatu ciri yang permanen dari pemahaman-diri
subjektif individu. Pilihan yang sekarang tersedia secara potensial bagi si
anak lebih tegas, melibatkan dunia-dunia yang berbeda dan bukan sekedar versi-versi
yang berbeda dari dunia yang sama. Kiranya tak perlu dijelaskan lagi bahwa dalam
prakteknya akan terdapat banyak gradasi antara situasi yang pertama dan situasi
yang kedua.
Apabila dunia-dunia yang sangat bertentangan satu sama lain diantarkan dalam
sosialisasi primer, individu dihadapkan kepada suatu pilihan di antara identitas-identitas
yang jelas yang dipahaminya sebagai kemungkinan-kemungkinan biografis yang
-243-
sesungguhnya. Ia bisa menjadi seorang laki-laki menurut paham ras A atau menurut
paham ras B. ini terjadi apabila muncul kemungkinan bagi suatu identitas yang
benar-benar tersembunyi, yang tidak mudah dikenali menurut tipifikasi-tipifikasi
yang tersedia secara objektif. Dengan kata lain, bisa terdapat suatu asimetri
yang tersembunyi secara sosial antara biografi "umum" dan biografi
prive. Bagi orang tua, si anak sekarang sudah siap untuk memasuki tahap
persiapan menjadi ksatria. Di luar pengetahuan mereka, tetapi didukung oleh
struktur kemasuk-akalan yang diberikan oleh submasyarakat pengasuhnya, anak
itu sendiri "hanya main-main" dalam proses ini, sementara ia "sesungguhnya"
sedang mempersiapkan diri untuk menggeluti rahasia-rahasia keagamaan yang lebih
tinggi dari golongan yang ditundukkan itu. Pertentangan yang serupa terdapat
di kalangan keluarga dan proses sosialisasi dalam kelompok sepergaulan (peer
group). Bagi keluarga, si anak sudah siap untuk lulus dari sekolah lanjutan
pertama. Bagi golongan sepergaulannya, ia sudah siap untuk menempuh ujian pertamanya
yang sungguh-sungguh guna membuktikan keberaniannya dengan jalan mencuri mobil.
Dengan sendirinya, situasi-situasi seperti itu sarat dengan kemungkinan-kemungkinan
konflik batin dan rasa bersalah.
Agaknya, semua orang, apabila sudah disosialisasikan, secara potensial merupakan
"pengkhianat terhadap diri sendiri". Tetapi secara batiniah "pengkhianatan"
seperti itu menjadi semakin kompleks jika ia melibatkan masalah lebih lanjut
mengenai soal "diri" yang mana yang sedang dikhianati pada saat tertentu;
suatu masalah yang muncul begitu terjadi pengidentifikasian dengan sejumlah
orang termasuk orang-orang yang berpengaruh pada umumnya. Si anak mengkhianati
orang tuanya ketika ia bersiap-siap untuk memasuki rahasia-rahasia keagamaan
itu, dan ia mengkhianati pengasuhnya ketika ia melatih diri untuk menjadi ksatria,
sebagaimana ia mengkhianati kelompok sepergaulannya karena menjadi seorang ilmuwan
muda yang "jujur" dan mengkhianati orang tuanya dengan mencuri mobil.
Tiap pengkhianatan itu diiringi oleh "pengkhianatan ter-
-244-
hadap diri sendiri" sejauh ia telah diidentifikasikan dengan kedua dunia
yang saling bertentangan itu. Kita telah membahas berbagai pilihan yang tersedia
baginya di dalam analisa kita sebelumnya mengenai penyelingan meskipun akan
menjadi jelas kiranya bahwa pilihan-pilihan itu mempunyai kenyataan subjektif
yang berbeda apabila sudah diinternalisasikan dalam sosialisasi primer. Kiranya
tidak akan meleset kalau beranggapan bahwa penyelingan tetap merupakan ancaman
seumur hidup terhadapa apa pun kenyataan subjektif yang muncul dari konflik-konflik
seperti itu, sebagai hasil dan pilihan yang bagaimanapun-suatu ancaman yang
akan ada untuk selama-lamanya dengan timbulnya kemungkinan penyelingan dalam
sosialisasi primer itu sendiri.
Kemungkinan bagi "individualisme" (artinya, pilihan individu antara
kenyataan-kenyataan dan identitas-identitas yang tidak sesuai satu sama lain)
berkaitan langsung dengan kemungkinan sosialisasi yang tidak berhasil kita sudah
mengemukakan bahwa sosialisasi yang gagal menimbulkan pertanyaan "Siapa
aku ini?" Di dalam konteks sosial-struktural di mana sosialisasi yang gagal
diakui begitu rupa, pertanyaan yang sama muncul bagi individu yang sosialisasinya
berhasil sebagai akibat renungannya mengenai orang-orang yang gagal tersosialisasi.
Cepat atau lambat ia akan menjumpai orang-orang dengan "diri tersembunyi"
itu, para "pengkhianat", mereka yang telah mengalami penyelingan atau
yang sedang bolak-balik antara dunia-dunia yang saling berlawanan. Melalui semacam
efek cermin, pertanyaan itu pada akhirnya bisa berlaku bagi dirinya sendiri,
mula-mula dengan rumus "Yah, kalau tidak karena perlindungan Tuhan, aku
pun akan berbuat begitu, dan, pada akhirnya mungkin menurut rumus, "Kalau
mereka begitu, mengapa aku tidak". Ini lalu membuka "kotak Pandora"
yang berisi pilihan-pilihan "individualistik", dan yang akhirnya digeneralisasikan,
tak peduli apakah jalan biografis orang yang bersangkutan ditentukan oleh pilihan
yang "benar" atau "salah". Si "individualis" muncul
sebagai suatu tipe sosial tertentu yang setidak-tidaknya memiliki potensi untuk
bermigrasi di antara sejumlah dunia yang tersedia
-245-
dan yang secara sengaja dan sadar telah membangun suatu diri dari "bahan-bahan"
yang diberikan oleh sejumlah identitas yang tersedia.
Situasi penting ketiga yang mengarah pada kegagalan sosialisasi timbul apabila
terdapat pertentangan antara sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Kesatuan
sosialisasi primer dipertahankan, tetapi dalam sosialisasi sekunder tampil kenyataan-kenyataan
dan identitas-identitas alternatif sebagai pilihan subjektif. Pilihan itu, dengan
sendirinya, dibatasi oleh konteks sosial-struktural individu bersangkutan. Sebagai
contoh, ia mungkin ingin menjadi ksatria, tetapi kedudukan sosialnya membuat
keinginan itu sebagai suatu ambisi gila. Apabila sosialisasi sekunder sudah
terdiferensiasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya disidentifikasi
subjektif seseorang dari "tempat semestinya" dalam masyarakat, dan
apabila bersamaan dengan itu struktur sosial tidak memberi peluang perwujudan
identitas yang telah dipilih secara subjektif itu, maka terjadilah suatu perkembangan
yang menarik. Identitas yang telah dipilih secara subjektif itu lalu menjadi
identitas khayalan (fantasy identity), yang diobkjektifikasikan di dalam
kesadaran individu sebagai "dirinya yang sesungguhnya". Bisa diasumsikan
bahwa orang selalu mempunyai impian-impian mengenai keinginan-keinginan yang
tak mungkin dicapai, dan yang semaca itu. Keistimewaan khayalan khusus ini terletak
dalam pengobjektifikasian, pada tingkat imajinasi, dari suatu identitas yang
lain dari identitas yang telah diperuntukkan secara objektif kepada orang yang
bersangkutan dan yang sebelumnya sudah diinternalisasikan dalam sosialisasi
primer. Jelaslah kiranya bahwa distribusi yang lebih luas dari fenomen ini akan
menyusupkan ketegangan dan keresahan ke dalam struktur sosial yang akan mengancam
program-program kelembagaan serta kenyataannya yang sudah diterima begitu saja.
