Organisme manusia tidak memiliki sarana biologis yang diperlukan
untuk memberikan stabilitas bagi perilaku manusiawi. Eksistensi manusia, jika
ia dikembalikan pada sumber-sumber daya organismisnya sendiri, akan merupakan
eksistensi dalam semacam khaos. Tetapi khaos seperti itu secara empiris tidak
bisa dijumpai, walaupun secara teoritis kita dapat membayangkannya. Secara empiris,
eksistensi manusia belangsung dalam suatu konteks ketertiban, keterarahan dan
kestabilan. Maka timbul pertanyaan: Darimana asalnya kestabilan tatanan manusia-
Sudah tentu tindakan-tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan
itu, tetap mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu, meskipun makna-makna
yang terlibat di dalamnya sudah tertanam sebagai hal-hal yang rutin dalam persediaan
pengetahuannya yang umum, yang olehnya diterima begitu saja dan yang tersedia
bagi proyek-proyek ke masa depan.[17] Pembiasaan membawa keuntungan psikologis yang
penting bahwa pilihan menjadi dipersempit. Sementara dalam teori mungkin ada
seratus cara untuk membuat sebuah perahu dari batang-batang korek api, pembiasaan
mempersempit pilihan itu menjadi satu saja. Ini membebaskan individu dari beban
“semua keputusan itu”, dan memberikan suatu kelegaan psikologis
yang dasarnya terdapat dalam struktur naluri manusia yang tidak terarah. Pembiasaan
memberikan arah dan spesialisasi kepada kegiatan yang tidak terdapat dalam perlengkapan
biologis manusia, dan dengan demikian membebaskan akumulasi ketegangan-ketegangan
Pada tingkat ini, kita bolehjadi akan bertanya apa yang diperoleh
kedua individu dari perkembangan ini. Yang paling penting adalah bahwa mereka
masing-masing akan dapat meramalkan tindakan pihak lainnya. Bersamaan dengan
itu, interaksi mereka jadi dapat diramalkan. Kalau tadinya dikatakan, “Lihat,
ia mulai lagi”; maka sekarang dikatakan “Ayo, kita mulai
lagi”. Ini akan membebaskan kedua individu dari banyaks ekali ketegangan.
Mereka bisa menghemat waktu dan tenaga, tidak hanya dalam tugas-tugas lahir
apa pun yang mungkin sedang mereka lakukan secara terpisah atau bersama-sama,
tetapi juga dari segi
-82-
penghematan psikologis mereka masing-masing. Kehidupan mereka bersama sekarang
didefinisikan oleh suatu lingkungan yang semakin luas dari kerutinan yang dianggap
sudah sewajarnya. Banyak tindakan sekarang bisa dilakukan dengan tingkat perhatian
yang rendah saja. Tiap tindakan oleh yang satu tidak lagi merupakan sumber keheranan
dan bahaya yang potensial bagi yang lainnya. Sekarang sebagian besar dari apa
yang terjadi, memperoleh sifat biasa-biasa saja dari apa yang bagi mereka berdua
merupakan kehidupan sehari-hari. Ini berarti bahwa kedua individu sedang membangun
suatu latar belakang, dalam arti seperti yang telah dibahas sebelum ini, yang
akan dapat menstabilkan baik tindakan-tindakan mereka yang terpisah maupun interaksi
mereka. Pembangunan latar belakang rutin ini pada gilirannya akan memungkinkan
suatu pembagian kerja diantara mereka, dan dengan demikian membuka jalan bagi
inovasi-inovasi yang menuntut tingkat perhatian yang lebih tinggi. Pembagian
kerja dan inovasi-inovasi itu akan menghasilkan keterbiasaan-keterbiasaan baru,
memperluas lagi latar belakang bersama kedua orang itu. Dengan kata lain, sebuah
dunia sosial akan memasuki proses pembangunan, yang didalamnya terdapat akar-akar
bagi suatu tatanan kelembagaan yang berkembang.
Pada umumnya, semua tindakan yang diulangi satu kali atau lebih cenderung menjadi
terbiasa sampai tingkat tertentu, justru karena semua tindakan yang satu yang
diamati oleh yang lainnya dengan sendirinya akan melibatkan suatu tipifikasi
di pihaknya. Tetapi agar tipifikasi timbal-balik semacam yang baru dilukiskan
itu bisa terjadi harus ada suatu situasi sosial yang berlangsung terus di mana
tindakan-tindakan yang sudah terbiasa dari dua individu atau lebih jalin-menjalin.
Tindakan-tindakan bagaimanakah yang akan ditipifikasi secara timbal-balik dengan
cara itu?
Jawaban umum adalah : tindakan-tindakan yang relevan baik bagi A maupun B di
dalam situasi mereka bersama. Bidang-bidang yang mungkin relevan itu, sudah
tentu, akan berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda. Di antaranya terdapat
bidang-bidang yang dihadapi A dan B berdasarkan biografi mereka sebelumnya,
yang lain-lainnya mungkin merupakan akibat pem
-83-
bentukan alami yang prasosial
dari situasi mereka. Dalam semua kasus itu, yang akan harus dibiasakan adalah
proses komunikasi antara A dan B. kerja, seksualitas dan teritorial merupakan
soal-soal lainnya yang mungkin menjadi pusat-pusat tipifikasi dan pembiasaan.
Dalam berbagai macam bidang itu, situasi A dan B merupakan paradigma bagi pelembagaan
yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat yang lebih besar.
Mari kita dorong paradigma kita itu satu langkah lagi ke depan
dan kita bayangkan bahwa A dan B mempunyai anak. Pada titik ini situasinya berubah
secara kualitatif. Kemunculan pihak ketiga mengubah sifat interaksi sosial yang
sedang berlangsung antara A dan B, dan sifat itu akan berubah lebih lanjut dengan
terus bertambahnya individu-individu.[23]
Dunia kelembagaan, yang terdapat in statu nascendi dalam situasi yang
semula antara A dan B, sekarang diteruskan kepada orang-orang lain. Dalam proses
ini, pelembagaan menyempurnakan sendiri dirinya. Pembiasaan dan tipifikasi yang
dilakukan dalam kehidupan bersama antra A dan B, bentukan-bentukan yang sampai
titik itu masih memiliki sifat konsepsi-konsepsi ad hoc dari dua individu,
sekarang menjadi lembaga-lembaga historis. Dengan adanya historisitas, bentukan-bentukan
itu juga akan memperoleh sifat lain yang sangat penting atau, lebih tepat lagi,
akan menyempurnakan suatu sifat yang terdapat pada tingkat awal ketika A dan
B mulai dengan tipifikasi timbal-balik mengenai perilaku mereka : sifat ini
adalah objektivitas. Ini berarti bahwa lembaga-lembaga yang sudah memperoleh
bentuk yang jelas (umpamanya, lembaga ayah seperti yang dialami oleh anak-anak)
sekarang dialami sebagai berada di atas dan di luar individu-individu yang “secara
kebetulan” merupakan penjelmaan lembaga-lembaga itu pada saat ini. Dengan
kata lain, lembaga-lembaga itu sekarang dialami sebagai mempunyai kenyataan
sendiri, suatu kenyataan yang dihadapi oleh individu sebagai
-84-
satu fakta yang eksternal dan memaksa.
[24]
Selama lembaga-lembaga yang sedang lahir itu dibangun dan dipertahankan hanya
dalam interaksi antara A dan B, objektivitasnya tetap rapuh, mudah diubah, hampir-hampir
dianggap lucu, walaupun sementara itu lembaga-lembaga tersebut memperoleh semacam
objektivitas karena fakta pembentukannya semata-mata. Dengan kata-kata yang
agak berbeda, latar belakang yang sudah dirutinkan dari kegiatan A dan B tetap
terbuka dengan mudah bagi campur tangan yang disengaja dari pihak A dan B. meskipun
kerutinan itu, apabila sudah diterapkan mempunyai kecenderungan untuk bertahan
terus, kemungkinan untuk mengubahnya atau malahan untuk menghapuskannya tetap
ada dalam kesadaran. Hanya A dan B saja yang bertanggung jawab sebagai orang-orang
yang telah membangun dunia itu. A dan B tetap mampu untuk mengubah atau meniadakannya.
Lebih dari itu, oleh karena mereka sendiri yang telah membentuk dunia itu dalam
perjalanan suatu biografi yang dialami bersama dan yang dapat mereka ingat kembali,
maka dunia yang telah mereka bentuk itu tampak transparan sepenuhnya bagi mereka.
Mereka memahami dunia yang telah mereka buat sendiri itu. Itu semua berubah
dalam proses pengalihan kepada generasi-generasi baru. Objektivitas dunia kelembagaan
itu “mengental” dan “mengeras”, tidak hanya bagi anak-anak,
melainkan (melalui efek cermin) juga bagi orang-tua. Kalau tadinya orang berkata
“Ayo kita mulai lagi”, sekarang ia akan berkata, “Beginilah
segala sesuatunya harus dilakukan”. Dunia yang dipandang dengan cara seperti
itu menjadi kukuh dalam kesadaran; ia menjadi nyata dengan cara yang lebih meyakinkan
lagi dan tidak lagi bisa diubah dengan mudah. Bagi anak-anak, terutama dalam
fase aawl sosialisasi mereka ke dalamnya, ia menjadi dunia satu-satunya. Bagi
para orangtua, ia kehilangan sifat main-mainnya dan menjadi “sungguh-sungguh”.
Bagi anak-anak, dunia yang diteruskan kepada mereka oleh orang tua tidak lagi
-85-
sepenuhnya transparan. Oleh karena mereka tidak ikut serta membentuknya, maka
mereka menghadapinya sebagai satu kenyataan yang diberikan yang—seperti
alam—tampak buram, setidak-tidaknya di tempat-tempat tertentu.
Baru pada titik ini kita bisa berbicara tentang sebuah dunia sosial, dalam arti
sebuah kenyataan yang komprehensif dan diberikan, yang dihadapi oleh individu
dengan cara yang analog dengan kenyataan dunia alamiah. Baru dengan cara ini,
sebagai suatu dunia objektif, bentukan-bentukan sosial dapat diteruskan
kepada generasi baru. Dalam fase-fase awal sosialisasi si anak belum mampu untuk
membedakan antara objektivitas fenomen-fenomen alam dan objektivitas bentukan-bentukan
sosial.
[25] Sebagai contoh,
pokok sosialisasi yang paling penting, yakni bahasa, bagi anak tampak sebagai
sudah melekat pada kodrat benda-benda, dan ia tidak dapat menangkap arti yang
diberikan atas dasar konvensi terhadap nama-nama benda itu. Sebuah benda
adalah
nama yang diberikan kepadanya dan tidak bisa diberi nama lain. Semua lembaga
tampil dengan cara yang sama, sebagai yang sudah diberikan, tak bisa diubah
lagi dan sudah jelas dengan sendirinya. Bahkan dalam contoh kita yang dari segi
empiris tak mungkin terjadi, yakni tentang orang tua yang telah membanguns ebuah
dunia kelembagaan paling pertama, objektivitas dunia ini akan bertambah lagi
bagi mereka melalui sosialisasi anak-anak mereka, karena objektivitas yang dialami
oleh anak-anak mereka akan memantul kembali kepada pengalaman mereka tentang
dunia itu. Sudah tentu, dari segi empiris, dunia kelembagaan yang dialihkan
oleh kebanyakan orang tua sudah memiliki sifat nyata yang historis dan objektif.
Proses pengalihan hanya memperkuat kesadaran orang tua mengenai kenyataan, setidak-tidaknya
karena secara kasar, apabila orang berkata, “Beginilah segala sesuatunya
harus dilakukan”, dengan cukup sering maka ia sendiri pada akhirnya menjadi
percaya juga.
[26]
-86-
Maka, sebuah dunia kelembagaan, dialami sebagai suatu kenyataan yang objektif.
Ia mempunyai sejarah yang mendahului kelahiran individu dan tidak bisa dimasuki
oleh ingatan biografisnya. Dunia itu sudah ada sebelum ia lahir, dan akan tetap
ada sesudah ia mati. Sejarah itu sendiri, sebagai tradisi lembaga-lembaga yang
ada, mempunyai sifat objektif. Biografi individu dipahami sebagai suatu episode
yang terletak dalam sejarah masyarakat objektif. Lembaga-lembaga itu, sebagai
faktisitas-faktisitas historis dan objektif, dihadapi oleh individu sebagai
fakta-fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Lembaga-lembaga itu sudah ada
di sana, di luar diri individu, tetap bertahan dalam kenyataan mereka,
tak peduli apakah ia suka atau tidak. Ia tidak bisa berharap agar lembaga-lembaga
itu lenyap. Lembaga-lembaga itu bertahan terhadap upaya-upayanya untuk mengubah
atau menghindari mereka. Mereka mempunyai kekuatan yang memaksa terhadapnya,
baik pada dirinya sendiri, hanya dengan kekuatan faktisitas mereka semata-mata,
maupun melalui mekanisme-mekanisme pengendali yang biasanya dicantelkan kepada
yang paling penting di antara mereka. Kenyataan objektif lembaga-lembaga itu
tidak berkurang apabila individu tidak memahami tujuan mereka atau cara kerja
mereka. Ia mungkin akan merasa banyak bagian dari dunia sosial sebagai tidak
bisa dipahami, barangkali dirasakannya sebagai menekan dalam kekaburannya, namun
demikian tetap nyata. Oleh karena lembaga-lembaga berada sebagai kenyataan eksternal,
maka individu tidak dapat memahami mereka melalui intreospeksi. Ia harus “keluar”
dan harus belajar mengetahui tentang mereka, sama seperti ia harus belajar mengetahui
tentang alam. Hal ini tetap berlaku meskipun dunia sosial, sebagai satu kenyataan
buatan manusia, secara potensial bisa dimengerti dengan cara yang tidak mungkin
terjadi dalam dunia alamiah.
[27]
-87-
penting untuk diingat bahwa bagaimanapun meyakinkan tampaknya bagi individu,
objektivitas dunia kelembagaan adalah objektivitas yang dibuat dan dibangun
oleh manusia. Proses dengan mana produk-produk aktivitas manusia yang dieksternalisasi
itu memperoleh sifat objektif adalah objektivasi.
[28]
Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi dan begitu pula
halnya dengan setiap lembaganya. Dengan kata lain, meskipun dunia sosial dalam
pengalaman manusia ditandai oleh objektivitas, ia dengan itu tidak memperoleh
status ontologis terlepas dari aktivitas manusia yang menghasilkannya. Paradoks
bahwa manusia mampu membuat sebuah dunia yang kemudian dia alami sebagai sesuatu
yang lain dari produk manusia, akan kita bahas nanti. Untuk sementara waktu,
penting untuk ditekankan bahwa hubungan antara manusia, sebagai produsen, dan
dunia sosial sebagai produknya, tetap merupakan hubungan yang dialektis. Artinya,
manusia (tentunya tidak dalam keadaan terisolasi, tetapi dalam kolektivitas-kolektivitasnya)
dan dunia sosialnya, berinteraksi satu sama lain. Produk berbalik mempengaruhi
produsennya. Eksternalisasi dan objektivasi merupakan momen-momen dalam suatu
proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Momen ketiga dalam proses ini,
yakni internalisasi (dengan mana dunia sosial yang sudah diobjektivasi dimasukkan
kembali ke dalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi) akan kita bahas
secara terinci nanti. Namun demikian, sekalipun kita sudah bisa melihat hubungan
yang mendasar antra ketiga momen dialektik ini dalam kenyataan sosial. Masing-masing
dari ketiga momen itu bersesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari
dunia sosial.
Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan
kenyataan objektif. Manusia merupakan produk sosial. Kiranya juga sudah
jelas bahwa suatu analisa mengenai dunia sosial yang mengesampingkan salah satu
dari ketiga momen itu akan menghasilkan suatu
-88-
distorsi.
[29] Mungkin bisa ditambahkan bahwa hanya dengan pengalihan dunia sosial
kepada generasi baru (artinya internaliasi sebagaimana yang dilaksanakan dalam
sosialisasi) maka dialektika sosial yang mendasar itu tampil dalam totalitasnya.
Sekali lagi, hanya dengan munculnya satu generasi baru kita benar-benar bisa
berbicara tentang suatu dunia sosial.
Pada waktu yang bersamaan, dunia kelembagaan itu memerlukan legitimasi: artinya,
cara-cara dengan mana ia dapat “dijelaskan” dan dibenarkan. Ini
bukan karena ia tampak kurang nyata. Seperti telah kita lihat, kenyataan dunia
sosial menjadi semakin meyakinkan selama proses pengalihannya kepada generasi
baru. Tetapi kenyataan ini merupakan kenyataan historis yang sampai kepada generasi
baru sebagai tradisi dan bukan sebagai ingatan biografis. Dalam contoh paradigmatis
kita, A dan B yang mula-mula menciptakan dunia sosial, selalu dapat merekonstruksikan
kondisi-kondisi di mana dunia mereka dan tiap bagian darinya dibangun. Artinya,
mereka dapat menemukan kembali makna suatu lembaga dengan menggunakan daya ingat
mereka. Anak-anak A dan B berada dalam situasi yang lain sama sekali. Pengetahuan
mereka tentang sejarah lembaga-lembaga itu tidak dapat mereka capai melalui
ingatan. Karena itu menjadi perlu untuk menafsirkan makna ini kepada mereka
melalui berbagai rumusan yang memberikan legitimasi. Rumusan-rumusan itu harus
konsisten dan komprehensif dari segi tatanan kelembagaan, agar dapat meyakinkan
generasi baru. Boleh dikatakan kisah yang sama harus diceritakan
-89-
kepada semua anak. Dengan demikian, tatanan sosial yang terus meluas mengembangkan
suatu naungan yang terdiri dari berbagai legitimasi yang sesuai, yang membentangkan
di atas tatanan ini suatu lapisan pelindung berupa penafsiran kognitif dan normatif.
Legitimasi-legitimasi itu dipelajari oleh generasi baru selama berlangsungnya
proses yang sama yang mensosialisasikan mereka ke dalam tatanan kelembagaan.
Soal ini pun akan kita bahas secara lebih terinci nanti.
Perkembangan mekanisme-mekanisme yang spesifik dalam kendali-kendali sosial
juga menjadi perlu bersamaan dengan proses sejarah dan objektivasi lembaga-lembaga.
Penyimpangan dari rangkaian tindakan yang sudah “diprogramkan” secara
kelembagaan menjadi mungkin apabila lembaga-lembaga itu sudah menjadi kenyataan
yang terputus hubungannnya dari relevansi semua dalam proses-proses sosial kongkrit,
dari mana mereka itu timbul. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, orang akan
lebih mudah menyimpang dari program-program yang telah ditetapkan baginya oleh
orang lain daripada dari program-program yang ia sendiri telah ikut membuatnya.