Konsekuensi lainnya yang sangat penting apabila terdapat pertentangan antara
sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder adalah kemungkinan bahwa individu
sudah mempunyai hubungan dengan dunia-dunia yang saling bertentangan dan
-246-
yang secara kualitatif berbeda dengan hubungan-hubungan dalam situasi-situasi
yang telah dibahas sebelumnya. Jika dunia-dunia yang saling bertentangan muncul
dalam sosialisasi primer, individu mempunyai pilihan untuk mengidentifikasikan
diri dengan salah satu diantaranya dan menolak yang lain-lainnya--uatu proses
yang, karena terjadi dalam sosialisasi primer, dari segi agektif akan bermuatan
sangat tinggi. Identifikasi, disidentifikasi dan penyelingan, semuanya akan
disertai krisis-krisis afektif, karena proses-proses itu akan selalu tergantung
pada pengantaran pengasuh-pengasuh. Penampilan dunia-dunia yang saling bertentangan
dalam sosialisasi sekunder menghasilkan konfigurasi yang berbeda sama sekali.
Dalam sosialisasi sekunder, internalisasi tidak perlu disertai pengidentifikasian
yang bermuatan afektif dengan pengasuh-pengasuh; individu bisa menginternalisasikan
kenyataan-kenyataan yang berbeda tanpa mengidentifikasikan diri dengan
para pengasuh itu. Karena itu, apabila suatu dunia alternatif muncul dalam sosialisasi
sekunder, individu mungkin akan memilihnya dengan cara yang manipulatif. Dalam
hal ini kita bisa berbicara tentang penyelingan yang "dingin". Individu
menginternalisasikan kenyataan yang baru itu, tetapi bukan sebagai kenyataannya,
melainkan sebagai suatu kenyataan yang bisa digunakan untuk tujuan-tujuan khusus.
Sejauh hal ini melibatkan perlunya memainkan peran-peran tertentu, ia secara
subjektif tetap terlepas dari peran-peran itu-ia "melakukan" peran-peran
itu dengan sengaja dan dengan tujuan tertentu. Jika fenomena seperti itu menjadi
tersebar luas, tatanan kelembagaan secara keseluruhan mulai memperoleh sifat
suatu jaringan manipulasi timbal-balik.[37]
Suatu masyarakat dimana dunia-dunia yang saling bertentangan tersedia secara
umum atas dasar hukum pasar melibatkan konstelasi-konstelasi khusus kenyataan
dan identitas subjektif. Dalam situasi itu akan kian meningkat kesadaran umum
terhadap relatifnya semua dunia, termasuk dunia diri
-247-
sendiri, yang sekarang secara subjektif dipahami sebagai "suatu dunia",
dan bukan "dunia satu-satunya". Karena itu perilaku saya sendiri
yang sudah melembaga bsa dipahami sebagai "sebuah peran" yang bisa
saya lepaskan secara sadar, dan yang dapat saya "mainkan" dengan pengendalian
manipulatif. Sebagai contoh, seorang aristokrat tidak lagi sekadar merupakan
aristokrat, melainkan ia memainkan peran aristokrat, begitu seterusnya.
Maka situasinya mengandung konsekuensi yang sangat lebih jauh jangkauannya dibandingkan
dengan kemungkinan individu-individu memainkan peran yang bukan perannya. Mereka
juga memainkan peran mereka yang seharusnya-suatu hal yang sama sekali lain
lagi. Situasi ini semakin khas bagi masyarakat industri masa kini, tetapi kiranya
sudah jelas bahwa kita akan melampaui lingkup pembahasan kita sekarang lebih
jauh memasuki analisa sosiologi pengetahuan dan sosial-psikologis dari konstelasi
ini.[38] Yang perlu ditekankan,
situasi seperti itu tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan menghubungkannya
secara terus-menerus dengan konteks sosial-strukturalnya, yang secara logis
bergerak dari hubungan yang perlu antara pembagian kerja secara sosial (dengan
konsekuensi-konsekuensinya bagi struktur sosial) dan distribusi pengetahuan
secara sosial (dengan konsekuensi-konsekuensinya bagi objektivasi realitas secara
sosial). Di dalam situasi mutakhir hal ini melibatkan analisa kemajemukan kenyataan
maupun identitas dalam kaitannya dengan dinamika struktural dari industrialisme,
khususnya dinamika pola-pola pelapisan sosial yang ditimbulkan oleh industrialisme.[39]
-248-
Teori-teori Identitas
Identitas, dengan sendirinya, merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subjektif
dan, sebagaimana semua kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektis dengan
masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitulah memperoleh
wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan
sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan
identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-identitas yang
dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan struktur
sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya,
memodifikasinya, atau malahan membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah
dan didalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus; tetapi,
sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu.
Apabila kita selalu ingat akan adanya dialektika ini, maka kita akan dapat menghindari
pengertian yang menyesatkan tentang "identitas-identitas kolektif"
yang tidak memperhitungkan keunikan, sub specie aeternitatis, dari eksistensi
individu.[40] Struktur-struktur
sosial historis tertentu melahirkan tipe-tipe identitas, yang bisa dikenali
dalam kasus-kasus individual. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa
seorang Amerika memiliki identitas yang berbeda dengan seorang Prancis, seorang
warga New York mempunyai identitas berbeda dengan seorang warga dari Bagian
Barat-Tengah, seorang eksekutif mempunyai idetitas berbeda dengan seorang gelandangan,
dan seterusnya. Seperti telah kita lihat, orientasi dan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari tergantung pada tipifikasi-tipifikasi seperti itu. Ini berarti bahwa
tipe-tipe identi-
-249-
tas bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari dan bahwa pernyataan-pernyataan
seperti yang dikemukakan di atas bisa diverifikasi-atau disangkal-oleh orang-orang
biasa dengan akal sehat. Orang Amerika yang menyangsikan bahwa orang-orang Prancis
berbeda dengan dirinya, bisa pergi ke Prancis dan membuktikannya sendiri. Jelaslah
bahwa status tipifikasi dalam konstruksi-konstruksi ilmu sosial, demikian pula
verifikasi dan penyangkalannya tidak mengikuti aturan-aturan menurut metode
ilmiah. Kita harus mengesampingkan masalah metodologis tentang bagaimana persisnya
hubungan antara tipifikasi-tipifikasi kehidupan sosial dan konstruksi-konstruksi
ilmiah (seorang Puritan mengenal dirinya sebagai Puritan dan diakui demikian
oleh, katakanlah, para penganut Anglikan tanpa pikir panjang; tetapi ilmuwan
ilmu sosial yang ingin mengecek tesis Max Weber mengenai etika Puritan harus
menempuh prosedur-prosedur yang agak berbeda dan lebih kompleks untuk bisa "mengenal"
rujukan-rujukan empiris tipe ideal dari Weber itu). Yang menarik dalam konteks
sekarang, tipe-tipe identitas itu "bisa diamati" dan "bisa diverifikasi"
dalam pengalaman pra-teoritis, dan dengan demikian pra-ilmiah.
Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu
dan masyarakat. Sebaliknya, tipe-tipe identitas merupakan produk-produk
sosial semata-mata, unsur-unsur yang relatif stabil dari kenyataan sosial objektif
(yang tingkat stabilitasnya, dengan sendirinya, pada gilirannya ditentukan secara
sosial). Dengan demikian, tipe-tipe identitas itu merupakan pokok dari suatu
bentuk kegiatan berteori dalam tiap masyarakat, sekalipun tipe-tipe itu stabil,
dan pembentukan identitas-identitas individu relatif tidak menimbulkan masalah.
Teori-teori tentang identitas selalu berakar dalam penafsiran yanglebih umum
tentang kenyataan; teori-teori itu "dipasang dalam" universum simbolik
dan legitimasi-legitimasi teoritisnya, serta bervariasi dengan sifat yang disebut
belakangan. Identitas akan-tetap tak bisa dipahami kecuali jika ia berlokasi
dalam suatu dunia. Karena itu, setiap kegiatan berteori tentang identitas-dan
tentang tipe-tipe identitas tertentu-
-250-
harus dilakukan di dalam kerangka tafsiran-tafsiran teoritis di mana identitas
dan tipe-tipe identitas itu berada. Sebentar lagi kita akan kembali ke soal
ini.
Kiranya perlu ditekankan kembali bahwa yang kami maksudkan di sini adalah teori-teori
tentang identitas sebagai suatu fenomena sosial; artinya, tanpa berprasangka
mengenai diterima-tidaknya oleh ilmu pengetahuan modern. Sesungguhnya, kami
akan merujuk teori-teori seperti itu sebagai "psikologi-psikologi"
dan akan memasukkan setiap teori tentang identitas yang mengaku dapat menjelaskan
fenomena empirisnya dengan cara yang komprehensif, tak peduli apakah penjelasan
seperti itu "berlaku" atau tidak bagi disiplin keilmuan mutakhir yang
memakai nama itu.
Apabila teori-teori tentang identitas selalu berakar dalam teori-teori yang
lebih komprehensif tentang kenyataan maka hal itu harus dipahami menurut logika
yang mendasari apa yang disebut belakangan. Misalnya, suatu psikologi yang menafsirkan
fenomena-fenomena empiris tertentu sebagai kemasukan roh jahat mempunyai-sebagai
matrisnya-sebuah teori mitologis mengenai kosmos, dan tidaklah pada tempatnya
untuk menafsirkannya dalam suatu kerangka non-mitologis. Begitu pula, suatu
psikologi yang menafsirkan fenomena yang sama dari segi gangguan-gangguan listrik
pada otak mempunyai-sebagai latar belakangnya-suatu teori ilmiah yang menyeluruh
tentang kenyataan baik yang insaniah maupun yang tak insaniah, dan memperoleh
konsistensinya dari logika yang mendasari teori itu. Singkatnya, psikologi selalu
mengandaikan kosmologi.
Soal ini dengan baik dapat diilustrasikan dengan mengacu pada istilah psikiatri
yang sering digunakan, yakni "berorientasi ke kenyataan" (reality-oriented).[41]
Seorang psikiater yang sedang berusaha mendiagnosa seseorang yang status psikologisnya
sedang disangsikan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya untuk memastikan
tingkat "orientasinya pada ke-
-251-
nyataan". Ini cukup logis; dari sudut pandang psikiatri, jelas ada hal
yang problematis mengenai individu yang tidak tahu nama hari, atau begitu saja
mengaku telah berbicara dengan arwah orang yang sudah meninggal. Sesungguhnya,
istilah "berorientasi pada kenyataan" itu sendiri dapat berguna dalam
konteks seperti itu. Tetapi seorang sosiolog harus mengajukan pertanyaan tambahan:
"Kenyataan yang mana?". Secara sambil lalu dapat dikatakan
bahwa tambahan itu bukannya tidak relevan dari segi psikiatri. Psikiater tentunya
akan memperhitungkannya pula, apabila seseorang tidak tahu nama hari itu ketika
ia baru saja tiba dengan pesawat jet dari sebuah benua lain. Ia mungkin tidak
tahu nama hari itu semata-ata karena ia mash merasa "dalam waktu yang lain"-misalnya,
waktu Kalkuta dan bukan waktu Amerika Bagian Timus. Jika psikiater itu peka
terhadap konteks sosio-budaya dari kondisi-kondisi psikologis ia juga akan sampai
pada diagnosa-diagnosa yang berbeda mengenai invididu yang bercakap-cakap dengan
orang-orang yang sudah mati itu, tergantung pada apakah individu itu berasal
dari, umpamanya, New York City atau dari daerah pedesaan di Haiti. Individu
itu bisa saja berada "dalam kenyataan yang lain" yang objektif secara
sosial dalam arti yang sama seperti halnya orang yang disebut duluan berada
"dalam waktu yang lain". Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan yang
berstatus psikologis tidak bisa diputuskan tanpa mengakui definisi-definisi
tentang kenyataan yang sudah diterima begitu saja dalam siatuasi sosial dari
individu yang bersangkutan. Secara lebih tegas lagi, status psikologis relatif
terhadap definisi-definisi sosial tentang kenyataan pada umumnya dan ia sendiri
diddefinisikan secara sosial.[42]
Munculnya psikologi-psikologi itu melahirkan suatu hubungan dialektik lebih
lanjut antara identitas dan masyarakat-hubungan antara teori psikologis dan
unsur-unsur kenyataan subjektif yang hendak didefinisikan dan dijelaskan. Tingkat
kegiatan berteori seperti itu, dengan sendirinya, bisa sangat
-252-
bervariasi, seperti halnya dengan legitimasi-legitimasi teoritis. Apa yang telah
dikatakan sebelumnya tentang asal-mula dan tahap-tahap teori legitimasi berlaku
juga di sini dengan kesahihan yang sama, tetapi dengan suatu perbedaan yang
bukannya tidak penting. Psikologi-psikologi menyangkut suatu dimensi dari kenyataan
yang mempunyai relevansi subjektif yang paling besar dan paling sinambung bagi
semua individu. Karena itu dialektika antara teori dan kenyataan mempengaruhi
individu dengan cara yang jelas-jelas langsung dan intensif.
Apabila teori-teori psikologi mencapai tingkat kerumitan intelektual yang tinggi,
maka teori-teori itu agaknya akan dikelola oleh personil yang secara khusus
dididik dalam perangkat pengetahuan ini. Bagaimanapun organisasi sosial spesialis-spesialis
ini, teori-teori psikologi masuk kembali ke dalam kehidupan sehari-hari dengan
jalan memberikan skema-skema penafsiran untuk menanggulangi kasus-kasus problematis.