Generasi baru menimbulkan masalah ketaatan, dan sosialisasi mereka ke dalam
tatanan kelembagaan memerlukan sanksi-sanksi. Lembaga-lembaga harus dan memang
menuntut otoritas atas individu, terlepas dari makna-makna subjektif yang mungkin
ia berikan kepada sesuatu situasi tertentu. Prioritas bagi definisi kelembagaan
mengenai berbagai situasi harus dipertahankan secara konsisten terhadap godaan-godaan
yang dialami individu untuk memberikan definisi-definisi baru. Anak-anak harus
“diajar berkelakuan baik” dan sesudah itu harus “tahu disiplin”.
Tentunya, begitu pula halnya dengan orang-orang dewasa. Semakin perilaku itu
dilembagakan, semakin ia dapat diramalkan dan dengan demikian semakin bisa dikendalikan.
jIka sosialisasi ke dalam lembaga-lembaga berlangsung dengan efektif, tindakan-tindakan
pemaksaan yang langsung bisa diambil secara ekonomis dan selektif. Dalam banyak
hal, perilaku itu akan berlangsung “secara spontan” melalui saluran-saluran
yang sudah ditentukan secara kelembagaan. Semakin, pada tingkat makna, perilaku
itu dianggap sudah sewajarnya, semakin besar kemungkin-
-90-
annya bahwa alternatif-alternatif yang mungkin ada bagi “program-program”
kelembagaan akan tersingkir, dan perilaku itu semakin dapat diramalkan dan dikendalikan.
Pada prinsipnya, kelembagaan biasa berlangsung dalam tiap bidang perilaku yang
secara kolektif relevan. Dalam kenyataan sesungguhnya, perangkat-perangkat proses
pelembagaan berlangsung secara bersamaan. Tidak ada alasan a priori
untuk mengandaikan bahwa proses-proses itu pasti akan “bergabung”
secara fungsional, apalagi sebagai sebuah sistem yang secara sosiologis konsisten.
Dengan kembali sekali lagi kepada contoh paradigmatis kita, dengan sedikit mengubah
situasi khayalan itu, mari kita andaikan kali ini, bukan sebuah keluarga yang
sedang berkembang biak, yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, melainkan
satu hubungan segitiga yang menarik, antara seorang laki-laki A, seorang wanita
biseksual B, dan seorang lesbian C. kita tidak perlu membicarakan panjang lebar
bahwa relevansi seksual dari ketiga individu itu tidak akan bertepatan satu
sama lain. Apa yang relevan antara A-B, tidak relevan bagi C. kebiasaan-kebiasaan
yang timbul sebagai hasil relevansi A-B tidak perlu berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang timbul sebagai hasil relevansi B-C dan C-A. bagaimanapun tidak ada alasan
mengapa dua proses pembiasaan erotis, yang satu heteroseksual dan yang lain
lesbian, tidak dapat berlangsung berdambingan tanpa secara fungsional berintegrasi
satu sama lain, atau dengan pembiasaan yang ketiga yang didasarkan atas suatu
minat bersama, katakanlah, dalam soal menanam bunga (atau kegiatan yang bagaimana
saja yang mungkin sama-sama relevan bagi seorang laki-laki heteroseksual yang
aktif dan seorang lebian yang aktif). Dengan kata lain, tiga proses pembiasaan
atau pelembagaan pada tingkat awal bisa berlangsung tanpa terintegrasi secara
fungsional atau logis sebagai fenomen-fenomen sosial. Penalaran yang sama juga
berlaku apabila A, B dan C diandaikan masing-masing sebagai kolektivitas dan
bukan individu, tanpa memandang isi relevansi mereka. Begitu pula, integrasi
fungsional atau logis tidak bisa diandaikana priori apabila proses-proses
pembiasaan atau pelembagaan terbatas pada individu-individu atau kolektivitas
yang sama, dan tidak kepada individu-individu atau
-91-
kolektivitas yang berbeda seperti yang diandaikan dalam contoh kita.
Meskipun demikian, fakta empirisnya adalah bahwa lembaga-lembagai memang cenderung
untuk “bersatu”. Agar supaya menomen ini tidak diterima begitu saja,
ia harus dijelaskan. Bagaimana caranya? Pertama, kita bisa mengemukakan argumen
bahwa beberapa relevansi akan sama bagi semua anggota suatu kolektivitas.
Di pihak lain, banyak bidang perilaku hanya akan relevan bagi tipe-tipe tertentu
saja. Yang disebut belakangan itu melibatkan suatu diferensiasi pada tingkat
awal, setidak-tidaknya dengan cara di mana tipe-tipe itu diberi suatu makna
yang relatif stabil. Pemberian makna itu mungkin didasarkan atas perbedaan-perbedaan
pra-sosial, seperti jenis kelamin; atau perbedaan-perbedaan yang timbul selama
berlangsungnya interaksi sosial, seperti yang terjadi karena pembagian kerja.
Sebagai contoh, hanya kaum wanita saja yang boleh berurusan dengan ilmu gaib
tentang kesuburan dan hanya para pemburu saja boleh membuat lukisan-lukisan
dalam gua. Atau, hanya orang lelaki yang sudah tua boleh melakukan upacara minta
hujan dan hanya para pembuat senjata boleh tidur bersama dengan saudara sepupu
mereka dari pihak ibu. Dari segi fungsionalitas sosial eksternal mereka, berbagai
bidang prilaku itu tidak perlu diintegrasikan ke dalam satu sistem
yang kohesif. Bidang-bidang perilaku itu bisa terus berlangsung secara berdampingan
atas dasar penyelenggaraan yang terpisah satu sama lain. Akan tetapi, sementara
penyelenggaraannya dapat terpisah satu sama lain, namun makna-maknanya cenderung
ke arah sekurang-kurangnya suatu konsistensi yang minimal. Sementara individu
merenungkan momen-momen yang berurutan dalam pengalaman, ia berusaha memasukkan
makna-maknanya ke dalam suatu kerangka biografis yang konsisten. Kecenderungan
ini bertambah kuat apabila ada kesamaan antara individu dan orang lain dalam
hal makna dan pengintegrasian biografisnya. Mungkin kecenderungan untuk mengintegrasikan
makna ini berdasarkan pada suatu kebutuhan psikologis, yang pada gilirannya
mungkin saja mempunyai dasar fisiologis (artinya, mungkin ada suatu “kebutuhan”
yang memang mendasar akan suatu kohesi
-92-
dalam konstitusi psiko-fisiologis manusia). Akan tetapi argumen kami tidak didasarkan
atas asumsi-asumsi antropologis seperti itu, melainkan atas analisa proses timbal-balik
yang bermakna dalam proses-proses pelembagaan.
Karena itu diperlukan sikap yang sangat hati-hati dalam membuat setiap pernyataan
mengenai “logika” tentang lembaga. Logikanya tidak terletak dalam
lembaga-lembaga dan fungsi-fungsi itu diperlakukan dalam renungan kita tentang
hal itu. Dengan kata lain, kesadaran reflektif menambahkan kualitas logika kepada
tatanan kelembagaan.
[30]
Bahasa merupakan contoh di mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia
sosial yang diobjektivasi. Bangunan legitmasi disusun di atas bahasa dan menggunakan
bahasa sebagai instrumen utamanya. “Logika” yang dengan cara itu
diberikan kepada tatanan kelembagaan, merupakan bagian dari cadangan pengetahuan
dalam masyarakat dan diterima sebagai sudah sewajarnya. Oleh karena individu
yang sudah tersosialisasi dengan baik “tahu” bahwa dunia sosialnya
merupakan satu keseluruhan yang konsisten, ia akan terpaksa menjelaskan kebaikan-kebaikan
dan keburukan-keburukan dalam cara bergungsinya berdasarkan “pengetahuannya”
itu. Akibatnya, mudah sekali bagi pengamat suatu masyarakat untuk mengandaikan
bahwa lembaga-lembaganya benar-benar berfungsi dan terintegrasi seperti yang
memang “diharapkan” darinya.
[31]
Maka,
de facto, lembaga-lembaga itu
memang terintegrasi. Tetapi
integrasi mereka itu bukanlah suatu keharusan fungsional bagi proses-proses
sosial yang menghasilkan mereka, melainkan dihasilkan melalui contoh-contoh.
Individu melakukan tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan secara terpisah
satu
-93-
sama lain di dalam konteks biografi mereka. Biografi ini merupakan suatu keseluruhan
yang sudah direnungkan dimana tindakan-tindakan yang terpisah-opisah itu dipikirkan,
tidak sebagai peristiwa-peristiwa yang terisolasi, melainkan sebagai bagian-bagian
yang saling berkaitan di dalam suatu universum yang punya makna subjektif dan
yang makna-maknanya tidak secara khas terbatas pada individu itu saja melainkan
diartikulasikan dan dianut secara sosial. Hanya dengan menempuh jalan meliuk
dalam universum makna-makna yang diterima secara sosial ini, kita bisa sampai
kepada kebutuhan akan integrasi kelembagaan.
Ini mengandung implikasi yang berjangkauan jauh bagi setiap analisa mengenai
fenomen-fenomen sosial. Jika integrasi suatu tatanan kelembagaan hanya dapat
dipahami dari segi “pengetahuan” yang dimiliki oleh anggota-anggotanya
mengenai tatanan itu, maka itu berarti bahwa analisa mengenai “pengetahuan”
seperti itu akan mempunyai arti yang esensial bagi analisa mengenai tatanan
kelembagaan yang bersangkutan. Penting untuk ditekankan, bahwa ini tidaklah
semata-mata—atau malahan tidak terutama—menyangkut suatu kegiatan
berpikir yang hanya dipusatkan kepada sistem-sistem teori yang kompleks dan
yang merupakan legitimasi bagi tatanan kelembagaan. Sudah tentu teori-teori
pun harus diperhitungkan. Tetapi pengetahuan teoritis hanya merupakan bagian
yang kecil saja, dan itu pun sama sekali bukan yang paling penting, dari apa
yang berlaku sebagai pengetahuan dalam masyarakat. Legitimasi yang canggih dari
segi teori muncul pada saat-saat tertentu dalam sejarah kelembagaan. Pengetahuan
primer mengenai tatanan kelembagaan adalah pengetahuan pada tingkat pra-teori.
Ia merupakan jumlah keseluruhan dari “apa yang diketahui setiap orang”
mengenai suatu dunia sosial—suatu kumpulan kaidah-kaidah, moral, kata-kata
mutiara kebijaksanaan, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos,
dan sebagainya—yang untuk mengintegrasikannya secara teoritis diperlukan
suatu keuletan intelektual tersendiri yang sangat besar,sebagaimana telah dibuktikan
oleh deretan amat panang dari para integrator yang heroik, mulai dari Homerus
sampai ke pembangun-pembangun sistem sosiologi paling mutakhir. Tetapi pada
tingkat pra-teori, tiap
-94-
lembaga mempunyai suatu perangkat pengetahuan resep yang diwarisinya, artinya,
pengetahuan yang memberikan aturan-aturan perilaku yang sesuai menurut lembaga
itu.
[32]
Pengetahuan seperti itu merupakan dinamika yang menggerakkan perilaku yang sudah
dilembagakan. Ia mendefinisikan bidang-bidang perilaku yang sudah dilembagakan
dan menandai semua situasi yang termasuk di dalamnya. Ia mendefinisikan dan
menyusun peranan-peranan yang harus dimainkan dalam konteks lembaga-lembaga
yang bersangkutan.
Ipso facto, ia mengendalikan dan meramalkan semua
perilaku itu. Oleh karena pengetahuan ini secara sosial diobjektivasi
sebagai
pengetahuan, artinya, sebagai satu perangkat kebenaran-kebenaran yang berlaku
umum mengenai kenyataan, maka setiap penyimpangan yang radikal dari tatanan
kelembagaan tampak sebagai suatu penyimpangan dari kenyataan. Penyimpangan seperti
itu bisa dianggap sebagai kebejadan moral, penyakit jiwa, atau sekadar ketidaktahuan.
Sementara pembedaan-pembedaan yang halus itu akan mempunyai konsekuensi yang
jelas bagi perlakuan terhadap orang yang menyimpang itu, pembedaan itu semuanya
mempunyai status kognitif yang rendah dalam dunia sosial yang bersangkutan.
Dengan cara ini, dunia sosial yang khusus itu lalu menjadi dunia begitu saja.
Apa yang diterima begitu saja sebagai pengetahuan dalam masyarakat, menjadi
sama dan serupa dengan apa yang bisa diketahui, atau setidak-tidaknya memberikan
kerangka yang di dalamnya setiap hal yang belum diketahui akan diketahui di
masa mendatang. Inilah pengetahuan yang diperoleh selama berlangsungnya sosialisasi
dan yang menjadi perantara internalisasi ke dalam kesadaran individu atas struktur-struktur
dunia sosial yang diobjektivasi. Pengetahuan dalam arti ini, merupakan inti
dialektika yang mendasar dari masyarakat. Ia “mempogram” saluran-saluran
di mana eksternalisasi menghasilkan suatu dunia yang objektif. Ia mengobjektifikasi
dunia ini melalui bahasa dan aparat kognitif yang didasarkan atas bahasa; artinya,
menatanya menjadi objek-objek
-95-
untuk dipahami sebagai kenyataan.
[33]
Ia diinternalisasi kembali
sebagai kebenaran yang berlaku objektif
selama berlangsungnya sosialisasi. Pengetahuan mengenai masyarakat, dengan demikian,
merupakan suatu
perwujudan nyata (
realization) dalam arti
ganda kata itu, yakni dalam arti memahami kenyataan sosial yang diobjektivasi,
dan dalam arti terus-menerus memproduksi kenyataan.
Sebagai contoh, selama berlangsungnya pembagian kerja dikembangkanlah suatu
perangkat pengetahuan yang mengacu pada kegiatan-kegiatan khusus yang terlibat
di dalamnya. Pada dasar linguistiknya, pengetahuan ini sudah mutlak diperlukan
bagi “pemograman” kelembagaan dari kegiatan-kegiatan ekonomi ini.
Akan timbul, katakanlah, suatu kosakata yang menunjuk pada berbagai cara berburu,
senjata-senjata yang digunakan, binatang-binatang yang akan dijadikan mangsa,
dan sebagainya. Selanjutnya akan ada satu kumpulan resep yang harus dipelajari
jika orang ingin berburu dengan cara yang tepat. Pengetahuan ini pada dirinya
sendiri berfungsi sebagai kekuatan penyalur pengendali; suatu ramuan yang sangat
diperlukan bagi pelembagaan bidang perilaku ini. Sementara lembaga berburu memperoleh
wujudnya dan dapat bertahan dalam perjalanan waktu, maka perangkat pengetahuan
yang sama berfungsi untuk memberikan deskripsi yang objektif (dan, sambil lalu,
dapat diverifikasi secara empiris) bagi lembaga itu. Satu keseluruhan segmen
dunia sosial diobjektifikasi oleh pengetahuan ini. Maka akan ada suatu “ilmu”
berburu yang objektif, yang merupakan padanan dari kenyataan objektif ekonomi
berburu. Di sini kiranya tidak perlu dijelaskan lagi bahwa “verifikasi
empiris” dan “ilmu” tidak dimengerti dalam arti kaidah-kaidah
ilmiah modern, melainkan dalam arti pengetahuan yang bisa dibuktikan kebenarannya
dalam pengalaman dan yang dengan demikian bisa diorganisasi secara sistematis
sebagai suatu perangkat pengetahuan.
Begitu pula, perangkat pengetahuan itu diteruskan kepada
-96-
generasi berikutnya. Ia dipelajari sebagai kebenaran objektif selama berlangsungnya
sosialisasi dan dengan demikian diinternalisasi sebagai kenyataan subjektif.
Kenyataan ini, pada gilirannya, mempunyai kekuatan untuk membentuk individu.
Ia akan memproduksi suatu tipe manusia spesifik, yakni pemburu, yang identitas
dan biografinya sebagai pemburu hanya mempunyai makna dalam suatu universum
yang dikonstitusikan oleh perangkat pengetahuan tersebut secara keseluruhan
(katakanlah, dalam sebuah masyarakat pemburu) atau untuk sebagian (katakanlah,
dalam masyarakat kita sendiri, di mana para pemburu berkumpul di dalam suatu
sub-universum mereka sendiri). Dengan kata lain, tidak ada satu pun bagian dari
pelembagaan berburu dapat muncul tanpa pengetahuan khusus yang telah diproduksi
dan diobjektivasi secara sosial, dalam kaitannya dengan kegiatan ini. Berburu
dan menjadi pemburu mengimplikasikan keberadaan dalam suatu dunia sosial yang
didefinisikan dan dikendalikan oleh perangkat pengetahuan ini. Mutatis mutandis,
hal itu juga berlaku bagi setiap bidang perilaku yang dilembagakan.
Pengendapan dan Tradisi
Hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan pengalaman manusia tersimpan terus
dalam kesadaran. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan terus itu lalu mengendap;
artinya, menggumpal dalam ingatan sebagai entitas yang bisa dikenal dan diingat
kembali.[34] Tanpa terjadinya pengendapan itu, individu tidak dapat memahami biografinya.
Pengendapan intersubjektif juga terjadi apabila beberapa individu mengalami
suatu biografi bersama, di mana pengalaman-pengalamannya lalu menjadi bagian
dari suatu cadangan pengetahuan bersama. pEngendapan intersubjektif itu hanya
benar-benar dinamakan sosial apabila sudah diobjektivasi dalam suatu sistem
tanda; artinya, apabila ada kemungkinan bagi berulangnya objektifikasi pengalaman-pengalaman
bersama itu. Baru sesudah itu ada kemungkinan
-97-
bagi pengalaman-pengalaman itu untuk dialihkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, dan dari satu kolektivitas ke kolektivitas yang lain. Secara teoritis,
kegiatan bersama, tanpa suatu sistem tanda, dapat merupakan dasar bagi pengalihan
itu. Akan tetapi secara empiris hal itu tidak mungkin terjadi. Suatu sistem
tanda yang tersedia secara objektif memberikan status anonim pada tingkat permulaan
kepada pengalaman-pengalaman yang sudah diendapkan dengan jalan melepaskannya
dari konteks biografi individual kongkritnya yang semula, dan menjadikannya
tersedia secara umum bagi semua orang yang sama-sama menganut, atau mungkin
akan menganut sistem tanda yang bersangkutan. Dengan demikian maka pengalaman-pengalaman
menjadi mudah dialihkan.
Pada prinsipnya, sistem tanda yang bagaimanapun sudah cukup untuk tujuan itu.
Namun biasanya, dengan sendirinya, sistem tanda yang menentukan adalah yang
bersifat linguistik. Bahasa mengobjektivasi pengalaman-pengalaman bersama dan
menjadikannya tersedia bagi semua orang di dalam komunitas bahasa itu, dan dengan
demikian menjadi dasar dan alat bagi cadangan pengetahuan kolektif. Selanjutnya,
bahasa memberikan cara-cara utuk mengobjektifikasi pengalaman-pengalaman baru,
memungkinkan pemasukannya ke dalam cadangan pengetahuan yang sudah ada, dan
ia menjadi alat yang paling penting untuk meneruskan endapan-endapan yang sudah
diobjektivasi dan diobjektivikasi dalam tradisi kolektivitas bersangkutan.