Masalahnya timbul dari dialektika antara identitas subjektif dan identitas yang
dtentukan secara sosial, atau antara identitas dan substratum biologisnya
(soal ini akan dibahas lebih lanjut nanti), yag bisa diklasifikasikan menurut
kategori-kategori teoritis-yang, dengan sendirinya, merupakan perkiraan bagi
tiap terapi. Maka teori-teori psikologi itu berfungsi untuk melegitimasi prosedur-prosedur
pemeliharaan identitas dan perbaikan identitas yang telah ditetapkan dalam masyarakat,
sehingga memberikan kaitan teoritis antara identitas dan dunia, karena keduanya-identitas
dan dunia-itu didefinisikan secara sosial dan dimiliki secara subjektif.
Teori-teori psikologi secara empiris mungkin memadai atau tidak memadai; maksud
kami: memadai tidaknya bukan dari segi aturan-aturan prosedur ilmu empiris,
melainkan sebagai skema-skema penafsiran yang bisa digunakan oleh seorang pakar
maupun seorang awam terhadap fenomena-fenomena empiris kehidupan sehari-hari.
Misalnya, suatu teori psikologi yang mengandaikan adanya kerasukan setan agaknya
tidak akan memadai untuk menafsirkan masalah-masalah identitas orang-orang intelektual
Yahudi dari kelas menengah di New York City. Orang-orang itu jelas tidak memiliki
identitas yang
-253-
mampu menghasilkan fenomena-fenomena yang dapat ditafsirkan seperti itu. Setan-setan
itu, kalaupun ada, tampaknya menghindari mereka. Sebaliknya, psikoanalisa agaknya
tidak akan memadai untuk menafsirkan masalah-masalah identitas di pedesaan Haiti,
sedangkan semacam skema-skema penafsiran yang mempunyai tingkat ketepatan empiris
yang tinggi. Kedua psikologi itu membuktikan kememadaian empiris mereka dengan
kemampuan mereka untuk digunakan dalam terapi, tetapi dengan demikian kedua
teori itu tidak membuktikan status ontologis dari kategori-kategori mereka.
Begitu pula dewa-dewa Voudun ataupun enersi libido tidak bisa bereksistensi
di luar dunia yang didefinisikan dalam konteks sosial masing-masing. Tetapi
dalam konteks-konteks itu mereka memang bereksistensi berdasarkan definisi sosial
dan diinternalisasikan sebagai kenyataan selama berlangsungnya sosialisasi.
Orang-orang desa di Haiti memang kesurupan dan orang-orang intelektual
di New York memang neurotik. Dengan demikian kesurupan dan neurosis merupakan
unsur-unsur pokok kenyataan yang objektif maupun yang subjektif di dalam
konteks-konteks itu. Kenyataan ini tersedia secara empiris dalam kehidupan
sehari-hari. Masing-masing teori-teori psikologi secara empiris memadai dalam
arti betul-betul sama sepenuhnya. Tentang soal apakah atau bagaimana teori-teori
bisa dikembangkan untuk dapat mengatasi kerelatifan sosio-historis ini, tidak
perlu kita bahas di sini.
Sejauh teori-teori psikologi itu memadai dalam artian ini, teori-teori itu bisa
diverifikasi dalam arti ilmiah, melainkan pengujian dalam pengalaman kehidupan
sosial sehari-hari. Sebagai contoh, mungkin ada anggapan bahwa orang-orang yang
dilahirkan pada tanggal-tanggal tertentu punya kemungkinan untuk kesurupan,
atau bahwa orang-orang yang dikuasai oleh ibunya punya kemungkinan untuk neurotik.
Proposisi-proposisi seperti itu bisa diverifikasi secara empiris sejauh proposisi-proposisi
itu tergolong dalam teori-teori yang memadai, dalam pengertian seperti yang
dikemukakan di atas.
-254-
Verifikasi seperti itu bisa dilakukan oleh para peserta maupun rorang-orang
dari luar yang mengamati situasi-situasi sosial yang bersangkutan. Seorang etnolog
Haiti bisa menemukan neurosis di New York secara empiris, sama halnya seperti
seorang etnolog amerika dapat menemukan kesurupan Voudun secara empiris. Pesyaratan
bagi penemuan-penemuan seperti tu hanyalah bahwa pengamat dari luar itu bersedia
menggunakan peralatan konsep psikologi setempat untuk melakukan penyelidikannya
itu. Apakah ia juga mau memberikan kesahihan epistemologis yang lebih umum pada
psikologi tersebut tidaklah relevan bagi penyelidikan empiris itu sendiri.
Cara lain untuk mengatakan bahwa teori-teori psikologi itu memadai adalah dengan
mengatakan bahwa teori-teori itu mencerminkan kenyataan psikologis yang hendak
dijelaskannya. Tetapi, jika soalnya hanya itu saja, hubungan antara teori dan
kenyataan dalam hal ini tidak dialektis. Padahal, di sini terlibat suatu dialektika
yang sesunguhnya karena teori-teori psikologi mempunyai potensi untuk merealisasikan.
Sejauh teori-teori psikologi merupakan unsur-unsur definisi sosial tentang kenyataan,
kemampuan mereka untuk menciptakan kenyataan merupakans atu sifat yang juga
dimiliki oleh teori-teori legitimasi lainnya; namun, potensi teori-teori itu
untuk merealisasikan sangat besar karena diaktualisasikan oleh proses-proses
pembentukan identitas yang bermuatan emosi. Apabila suatu psikologi berlaku
secara sosial (artinya, diakui secara umum sebagai suatu tafsiran yang memadai
mengenai kenyataan objektif), maka ia cenderung untuk mewujudkan dirinya dengan
cara yang meyakinkan dalam fenomena-fenomena yang hendak ditafsirkannya itu.
Penginternalisasiannya dipercepat oleh kenyataan bahwa ia menyangkut kenyataan
internal, sehingga individu mewujudkannya justru ketika ia menginternalisasikannya.
Begitu pula, karena menurut definisinya suatu psikologi menyangkut kenyataan
internal, sehingga individu mewujudkannya justru ketika ia menginternalisasikannya.
Begitu pula, karena menurut definisinya suatu psikologi menyangkut identitas,
maka penginternalisasiannya agaknya akan disertai oleh pengidentifikasian, dan
karena itu ipso facto agaknya akan membentuk identitas. Dalam kaitan
erat antara internalisasi dan identifikasi ini, teori-teori psikologi sangat
berbeda dengan tipe-tipe
-255-
teori lainnya. Karena masalah sosialisasi yang gagal sangat mendorong kegiatan
berteori semacam itu, maka tidaklah mengherankan jika teori-teori psikologi
lebih cenderung mempunyai efek-efek sosialisasi. Meskipun demikian, tidak berarti
bahwa psikologi-psikologi itu sifatnya memverifikasi-diri. Seperti telah ditunjukkan,
verifikasi dilakukan dengan jalan menghadapi teori-teori psikologi dan kenyataan
psikologis sebagai hal-hal yang tersedia secara empiris. Psikologi melahirkan
suatu kenyataan, yang pada gilirannya berfungsi sebagai landasan bagi verifikasinya.
Dengan kata lain, di sini kita berurusan dengan dialektika, bukan dengan tautologi.