Sebagai contoh, hanya beberapa anggota saja dari suatu masyarakat pemburu telah
mengalami kehilangan senjata mereka dan terpaksa menggunakan tangan kosong.
Pengalaman yang mengerikan ini, dengan segala pelajaran yang dapat diperoleh
darinya dalam hal keberanian, kecerdikan dan keterampilan, mengendap dengan
kukuhnya dalam kesadaran individu yang telah melalui pengalaman itu dengan selamat.
Jika peristiwa itu dialami oleh beberapa individu, ia akan mengendap secara
intersubjektif, malahan mungkin akan membentuk suatu ikatan batin yang sangat
mendalam di antara orang-orang itu. Tetapi sementara pengalaman itu ditunjukkan
dengan tanda dan dialihkan melalui bahasa, ia menjadi
-98-
tersedia dan, barangkali, sangat relevan bagi orang-orang yang tidak pernah
mengalaminya. Penunjukan dengan bahasa (yang dalam suatu masyarakat pemburu,
dapat kita bayangkan dilakukan dengan cara yang benar-benar sangat terinci dan
cermat—umpamanya, “badak jantan, dibunuh seorang diri, dengan dua
tangan”, dan sebagainya) mengabstraksikan pengalaman dari kejadian-kejadian
biografisnya yang individual. Ia menjadi suatu kemungkinan objektif bagi setiap
orang, atau setidak-tidaknya bagi setiap orang dari tipe tertentu (umpamanya,
pemburu-pemburu yang sudah diinisiasi sepenuhnya); artinya, ia pada prinsipnya
menjadi anonim, juga apabila ia masih diasosiasikan dengan prestasi individu-individu
tertentu. Bahkan bagi mereka yang tidak mengantisipasi pengalaman itu dalam
biografi mereka di masa mendatang (umpamanya, kaum wanita yang dilarang berburu),
hal itu secara tidak langsung bisa menjadi relevan (katakanllah, dalam kaitan
dengan suami yang diidam-idamkan); pokoknya ia merupakan bagian dari cadangan
pengetahuan bersama. Maka, objektifikasi pengalaman dalam bahasa (artinya, transformasinya
ke dalam objek pengatahuan yang tersedia secara umum), memungkinkannya untuk
dimasukkan ke dalam suatu himpunan tradisi yang lebih luas melalui pelajaran
moral, puisi yang menimbulkan inspirasi, kiasan-kiasan keagamaan dan sebagainya.
Baik pengalaman dalam arti yang lebih sempit maupun embel-embelnya berupa pengertian-pengertian
yang lebih luas, lalu bisa diajarkan kepada setiap generasi baru, atau malahan
disebarkan kepada suatu kolektivitas yang berbeda sama sekali (umpamanya, sebuah
masyarakat petani yang mungkin akan memberikan makna-makna yang berlainan sekali
kepada seluruh persoalannya).
Bahasa lalu menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif,
yang bisa diperoleh secara monotetik; artinya, sebagai keseluruhan yang kohesif
dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula.
[35] Oleh
-99-
karena asal mula yang sesungguhnya dari endapan-endapan itu telah menjadi tidak
penting lagi, maka tradisi bisa saja menciptakan suatu asalmula yang berbeda
sekali tanpa kemudian menimbulkan ancaman bagi apa yang telah diobjektivasi
itu. Dengan kata lain, berbagai legitimasi bisa silih berganti, dan dari waktu
ke waktu memberikan makna-makna baru kepada pengalaman-pengalaman yang sudah
diendapkan dalam kolektivitas yang bersangkutan. Sejarah masyarakat itu dapat
ditafsirkan kembali tanpa harus mengakibatkan kacaunya tatanan kelembagaan.
Umpamanya, dalam contoh di atas, membunuh badak dengan tangan kosong itu pada
akhirnya mungkin akan dilegitimasi sebagai perbuatan dewa-dewa dan setiap pengulangannya
oleh manusia hanya merupakan peniruan prototip mitologisnya saja.
Proses ini menggarisbawahi semua endapan yang sudah diobjektivasi bukan hanya
tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan. Ia, umpamanya, dapat mengacu kepada
pengalihan tipifikasi orang-orang lain yang tidak relevan secara langsung bagi
lembaga-lembaga tertentu. Umpamanya, orang-orang lain ditipifikasi sebagai “jangkung”
atau “pendek”, “gemuk” atau “kurus”, “pintar”
atau “bodoh”, tanpa adanya suatu implikasi kelembagaan khusus yang
dilekatkan kepada tipifikasi-tipifikasi itu. Proses itu tentunya, juga berlaku
bagi pengalihan makna-makna yang sudah mengendap dan memenuhi spesifikasi lembaga-lembaga
yang sudah ada. Pengalihan makna suatu lembaga didasarkan atas pengakuan sosial
atas lembaga itu sebagai suatu pemecahan yang “permanen” bagi suatu
masalah “permanen” dari kolektivitas yang bersangkutan. Karena itu,
para pelaku potensial dari tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan harus mengenal
secara sistematis makna-makna itu. Ini memerlukan suatu proses “pendidikan”
tertentu. Makna-makna kelembagaan itu harus ditanamkan kuat-kuat sehingga tak
akan terlupakan lagi dalam kesadaran individu. Oleh karena manusia seringkali
lembam dan pelupa, maka harus pula ada prosedur-prosedur dengan mana makna-makna
itu dapat ditanamkan dan dihafal kembali, jika perlu dengan paksaan dan cara-cara
yang umumnya tidak menyenangkan. Selain itu, karena manusia
-100-
itu seringkali bodoh, maka makna-makna kelembagaan cenderung untuk disederhanakan
dalam proses pengalihan, sehingga kumpulan “rumus-rumus” kelembagaan
yang diberikan itu dengan mudah bisa dipelajari dan dihafakan oleh generasi-generasi
berikutnya. Sifat “rumus” dari makna-makna kelembagaan itu menjamin
bahwa orang dapat menghafalnya. Di sini, pada tingkat makna-makna yang sudah
diendapkan itu, kita menjumpai proses-proses rutinisasi dan peremehan (trivialisasi)
yang sama yang telah kita lihat dalam pembahasan tentang pelembagaan. Juga di
sini, bentuk yang dikonvensionalkan, dengan mana perbuatan-perbuatan yang heroik
dimasukkan dalam tradisi, merupakan satu ilustrasi yang baik.
Makna-makna yang diobjektivasi dari kegiatan kelembagaan dipahami
sebagai “pengetahuan” dan dialihkan dalam statusnya seperti itu.
Sebagian dari “pengetahuan” ini dianggap relevan bagi semua orang,
sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja. Semua pengalihan
itu memerlukan semacam aparat sosial. Artinya, beberapa tipe dinamakan pengalih,
tipe-tipe lainnya penerima “pengetahuan” tradisional. Sifat spesifik
dari aparat ini, tentunya, akan berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat
yang lainnya. Juga akan ada prosedur-prosedur yang ditipifikasi bagi pengalihan
tradisi dari mereka yang mengetahui kepada mereka yang belum mengetahui. Umpamanya,
adat dan pengetahuan tentang berburu dari segi teknik magi dan moralnya, bisa
dialihkan oleh paman dari pihak ibu kepada kemenakan yang sudah mencapai usia
tertentu, melalui prosedur-prosedur inisiasi yang sudah ditentukan. Tipologi
orang-orang yang sudah tahu dan mereka yang belum tahu, seperti halnya dengan
“pengetahuan” yang hendak dialihkan di antara mereka, didefinisikan
secara sosial; baik “mengetahui” dan “belum mengetahui”
mengacu kepada apa yang secara sosial didefinisikan sebagai kenyataan, dan tidak
kepada kriteria ekstra-sosial tentang keabsahan kognitif. Secara kasarnya, paman-paman
dari pihak ibu mengalihkan cadangan pengetahuan yang khusus ini bukan karena
mereka mengetahuinya melainkan mereka mengetahui (artinya, mereka didefinisikan
-101-
sebagai orang-orang yang mengetahui) karena mereka adalah paman dari
pihak ibu. Jika seseorang yang secara kelembagaan dinyatakan sebagai paman dari
pihak ibu, dan karena alasan-alasan tertentu ternyata tidak mampu mengalihkan
pengetahuan yang dimaksudkan, maka ia tidak lagi paman dari pihak ibu dalam
arti kata yang sepenuhnya, dan malahan, pengakuan kelembagaan atas statusnya
itu bisa dicabut darinya.
Tergantung kepada rentang relevansi sosial dari suatu jenis
“pengetahuan” tertentu dan kompleksitas serta arti pentingnya dalam
suatu kolektivitas tertentu, maka “pengetahuan” itu mungkin masih
harus diperkuat lagi melalui benda-benda simbolik (seperti jimat dan tanda-tanda
militer), dan/atau tindakan-tindakan simbolik (seperti ritual keagamaan atau
militer). Dengan kata lain, objek-objek fisik dan tindakan-tindakan mungkin
diperlukan sebagai teknik membantu ingatan (mnemotechnic). Semua pengalihan
makna-makna yang dilembagakan jelas mengimplikasikan prosedur-prosedur itu dilekatkan
kepada lembaga-lembaga itu sendiri dan dikelola oleh personil yang mengalihkan
makna-makna itu. Kiranya perlu ditekankan kembali di sini bahwa kita tidak boleh
mengandaikan adanya konsistensi, apalagi fungsionalitas, yang a priori
antara berbagai lembaga dan bentuk-bentuk pengalihan pengetahuan yang berkaitan
dengannya. Masalah koherensi logis, pertama-tama, timbul pada tingkat
legitimasi (di mana mungkin saja ada konflik atau persaingan antara berbagai
legitimasi dan personil pengelolanya), dan kedua, pada tingkat sosialisasi
( dimana mungkin ada kesulitan-kesulitan praktis dalam internalisasi makna-makna
kelembagaan yang silih berganti atau saling bersaing). Kembali kepada contoh
yang telah kita gunakan sebelumnya, tidak ada alasan a priori mengapa
makna-makna kelembagaan yang lahir dalam suatu masyarakat pemburu tidak dapat
disebarkan kepada sebuah masyarakat petani. Lebih dari itu, makna-makna itu,
bagi pengamat dari luar, mungkin tampaknya memiliki “fungsi” yang
meragukan dalam masyarakat yang pertama pada saat penyebarannya dan tidak memiliki
“fungsi” sama sekali dalam masyarakat yang kedua. Kesulitan-kesulitasn
yang mungkin
-102-
timbul di sini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan praktis para “pendidik”
dalam masyarakat yang baru. Para ahli teori harus meyakinkan diri mereka sendiri
bahwa seorang dewi pemburu bisa diterima sebagai penghuni pantheon
masyarakat petani sedangkan para pendidik menghadapi masalah untuk menjelaskan
kegiatan-kegiatan mitologisnya kepada anak-anak yang belum pernah melihat peristiwa
berburu. Para ahli teori pemberi legitimasi cenderung untuk mempunyai aspirasi-aspirasi
yang logis sedangkan anak-anak cenderung untuk membangkang. Tetapi ini bukan
merupakan masalah logika abstrak atau fungsi teknis, melainkan masalah kelihaian
di satu pihak, dan sifat mudah percaya di pihak lain—suatu proposisi yang
lain sekali.
Peranan
Seperti telah kita lihat, asal mula setiap tatanan kelembagaan terletak dalam
tipifikasi kegiatan-kegiatan seseorang dan orang-orang lain. Ini mengandung
arti bahwa seseorang mempunyai tujuan-tujuan yang sama dengan orang-orang lain
dan terlibat dalam fase-fase kegiatan yang jalin-menjalin dengan mereka, dan,
selanjutnya, bahwa tidak hanya tindakan-tindakan yang spesifik yang ditipifikasi
itu melainkan juga bentuk-bentuk tindakan. Artinya, yang dikenali itu bukan
hanya seorang pelaku tertentu yang melakukan tindakan, tipe X, melainkan tindakan
tipe X sebagai tindakan yang dapat dilakukan oleh tiap pelaku yang kepadanya
struktur relevansi yang bersangkutan bisa dihubungkan dengan cara yang masuk
akal. Sebagai contoh saya melihat ipar laki-laki saya sedang merangket
anak saya yang kurang ajar dan memahami bahwa tindakan khusus ini hanya merupakan
contoh dari satu bentuk tindakan yang patut dilakukan oleh seorang paman terhadap
kemenakannya, dan sesungguhnya merupakan pola yang umum dalam masyarakat matrialkal.
Hanya apabila tipifikasi itu berlaku umum maka kejadian ini akan dianggap sebagai
sesuatu yang sudah sewajarnya, dan ayah si anak secara bijaksana akan meninggalkan
tempat itu agar tidak mengganggu pelaksanaan
-103-
kekuasaan seorang paman yang sah terhadap kemenakannya.
Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipifikasi maka bentuk-bentuk tindakan itu
harus memiliki arti yang objektif, yang pada gilirannya memerlukan suatu objektifikasi
linguistik. Artinya harus ada kosa kata yang mengacu kepada bentuk-bentuk tindakan
itu (seperti “merangket kemenakan”, yang akan termasuk dalam penstrukturan
linguistik yang jauh lebih luas mengenai kekerabatan dengan berbagai hak dan
kewajibannya). Maka pada prinsipnya, suatu tindakan dan maknanya dapat dipahami
terlepas dari pelaksanaannya dan dari proses-proses subjektif yang berubah-ubah
yang berkaitan dengannya. Baik diri sendiri maupun orang lain dapat dipahami
sebagai pelaku-pelaku tindakan objektif yang diketahui secara umum, yang dapat
berulang dan diulangi oleh setiap pelaku dari tipe yang bersangkutan.
Ini mempunyai berbagai konsekuensi yang sangat penting bagi pengalaman diri.
Selama berlangsungnya suatu tindakan, ada suatu identifikasi diri dengan arti
objektif dari tindakan itu; tindakan yang sedang berlangsung itu menentukan,
untuk saat itu, pemahaman-diri bagi si pelaku, dan itu dilakukannya dalam arti
objektif yang secara sosial diberikan kepada tindakan itu. Meskipun akan terus
ada suatu kesadaran yang marjinal mengenai badan dan aspek-aspek lainnya dari
diri sendiri yang tidak terlibat secara langsung dalam tindakan itu, si pelaku,
untuk saat itu, pada pokoknya memahami dirinya dalam identifikasi dengan tindakan
yang sudah diobjektivasi secara sosial itu (“Saya sekarang sedang merangket
kemenakan saya”—suatu episode yang dianggap sudah sewajarnya dalam
rutin kehidupan sehari-hari). Setelah tindakan itu berlangsung ada satu konsekuensi
lainnya yang penting, sementara si pelaku merenungkan tindakannya. Sekarang
sebagian dari dirinya diobjektifikasi sebagai pelaku tindakan
itu, sementara diri secara keseluruhan secara relatif diidentifikasi dari tindakan
yang sudah dilakukan itu. Artinya, sekarang orang dapat membayangkan dirinya
hanya telah terlibat secara parsial saja dalam tindakan itu (sebab, bagaimanapun,
orang dalam contoh kita itu mem-
-104-
punyai aspek-aspek lain selain sebagai orang yang merangket kemenakannya). Tidaklah
sulit untuk memahami bahwa sementara objektifikasi-objektifikasi itu berakumulasi
(“perangket kemenakan”, “pembantu nafkah saudara perempuan”,
“calon prajurit”, “penari hujan yang hebat”, dan seterusnya),
satu sektor kesadaran-diri secara keseluruhan telah terbentuk melalui objektifikasi
itu. Dengan kata lain, satu segmen dari diri diobjektifikasikan menurut tipifikasi
yang sudah tersedia secara sosial. Segmen ini merupakan “diri sosial”
(
social self) yang sesungguhnya, yang dialami secara subjektif sebagai
yang dapat dibedakan dari, dan malahan berhadapan dengan, diri dalam totalitasnya.
[36]
Fenomen yang penting ini, yang memungkinkan berlangsungnya suatu “percakapan”
dalam batin antara berbagai segmen diri, akan dibahas lebih lanjut nanti apabila
kita menyelidiki proses dengan mana dunia yang distrukturkan secara sosial diinternalisasi
ke dalam kesadaran individu. Untuk sementara waktu, yang penting adalah hubungan
fenomen itu dengan tipifikasi perilaku yang tersedia secara objektif.
Ringkasnya, pelaku mengidentifikasi dirinya dengan fipifikasi perilaku
in
actu yang diobjektivasi secara sosial, tetapi kemudian memulihkan jarak
dengannya sementara ia merenungkan perbuatannya itu. Jarak antara pelaku dan
tindakannya ini dapat dipertahankan dalam kesadaran dan diproyeksikan kepada
pengulangan tindakan itu di masa depan. Dengan cara ini baik diri sendiri maupun
orang-orang lain yang bertindak dipahami tidak sebagai individu yang unik, melainkan
sebagai
tipe-tipe. Sesuai dengan definisinya, tipe-tipe itu bisa dipertukarkan
satu sama lain.
Kita sudah bisa berbicara tentang peranan, apabila tipifikasi semacam ini terjadi
dalam konteks suatu cadangan pengetahuan yang sudah diobjektifikasi dapat dilihat
dan yang umumnya terdapat pada suatu kolektivitas pelaku-pelaku. Peranan adalah
tipe-tipe dalam konteks seperti itu.
[37] Dapat dilihat dengan mu-
-105-
dah bahwa penyusunan tipologi-tipologi peranan merupakan satu korelat yang perlu
dari pelembagaan perilaku. Lembaga-lembaga diwujudkan dalam pengalaman individu
melalui peranan. Peranan yang diobjektifikasi melalui bahasa, merupakan ramuan
yang esensial dari dunia yang tersedia secara objektif dari tiap masyarakat.
Dengan memainkan peranan, individu berpartisipasi dalam suatu dunia sosial.
Dengan menginternalisasi peranan itu, dunia tersebut secara objektif menjadi
nyata baginya.
Dalam cadangan pengetahuan bersama terdapat berbagai standar atau norma-norma
pelaksanaan peranan yang bisa dicapai oleh semua anggota suatu masyarakat, atau
setidak-tidaknya oleh mereka yang merupakan pemegang potensial dari peranan
yang bersangkutan. Kemungkinan untuk mencapainya itu sendiri sudah merupakan
bagian dari cadangan pengetahuan yang sama: tidak hanya norma-norma peranan
X diketahui secara umum, tetapi juga diketahui bahwa norma-norma itu
diketahui. Karena itu, setiap orang yang dianggap sebagai pelaku peranan X dapat
dianggap bertanggunjawab untuk menaati norma-normanya, yang bisa diajarkan sebagai
bagian dari tradisi kelembagaan dan digunakan untuk membuktikan kompetensi semua
pelaku, dan dengan demikian, berfungsi sebagai pengendali.