Orang desa di Haiti yang menginternalisasikan psikologi Voudun akan menjadi
kesurupan begitu ia menemukan tanda-tanda tertentu yang sudah didefinisikan
dengan jelas. Demikian pula, intelektual New York yang menginternalisasikan
psikologi menurut ajaran Freud akan menjadi neurotik begitu ia mendiagnosa gejala-gejala
tertentu yang sudah dikenal dengan baik. Sesungguhnya, di dalam suatu konteks
biografis tertentu, tanda-tanda atau gejala-gejala mungkin akan ditimbulkan
oleh individu itu sendiri. dAlam kasus itu, orang Haiti akan menimbulkan bukan
akan memperlihatkan gejala-gejala neurosis melainkan tanda-tanda kesurupan,
sedangkan orang New York akan memperlihatkan neurosisnya sesuai dengan gejala-gejalanya
yang sudah diakui. Ini tak ada sangkut-pautnya dengan "histeria massa",
apalagi dengan perbuatan pura-pura sakit, melainkan dengan penanaman ingatan
tentang tipe-tipe identitas sosial pada kenyataan subjektif individual orang-orang
biasa dengan akal normal. Tingkat identifikasinya akan bervariasi menurut kondisi-kondisi
internalisasi, seperti yang telah dibahas, dan tergantung, umpamanya, pada soal
apakah hal itu berlangsung dalam sosialisasi primer atau sekunder. Terbentuknya
suatu psikologi secara sosial, yang juga menyangkut pemberian peran-peran sosial
tertentu kepada personilnya yang menata teori itu serta penerapan terapinya,
dengan sendirinya tergantung pada berbagai kondisi sosio-historis.[43]
Tetapi, semakin
-256-
mapan secara sosial, akan semakin melimpah pula fenomena yang dianggap dapat
ditafsirkannya.
Jika kita menerima kemungkinan bahaw psikologi-psikologi tertentu menjadi memadai
dalam perjalanan suatu proses realisasi, pertanyaannya apakah sebabnya teori-teori
yang masih belum memadai (sebagaimana keadaan teori-teori itu dalam tahap-tahap
awal proses ini) sampai bisa muncul? Secara sederhana, apa sebabnya suatu psikologi
menggantikan psikologi lainnya dalam sejarah? Jawaban umum adalah bahwa perubahan
seperti itu terjadi ketika identitas tampil sebagai suatu masalah, dengan sebab
apa pun. Masalah itu mungkin saja timbul dari dialektika antara kenyataan psikologis
dan struktur sosial. Perubahan-perubahan radikal dalam struktur sosial (seperti,
perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh Revolusi Industri) dapat disertai
dengan perubahan-perubahan dalam kenyataan psikologis. Dalam hal seperti itu,
teori-teori psikologi yang baru bisa muncul karena teori-teori lama tidak lagi
memadai untuk menjelaskan fenomena-fenomena empiris yang dihadapi. Kegiatan
berteori tentang identitas pada saat itu akan terpusat pada transformasi identitas
yang sungguh-sungguh telah terjadi, dan dalam proses itu identitas itu sendiri
akan mengalami transformasi. Di pihak lain, identitas bisa menjadi masalah pada
tingkat teori itu sendiri; artinya, sebagai akibat perkembangan teoritis yang
isntrinsik. Dalam hal itu teori-teori psikologi boleh dikatakan akan diciptakan
"sebelum ada faktanya". Pengakuan sosialnya, yang terjadi kemudian,
yang disertai potensinya untuk mewujudkan kenyataan bisa terjadi sebagai akibat
sejumlah afinitas antara personil yang berteori dan berbagai kepentingan sosial.
Salah satu kemungkinan historisnya adalah manipulasi politik secara disengaja
oleh golongan-golongan kepentingan politik.
Organisme dan Identitas
Jauh sebelum bab ini, kita telah membahas perkiraan tentan organisme dan pembatasan-pembatasan
dalam pembentukan kenyataan sosial. Sekarang penting untuk ditekankan bahwa
-257-
organisme terus mempengaruhi tiap tahap kegiatan manusia untuk membentuk kenyataan
dan bahwa organisme itu, pada gilirannya, juga dipengaruhi oleh kegiatan itu.
Kasarnya, kebinatangan (animality) manusia ditransformasikan dalam sosialisasi,
tapi tidak ditiadakan sama sekali. Dengan demikian, perut manusia akan tetap
keroncongan kalaupun ia sedang sibuk dengan kegiatannya membangun dunia.
Sebaliknya, peristiwa-peristiwa-dalam hal ini merupakan produknya-bisa membuat
perutnya keroncongan lebih keras, lebih pelan, atau dengan cara yang berbeda.
Manusia malahan bisa makan dan berteori pada waktu yang bersamaan. Koeksistensi
yang berlangsung terus antara kebinatangan manusia dan sosialitasna bisa diamati
dengan baik pada setiap percakapan tentang makan.
Kita bisa berbicara tentang dialektika antara alam dan masyarakat.[44]
Dialektika ini terjadi dalam kondisi manusia dan mewujudkan diri kembali dalam
diri tiap individu. Bagi individu, tentunya, hal itu berarti mengungkapkan diri
dalam suatu sosio-historis yang sudah berstruktur. Ada suatu dialektika yang
berlangsung terus-menerus, yang mewujud pada tahap-tahap sosialisasi paling
awal dan yang terus berkembang selama eksistensi individu dalam masyarakat,
antara biantang manusia dan situasi sosio-historisnya. Secara lahiriah, ia merupakan
dialektika antara binatang individual dan dunia sosial. Secara batin, ia merupakan
dialektika antara substratum biologis individu dan identitasnya yang merupakan
produk sosial.
Dari aspek lahirnya, kita masih dapat mengatakan bahwa organisme menetapkan
batas-batas bagi apa yang mungkin
-258-
secara sosial. Seperti dikatakan oleh ahli-ahli hukum tatanegara Inggris, Parlemen
bisa melakukan apa saja kecuali membuat laki-laki bisa melahirkan. Jika Parlemen
berusaha juga, rencananya akan terbentuk pada fakta-fakta biologis manusia yang
tak dapat diganggu-gugat lagi. Faktor-faktor biologis membatasi lingkup kemungkinan-kemungkinan
sosial yang terbuka bagi tiap individu, tetapi dunia sosial, yang sudah ada
sebelum tiap individu lahir, pada gilirannya menetapkan batas-batas bagi apa
yang secara biologis mungkin bagi organisme. Dialektika itu memanifestasikan
diri dalam pembatasan timbal-balik antara organisme dan masyarakat.
Suatu ilustrasi yang jelas sekali mengenai pembatasan oleh masyarakat terhadp
kemungkinan-kemungkinan biologis bagi organisme adalah umur panjang. Tingkat
harapan hidup (life expectancy) bervariasi menurut lokasi sosialnya.