Asal mula peranan terletak dalam proses mendasar pembiasaan dan objektivasi
yang sama dengan asal mula lembaga-lembaga. Peranan-peranan muncul begitu dimulai
proses pembentukan suatu cadangan pengetahuan bersama yang mengandung berbagai
tipifikasi perilaku secara timbal balik; suatu proses yang, seperti telah kita
lihat, selalu terdapat dalam interaksi sosial dan mendahului pelembagaannya
itu sendiri. Pertanyaan tentang peranan yang bagaimana saja yang dilembagakan
adalah identik dengan pertanyaan tentang bidang-bidang perilaku yang mana yang
dipengaruhi oleh pelembagaan, dan bisa dija-
-106-
wab dengan cara yang sama.
Semua perilaku yang sudah dilembagakan melibatkan
berbagai peranan. Dengan demikian, semua peranan mempunyai sifat mengendalikan
pelembagaan. Begitu pelaku-pelaku sudah titipifikasi sebagai pelaku peranan,
maka perilaku mereka karena itu bisa dipaksakan. Maka tidak lagi ada pilihan
antara menaati dan tidak menaati norma-norma peranan yang sudah didefinisikan
secara sosial, meskipun, tentunya, berat-ringannya sanksi bisa bervariasi dari
kasus ke kasus.
Peranan
merepresentasikan tatanan kelembagaan.
[38]
Representasi ini berlangsung pada dua tingkat.
Pertama, pelaksanaan
peranan merepresentasikan dirinya sendiri. Contohnya, menghakimi adalah representasi
peranan hakim. Individu yang menghakimi tidak bertindak “atas nama dirinya
sendiri” melainkan
sebagai hakim.
Kedua, peranan merepresentasikan
suatu keseluruhan rangkaian perilaku yang melembaga. Peranan hakim berkaitan
dengan peranan-peranan lain, yang keseluruhannya mencakup lembaga hukum. Hakim
bertindak sebagai wakil lembaga ini. Hanya melalui representasi dalam pelaksanaan
peran itu maka lembaga dapat memanifestasikan diri dalam pengalaman yang sebenarnya.
Lembaga, dengan rangkaian tindakan-tindakannya yang sudah “diprogramkan”,
adalah bagaikan
libretto suatu drama yang belum ditulis. Perwujudan
drama itu tergantung kepada dimainkannya secara berulang-ulang peranan-peranan
yang sudah ditetapkan oleh para pelaku yang ada. Para pelaku itu mewujudkan
peranan-peranan tersebut dan mengaktualisasikan drama dengan merepresentasikannya
di atas panggung yang sudah ditentukan. Baik drama maupun lembaga secara empiris
tidak terlepas dari pelaksanaannya yang berulang itu. Maka, mengatakan bahwa
peranan merepresentasikan lembaga-lembaga sama dengan mengatakan bahwa peranan
memungkinkan lembaga-lembaga untuk mengada secara terus-menerus, sebagai suatu
kehadiran yang nyata dalam pengalaman individu-individu yang hidup.
-107-
Lembaga-lembaga juga direpresentasikan dengan cara-cara lain. Objektifikasi-objektifikasi
linguistik di dalamnya, mulai dari pemberian tanda verbalnya yang sederhana
sampai kepada pemasukannya ke dalam simbolisasi kenyataan yang sangat kompleks,
juga merepresentasikan semua itu; artinya, membuatnya hadir dalam pengalaman.
Dan mereka bisa direpresentasikan secara simbolis oleh objek-objek fisik, baik
yang alami maupun yang artifisial. Namun semua representasi itu menjadi “mati”
(artinya, kehilangan kenyataan subjektifnya) kecuali jika mereka secara terus-menerus
“dihidupkan” dalam perilaku manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian
maka representasi suatu lembaga dalam dan oleh peranan merupakan representasi
suatu lembaga dalam dan oleh peranan merupakan representasi
par excellence,
yang kepadanya semua representasi lainnya tergantung. Sebagai contoh, lembaga
hukum, kitab undang-undang, teori-teori hukum dari, akhirnya, oleh berbagai
legitimasi yang paling mendasar dari lembaga dan norma-normanya dalam sistem
pemikiran etika, agama atau mitologi. Fenomen-fenomen buatan manusia seperti
itu sebagai perlengkapan yang sangat mengesankan yang sering menyertai pengelolaan
hukum, dan fenomen-enomen buatan manusia seperti itu sebagai perlengkapan yang
sangat mengesankan yang sering menyertai pengelolaan hukum, dan fenomen-fenomen
alamiah seperti gambaran petir yang bisa dianggap sebagai vonis dewata dalam
suatu pengadilan yang menjatuhkan cobaan, dan yang pada akhirnya malahan bisa
menjadi simbol keadilan pada tingkat tinggi, merepresentasikan lembaga itu lebih
lanjut. Akan tetapi semua representasi itu memperoleh artinya yang terus-menerus,
dan malahan sifatnya yang masuk akal, dari penggunaannya dalam perilaku manusia,
yang dalam hal ini, dengan sendirinya, adalah perilaku yang ditipifikasi dalam
peranan-peranan hukum yang melembaga.
Apabila individu-individu mulai merenungkan soal-soal itu mereka menghadapi
masalah untuk mengikat berbagai representasi itu menjadi suatu keseluruhan yang
kohesif dan masuk akal.
[39] Setiap pelaksanaan peranan yang kongkrit mengacu ke-
-108-
pada arti objektif dari lembaga yang bersangkutan, dan dengan demikian mengacu
kepada berbagai pelaksanaan peranan lainnya yang sifatnya melengkapi, dan kepada
arti lembaga secara keseluruhan. Sementara masalah integrasi berbagai representasi
seperti itu dipecahkan pertama-tama pada tingkat legitimasi, ia juga diusahakan
pemecahannya melalui peranan-peranan tertentu.
Semua peranan merepresentasikan
tatanan kelembagaan dalam arti seperti yang disebutkan di muka. Akan tetapi
beberapa peranan secara simbolis lebih merepresentasikan tatanan itu
dalam totalitasnya dibandingkan dengan yang lain-lainnya. Peranan-peranan semacam
itu mempunyai arti strategis yang sangat penting dalam suatu masyarakat, karena
peranan-peranan itu merepresentasikan tidak hanya lembaga ini atau itu, melainkan
mengintegrasikan semua lembaga dalam suatu dunia yang bermakna. Dengan sedirinya,
karena itu, peranan-peranan itu membantu memelihara pengintegrasian seperti
itu dalam kesadaran dan perilaku anggota masyarakat. Artinya, peranan-peranan
itu mempunyai suatu hubungan yang istimewa terhadap aparat legitimasi dari masyarakat
itu. Beberapa peranan tidak punya fungsi lain
selain merepresentasikan
secara simbolik tatanan kelembagaan sebagai satu totalitas yang terintegrasi,
sedangkan peranan-peranan lain melakukan fungsi ini hanya sewaktu-waktu saja,
disamping fungsi-fungsi yang kurang penting yang mereka lakukan secara rutin.
Umpamanya, hakim, kadang-kadang dan dalam suatu perkara yang sangat penting,
dapat merepresentasikan integrasi total masyarakat dengan cara itu. Raja berbuat
demikian secara terus-menerus dan malahan, dalam suatu monarki konstitusional,
mungkin tidak punya fungsi lain selain sebagai “simbol hidup” bagi
semua pihak dalam masyarakat, sampai kepada orang biasa. Dari segi sejarah,
peranan-peranan itu yang secara simbolis merepresentasikan keseluruhan tatanan
kelembagaan itu paling lazim terdapat dalam lembaga-lembaga politik dan keagamaan.
[40]
Yang lebih penting bagi pembahasan kita sekarang adalah
-109-
sifat peranan-peranan sebagai perantara (
mediator) sektor-sektor tertentu
dari cadangan pengetahuan bersama. Berdasarkan peranan yang dimainkannya, individu
dimasukkan ke dalam bidang-bidang tertentu dari pengetahuan yang diobjektivasi
secara sosial, tidak hanya dalam arti kognitif yang lebih sempit, melainkan
juga dalam arti “pengetahuan” tentang norma-norma, nilai-nilai dan
malahan emosi. Menjadi hakim jelas melibatkan suatu pengetahuan tentang hukum
dan barangkali juga pengetahuan tentang lingkup yang jauh lebih luas dari urusan
manusia yang relevan dilihat dari segi hukum. Ia juga melibatkan “pengetahuan”
tentang nilai-nilai dan sikap-sikap yang dipandang patut bagi seorang hakim,
sampai-sampai mencakup apa yang oleh umum dianggap patut bagi isteri seorang
hakim. Hakim jjuga harus mempunyai “pengetahuan” yang memadai dalam
bidang emosi: ia, umpamanya, harus tahu kapan ia harus menekan rasa kasihannya,
yang merupakan prasyarat psikologis yang bukannya tidak penting bagi peranan
ini. Dengan cara lain, setiap peranan membuka pintu masuk ke dalam suatu sektor
tertentu dari keseluruhan cadangan pengetahuan dalam masyarakat. Untuk belajar
memainkan suatu peran tidak cukup hanya dengan jalan menguasai tugas rutin yang
diperlukan secara langsung bagi pelaksanaan “lahiriahnya”. Orang
juga harus dituntun untuk menyelami berbagai lapisan kognitif dan bahkan efektif
dari perangkat pengetahuan yang secara langsung
dan tidak langsung
sesuai bagi peranan ini.
Ini mengimplikasikan suatu distribusi pengetahuan dalam masyarakat.
[41] Cadangan
pengetahuan suatu masyarakat dibangun berdasarkan apa yang relevan secara umum
dan apa yang hanya relevan bagi peranan-peranan tertentu. Ini berlaku dalam
situasi-situasi sosial yang sangat sederhana sekalipun, seperti contoh kita
terdahulu tentang suatu situasi sosial yang laihr dari interaksi yang berlangsung
terus-menerus antara seorang pria, seorang wanita biseksual dan seorang lesbian.
Dalam situasi ini, ada pengetahuan yang relevan bagi ketiga individu (umpamanya
pengetahuan tentang prosedur-prosedur yang diperlukan untuk
-110-
memungkinkan kelompok ini bertahan terus dari segi ekonomi), sedangkan pengetahuan
lainnya hanya relevan bagi dua dari ketiga individu itu (tegasnya dalam hal
bujuk-rayu menurut cara lesbian atau, di pihak lain, menurut cara heteroseksual).
Dengan kata lain, distribusi pengetahuan dalam masyarakat mengakibatkan suatu
dikotomi menurut relevansi umum dan relevansi bagi peranan tertentu.
Berdasarkan akumulasi historis dari pengetahuand alam suatu masyarakat kita
mengandaikan bahwa, sebagai akibat pembagian kerja, pengetahuan yang berkaitan
dengan peranan tertentu akan bertambah dengan laju yang lebih cepat dibandingkan
dengan pengetahuan yang relevan secara umum dan bisa diperoleh secara umum.
bErkembang-biaknya tugas-tugas tertentu yang ditimbulkan oleh pembagian kerja
memerlukan adanya pemecahan yang dibakukan yang dapat dengan mudah dipelajari
dan dialihkan. Ini, pada gilirannya, memerlukan pengetahuan khusus mengenai
situasi-situasi tertentu, dan mengenai hubungan antara cara dan tujuan yang
digunakan sebagai dasar pendefinisian berbagai situasi secara sosial. Dengan
kata lain, akan muncul spesialis-spesialis, yang masing-masing akan harus mengetahui
apa saja yang dianggap perlu bagi pelaksanaan tugasnya yang khusus.
Untuk dapat mengakumulasikan pengetahuan yang berkaitan dengan peranan tertentu,
suatu masyarakat harus diorganisasi begitu rupa sehingga individu-individu tertentu
dapat memusatkan perhatian kepada keahlian khusus mereka. Jika dalam suatu masyarakat
pemburu dikehendaki adanya individu-individu tertentu sebagai ahli pembuat pedang,
maka harus ada ketentuan untuk membebaskan mereka dari kegiatan berburu yang
diwajibkan bagi semua pria dewasa lainnya. Pengetahuan khusus dari jenis yang
lebih sukar untuk dipahami, seperti pengetahuan yang dimiliki para mistagog
(mystagogue: pendeta yang memimpin inisiasi ke dalam rahasia-rahasia
religius, seperti yang terdapat dalam masyarakat Yunani Purba) dan cendikiawan-cendikiawan
lainnya, memerlukan organisasi sosial yang serupa. Dalam semua kasus itu, para
spesialis menjadi pengelola sektor-sektor persediaan pengetahuan yang secara
sosial
-111-
dipercayakan kepada mereka.
Dalam pada itu satu bagian yang penting dari pengetahuan yang relevan secara
umum adalah tipoloti para spesialis. Sementara para spesialis itu didefinisikan
sebagai individu-individu yang menguasai keahlian khusus, maka tiap orang harus
tahu siapa saja para spesialis itu di saat-saat keahlian mereka itu diperlukan.
Orang awam tidak diharapkan untuk mengetahui segala seluk-beluk magi untuk mendatangkan
kesuburan atau untuk menyihir dengan tujuan jahat. Tetapi mereka harus
tahu, ahli sihir yang mana yang harus diminta bantuannya jika memerlukan satu
di antara kedua jasa itu. Dengan demikian maka suatu tipologi tentang para ahli
(yang oleh para pekerja sosial sekarang dinamakan satu referral guide;
suatu pedoman rujukan) merupakan bagian dari cadangan pengetahuan yang relevan
dan bisa diperoleh secara umum; sedangkan pengathuan yang merupakan pengetahuan
keahlian, tidak. Kesulitan-kesulitan praktis yang mungkin timbul dalam masyarakat-masyarakat
tertentu (umpamanya, jika terdapat kelompok-kelompok ahli yang saling bersaing,
atau apabila spesialisasi sudah menjadi begitu rumit sehingga orang awam jadi
bingung) masih di luar perhatian kita saat ini.
Maka kita bisa menganalisa hubungan antara peranan-pengetahuan dari sudut pandang.
Dilihat dari perspektif tatanan kelembagaan, peranan-peranan itu tampak sebagai
representasi dan perantara kelembagaan dari kumpulan-kumpulan pengetahuan yang
sudah diobjektivasi secara kelembagaan. Dilihat dari perspektif beberapa peranan,
tiap peranan membawa serta suatu embel-embel atau tambahan pengetahuan yang
didefinisikan secara sosial. Sudah tentu kedua perspektif itu menunjuk kepada
fenomen global yang sama, yang merupakan dialektika esensial masyarakat. Persektif
yang pertama dapat diringkaskan dalam proposisi bahwa masyarakat hanya mengada
sejauh individu-individu menyadarinya, yang kedua dalam proposisi bahwa kesadaran
individu ditentukan secara sosial. Dengan mempersecara sosial. Dengan mempersempit
persoalannya kepada peranan-peranan, kita dapat mengatakan bahwa, di satu pihak,
tatanan kelembagaan hanya nyata sejauh ia diwujudkan dalam peranan-peranan
yang dilakukan dan bah-
-112-
wa, di pihak lain, peranan-peranan merepresentasikan suatu tatanan kelembagaan
yang mendefinisikan sifat-sifat mereka (termasuk pengetahuan tambahan) dari
mana mereka memperoleh arti yang objektif.
Analisa peranan terutama penting bagi sosiologi pengetahuan karena ia menyingkapkan
perantaraan (mediasi) antara universum makna makroskopik yang diobjektivasi
dalam suatu masyarakat dan cara-cara yang dengannya universum-universum itu
menjadi nyata secara subjektif bagi individu-individu. Dengan demikian maka
kita dapat, umpamanya, menganalisa akar-akar sosial yang makroskopik dari suatu
pandangan dunia yang religius dalam kolektivitas-kolektivitas tertentu (katakanlah
kelas, atau golongan etnik, atau kumpulan cendikiawan), dan juga menganalisa
caranya pandangan dunia ini dimanifestasikan dalam kesadaran individu. Kedua
analisa itu hanya dapat dipersatukan jika kita menyelidiki cara-cara dengan
mana individu—dalam keseluruhan kegiatan sosialnya—berhubungan dengan
kolektivitas yang bersangkutan. Dengan sendirinya, penyelidikan seperti itu
akan merupakan analisa tentang peranan.
[42]
Lingkup dan Cara-cara Pelembagaan
Hingga di sini kita telah membahas pelembagaan (institusionalisasi) dari segi
ciri-ciri esensial yang bisa dianggap sebagai konstanta-konstanta sosiologis.
Kiranya jelas bahwa di dalam buku ini kami tidak dapat memberikan suatu tinjauan
umum tentang berbagai variasi yang tak terbilang banyaknya dalam manifestasi
dan kombinasi konstanta-konstanta itu dalam sejarah—suatu tugas yang hanya
bisa dilakukan dalam suatu tulisan sejarah universal dari sudut pandang teori
sosiologi. Namun demikian, dari segi historis ada sejumlah variasi dalam sifat
lembaga yang begitu penting bagi analisa sosiologis yang kongkrit sehingga variasi-variasi
itu perlu dibahas, setidak-tidaknya secara
-113-
singkat. Fokus kita, tentunya, akan tetap ditujukan kepada hubungan antara lembaga
dan pengetahuan.
Dalam menyelidiki setiap tatanan kelembagaan yang kongkrit, kita dapat mengajukan
pertanyaan berikut; sampai di manakah lingkup pelembagaan dalam keseluruhan
tindakan-tindakan sosial dalam suatu kolektivitas tertentu? Dengan kata lain,
berapa luasnya sektor kegiatan yang dilembagakan dibandingkan dengan sektor
yang tidak dilembagakan?
[43] Jelas bahwa dalam soal ini terdapat keragaman historis,
di mana berbagai masyarakat memberikan lingkup yang luas atau sempit kepada
tindakan-tindakan yang tidak dilembagakan. Satu soal umum yang penting untuk
dibahas adalah faktor-faktor apa yang menentukan lingkup yang lebih luas atau
yang lebih sempit bagi pelembagaan itu.
Secara sangat formal, lingkup pelembagaan tergantung kepada sifat umum dari
struktur-struktur relevansinya. Jika banyak, atau bagian terbesar, dari struktur-struktur
relevansi dalam suatu masyarakat secara umum dimiliki bersama, maka lingkup
pelembagaannya akan luas. Jika hanya sedikit saja struktur relevansi yang dimiliki
bersama, maka lingkup pelembagaannya akan sempit. Dalam hal yang disebut belakangan
itu ada kemungkinan lebih lanjut bahwa tatanan kelembagaannya akan sangat terpecah-pecah
(terfragmentasi), di mana struktur-struktur relevansi tertentu dimiliki oleh
golongan-golongan tertentu dalam masyarakat tetapi tidak oleh masyarakat itu
secara keseluruhan.
Kiranya di sini secara heuristik akan berguna untuk memikirkan tipe-tipe ideal
yang ekstrim. Kita dapat membayangkan suatu masyarakat di mana pelembagaannya
total. Dalam masyarakat seperti itu,
semua masalah merupakan masalah
bersama,
semua pemecahan bagi masalah-masalah itu diobjektivasi secara
sosial dan
semua tindakan sosial dilembagakan. Tatanan kelembagaan
mencakup keseluruhan kehidupan sosial, yang mirip
-114-
dengan penyelenggaranaan secara terus-menerus dari suatu liturgi yang kompleks
dan sangat konvensional. Di sana tidak ada atau hampir tidak ada distribusi
pengetahuan berdasarkan peranan-peranan yang spesifik, karena semua peranan
dilakukan di dalam situasi yang mempunyai relevansi yang sama bagi semua pelakunya.
Model heuristik mengenai suatu masyarakat yang dilembagakan secara total ini
(yang, secara sambil lalu, kiranya dapat dikemukakan sebagai satu bahan yang
cocok bagi mimpi buruk) dapat diubah sedikit dengan membayangkan bahwa semua
tindakan sosial dilembagakan,
tetapi tidak hanya sekitar masalah-masalah
bersama saja. Sementara gaya hidup yang akan didiktekan oleh masyarakat seperti
itu kepada para anggotanya akan sama kakunya, namun akan ada tingkat distribusi
yang lebih tinggi dari pengetahuan berdasarkan peranan-peranan tertentu. Jadi
dapat diumpamakan bahwa ada sejumlah liturgi yang berlangsung pada waktu yang
bersamaan. Tak perlu dikatakan, bahwa baik model pelembagaan yang total maupun
modifikasinya tidak akan dijumpai dalam sejarah. Akan tetapi, masyarakat yang
benar-benar ada bisa ditinjau dari segi sejauh mana masyarakat itu mendekati
tipe ekstrim ini. Dengan cara itu kita bisa mengatakan bahwa masyarakat-masyarakat
primitif jauh lebih mendekati tipe itu dibandingkan dengan masyarakat yang sudah
berperadaban.
[44] Malah
bisa dikatakan bahwa dalam perkembangan peradaban-peradaban purba terdapat suatu
pergeseran yang semakin menjauhi tipe ini.
[45]
Ekstrim lawannya adalah masyarakat di mana hanya ada satu saja masalah bersama,
dan pelembagaan
hanya terjadi dengan tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan masalah ini. Dalam
-115-
masyarakat seperti itu hampir tidak ada cadangan pengetahuan bersama. Hampir
semua pengetahuan bersifat khusus berdasarkan peranan. Dari segi masyarakat
makroskopis, bahkan dalam sejarah tidak ada yang dapat mendekati tipe ini. Tapi
kita bisa menjumpai bentuk-bentuk masyarakat yang kecil yang sampai tingkat
tertentu mendekati tipe itu—umpamanya, dalam koloni-koloni yang menganut
pengaturan-pengaturan ekonomi saja, atau dalam ekspedisi-ekspedisi militer yang
terdiri dari sejumlah satuan kesukuan atau etnis, sedang masalah
bersamanya
hanyalah untuk berperang.
Terlepas dari efeknya yang merangsang lamunan sosiologis, khayalan-khayalan
heuristik seperti itu hanya ermanfaat sejauh khayalan itu dapat membantu menjelaskan
kondisi-kondisi yang mendorong sesuatu masyarakat untuk mendekati keadaan seperti
itu. Kondisi yang paling umum adalah tingkat pembagian kerja yang disertai diferensiasi
lembaga.
[46] Setiap masyarakat
dengan pembagian kerja yang semakin meningkat akan bergeser menjauhi tipe ekstrim
yang pertama yang dilukiskan di atas. Satu kondisi umum lainnya, yang berkaitan
erat dengan kondisi yang pertama, adalah adanya suatu surplus ekonomi, yang
memungkinkan individu-individu atau golongan tertentu untuk melakukan kegiatan
khusus, yang tidak secara langsung berhubungan dengan usaha mencari nafkah hidup.
[47]
Kegiatan-kegiatan terspesialisasi ini, sebagaimana telah kita lihat, mengakibatkan
adanya spesialisasi dan segmentasi dalam cadangan pengetahuan bersama. Dan yang
belakangan ini memungkinkan pengetahuan untuk dilepaskan secara subjektif dari
setiap relevansi sosial; artinya untuk menjadi “teori murni”.
[48]
Ini berarti bahwa individu-individu tertentu (untuk kembali kepada contoh yang
telah
-116-
disebutkan diatas) dibebaskan dari kegiatan berburu, tidak hanya untuk membuat
senjata melainkan juga untuk memproduksi mitos-mitos. Dengan demikian lahirlah
“kehidupan teoritis”, dengan perangkat-perankat pengetahuan khususnya
yang berkembang biak dengan subur, yang dikelola oleh spesialisasi-spesialisasi
yang prestise sosialnya sebenarnya mungkin tergantung kepada ketidak mampuan
mereka untuk melakukan sesuatu kecuali berteori—yang menimbulkan sejumlah
masalah analitis yang akan kita bahas lebih lanjut nanti.
Namun demikian, pelembagaan bukanlah suatu proses yang tidak bisa dibalik, walaupun
dalam kenyataannya lembaga-lembaga, begitu sudah terbentuk, mempunyai kecenderungan
untuk bertahan terus.
[49]
Karena berbagai sebab historis lingkup tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan
mungkin saja menciut; pembongkaran lembaga (
deinstitutionalization)
bisa terjadi dalam bidang-bidang tertentu kehidupan sosial.
[50]
Sebagai contoh, bidang prive yang muncul dalam masyarakat industri modern telah
mengalami tingkat pembongkaran yang sangat tinggi dibandingkan dengan bidang
umum.
[51]
Satu pertanyaan lainnya, yang berkaitan dengan keanekaragaman kelembagaan dari
segi historis, adalah: Bagaimana hubungan berbagai lembaga satu sama lain, pada
tingkat pelaksanaan dan makna?
[52] Dalam tipe ekstrim yang pertama seperti yang
-117-
telah kita bahas di atas, terdapat satu kesatuan antara pelaksanaan kelembagaan
dan makna-makna kelembagaan dalam tiap biografi subjektif.
Keseluruhan cadangan pengetahuan masyarakat diaktualisasikan dalam tiap biografi
individu. Setiap orang melakukan segala sesuatunya dan mengetahui
segala sesuatunya. Masalah pengintegrasian makna-makna (artinya, hubungan-hubungan
yang bermakna diantara berbagai lembaga) merupakan masalah subjektif semata-mata.
Arti objektif dari tatanan kelembagaan menghadirkan dirinya sendiri kepada tiap
individu sebagai hal yang sudah diberikan dan sudah disepakati secara sosial.
Dengan semakin besarnya penyimpangan dari model heuristik ini (artinya, pada
semua masyarakat yang benar-benar ada, meskipun tidak pada tingkat yang sama)
akan terjadi berbagai modifikasi penting dalam menerima makna-makna kelembagaan
sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya. Dua diantaranya telah kami tunjukkan:
suatu segmentasi dari tatanan kelembagaan, di mana hanya tipe-tipe individu
tertentu saja melakukan tindakan-tindakan tertentu, dan, sebagai akibatnya,
terdapat suatu distribusi pengetahuan dalam masyarakat di mana pengetahuan yang
khusus berdasarkan peranan hanya tersedia bagi tipe-tipe orang tertentu saja.
Tetapi dengan perkembangan-perkembangan itu muncul suatu konfigurasi baru pada
tingkat
-118-
makna. Sekarang akan ada suatu masalah yang objektif mengenai pengintegrasian
makna-makna secara keseluruhan dalam masyarakat secara keseluruhan. Masalah
ini berlainan sekali dengan masalah yang hanya bersifat subjektif yang menyangkut
penyelarasan arti yang diberikan oleh seseorang kepada biografinya, dengan arti
yang diberikan kepadanya oleh masyarakat. Perbedaannya sama besarnya dengan
perbedaan antara membuat propaganda yang akan meyakinkan orang lain dan menulis
riwayat hidup yang akan meyakinkan si penulisnya sendiri.
Dalam contoh kita mengenai hubungan segitiga antara seorang pria—seorang
wanita—seorang lesbian, kami telah menunjukkan secara panjang lebah bahwa
tidak bisa diasumsikan a priori bahwa proses-proses pelembagaan yang
berbeda akan “tetap bersatu”. Struktur relevansi yang terdapat antara
yang pria dan yang wanita (A-B) tidak harus terintegrasi dengan struktur relevansi
yang terdapat antara si wanita dan si lesbian (B-B), atau dengan yang terdapat
antara yang lesbian dan yang pria (C-A). proses-proses kelembagaan yang berbeda
satu sama lain dapat terus berdampingan tanpa adanya integrasi yang menyeluruh.
Kami kemudian mengemukakan pendapat bahwa fakta empiris yang menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga memang bersatu, walaupun kita tidak bisa mengasumsikan
hal itu a priori, bisa dijelaskan hanya dengan mengacu kepada kesadaran reflektif
individu-individu yang menerapkan suatu logika tertentu terhadap pengalaman
mereka mengenai berbagai lembaga itu. Sekarang kami dapat maju selangkah lagi
dengan argumen ini dengan mengasumsikan bahwa satu di antara ketiga orang dalam
contoh kami itu (katakanlah yang pria, A) menjadi tidak puas karena ketiadaan
simetri dalam situasi mereka. Ini tidak berarti bahwa hubungan yang berlaku
baginya (A-B dan C-A) telah berubah. Yang terjadi adalah bahwa yang sekarang
mengganggu pikirannya adalah hubungan di mana ia tidak ikut serta (B-C). bolehjadi
hal ini sekarang dirasakan sebagai mengganggu kepentingannya sendiri (C menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk bermesraan dengan B dan mengabaikan kegiatan merangkai
bunga yang biasa dilakukannya bersama
-119-
dengan A), atau bolehjadi pula ia mempunyai ambisi-ambisi teoritis. Bagaimanapun,
ia ingin menyatukan ketiga hubungan yang berlainan itu, serta proses-proses
pembiasaan yang menyertainya, ke dalam suatu keseluruhan yang kohesif dan bermakna:
A-B-C. bagaimana ia dapat melakukannya?
Mari kita bayangkan ia sebagai seorang jenius dalam soal keagamaan. Satu hari
ia memperkenalkan kedua orang lainnya dengan sebuah mitologi baru. Dunia ini
diciptakan dalam dua tahap; daratan yang kering diciptakan oleh dewa pencipta
dengan jalan bersenggama dengan saudara permpuannya, sedangkan laut diciptakan
dalam satu perbuatan masturbasi timbal-balik antara yang disebut belakangan
ini dengan seorang dewi lain yang merupakan saudara kembarnya. Dan setelah dunia
tercipta, dewa itu bergabung dengan dewi yang saudara kembar itu dalam tarian
bunga yang agung dan dengan cara ini terciptalah tumbuh-tumbuhan dan hewan di
permukaan daratan yang kering itu. Dengan demikian maka hubungan segitiga yang
berlaku antara heteroseksualitas, lesbianisme dan merawat bunga adalah tidak
lain daripada perbuatan manusia yang meniru perbuatan-perbuatan para dewa sebagai
pola dasarnya. Boleh juga, bukan? Pembaca yang mempunyai pengetahuan sekedarnya
tentang mitologi komparatif tidak akan merasa sulit untuk menemukan dalam sejarah
berbagai keserupaan dengan sketsa kosmogonis tadi. Mungkin saja pria kita itu
akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk meyakinkan kedua orang lainnya
mengenai teorinya itu. Ia akan menghadapi masalah propaganda. Tetapi apabila
kita mengandaikan bahwa B dan C juga mempunyai kesulitan-kesulitan praktis dalam
meneruskan berbagai proyek mereka, atau (yang lebih kecil kemungkinan) bahwa
mereka akan terkesan oleh visi A mengenai kosmos, maka ada peluang baik bahwa
ia akan berhasil dengan rencananya itu. Begitu ia berhasil dan ketiga orang
sekarang “tahu” bahwa tindakan-tindakan mereka yang berbeda-beda
itu merupakan usaha bersama untuk menciptakan masyarakat yang diidam-idamkan
(dalam hal ini A-B-C), maka “pengetahuan” ini akan mempengaruhi
apa yang terjadi di sana. Umpamanya saja, C mungkin akan lebih bersedia membagi-bagi
waktunya dengan cara yang
-120-
adil di antara kedua bidang kegiatan yang utama.
Jika perluasan contoh kita ini kelihatannya terlalu dibuat-buat, kita dapat
membuatnya lebih masuk akal dengan membayangkan adanya suatu proses sekularisasi
dalam kesadaran si jenius keagamaan kita. Mitologi tampaknya sekarang tidak
lagi masuk akal. Situasinya harus dijelaskan dengan ilmu sosial. Ini tentunya,
sangat mudah. Sudah jelas kiranya (artinya, bagi si jenius keagamaan kita yang
sekarang menjadi ilmuwan sosial itu) bahwa kedua macam kegiatan yang berlangsung
dalam situasi itu mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan prikologis yang mendalam
dari para partisipannya. Ia “tahu” bahwa menolak kebutuhan-kebutuhan
itu akan menimbulkan berbagai ketegangan yang “disfungsional”. Di
pihak lain, kenyataannya adalah bahwa ketiga orang itu menukarkan bunga mereka
dengan kelapa di ujung lain pulau mereka. Itulah yang menentukan. Pola-pola
perilaku A-B dan B-C adalah fungsional dari segi “sistem kepribadian”
(personality system), sementara C-A adalah fungsional dari segi sektor
ekonomi dari “sistem sosial”. A-B-C adalah tidak lain dari hasil
rasional dari integrasi fungsional pada tingkat antarsistem. Lagi pula, jika
A berhasil dalam mempropagandakan teori ini kepada kedua wanita itu,
“pengetahuan” mereka mengenai keharusan-keharusan fungsional yang
berlaku dalam situasi mereka akan mempunyai berbagai konsekuensi yang sifatnya
mengendalikan perilaku mereka.
Mutatis mutandis, argumen itu juga berlaku jika kita memindahkannya
dari situasi tatap muka yang indah dalam contoh kita itu ke tingkat makrososial.
Segmentasi tatanan kelembagaan dan distribusi pengetahuan yang menyertainya
akan menimbulkan masalah pemberian makna-makna integratif yang mencakup seluruh
masyarakat, dan memberikan suatu konteks arti objektif yang menyeluruh bagi
pengalaman dan pengetahuan sosial individu yang terkeping-keping itu. Selain
itu, tidak hanya akan timbul masalah integrasi bermakna yang menyeluruh, tetapi
juga masalah legitimasi kegiatan kelembagaan dari satu tipe pelaku terhadap
tipe-tipe lainnya. Kita dapat mengandaikan bahwa ada suatu universum makna yang
memberikan
-121-
arti objektif kepada kegiatan para prajurit, petani, pedagang dan dukun. Ini
tidak berarti bahwa tidak ada konflik kepentingan di antara tipe-tipe pelaku
ini. Bahkan di dalam universum makna bersama sekalipun, para dukun mungkin saja
mempunyai masalah untuk “menjelaskan” beberapa di antara kegiatan
mereka kepada para prajurit, dan seterusnya. Dalam hal ini pun cara-cara legitimasinya
sangat bervariasi sepanjang sejarah.
[53]
Satu konsekuensi lainnya dari segmentasi kelembagaan itu adalah
kemungkinan bagi adanya berbagai subuniversum makna yang secara sosial terpisah
satu sama lain. Ini merupakan hasil dari pemberian tekanan kepada spesialisasi
peranan sampai ke satu tingkat di mana pengetahuan khusus berdasarkan peranan
menjadi sama sekali esoteris dibandingkan dengan cadangan pengetahuan yang umum.
Subuniversum makna seperti itu mungkin, atau mungkin juga tidak, tersembunyi
dari pandangan umum. Dalam kasus-kasus tertentu, tidak hanya isi kognitif dari
subuniversum itu sendiri serta kolektivitas yang mendukungnya mungkin merupakan
rahasia. Subuniversum makna mungkin dibangun secara sosial oleh berbagai kriteria—jenis
kelamin, usia, pekerjaan, kecenderungan religius, estetis, dan sebagainya. Dengan
sendirinya, peluang bagi munculnya subuniversum bertambah besar secara mantap
dengan semakin berkembangnya pembagian kerja dan surplus ekonomi. Dalam suatu
masyarakat dengan perekonomian subsisten, bisa terdapat pemisahan kognitif antara
pria dan wanita, atau antara prajurit tua dan prajurit muda, seperti yang terdapat
dalam “perkumpulan rahasia” yang lazim di Afrika dan di kalangan
orang Indian Amerika,. Masyarakat seperti itu agaknya memungkinkan sejumlah
pendeta dan tukang sihir untuk hidup secara esoteris. Subuniversum makna yang
sudah berkembang sepenuhnya, seperti yang menjadi ciri dari, umpamanya, kasta-kasta
Hindu, kaum mandarin di Cina atau kelompok-kelompok pendeta di Mesir Purba,
menun-
-122-
tut adanya pemecahan masalah ekonomi dengan cara-cara yang lebih maju.
Seperti semua bangunan makna sosial, subuniversum itu harus “diemban”
oleh suatu kolektivitas khusus,
[54]
artinya, oleh kelompok yang secara terus menerus memproduksi makna-makna yang
bersangkutan dan yang di dalamnya makna-makna itu mempunyai kenyataan objektif.
Konflik atau persaingan bisa terjadi di antara kelompok-kelompok itu. Pada tingkat
yang paling sederhana, mungkin ada konflik mengenai pengalokasian sumber-sumber
daya surplus kepada para spesialis tersebut. Umpamanya saja, mengenai pembebasan
mereka dari kerja produksi. Siapa yang akan dibebaskan secara resmi,
semua
dukun, atau hanya mereka yang memberikan jasanya kepada rumah tangga kepala
suku? Atau, siapa yang akan menerima tunjangan tetap dari pihak berwajib; mereka
yang menyembuhkan orang sakit dengan jamu-jamuan atau mereka yang melakukannya
dengan jalan kesurupan? Konflik-konflik sosial seperti itu dengan mudah diterjemahkan
ke dalam konflik antara aliran-aliran pemikiran yang bersaingan, yang masing-masing
berusaha memapankan diri dan mendiskreditkan, jika tidak menyingkirkan, keseluruhan
perangkat pengetahuan yang menjadi saingannya. Dalam masyarakat dewasa ini,
kita masih terus menjumpai konflik-konflik semacam itu (baik yang bersifat sosio-ekonomis
maupun yang kognitif) antara ilmu kedokteran yang ortodoks dan saingan-saingannya
seperti
chiropractice (cara pengobatan dengan memanipulasi sendi-sendi
tulang, terutama tulang punggung),
homeopathy (cara pengobatan dengan
memberikan obat dalam dosis kecil yang dalam keadaan sehat akan menimbulkan
gejala yang serupa dengan gejala penyakit yang sedang diobati) atau
Christian
science (agama dan sistem pengobatan yang didirikan oleh Mary Baker Eddy
dalam 1866). Dalam masarakat-masyarakat negara industri yang sudah maju,
-123-
dengan surplus ekonomi yang sangat besar, yang memungkinkan individu dalams
jumlah-jumlah besar mengabdikan seluruh waktu mereka kepada kegiatan-kegiatan
yang paling kabur sekalipun persaingan majemuk di antara berbagai subuniversum
makna dari segala macam yang bisa dibayangkan menjadi suatu keadaan yang normal.