Dalam masyarakt Amerika masa kini sekalipun, tingkat harapan hidup antara orang-orang
dari kelas rendah dan orang-orang dari kelas atas mempunyai perbedaan yang sangat
besar. Selain itu, patologi pun bervariasi menurut lokasi sosial, baik dari
segi banyaknya penderita maupun dari segi sifat penyakitnya. Orang-orang dari
kelas rendah lebih sering sakit dibandingkan dengan orang-orang dari kelas atas;
disamping itu penyakit-penyakitnya pun berbeda. Dengan kata lain, masyarakat
menentukan untuk berapa lama dan dengan cara bagaimana organisme individu bisa
hidup. Determinasi ini mungkin sudah diprogramkan secara kelembagaan dalam operasi
kendali-kendali sosial, seperti dalam lembaga hukum. Masyarakat bisa melukai
dan membunuh. Sesungguhnya, dalam kekuasaannya atas hidup dan mati itulah masyarakat
memanifestasikan penguasaannya yang paling mendasar atas individu.
Masyarakat juga secara langsung menembus organisme dalam cara berfungsinya,
dan yang paling penting adalah dalam kaitannya dengan seksualitas dan soal makanan
(nutrisi). Sementara seksualitas dan soal makanan berakar dalam dorongan-dorongan
biologis, dorongan-dorongan itu sangat lentur dalam diri binatang manusia. Manusia
didorong oleh konstitusi biologisnya untuk mencari pemenuhan seksual dan makanan.
Te-
-259-
tapi konstitusi biologisnya tidak memberitahukannya di mana ia harus mencari
pemenuhan kebutuhan seksualnya itu dan apa yang harus ia makan. Karena dibiarkan
untuk memutuskan sendiri, manusia boleh dikatakan bisa menggunakan benda apa
saja untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dan mampu sepenuhnya untuk memakan
barang-barang yang bisa mematikannya. Pemenuhan kebutuhan seksual dan kebutuhan
akan makanan disalurkan ke arah-arah tertentu secara sosial dan bukan secara
biologis, suatu cara penyaluran yang tidak hanya membatasi kegiatan-kegiatan
itu, tetapi secara langsung mempengaruhi fungsi-fungsi organisme. Demikianlah,
maka individu yang mengalami sosialisasi yang berhasil tidak mampu berfungsi
secara seksual dengan objek-objek sosial yang "salah" dan mungkin
akan muntah jika dihadapkan dengan makanan yang "salah". Seperti telah
kita lihat, penyaluran kegiatan secara sosial merupakan inti sari pelembagaan,
yang merupakan landasan bagi perbuatan manusia. Maka dapat dikatakan bahwa kenyataan
sosial menentukan tidak hanya kegiatan dan kesadaran, tetapi-sampai tingkat
cukup jauh-juga berfungsinya organisme. Demikianlah, maka fungsi-fungsi biologis
yang instrinsik seperti organisme dan pencernaan makanan distrukturkan secara
sosial. Masyarakat juga menentukan caranya organisme digunakan dalam kegiatan;
cara mengungkapkan diri, gaya berjalan dan gerak-isyarat distrukturkan secara
sosial. Kemungkinan bagi suatu sosiologi badan yang ditimbulkan oleh kenyataan-kenyataan
itu tidak perlu kita bahas di sini.[45]
Pokoknya masyarakat menentukan batas-batas bagi organisme, seperti juga organisme
menentukan batas-batas bagi masyarakat.
Dari segi aspek batin, dialektika berwujud dalam bentuk perlawanan substratum
biologis terhadap pengaruh-pengaruh
-260-
sosial yang hendak memberi bentuk kepadanya.[46]
Ini tentunya, paling jelas tampak dalam proses sosialisasi primer. Kesulitan-kesulitan
dalam upaya pertama untuk mensosialisasikan seorang anak kecil tidak bisa dijelaskan
hanya dari segi masalah-masalah belajar yang sifatnya intrinsik. Katakanlah
bahwa binatang kecil itu melawan. Fakta bahwa ia sudah ditakdirkan untuk kalah
dalam pertempuran itu tidak menyebabkan hilangnya perlawanan kebinatangannya
terhadap pengaruh dunia sosial yang semakin menyusup ke dalam dirinya. Sebagai
contoh, si anak menolak struktur waktu (temporal structure) masyarakat
yang hendak dipaksakan kepada kewaktuan alami (natural temporality) organismenya.[47]
Ia menolak untuk makan dan tidur pada waktu-waktu yang ditentukan dan bukannya
berdasarkan tuntutan-tuntutan organismenya yang sudah ditentukan secara biologis.
Perlawanan itu secara berangsur-angsur dapat dipatahkan selama berlangsungnya
sosialisasi, namun apabila masyarakat melarang individu yang lapar untuk makan
dan invididu yang sudah mengantuk pergi tidur, maka akan mengekalkan frustrasinya.
Sosialisasi tak terelakkan lagi melibatkan frustrasi-frustrasi biologis semacam
ini. Eksistensi sosial tergantung pada ditundukkannya secara terus-menerus perlawanan
yang mempunyai akar biologis dalam diri individu, dan yang melibatkan legitimasi
serta pelembagaan. Dengan demikian, masyarakat memberikan berbagai penjelasan
kepada individu tentang soal-soal seperti apa sebabnya ia harus makan tiga kali
sehari, dan tidak setiap saat ia merasa lapar, dan penjelasan-penjelasan yang
lebih meyakinkan lagi tentang apa sebabnya ia tidak boleh tidur dengan saudaranya
yang perempuan. Masalah-masalah serupa yang menyangkut penyesuaian organisme
dengan dunia yang dibentuk secara sosial terdapat juga dalam sosialisasi sekunder,
meskipun, tentunya, frustrasi biologisnya agaknya tidak begitu tajam.
Dalam diri individu yang sudah disosialisasikan sepenuhnya
-261-
terdapat dialektika batin yang berlangsung terus-menerus antara identitas dan
substratum biologisnya.[48] Individu
terus mengalami dirinya sebagai suatu organisme, terlepas dari, dan kadang-kadang
berlawanan dengan, objektifikasi-objektifikasi tentang dirinya yang diperoleh
secara sosial. Seringkali dialektika ini dirasakan sebagai suatu pertarungan
antara diri yang "lebih tinggi" dan diri yang "lebih rendah",
yang masing-masing dipersamakan dengan identitas sosial dari kebinatangan yang
prasosial dan mungkin antisosial. Diri yang "lebih tinggi" harus berulang-ulang
menguasai diri yang "lebih rendah", terkadang melalui adu kekuatan
yang gawat. Umpamanya, seseorang harus menguasai rasa takut naluriahnya terhadap
kematian dengan keberanian dalam pertempuran. Dalam hal ini diri yang "lebih
rendah" didera agar tunduk kepada diri yang "lebih tinggi", suatu
tindakan yang tegas untuk menunjukkan kekuasaan atas substratum biologis yang
diperlukan untuk dapat mempertahankan identitas sosial seorang prajurit, baik
secara objektif maupun secara subjektif. Begitu pula, seseorang mungkin harus
memaksakan dirinya untuk melakukan hubungan seksual dengan mengalahkan perlawanan
berupa rasa enggan yang diakibatkan oleh kejenuhan fisiologisnya, hanya untuk
dapat mempertahankan identitasnya sebagai manusia jantan yang harus diteladani.
Demikian pula, diri yang "lebih rendah" itu dipaksa untuk mengabdi
kepada diri yang "lebih tinggi". Kemenangan atas rasa takut dan kemenangan
atas kelesuan seksual mengilustrasikan caranya substratum biologis melawan dan
ditundukkan oleh diri sosial dalam batin manusia. Dengan sendirinya terdapat
banyak kemenangan yang kurang penting artinya, yang secara rutin terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, seperti juga terdapat kekalahan-kekalahan yang kecil
dan yang besar.
Dari segi biologis, manusia sudah ditakdirkan untuk membentuk dan menghuni suatu
dunia bersama-sama dengan manusia-manusia lainnya. Dunia ini baginya menjadi
kenyataan yang dominan dan yang diberi batasan. Batas-batasnya ditentukan oleh
alam; tetapi, begitu sudah dibangun, dunia ini berbalik
-262-
mempengaruhi alam. Dalam dialektika alam dan dunia yang dibangun secara sosial
itu organisme manusia sendiri ditransformasikan. Dalam dialektika yang sama,
manusia menciptakan kenyataan dan dengan itu menciptakan dirinya sendiri.
Catatan Kaki:
1.Konsepsi kami mengenai
"memahami orang lain" berasal dari Weber dan Schutz.
2.Definisi kami mengenai sosialisasi
dan kedua subtipenya mengikuti dengan seksama cara yang lazim dalam ilmu-ilmu
sosial. Kami hanya mengadaptasi perumusannya agar sesuai dengan kerangka
teoritis kami secara keseluruhan.
3.Deskripsi kami di sini,
sudah tentu, sangat bertumpu pada teori Mead tentang sosialisasi.
4.Konsep "pengantaraan"
(mediation) berasal dari Sartre, yang tidak mempunyai suatu teori
yang memadai tentang sosialisasi.
5.Matra afektif dari proses
belajar di masa kanak-kanak terutama ditekankan oleh psikologi anak menurut
ajaran Freud, meskipun ada berbagai kesimpulan mengenai teori belajar
yang behavioristik yang cenderung membenarkannya. Di sini kami tidak mengimplikasikan
sikap menerima perkiraan teoritis salah satu dari kedua mazhab psikologi
itu.
6.Konsepsi kami tentang sifat
diri yang direfleksikan berasal dari Cooley dan Mead. Akar-akarnya bisa
ditemukan dalam analisa tentang "diri sosial" ("social
self") oleh William James (Principles of Psychology).
7.Meskipun hal itu tidak bisa
dikembangkan di sini, kiranya sudah cukup banyak dikatakan untuk menunjukkan
kemungkinan bagi suatu psikologi sosial yang benar-benar dialektik. Ini
akan sama pentingnya bagi antropologi filosofis dan bagi masyarakat. Sejauh
yang menyangkut yang disebut belakangan, psikologi sosial semacam itu
(yang pada dasarnya berorientasi pada ajaran Mead, tapi ditambah unsur-unsur
penting dari aliran-aliran lain dalam pemikiran ilmu pengetahuan sosial)
tidak perlu mencari persekutuan yang tidak bisa dipertahankan dengan psikologisme
Freud atau psikologisme behavioristik.
8.Mengenai nomenklatur, cf.
Claude Lévi-Strauss, La Pensée sauvage, hal. 253
ff.
9.Di sini konsep generalized
other (orang lain pada umumnya), sepenuhnya dipakai dalam pengertian
menurut Mead.
10.Bandingkan dengan George
Simmel mengenai pemahaman-diri manusia yang berada di dalam dan di luar
masyarakat. Konsep Plessner tentang keanehan (eccentricity) juga
relevan di sini.
11.Bandingkan dengan Piaget
tentang kenyataan masif dunia anak-anak
12.bandingkan pendapat Lévy-Bruhl
mengenai analogi filogenetis dengan "realisme" kekanak-kanakan
menurut Piaget.
13.Cf. Philippe Aries,
Centuries of Childhood (New York: Knopf, 1962).
14.Di sini bandingkan analisa-analisa
kultural-antropologis tentang "ritus perjalanan" (rites of
passage) yang berkaitan dengan pubertas.
15.Konsep "jarak peran"
(role distance) dikembangkan oleh Erving Goffman terutama dalam
Asylums (Garden City, N.Y.: Doubleday-Anchor, 1961). Analisa kami
menyarankan bahwa jarak seperti itu hanya mungkin dalam kenyataan-kenyataan
yang telah diinternalisasikan dalam sosialisasi sekunder. Jika ia diperluas
sehingga mencakup kenyataan-kenyataan yang telah diinternalisasikan dalam
sosialisasi primer, kita akan berada dalam bidang apa yang dalam psikiatri
Amerika dinamakan "psikopat", yang mengimplikasikan suatu pembentukan
identitas yang tidak lengkap. Hal yang sangat menarik lainnya yang disarankan
dalam analisa kami itu menyangkut batas-batas struktural yang di dalamnya
mungkin akan bisa dipertahankan suatu "Goffmanian model"
interaksi sosial-yakni, masyarakat-masyarakat yang berstruktur begitu
rupa, sehingga unsur-unsur yang sifatnya menentukan dari kenyataan yang
diobjektivasikan diinternalisasikan dalam proses-proses sosialisasi sekunder.
Secara sambil lalu dapat dikemukakan bahwa pertimbangan ini hendaknya
membuat kita berhati-hati untuk tidak mempersamakan "model"
Goffman itu (yang, perlu kita tambahkan, sangat berguna untuk menganalisa
ciri-ciri penting masyarakat industrial modern) dengan suatu "model
dramatik" secara begitu saja. Akhirnya pernah ada drama-drama lain
yang berbeda dengan drama manusia organisasi masa kini yang memusatkan
jerih payahnya pada "pengelolaan kesan-kesan" (impression
management).
16.Berbagai telaah dalam
sosiologi pekerjaan, seperti yang telah dikembangkan terutama oleh Everett
Hughes, memberikan bahan-bahan yang menarik mengenai soal ini.
17.Cf. Talcott Parsons,
Essays in Sociological Theory, Pure and Applied (Chicago: Free
Press, 1949), hal. 233 ff.
18.Hans H. Gerth dan C.
Wright Mills, dalam Character and Social Structure (New York: Harcourt,
Brace, 1953; London: Routledge & Kegan Paul), menyarankan istilah
intimate others bagi pengasuh-pengasuh (significant others)
yang terlibat dalam pemeliharaan kenyataan bagi tingkat usia yang belakangan.
Kami memilih tidak menggunakan istilah ini karena istilah ini mirip dengan
Intimsphäre, yang telah banyak dipakai dalam sosiologi berbahasa
Jerman belakangan ini, yang konotasinya sangat berbeda.
19.Bandingkan lagi Goffman
mengenai soal ini, serta David Riesman.
20.Konsep-konsep primary
group (kelompok primer) dan secondary group (kelompok sekunder)
berasal dari Cooley. Kami di sini mengikuti kelaziman yang berlaku sekarang
dalam sosiaogi Amerika.
21.Mengenai konsep conversational
apparatus, cf. Peter L. Berger dan Hansfried Kellner, "Marriage
and the Construction of Reality", Dioenes 46 (1964), hal.
1 ff. Friedrich Tenbruck (op.cit.) dengan agak rinci membahas fungsi
jaringan-jaringan komunikasi untuk mempertahankan kenyataan bersama.
22.Mengenai korespondensi,
cf. Georg Simmel, Soziologie, hal. 287.