[55]
Dengan sudah adanya berbagai subuniversum makna, muncullah beraneka ragam perspektif
mengenai masyarakat secara keseluruhan, yang masing-masing memandang masyarakat
keseluruhan dari satu sudut pandang subuniversum saja. Orang yang melakukan
chiropractice mempunyai sudut pandang atas masyarakat yang berbeda
dengan sudut pandang gurubesar sekolah kedokteran; sudut pandang penyair berbeda
dengan sudut pandang pengusaha, sudut pandang orang Yahudi berbeda dengan sudut
pandang bukan-Yahudi, dan begitu seterusnya. Dengan sendirinya keanekaragaman
perspektif itu sangat mempersulit masalah pembentukan suatu naungan simbolik
yang mantap bagi
seluruh masyarakat. Tiap perspektif, apa pun teori-teori
atau malahan
Weltanschauung yang terpaut dengannya, akan berkaitan
dengan berbagai kepentingans osial yang kongkrit dari golongan yang menganutnya.
Namun ini
tidak berarti bahwa aneka ragam perspektif itu, apalagi teori-teori
atau
weltanschauung-nya, hanya sekedar merupakan pantulan mekanis dari
kepentingan sosial. Terutama pada tingkat teoritis, mungkin sekali bagi pengetahuan
untuk mencapai tingkat keterlepasan yang besar sekali dari kepentingan biografis
dan sosial orang yang mengetahuinya. Dengan demikian, mungkin saja ada alasan-alasan
sosial yang nyata, mengapa orang-orang Yahudi menyibukkan diri dengan kegiatan
ilmiah tertentu, tapi tidaklah mungkin untuk meramalkan sikap keilmuan seseorang
berdasarkan kenyataan bahwa ia orang Yahudi atau bukan-Yahudi. Dengan ka-
-124-
ta lain, universum makna keilmuan mampu mencapai tingkat otonomi yang besar
terhadap landasan sosialnya sendiri. Secara teoritis, walaupun dalam prakteknya
akan terdapat banyak variasi, hal ini berlaku bagi tiap perangkat pengetahuan
bahkan yang mempunyai perspektif kognitif tentang masyarakat.
Lebih dari itu, suatu perangkat pengetahuan apabila sudah dinaikkan ke tingkat
subuniversum makna yang relatif otonom, mempunyai kemampuan untuk berbalik mempengaruhi
kolektivitas yang telah menghasilkannya. Sebagai contoh, orang Yahudi mungkin
menjadi ilmuwan-ilmuwan sosial, karena mereka mempunyai masalah-masalah khusus
dalam masyarakat sebagai orang Yahudi. Tetapi setelah mereka mengenal universum
wacana ilmu ilmiah-sosial, mereka mungkin tidak hanya akan memandang masyarakat
dari suatu sudut yang tidak lagi khas Yahudi, akan tetapi bahkan kegiatan-kegiatan
sosial mereka sebagai orang Yahudi mungkin akan berubah sebagai akibat diperolehnya
perspektif sosial-ilmiah yang baru mereka peroleh itu. Sampai sejauh mana pengetahuan
bisa terlepas dari asal-usul eksistensialnya seperti itu, tergantung kepada
sejumlah besar variabel historis (seperti urgensi kepentingan sosial di dalamnya,
tingkat kehalusan teoritis dari pengetahuan yang bersangkutan, ada atau tidak
adanya relevansi sosial pengetahuan itu dan lain-lainnya). Prinsip yang penting
bagi pertimbangan umum kita adalah bahwa hubungan antara pengatahuan dan landasan
sosialnya merupakan suatu hubungan yang dialektis; artinya, pengetahuan merupakan
produk sosial dan pengetahuan merupakan faktor sosial dalam perubahan sosial.
[56]
Prinsip dialektis ini antara
-125-
produksi sosial dan produknya berupa dunia yang diobjetivasi sudah kami jelaskan;
ini sangat penting untuk diingat dalam setiap analisa mengenai subuniversum
makna yang kongkrit.
Semakin banyaknya dan semakin kompleksnya subuniversum itu menyebabkan mereka
semakin sulit dimasuki oleh orang luar. Mereka menjadi wilayah kantong (enclave)
esoteris, “tertutup secara hermetis” (dalam arti yang secra klasik
diasosiasikan dengan corpus pengetahuan rahasia dewa Hermes) bagi setiap orang
kecuali mereka yang telah diinisiasi sebagaimana mestinya ke dalam rahasia-rahasianya.
Semakin besar otonomi subuniversum itu menimbulkan masalah-masalah khusus mengenai
legitimasinya terhadap orang luar maupun orang dalam. Orang luar harus dilarang
masuk, bahkan kadang-kadang dibiarkan tidak tahu tentang eksistensi-eksistensi
subuniversum itu. Tetapi jika mereka tidak begitu bodoh, dan jika subuniversum
membutuhkan pelbagai privilesi dan pengakuan khusus dari masyarakat luas, akan
timbul masalah untuk menutup diri terhadap orang luar dan sementara itu mengusahakan
agar mereka mengakui legitimasi prosedur ini. Hal itu dilakukan melalui pelbagai
teknik intimidasi, propaganda yang rasional dan yang tidak rasional (yang ditujukan
kepada kepentingan-kepentingan dan emosi mereka), mistifikasi dan, pada umumnya,
manupulasi simbol-simbol prestise. Sebaliknya, orang dalam harus diusahakan
agar tetap berada di dalam ini memerlukan dikembangkannya prosedur-prosedur
praktis maupun teoritis untuk melawan berbagai godaan untuk keluar dari subuniversum.
Nanti kita akan membahas beberapa rincian dari masalah ganda mengenai legiti-
-126-
masi itu. Untuk sementara waktu, kiranya cukup dikemukakan satu ilustrasi saja.
Tidaklah cukup untuk hanya membangun sebuah subuniversum kedokteran yang esoteris.
Khalayak awam perlu diyakinkan bahwa tindakan itu benar dan bermanfaat, dan
bahwa anggota-anggota dunia kedokteran harus dipertahankan sesuai dengan norma-norma
subuniversum itu. Dengan demikian, penduduk awam diintimidasi dengan gambaran-gambaran
tentang malapetaka fisik yang akan terjadi jika “nasihat dokter tidak
dihiraukan”; khalayak dibujuk untuk tidak berbuat demikian dengan jalan
memberitahu mereka akan manfaat-manfaat pragmatis yang akan mereka peroleh jika
menurut, dan oleh karena mereka sendiri merasa takut terhadap penyakit dan kematian.
Untuk menggarisbawahi otoritasnya, profesi kedokteran menyelimuti diri dengan
simbol-simbol kekuasaan dan misteri yang turun-menurun, mulai dari pakaian yang
asing sampai pada bahasa yang tak bisa dimengerti, yang kesemuanya, tentunya,
dilegitimasikan terhadap khalayak dan diri sendiri dengan cara-cara pragmatis.
Sementara itu, warga dunia medis yang sudah memperoleh pengakuan penuh dijauhkan
dari “perdukunan” (artinya, jangan sampai keluar dari batas-batas
subuniversum medis baik dalam pikiran maupun dalam tindakan), tidak hanya melalui
kendali-kendali lahiriah yang ampuh yang tersedia bagi profesi itu, akan tetapi
juga melalui suatu perangkat pengetahuan profesional yang memberikan kepada
mereka “bukti-bukti keilmuan” bahwa penyimpangan seperti itu tidak
hanya merupakan perbuatan bodoh melainkan juga dosa. Dengan kata lain, terdapat
suath peralatan legitimasi yang lengkap yang bekerja begitu rupa sehingga orang
awam akan tetap awam, dan dokter tetap dokter, dan (jika mungkin) kedua pihak
akan merasa puas dengan keadaan itu.
Masalah-masalah khusus timbul sebagai akibat adanya perbedaan dalam laju perubahan
di antara lembaga-lembaga dan subuniversum.
[57] Ini mempersulit legitimasi tatanan
kelembagaan se-
-127-
cara keseluruhan maupun legitimasi lembaga-lembaga atau subuniversum tertentu.
Suatu masyarakat yang masih feodal dengan tentara yang sudah modern, suatu aristokrasi
tuan tanah yang harus hidup di bawah kondisi kapitalisme industri, sebuah agama
tradisional yang harus menghadapi masalah popularisasi suatu pandangan dunia
yang ilmiah, koeksistensi antara teori relativitas dan astrologi dalam suatu
masyarakat—pengalaman zaman kita sekarang ini begitu penuh dengan contoh-contoh
semacam ini sehingga tidak perlu lagi soal ini dibahas lebih mendalam. Cukup
kiranya jika dikatakan bahwa dalam kondisi-kondisi seperti itu, pekerjaan berbagai
pembuat legitimasi menjadi sangat sulit.
Suatu pertanyaan terakhir yang mempunyai arti teoritis penting, yang timbul
dari keanekaragaman pelembagaan sepanjang sejarah, berkaitan dengan caranya
tatanan kelembagaan diobjektifikasi: sampai sejauh mana suatu tatanan kelembagaan,
atau suatu bagian darinya, dipahami sebagai suatu faktisitas bukan manusiawi
(non-human)? Ini merupakan soal reifikasi kenyataan sosial.
[58]
-128-
Reifikasi adalah pemahaman atas fenomen-fenomen manusiawi seolah-olah semua
itu benda (things), dalam arti bukan—manusiawi atau mungkin adi-manusiawi
(suprahuman). Dengan kata lain, reifikasi adalah pemahaman produk-produk kegiatan
manusia dengan cara seolah-olah hal-hal itu bukan produk manusia—seperti
fakta-fakta alam, akibat-akibat kosmis, atau manifestasi kehendak ilahi. Reifikasi
mengimplikasikan bahwa manusia mampu melupakan kenyataan bahwa ia sendirilah
yang telah menghasilkan dunia manusiawi dan, selanjutnya, bahwa dialektika antara
manusia, yang memproduksi, dan produknya sudah hilang dalam kesadaran. Sebagai
definisi, dunia yang direifikasi adalah dunia yang tidak manusiawi lagi. Ia
dialami oleh manusia sebagai suatu faktisitas yang asing, suatu opus elienum
(karya asing) yang berada di luar kendalinya dan bukan sebagai opus proprium
(karya sendiri) dari kegiatan produksinya sendiri.
Sudah jelas kiranya dari pembahasan kita yang terdahulu mengenai objektivasi,
bahwa begitu sebuah dunia sosial yang objektif sudah tercipta, maka kemungkinan
reifikasi tidak akan pernah jauh darinya.
[59] Objektivitas dunia sosial berarti
bahwa ia dihadapi oleh manusia sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya.
pErtanyaan yang menentukan adalah: apakah ia masih tetap sadar bahwa, bagaimanapun
diobjektivasi, dunia sosial adalah buatan manusia—dan, oleh karena itu,
bisa diberi bentuk baru olehnya. Dengan kata lain, reifikasi bisa dilukiskan
sebagai suatu langkah ekstrim dalam proses objektivasi, di mana
-129-
dunia yang diobjektivasi kehilangan sifatnya untuk bisa dipahami sebagai suatu
kegiatan manusia dan dipahami sebagai suatu faktisitas yang beku, bukan manusiawi
dan tidak dapat dimanusiawikan.
[60] Yang khas adalah bahwa hubungan yang sesungguhnya
antara manusia dan dunianya menjadi terbalik dalam kesadarannya. Manusia, produsen
suatu dunia, dipahami sebagai suatu epifenomen dari proses-proses yang bukan
manusiawi. Makna-makna manusiawi tidak lagi dimengerti sebagai yang menghasilkan
dunia melainkans ebagai produk “alam benda-benda”. Perlu ditandaskan
bahwa reifikasi merupakan suatu modalitas dari kesadaran; lebih tepat lagi,
suatu modalitas dari objektifikasi dunia manusiawi oleh manusia. Bahkan sambil
memahami dunia secara reifikasi, manusia terus memproduksinya. Artinya, manusia
secara paradoksal mampu memproduksi suatu kenyataan yang mengingkari manusia
itu sendiri.
[61]
Reifikasi mungkin terjadi pada tingkat kesadaran pra-teoritis maupun teoritis.
Sistem-sistem teoritis yang kompleks dapat dilukiskan sebagai reifikasi, meskipun
sistem-sistem itu agaknya berakar dalam reifikasi para-teoritis yang terbentuk
dalam situasi sosial yang begini atau begitu. Maka oleh sebab itu kelirulah
untuk membatasi konsep reifikasi hanya kepada konstruksi-konstruksi mental kaum
intelektual. Reifikasi juga terdapat dalam kesadaran orang awam, dan bahkan
mempunyai arti yang lebih praktis. Juga keliru untuk menganggap reifikasi sebagai
suatu pemutarbalikan pemahaman terhadap dunia sosial yang semua tidak direifikasi;
semacam kejatuhan manusia dalam dosa kognitif.
Bukti-bukti etnologis dan psikologis yang tersedia tampaknya menunjukkan keadaan
yang sebaliknya, yakni bahwa pemahaman terhadap dunia sosial yang semula sangat
direifikasikan, baik dari segi filogenetis maupun dari segi ontogenetis.
[62] Ini
-130-
mengandung arti bahwa suatu pemahaman mengenai reifikasi sebagai suatu modalitas
kesadaran tergantung kepada suatu de-reifikasi yang setidak-tidaknya relatif
dalam kesadaran, yang secara komparatif merupakan suatu perkembangan yang baru
dalam sejarah dan dalam setiap biografi individu.
Baik tatanan kelembagaan secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya bisa dipahami
secara reifikasi. Umpamanya, tatanan masyarakat secara keseluruhan bisa dibayangkan
sebagai suatu mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos dari seluruh universum,
sebagaimana yang telah diciptakan oleh para dewa. Apa pun yang terjadi “di
bawah sini” hanyalah merupakan pantulan yang samar-samar saja dari apa
yang terjadi “di atas sana”.
[63] Lembaga-lembaga tertentu bisa dipahami
dengan cara yang serupa. “Resep” dasar bai reifikasi lembaga-lembaga
adalah untuk memberikan kepadanya suatu status ontologis yang terlepas dari
kegiatan dan pemberian arti oleh manusia. Reifikasi-reifikasi tertentu merupakan
variasi-variasi dari tema umum ini. Perkawinan, umpamanya, bisa direifikasikan
sebagai suatu mandat universal dari hukum-hukum alam, sebagai konsekuensi yang
memang sudah seharusnya dari kekuatan-kekuatan biologis atau psikologis atau,
katakanlah, sebagai suatu keharusan fungsional dari sistem sosial. Persamaan
di antara semua reifikasi adalah bahwa mereka mengaburkan perkawinan sebagai
suatu produksi manusia yang berlangsung terus-menerus. Seperti dengan mudah
bisa dilihat dalam contoh ini, reifikasi itu bisa terjadi baik secara teoritis
maupun pra-teoritis. Dengan demikian maka seorang mystagogue dapat menyusun
sebuah teori yang sangat canggih mulai dari peristiwa manusiawi yang kongkrit
sampai kepada penjuru-penjuru yang paling jauh dari kosmos dewata, tetapi se-
-131-
pasang suami-istri butahuruf yang sedang dinikahkan mungkin akan memahami peristiwa
itu secara reifikasi yang serupa yang membuatnya merinding dicekam ketakutan
metafisis. Melalui reifikasi, dunia lembaga-lembaga tampak melebur dengan dunia
alam. Ia menjadi keharusan dan takdir, dan dihayati seperti itu, dengan rasa
gembira atau sedih, tergantung keadaannya.
Peranan-peranan bisa direifikasi dengan cara yang sama seperti lembaga-lembaga.
Sektor kesadaran-diri yang telah diobjektifikasi dalam peranan lalu juga dipahami
sebagai takdir yang tak terelakkan lagi, dan individu bisa mengatakan tidak
bertanggung jawab atasnya. Rumus paradigmatis untuk reifikasi macam ini adalah
pernyataan: “Saya tak punya pilihan dalam hal ini, saya terpaksa berbuat
begini karena posisi saya”—sebagai suami, ayah, jendral, uskup agung,
ketua dewan, penjahat, atau algojo, tergantung pada keadaan. Ini berarti bahwa
reifikasi peranan mempersempit jarak subjektif yang mungkin ditentukan oleh
individu antara dirinya sendiri dan peranan yang dimainkannya. Sudah tentu,
jarak yang tersirat dalam semua objektifikasi menciut sampai hampir hilang sama
sekali. Akhirnya, identitas itu sendiri (katakanlah, diri secara keseluruhan)
bisa direifikasi baik identitas diri sendiri maupun identitas orang lain. Maka
akan ada identifikasi total individu dengan berbagai tipifikasi yang ditujukan
pada dirinya oleh masyarakat. Ia dipahami sebagai tidak lain daripada tipe itu.
Pemahaman ini bisa diberi tekanan secara positif atau negatif berdasarkan nilai-nilai
atau emosi. Identifikasi “Yahudi” bisa sama-sama merupakan reifikasi
bagi orang anti-semit dan orang Yahudi, kecuali bahwa yang belakangan itu akan
memberikan tekanan positif kepada identifikasi itu, sedangkan yang pertama akan
memberikan tekanan negatif kepadanya. Kedua reifikasi itu memberikan suatu status
ontologis dan total kepada suatu tipifikasi yang dibuat oleh manusia dan yang,
walaupun ia diinternalisasi, hanya mengobjektifikasi satu segmen saja dari diri.
[64]
Kembali, reifikasi se-
-132-
macam itu dapat berkisar mulai dari tingkat pra-teoritis dari “apa yang
diketahui oleh setiap orang mengenai orang Yahudi” sampai kepada teori-teori
yang paling kompleks mengenai keyahudian sebagai suatu manifestasi biologis
(“darah Yahudi”), psikologis (“jiwa Yahudi”) atau metafisis
(“misteri Israel”).
Analisa reifikasi ini penting karena ia merupakan koreksi yang tetap terhadap
banyak kecenderungan pemikiran teoritis pada umumnya dan sosiologi pengetahuan
pada khususnya untuk melakukan reifikasi. Ia khususnya penting bagi sosiologi
pengetahuan, karena ia mencegahnya agar tidak terjerumus ke dalam suatu konsepsi
yang tidak dialektis mengenai hubungan antara apa yang dilakukan oleh manusia
dan apa yang mereka pikirkan. Penerapan sosiologi pengetahuan secara historis
dan empiris harus memberikan perhatian yang istimewa kepada kondisi sosial yang
mendorong de-reifikasi—seperti ambruknya tatanan kelembagaan secara keseluruhan,
kontak antara masyarakat-masyarakat yang tadinya terpisah satu sama lain, dan
fenomena penting dari marjinalitas sosial.
[65] Tetapi masalah-masalah itu melampaui
kerangka pembahasan kita sekarang.
Legitimasi
Asal-mula Universum-universum Simbolis
Legitimasi sebagai proses, paling tepat dilukiskan sebagai suatu objektivasi
makna “tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan makna-makna baru
yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada
proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat
objektivasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan menjadi tersedia
secara objektif dan masuk akal secara subjektif.[66] Sementara kami mendefinisikan
legitimasi dari segi fungsi ini, tanpa memandang motif-motif khusus yang mengilhami
tiap proses legitimasi tertentu, perlu ditambahkan bahwa “integrasi”
-133-
dalam salah satu bentuknya juga merupakan tujuan khas yang memotivasi orang
yang melakukan legitimasi itu.
Integrasi dan, bersamaan dengan itu masalah yang secara subjektif masuk akal
itu mengacu kepada dua tingkat. Pertama, keseluruhan tatanan kelembagaan harus
bisa dimengerti, secara bersamaan, oleh para pesertanya dalam proses-proses
kelembagaan yang berbeda. di sini soal kemasuk-akalan (plausibility) mengacu
kepada pengakuan subjektif akan adanya suatu arti yang menyeluruh “di
balik” motif-motif individu dan sesamanya, yakni motif-motif yang menonjol
dalam situasi yang bersangkutan tetapi yang hanya melembaga secara sebagian-sebagian
saja—seperti dalam hubungan antara kepala suku dan pendeta, atau antara
ayah dan komandan militer, atau bahkan, dalam kasus individu yang sama, antara
ayah, yang juga komandan militer anaknya, dan dia sendiri. Inilah yang merupakan
tingkat “horisontal” dari integrasi dan kemasukakalan, yang menghubungkan
tatanan kelembagaan secara keseluruhan dengan sejumlah individu yang berpartisipasi
di dalamnya dalam sejumlah peranan, atau dengan sejumlah proses kelembagaan
yang parsial di mana seseorang mungkin berpartisipasi dalam suatu waktu tertentu.
Kedua, keseluruhan kehidupan individu, yang secara berturut-turut melalui berbagai
tatanan dalam tatanan kelembagaan, harus diberi makna subjektif. Dengan kata
lain, biografi individu, dalam berbagai tahapnya yang berurutan, dan sudah ditentukan
secara kelembagaan, harus diberi makna yang membuat keseluruhannya masuk akal
secara subjektif. Karena itu, suatu tingkat “vertikal” di dalam
rentang kehidupan individu masing-masing, harus ditambahkan kepada tingkat “horisontal”
dari integrasi dan kemasuk-akalan subjektif tatanan kelembagaan.
Seperti telah kami kemukakan sebelumnya, legitimasi tidak perlu dalam tahap
pelembagaan yang pertama, di mana lembaga itu sekadar merupakan satu fakta yang
tidak memerlukan dukungan lebih lanjut, baik secara intersubjektif maupun secara
biografis; ia sudah jelas dengan sendirinya bagi orang yang bersangkutan. Masalah
legitimasi tak terelakkan lagi akan muncul
-134-
apabila berbagai objektivasi tatanan kelembagaan (yang sekarang sudah historis)
akan dialihkan kepada generasi baru. Pada titik ini, seperti telah kita lihat,
lembaga-lembaga yang sudah jelas dengan sendirinya itu tidak lagi dapat dipertahankan
lewat ingatan dan pembiasaan individu itu sendiri. kEsatuan antara sejarah dan
pembiasaan individu itu sendiri. Kesatuan antara sejarah dan biografi sudah
terputus. Untuk dapat memulihkannya, dan dengan demikian membuat kedua aspeknya
itu bisa dimengerti, harus ada “penjelasan-penjelasan” dan pembenaran
mengenai unsur-unsur terpenting dari tradisi kelembagaan. Legitimasi adalah
proses “menjelaskan” dan membenarkan ini.
[67]
Legitimasi “menjelaskan” tatanan kelembagaan dengan memberikan kesahihan
kognitif kepada makna-maknanya yang sudah diobjektivasi. Legitimasi membenarkan
tatanan kelembagaan dengan memberikan martabat normatif kepada perintah-perintah
praktisnya. Penting untuk dipahami bahwa legitimasi mempunyai unsur kognitif
maupun normatif. Dengan kata lain, legitimasi tidak sekadar soal “nilai-nilai”.
Ia selalu mengmplikasikan “pengetahuan: juga. Umpamanya, satu struktur
kekerabatan tidak hanya dilegitimasi oleh etika tentang tabu-tabu bagi perbuatan
sumbang. Terlebih dulu harus ada “pengetahuan” tentang berbagai
peranan yang mendefinisikan baik tindakan yang “benar” maupun tindakan
yang “salah” di dalam struktur itu. Umpamanya, individu tidak boleh
kawin di dalam marganya. Tetapi ia terlebih dulu harus “mengetahui”
dirinya sebagai anggota marga itu. “Pengetahuan” ini ia peroleh
melalui suatu tradisi yang “menjelaskan” apa itu marga pada umumnya
dan, khususnya, marganya sendiri. “Penjelasan-penjelasan” seperti
itu (yang secara khas merupakan “sejarah” dan “sosiologi”
dari kolektivitas yang bersangkutan, dan yang dalam kasus tabu yang menyangkut
perbuatan sumbang juga mengandung suatu “antropologi”) sama-sama
merupakan alat legitimasi disamping unsur-unsur etika dari tradisi. Legitimasi
tidak hanya memberitahukan kepada individu mengapa ia harus melakukan satu tindakan
tertentu dan bukan tindakan lainnya; ia juga memberita-
-135-
hukan kepadanya mengapa segala sesuatu berlangsung seperti apa adanya. Dengan
kata lain, “pengetahuan” mendahului “nilai” dalam legitimasi
lembaga-lembaga.
Adalah mungkin untuk membedakan secara analitis antara berbagai tingkat legitimasi
(dari segi empiris, tingkat-tingkat itu, dengan sendirinya, bertumpang tindih).
Legitimasi dalam bentuk awal muncul begitu terjadi pengalihan suatu sistem objektifikasi
linguistik mengenai pengalaman manusia. Sebagai contoh, pengalihan perbendaharaan
kata suatu kekerabatan dengan demikian melegitimasi struktur kekerabatan itu.
“Penjelasan-penjelasan” yang merupakan legitimasi dasar itu boleh
dikatakan sudah melekat sebagai bagian dari perbendaharaan kata itu. Demikianlah,
maka seorang anak kecil belajar mengetahui bahwa seorang anak kecil lainnya
adalah “sepupu”, sepotong informasi yang segera dan secara inheren
melegitimasi perilaku terhadap “sepupu” itu yang dipelajari pada
waktu yang sama dengan penamaan itu. Termasuk dalam tingkat pertama legitimasi
awal ini adalah semua afirmasi tradisional yang sederhana sehingga dapat dikatakan
“Beginilah segala sesuatunya dilakukan”—yang merupakan jawaban
yang paling dulu dan yang pada umumnya efektif atas pertanyaan seorang anak
kecil: “Apa sebabnya?” tingkat ini, tentu saja, masih prateoritis.
Tetapi ia merupakan landasan bagi “pengetahuan” yang jelas-dengan-sendirinya
yang harus jadi tumpuan bagi semua teori selanjutnya—dan yang, sebaliknya,
harus dicapai oleh teori-teori itu agar dimasukkan ke dalam tradisi.
Tingkat legitimasi yang kedua mengandung proposisi-proposisi teoritis dalam
suatu bentuk yang masih belum sempurna. Di sini bisa ditemukan berbagai skema
penjelasan yang menyangkut perangkat-perangkat makna objektif. Skema-skema itu
sangat pragmatis, dan langsung menyangkut tindakan-tindakan kongkrit. Peribahasa,
kaidah-kaidah moral dan kata-kata mutiara merupakan hal yang lazim pada tingkat
ini. Ke dalamnya juga termasuk legenda-legenda dan cerita-cerita rakyat, yang
seringkali disampaikan dalam bentuk puisi. Demikianlah, maka anak kecil berkenalan
dengan peribahasa-peribahasa seperti “Barangsiapa mencuri dari saudara
sepupu akan kutilan di ta-
-136-
ngannya”, atau “Datangilah istrimu jika ia menangis tapi larilah
menemui saudara sepupumu jika ia (saudara sepupumu) memanggilmu”. Atau
ia mungkin akan mendapat semangat dari “Nyanyian Sepupu Setia yang Pergi
Berburu Bersama” dan akan ketakutan setengah mati mendengar “Nyanyian
Penguburan Dua Sepupu yang Berbuat Sumbang.”
Tingkat legitimasi ketiga mengandung teori-teori yang eksplisit,
yang dengannya suatu sektor kelembagaan dilegitimasi berdasarkan suatu perangkat
pengetahuan yang berbeda-beda. Legitimasi semacam itu memberikan kerangka referensi
yang cukup komprehensif bagi masing-masing sektor perilaku yang sudah melembaga.
Karena kompleks dan beraneka, maka legitimasi itu sering dipercayakan kepada
personil khusus yang sudah melembaga. Karena kompleks dan beraneka, maka legitimasi
itu sering dipercayakan kepada personil khusus yang mengalihkannya melalui prosedur-prosedur
inisiasi yang sudah diformalkan. Dengan demikian, mungkin akan terdapat suatu
teori ekonomi yang sangat terperinci tentang “kesepupuan”, hak-haknya,
kewajiban-kewajibannya dan prosedur-prosedur operasinya yang baku. Adat kebiasaan
ini dikelola oleh orang-orang tua dalam marga, dan barangkali dipercayakan kepada
mereka setelah kegunaan ekonomis mereka sendiri sudah berakhir. Orang-orang
tua itu menginisiasi para remaja ke dalam ilmu ekonomi tingkat tinggi ini selama
berlangsungnya ritus-ritus pubertas dan mereka tampil sebagai pakar jika timbul
masalah dalam penerapannya. Jika kita mengandaikan bahwa orang-orang tua tidak
diberi tugas-tugas lain, maka agaknya mereka akan terus mempertahankan teori-teori
itu di kalangan mereka sendiri, juga apabila tidak ada masalah-masalah dalam
penerapannya; atau lebih tepat lagi, mereka akan menciptakan sendiri masalah-masalah
seperti itu dalam kegiatan berteori mereka. Dengan kata lain, dengan berkembangnya
teori-teori legitimasi yang terspesialisasi serta pengelolaannya oleh para pembuat
legitimasi, maka legitimasi mulai melampaui batas-batas penerapan pragmatisnya
dan menjadi “teori murni”. Dengan langkah ini, bidang legitimasi
mulai memperoleh suatu otonomi terhadap lembaga-lembaga yang dilegitimasi dan
pada akhirnya mungkin akan melahirkan proses-proses kelembagaan-
-137-
nya sendiri.
[68] Dalam contoh kita, “ilmu tentang kesepupuan” mungkin
akan mulai berdiri sendiri terlepas dari kegiatan sepupu “awam”
semata, dan kelompok “ilmuwan-ilmuwan” itu mungkin akan menyusun
proses-proses kelembagaannya sendiri yang bertentangan dengan lembaga-lembaga
yang tadinya hendak dilegitimasi oleh “ilmu” itu. Kita bisa membayangkan
suatu kulminasi yang ironis dari perkembangan ini apabila perkataan “sepupu”
tidak lagi mengacu kepada suatu peranan kekerabatan, melainkan kepada orang
yang bergelar dalam hirarki para spesialis tentang “kesepupuan”.
Universum-universum simbolis merupakan tingkat legitimasi yang keempat. Ini
adalah perangkat-perangkat tradisi teoritis yang mengintegrasikan berbagai bidang
makna dan mencakup tatanan kelembagaan dalam suatu totalitas simbolis,
[69] yakni
“simbolis” dalam arti yang telah kami definisikan sebelumnya. Kami
ulangi proses-proses simbolis adalah proses-proses pelembagaan (signifikasi)
yang mengacu kepada berbagai kenyataan yang lain dari kenyataan pengalaman sehari-hari.
Kiranya dapat dilihat dengan mudah bagaimana bidang simbolis berkaitan dengan
tingkat legitimasi yang paling komprehensif. Bidang penerapan pragmatis di atasi
sekali dan untuk selamanya. Legitimasi sekarang berlangsung melalui totalitas-totalitas
simbolis yang sama sekali tidak dapat dialami dalam kehidupan sehari-hari—kecuali,
tentunya, sejauh kita dapat berbicara tentang “pengalaman teoritis”
(yang sebenarnya merupakan penamaan yang salah, yang paling banter hanya bisa
digunakan secara heuristik). Tingkat legitimasi ini selanjutnya dibedakan dari
yang disebutkan terdahulu oleh lingkup integrasinya yang bermakna. Sudah pada
tingkat yang sebelum itu kita bisa menjumpai suatu ting-
-138-
kat integrasi yang tinggi dari bidang-bidang makna khusus serta proses-proses
yang berbeda dari perilaku yang sudah dilembagakan. Tetapi sekarang, semua sektor
tatanan kelembagaan diintegrasikan ke dalam suatu kerangka acuan yang mencakup
keseluruhannya, dan yang sekarang merupakan suatu universum dalam arti kata
yang sesungguhnya, karena semua pengalaman manusiawi sekarang dapat dipahami
sebagai berlangsung di dalamnya.
Universum simbolis dipahami sebagai matrik dari semua makna yang diobjektivasi
secara sosial dan yang nyata secara subjektif; keseluruhan masyarakat historis
dan keseluruhan biografi individu dilihat sebagai peristiwa-peristiwa yang berlangsung
di dalam universum ini. Yang terutama penting adalah bahwa situasi-situasi marjinal
dalam kehidupan individu (marjinal dalam arti tidak termasuk dalam kenyataan
eksistensi sehari-hari dalam masyarakat) juga tercakup oleh universum simbolis
itu.
[70] Situasi-situasi seperti itu dialami dalam mimpi dan lamunan sebagai bidang-bidang
makna yang terlepas dari kehidupan sehari-hari, dan yang memiliki kenyataan
khasnya sendiri. Di dalam universum simbolis, dunia wilayah kenyataan yang terlepas
itu diintegrasikan ke dalam suatu totalitas yang bermakna yang “menjelaskan”,
dan barangkali juga membenarkannya (umpamanya, mimpi dapat “dijelaskan”
dengan suatu teori psikologis (perpindahan jiwa); dan tiap teori itu akan berakar
dalam suatu universum yang lebih “ilmiah” dibandingkan dengan yang
“metafisis”. Universum simbolis itu sudah barang tentu dibangun
melalui berbagai objektivasi sosial. Namun demikian, kemampuannya untuk memberi
makna jauh melampaui wilayah kehidupan sosial, sehingga individu dapat “menempatkan”
dirinya di dalamnya, bahkan dalam pengalaman-pengalamannya yang paling menyendiri
sekalipun.
Pada tingkat legitimasi ini, pengintegrasian reflektif dari
-139-
proses-proses kelembagaan yang terpisah satu sama lain mencapai perwujudannya
yang paling tinggi. Suatu dunia secara keseluruhan telah tercipta. Semua teori
legitimasi yang rendahan dipandang sebagai perspektif-perspektif khusus bagi
fenomen-fenomen yang hanya merupakan aspek-aspek dunia ini. Peranan-peranan
kelembagaan menjadi cara-cara berpartisipasi dalam suatu universum yang mengatasi
dan mencakup tatanan kelembagaan. Dalam contoh kita yang terdahulu, “ilmu
kesepupuan” hanya merupakan sebagian dari satu perangkat teori yang lebih
luas yang, hampir pasti, akan mengandung satu teori umum tentang kosmos dan
sebuah teori umum tentang manusia. Lalu yang merupakan legitimasi tertinggi
dari tindakan-tindakan yang “benar” dalam struktur kekerabatan adalah
“lokasi” seseorang di dalam suatu kerangka acuan kosmologis dan
antropologis. Perbuatan sumbang, umpamanya, akan memperoleh sanksi negatifnya
yang paling tinggi sebagai suatu pelanggaran terhadap tatanan kosmos dan kodrat
manusia yang sudah ditetapkan oleh para dewa. Begitu pula yang bisa terjadi
dengan pelanggaran di bidang ekonomi, atau setiap penyimpangan dari norma-norma
kelembagaan. Pada prinsipnya, batas-batas legitimasi paling akhir seperti itu
bertepatan sepenuhnya dengan batas-batas ambisi teoritis dan kecerdikan di pihak
para pembuat legitimasi, orang-orang yang dengan resmi ditunjuk untuk mendefinisikan
kenyataan. Dalam prakteknya, sudah barang tentu, akan ada variasi-variasi dalam
tingkat keseksamaan dengan mana segmen-segmen khusus tatanan kelembagaan ditempatkan
dalam suatu konteks kosmis. Selanjutnya, variasi-variasi itu mungkin disebabkan
oleh masalah-masalah pragmatis tertentu yang diajukan kepada para pembuat legitimasi
untuk diminta pendapatnya, atau mungkin pula disebabkan oleh perkembangan-perkembangan
yang otonom dalam pemikiran teoritis para pakar kosmologi itu.
Pembentukan universum-universum simbolis menempuh proses-proses yang telah dibahas
sebelum ini, yakni proses objektivasi, pengendapan dan akumulasi pengetahuan.a
rtinya, universum-universum simbolis merupakan produk-produk sosial yang mempunyai
sejarah. Jika kita ingin memahami maknanya,
-140-
kita harus memahami sejarah produksinya. Ini terutama penting, karena produk-produk
kesadaran manusia itu, karena sifatnya itu sendiri, menampilkan diri sebagai
totalitas yang sudah berkembang sepenuhnya dan tak terelakkan.
Sekarang kita dapat menyelidiki lebih lanjut cara beroperasi universum-universum
simbolis untuk melegitimasi biografi individu dan tatanan kelembagaan. Operasi
itu pada pokoknya sama dalam kedua kasus. Sifatnya nomis, atau bertata-susunan.
[71]
Universum simbolis memungkinkan penataan pemahaman subjektif dari pengalaman
biografis. Pengalaman-pengalaman yang termasuk dalam bidang-bidang kenyataan
yang berbeda, diintegrasikan dengan jalan memasukkannya ke dalam universum makna
yang sama yang menaungi keseluruhannya. Umpamanya, universum simbolis menentukan
arti mimpi dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan dalam tiap kasus menegakkan
kembali status tertinggi dari kenyataan itu dan memperlunak kejutan yang menyertai
proses peralihan dari satu kenyataan ke kenyataan lain.