23.Dalam hubungan ini konsep
tentang reference group (kelompok acuan) relevan. Bandingkan dengan
analisa Merton tentang ini, di dalam bukunya, Social Theory and Social
structure.
24.Cf. Peter L. Berger,
Invitation to Sociology (Garden City, N.Y.: Doubleday-Anchor, 1963),
hal. 54 ff.
25.Konsep psikoanalitis
tentang "pemindahan" (transference) justru mengacu pada
fenomena ini. Apa yang tidak dimengerti oleh para psikoanalis yang menggunakannya,
sudah tentu, adalah bahwa fenomena itu bisa ditemukan dalam setiap proses
sosialisasi kembali dengan hasilnya berupa identifikasi dengan pengasuh-pengasuh
yang ditugasi sosialisasi itu, sehingga darinya tidak dapat ditarik kesimpulan
mengenai kesahihan kognitif dari "pemahaman" (insights)
yang terjadi dalam situasi psikoanalitik.
26.Inilah yang diacu oleh
Durkheim dalam analisasnya mengenai sifat sosial agama yang tak terelakkan.
Tetapi, kami tidak akan menggunakan istilahnya, "gereja", untuk
mengacu pada "komunitas moral" agama, karena istilah itu hanya
cocok bagi suatu kasus historis yang spesifik dalam pelembagaan agama.
27.Telaah-telaah mengenai
teknik-teknik "cuci-otak" (brain washing) yang dipakai
oleh kaum komunis Cina menyingkapkan banyak hal tentang pola-pola dasar
penyelingan. Cf., umpamanya, Edward Hunter, Brainwashing in
Red China, (New York: Vanguard Press, 1951). Goffman, di dalam karyanya,
Asylums, sudah mendekati prosedur yang paralel dengan psikoterapi
kelompok di Amerika.
28.Kembali, bandingkan dengan
Festinger mengenai penghindaran definisi-definisi yang saling bertentangan
tentang kenyataan.
29.Cf. Thomas Luckmann
dan Peter L. Berger, "Social Mobility and Personal Identity",
European Journal of Sociology V, hal. 331 ff. (1964).
30.Dalam hal ini konsep
Riesman tentang "arah yang lain" (other direction) dan
konsep Merton tentang "Sosialisasi yang lebih dahulu" (anticipatory
socialization) relevan.
31.Cf. esei-esei
mengenai sosiologi kedokteran oleh Eliot Freidson, Theodor J. Litman dan
Julius A. Roth dalam Arnold Rosè (ed.) Human Behaviour and Social
Processes.
32.Argumen kami mengimplikasikan
perlunya suatu latar belakang makro sosiologis bagi analisa-analisa mengenai
internalisasi; artinya, perlunya suatu pemahaman tentang struktur sosial
yang didalamnya berlangsung internalisasi. Psikologi sosial Amerika sekarang
ini sangat dilemahkan oleh fakta bahwa latar belakang seperti itu tidak
terdapat di kalangan luas.
33.Cf. Gerth dan
Mills, op.cit. Juga Tenbruck, op.cit. yang menempatkan landasan-landasan
struktural kepribadian (personality) pada posisi yang penting dalam
tipologinya mengenai masyarakat-masyarakat primitif, tradisional dan modern.
34.Implikasinya yang penting
adalah bahwa kebanyakan model psikologis, termasuk psikologi ilmiah masa
kini, hanya mempunyai terapan sosio-historis yang terbatas saja. Implikasi
lainnya, psikologi sosiologis pada waktu yang bersamaan haruslah merupakan
psikologi historis.
35.Cf. Erving Goffman, Stigma
(Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1963). Juga, cf. A. Kardiner
dan L. Ovesey, The Mark of Oppresion (New York: Norton, 1951).
36.Cf. Donald W.
Cory, The Homosexual in America(New York: Greenbert, 1951).
37.Di sini kami ingin menandaskan
sekali lagi kondisi-kondisi sosial-struktural untuk memungkinkan diterapkannya
analisa "model Goffman".
38.Helmut Schelsky menciptakan
istilah yang sugestif permanent reflectiveness (Dauerreflektion)
sebagai padanan psikologis dari istilah kontemporer "pasar dunia"
(market of worlds) ("Its die Dauerreflektion instituionalisierbar?",
Zeit fue evangelische Ethik, 1957). Latar belakang teoritis dari
argumen Schelsky adalah teori umum Gehlen tentang subjektivisasi (subjectivization)
dalam masyarakat moderen. Teori ini dikembangkan lebih lanjut dari segi
sosiologi agama kontemporer oleh Luckmann, op.cit.
39.Cf. Luckmann dan
Berger, loc.cit.
40.Sebaliknya kita jangan
berbicara tentang "identitas kolektif" karena adanya bahaya
hipostatisasi palsu (dan mereifikasikan). Exemplum horribile dari
hipostatisasi seperti itu adalah sosiologi "Hegelian" Jerman
dari 1920an dan 1930an (seperti karya Othmar Spann). Bahaya itu sedikit-banyaknya
terdapat dalam berbagai karya mazhab Durkheim dan mazhab "budaya
dan kepribadian" dalam antropologi budaya Amerika.
41.Implikasinya di sini,
tentunya, adalah suatu kritik sosiologis terhadap "prinsip kenyataan"
menurut ajaran Freud.
42.Cf. Peter L. Berger,
"Towards a Sociological Understanding of Psychoanalysis", Social
Research, Spring 1965, hal. 26 ff.
43.Cf. ibid.
44.Dengan cara apa pun dialektika
antara alam dan masyarakat yang dibahas di sini hendaknya jangan dipersamakan
dengan "dialektika alam" (dialectic of nature) seperti
yang dikembangkan oleh Engels dan kemudian oleh Marxisme. Dialektika yang
disebut duluan menggarisbawahi bahwa hubungan manusia dengan badannya
sendiri (seperti dengan alam pada umumnya) sudah merupakan suatu hubungan
yang spesifik manusiawi. Sebaliknya, dialektika yang disebut belakangan
memproyeksikan fenomena-fenomena yang spesifik manusiawi ke dalam alam
non-manusiawi, kemudian secara teoritis mendehumanisasikan manusia dengan
jalan memandangnya hanya sebagai objek kekuatan-kekuatan alami atau hukum-hukum
alam.
45.Mengenai kemungkinan
bagi suatu disiplin sosiosomatik ini, cf. Georg Simmel, op.cit.
hal. 483 ff. (esei tentang sociology of the senses): Marcell Mause,
Sociologie et anthropologie (Paris: Presses Universitaires de France,
1950), hal. 365 ff. (esei tentang "techniques of the body");
Edward T. Hall, The Silent Language (Garden City, N.Y., Doubleday,
1959). Analisa sosiologis tentang seksualitas mungkin akan menghasilkan
bahan empiris yang paling kaya bagi disiplin semacam itu.
46.Hal ini dipahami benar
dalam konsepsi Freud tentang sosialisasi. Ia sangat diremehkan dalam adaptasi-adaptasi
kaum fungsionalis atas ajaran Freud, dari Malinowski dan seterusnya.
47.Bandingkan dengan Henri
Bergson (terutama teorinya tentang durée), Maurice Merleau-Ponty,
Alfred Schutz dan Jean Piaget.
48.Bandingkan dengan Durkheim
maupun Plessner, serta Freud.