[72] Wilayah-wilayah makna,
akan tetap merupakan daerah-daerah kantong yang tak dapat dipahami di dalam
kenyataan sehari-hari, kecuali kemudian ditata berdasarkan suatu hirarki sejumlah
kenyataan, dan ipso facto menjadi bisa dipahami dan tidak begitu menakutkan
lagi. Pengintegrasian kenyataan situasi marjinal ini ke dalam kenyataan tertinggi
dari kehidupan sehari-hari sangat penting artinya, karena situasi-situasi itu
merupakan ancaman yang paling gawat terhadap eksistensi dalam masyarakat yang
sudah menjadi rutin dan dianggap sebagai sudah sewajarnya. Jika kita membayangkan
yang disebut belakangan itu sebagai “sisi siang hari” dari kehidupan
manusia, maka situasi-situasi marjinal merupakan “sisi malam hari”-nya
yang terus mengintai secara menakutkan dari periferi
-141-
kesadaran sehari-hari. Justru karena “sisi malam hari” itu mempunyai
kenyataan sendiri, dan seringkali dari jenis yang menakutkan, maka ia merupakan
ancaman yang terus menerus bagi kenyataan kehidupan dalam masyarakat yang ”sehat”,
yang sudah diterima begitu saja sebagai hal yang sewajarnya. Pikiran manusia
terus-menerus mengisyaratkan pada dirinya sendiri (terutama sekali pikiran yang
“tidak sehat”) bahwa, bolehjadi, kenyataan yang terang benderang
dari kehidupan sehari-hari ini hanya merupakan suatu ilusi, yang setiap saat
bisa ditelan oleh mimpi buruk yang menakutkan dari kenyataan yang lainnya, yakni
kenyataan “sisi malam hari”. Pikiran-pikiran yang gila dan menakutkan
seperti itu dikekang melalui penataan semua pernyataan yang bisa dibayangkan
di dalam universum simbolis yang sama yang mencakup kenyataan hidup sehari-hari—yakni,
menatanya begitu rupa sehingga kenyataan kehidupan sehari-hari itu bisa mempertahankan
kualitasnya yang definitif dan paling tinggi (katakanlah, kualitasnya yang “paling
nyata”).
Fungsi nomis dari universum simbolis bagi pengalaman individu
bisa dilukiskan dengan sederhana sekali dengan mengatakan bahwa ia “menempatkan
segala sesuatunya pada tempatnya yang benar.” Lebih dari itu, apabila
orang menyimpang dari kesadaran tentang tatanan ini (artinya, jika orang menemukan
dirinya dalam situasi-situasi pengalaman yang marjinal), universum simbolis
memungkinkannya untuk “kembali ke kenyataan”—yakni, kenyataan
hidup sehari-hari. Oleh karena ia dengan sendirinya merupakan bidang yang ke
dalamnya termasuk semua bentuk prilaku dan peranan kelembagaan, maka universum
simbolis memberikan legitimasi tertinggi kepada tatanan kelembagaan dengan memberikan
kepadanya tempat yang utama dalam hirarki pengalaman manusia.
Terlepas dari pengintegrasian yang sangat penting dari kenyataan marjinal itu,
universum simbolis memungkinkan tingkat integrasi yang tertinggi bagi makna-makna
yang tidak cocok yang telah diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat. Kita telah melihat bagaimana integrasi yang bermakna dari sektor-sektor
yang berlainan dari perilaku yang su-
-142-
dah dilembagakan berlangsung melalui refleksi, baik pada tingkat prateoritis
maupun pada tingkat teoritis. Pengintegrasian bermakna seperti itu tidak mengandaikan
terlebih dulu adanya suatu universum simbolis ab initio (sejak awal). Ia bisa
berlangsung tanpa melalui proses-proses simbolis; artinya tanpa mengatasi kenyataan
pengalaman sehari-hari. Tetapi jika sudah diandaikan adanya universum simbolis
itu, maka sektor-sektor yang saling bertentangan dalam kehidupan sehari-hari
akan dapat diintegrasikan dengan mengacu secara langsung kepada universum simbolis
itu. Sebagai contoh, pertentangan makna antara memainkan peranan sepupu dan
memainkan peranan pemilik tanah bisa diintegrasikan tanpa mengacu kepada suatu
mitologi umum. Tetapi apabila ada suatu Weltanschauung mitologis umum yang berfungsi,
ia dapat diterapkan secara langsung kepada hal-hal yang saling bertentangan
dalam kehidupan sehari-hari. Lalu tindakan mengusir saudara sepupu dari sebidang
tanah mungkin tidak hanya buruk dari segi ekonomi atau moral (sanksi-sanksi
negatif yang tidak perlu diperluas sampai mencapai dimensi-dimensi kosmis);
tindakan itu juga dipahami sebagai suatu pelanggaran terhadap tatanan universum
yang sudah dibentuk oleh para dewa. Dengan cara ini, universum simbolis menata
dan dengan demikian melegitimasi berbagai peranan, prioritas dan prosedur operasi
dalam kehidupan sehari-hari, dengan jalan menempatkan hal-hal itu sub specie
universi; artinya, dalam konteks kerangka acuan yang paling umum yang bisa dipahami.
Di dalam konteks yang sama, transaksi-transaksi yang paling remeh sekalipun
dalam kehidupan sehari-hari pada akhirnya bisa diresapi oleh arti yang mendalam.
Kita dengan mudah bisa melihat bagaimana prosedur ini memberikan legitimasi
yang ampuh kepada tatanan kelembagaan secara keseluruhan maupun kepada sektor-sektornya
yang khusus.
Universum simbolis juga memungkinkan penataan tahap-tahap yang berlainan dalam
biografi. Dalam masyarakat-masyarakat primitif, ritus-ritus transisi (rite de
passage) merepresentasikan fungsi ekonomis ini dalam bentuknya yang murni. Periodisasi
biografi dilambangkan pada tiap tahap dengan mengacu kepada totalitas makna-makna
manusiawi. Sebagai
-143-
anak kecil, remaja, orang dewasa, dan seterusnya—masing-masing tahap biografis
ini dilegitimasi sebagai satu modus keberadaan dalam universum simbolis (yang
paling sering, sebagai cara berhubungan yang khusus dengan dunia para dewa).
Kita tidak perlu membahas lebih lanjut apa yang sudah jelas, yakni bahwa simbolisasi
seperti itu membawa perasaan aman dan kebersamaan. Akan tetapi akan keliru kiranya
apabila dalam hal ini kita hanya berpikir tentang masyarakat-masyarakat primitif
saja. Sebuah teori psikologi modern tentang perkembangan kepribadian dapat melakukan
fungsi yang sama. Dalam kedua kasus, individu yangberalih dari satu tahap biografis
ke tahap yang lainnya dapat memandang dirinya sebagai mengulangi suatu urutan
yang sudah terdapat di dalam “kodrat benda-benda’ atau dalam “kodratnya”
sendiri. Artinya, ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia hidup “dengan
cara yang benar”. “Benarnya” program kehidupannya itu dengan
demikian dilegitimasi pada tingkat keumuman yang paling tinggi. Jika individu
menoleh kembali kepada kehidupannya di masa lampau, biografinya dapat ia pahami
dari segi ini. Jika ia memproyeksikan dirinya ke masa depan, ia akan bisa membayangkan
biografinya sebagai berkembang di dalam suatu universum di mana kordinat-kordinatnya
yang paling sadar sudah diketahuinya.
Fungsi legitimasi yang sama juga berlaku terhadap “kenaran: identitas
subjektif individu. Karena sifat sosialisasi itu sendiri, identitas subjektif
merupakan suatu entitas yang rapuh.
[73] Ia tergantung kepada hubungan-hubungan individu
dengan orang-orang yang berpengaruh (significant others), yang bisa saja berubah
atau menghilang. Kerapuhannya itu bertambah oleh pengalaman-pengalaman pribadi
dalam situasi-situasi marjinal seperti yang telah dikemukakan di atas. Pemahaman
yang “sehat” mengenai diri sendiri sebagai pemilik suatu identi-
-144-
tas yang jelas, mapan dan diakui secara sosial terancam terus-menerus oleh metamorfose
mimpi-mimpi dan khayalan-khayalan yang “surealistis”, bahkan jika
ia tetap relatif konsisten dalam interaksi sosial sehari-hari. Identitas pada
tingkat terakhir dilegimasi dengan menempatkannya dalam konteks suatu universum
simbolis. Dari segi mitologis, nama individu “yang nyata” adalah
yang diberikan kepadanya oleh para dewa. Dengan demikian, individu bisa “mengetahui
siapa dia” dengan menjangkarkan identitasnya dalam suatu kenyataan kosmis
yang dilindungi, baik terhadap segala kemungkinan dalam sosialisasi maupun terhadap
transformasi-diri yang buruk dari pengalaman marjinal. Bahkan andaikata tetangga-tetangganya
tidak tahu siapa dia, dan bahkan andaikata tetangga-tetangganya tidak tahu siapa
dia, dan bahkan andaikata ia sendiri bisa melupakan akan hal itu dalam gejolak
mimpi buruk, ia dapat meyakinkan kembali diri sendiri bahwa “dirinya yang
sejati” merupakan suatu entitas yang paling nyata di dalam suatu universum
yang paling nyata. Para dewa—atau ilmu psikiatri—atau partai, tahu
hal itu. Dengan kata lain, sungguh-sungguh nyata dari identitas tidak perlu
dilegitimasi dengan jalan terus-menerus dikenal oleh individu; untuk tujuan
legitimasi, sudah cukup bahwa hal itu bisa dikenal. Oleh karena identitas yang
diketahui atau bisa diketahui oleh para dewa, psikiatri, atau partai itu adalah
juga identitas yang diberi status kenyataan utama, legitimasi lagi, mengintegrasikan
semua transformasi identitas yang mungkin dengan identitas yang keberadaannya
berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sekali lagi, universum simbolis
membangun tingkat-pangkat atau hirarki mulai dari identitas “yang paling
nyata” sampai kepada pemahaman-diri yang paling kabur. Ini berarti bahwa
individu bisa hidup dalam masyarakat dengan keyakinan bahwa dirinya benar-benar
seperti yang diyakininya sementara ia memainkan peranan-peranan sosial rutin,
secara terang-terangan dan dengan disaksikan oleh orang-orang yang berpengaruh.
Satu fungsi legitimasi yang strategis dari universum simbolis bagi biografi
individu adalah “tempat” kematian. Pengalaman tentang kematian orang
lain dan, kemudian, antisipasi tentang kematian dirinya sendiri merupakan situasi
marjinal par excel-
-145-
lence bagi individu.
[74] Kiranya tak perlu ditulis lagi bahwa kematian juga merupakan
ancaman yang paling menakutkan bagi kenyataan yang sudah diterima begitu saja
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, integrasi kematian ke dalam kenyataan
utama dari eksistensi sosial sangat penting artinya bagi setiap tatanan kelembagaan.
Ini berarti, legimasi kematian merupakan satu di antara buah terpenting dari
universum simbolis. Apakah hal itu dilakukan dengan atau tanpa bantuan penafsiran
terhadap kenyataan secara mitologis, religius atau metafisis, bukan merupakan
soal yang pokok disini. Kaum ateis modern, umpamanya, yang memberikan makna
kepada kematian dari suatu Weltanschauung evolusi progresif atau sejarah revolusioner,
juga melakukan hal itu dengan jalan mengintegrasikan kematian dengan suatu universum
simbolis yang mencakup kenyataan. Semua legitimasi tentang kematian harus melakukan
tugas pokok yang sama—mereka harus memungkinkan individu untuk terus hidup
dalam masyarakat setelah kematiannya sendiri dengan cara, paling tidak, rasa
takut yang diperingan sedemikain rupa sehingga tidak akan melumpuhkan tugasnya
untuk terus melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari. Kiranya dengan mudah bisa
dipahami bahwa legitimasi seperti itu sulit dicapai kecuali dengan jalan mengintegrasikan
fenomen kematian ke dalam suatu universum simbolis. Maka legitimasi seperti
itu memberikan kepada individu suatu resep untuk “mati dengan cara yang
benar”. Resep ini secara optimal, akan tetap mempertahankan sifatnya yang
masuk akal, apabila kematian seseorang sudah mendekat dan, sesungguhnyalah,
akan memungkinkannya untuk “mati dengan cara yang benar”.
Dalam legitimasi kematianlah potensi transendensi dari universum simbolis memanifestasikan
dirinya dengan cara yang paling jelas, dan terungkaplah sifat meredakan ketakutan
yang
-146-
mendasar dari legitimasi tertinggi bagi kenyataan utama kehidupan sehari-hari.
Keunggulan objektivasi sosial kehidupan sehari-hari hanya akan dapat mempertahankan
kemasuk-akalan subjektifnya jika ia terus-menerus dilindungi dari kengerian
yang hebat (teror). Pada tingkat makna, tatanan kelembagaan merupakan suatu
tameng bagi kengerian itu. Karena itu suatu keadaan yang anomis berarti kehilangan
tameng ini dan individu berada dalam keadaan terbuka, sendirian, menghadapi
gempuran mimpi buruk. Sementara kengerian yang timbul dari kesendirian mungkin
sudah terkandung dalam sosialitas konstitusional manusia, ia memanifestasikan
diri pada tingkat makna dalam ketidakmampuan manusia untuk mempertahankan suatu
eksistensi bermakna dalam keadaan terisolasi dari berbagai konstruksi nomis
dalam masyarakat. Universum simbolis melindungi individu dari teror terdahsyat
itu dengan jalan memberikan legitimasi yang paling mendasar kepada struktur-struktur
tatanan kelembagaan yang memberikan perlindungan.
[75]
Hal yang sama bisa dikatakan tentang arti sosial (dibandingkan dengan arti individual
yang baru saja kita bahas) universum simbolis. Mereka merupakan semacam langit-langit
yang menaungi tatanan kelembagaan maupun biografi individu. Mereka juga menentukan
batas-batas kenyataan sosial : Artinya, mereka menentukan batas-batas dari apa
yang relevan dari segi interaksi sosial. Salah satu kemungkinan yang ekstrim
dalam hal ini, yang kadang-kadang hampir terwujud dalam masyarakat primitif,
adalah pendefinisian apa saja sebagai kenyataan sosial: bahkan zat anorganik
sekalipun diperlakukan dari segi sosial. Suatu pembatasan yang lebih sempit,
dan lebih lazim, banya mencakup dunia organik atau dunia hewani saja. Universum
simbolis memberikan urutan tingkat atas berbagai fenomen dalam suatu hierarki
keberadaan, dan mendefinisikan fenomen-fenomen sosial di dalam kerangka hirarki
ini.
[76] Dengan sendirinya tingkat-
-147-
tingkat itu juga dikenakan kepada berbagai tipe manusia, dan sering terjadi
bahwa kategori-kategori yang luas dari tipe-tipe itu (yang kadang-kadang mencakup
siapa saja di luar kolektivitas yang berangkutan) didefinisikan sebagai bukan
manusia atau lebih rendah daripada manusia. Hal ini pada umumnya diungkapkan
melaluibahasa (dalam kasus ekstrim, nama kolektivitas itu sendiri merupakan
padanan dari kata “manusia”). Ini bukan hal yang sangat jarang,
bahkan dalam masyarakat-masyarakat yang sudah berperadaban sekalipun. Ebagai
contoh, universum simbolis di India yang tradisional memberikan suatu status
kepada golongan paria yang lebih mendekati status hewan daripada status manusia
dari kasta-kasta yang lebih atas (suatu hal yang akhirnya dilegitimasikan dalam
teori tentang karma-samsara, yang mencakup semua makhluk, manusia atau bukan),
dan di zaman penaklukan-penaklukan Amerika oleh bangsa Spanyol, adalah mungkin
bagi orang-orang Spanyol menganggap orang-orang Indian sebagai makhluk yang
tergologn dalam species yang lain (dan anggapan ini dilegitimasikan dengan cara
yang tidak begitu komprehensif oleh sebuah teori yang “membuktikan”
bahwa orang-orang Indian tak mungkin berasal dari Adam dan Hawa).
Universum simbolis juga menata sejarah. Ia menempatkan semua
peristiwa kolektif dalam suatu kesatuan kohesif yang mencakup masa lampau, sekarang
dan masa depan. Mengenai masa lampau ia membentuk satu “ingatan”
yang merupakan milik bersama semua individu yang disosialisasikan di dalam kolektivitas
yang bersangkutan.[77] Mengenai masa depan, ia membentuk suatu kerangka acuan bersama
bagi proyeksi tindakan-tindakan individu. Dengan demikian maka universum simbolis
menghubungkan manusia dengan orang-orang yang hidup sebelum dan sesudah dia
dalam suatu totalitas bermak-
-148-
na,
[78] dan dengan cara itu mengatasi keberhinggaan eksistensi individu dan memberikan
makna kepada kematian individu. Semua anggota suatu masyarakat sekarang dapat
memahami diri mereka sebagai termasuk dalam suatu universum bermakna, yang sudah
ada sebelum mereka lahir dan akan tetap ada setelah mereka mati. Komunitas empiris
dipindahkan ke tahap kosmis yang dengan penuh keagungan tidak tergantung kepada
eksistensi individu yang berubah-ubah.
[79]
Seperti telah kami kemukakan, universum simbolis memungkinkan suatu integrasi
yang komprehensif dari semua proses kelembagaan yang terlepas satu sama lain.
Masyarakat secara keseluruhan sekarang punya arti. Lembaga-lembaga dan peranan
khusus dilegitimasikan dengan jalan menempatkannya dalam suatu dunia yang bermakna
secara komprehensif. Sebagai contoh, tatanan politik dilegimasikan dengan mengacu
pada suatu tatanan kosmis dari kekuasaan dan keadilan, dan peranan poltik dilegitimasikans
ebagai representasi prinsip-prinsip kosmis itu. Lembaga raja-dewa dalam peradaban-peradaban
purba merupakan satu ilustrasi yang baik sekali dari cara beroperasinya legitimasi
tertinggi semacam itu. Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa tatatan
kelembagaan, seperti tatanan biografi individu, terus menerus terancam oleh
kehadiran berbagai kenyataan yang tidak bermakna dilihat dari seginya sendiri.
Legitimasi tatanan kelembagaan juga dihadapkan kepada keharusan untuk terus-menerus
melawan khaos. Semua kenyataan sosial berada dalam bahaya. Semua masyarakat
merupakan bangunan-bangunan untuk menghadapi khaos. Kemungkinan yang terus-menerus
akan terjadinya teror anomis akan terwujud apabila legitimasi yang mengaburkan
keadaan yang rapuh itu terancam atau ambruk. Rasa takut yang mengiringi kematian
seorang raja, terutama jika hal itu terjadi dengan kekerasan yang mendadak,
mengekspresikan teror ini. Di atas dan diluar perasaan simpati atau kepentingan
politik yang pragmatis, ke-
-149-
matian seorang raja dalam kondisi-kondisi seperti itu mendekatkan teror khaos
kepada kesadaran. Reaksi rakyat atas terbunuhnya presiden Kenedy merupakan suatu
ilustrasi yang sangat mengesankan. Mudah dimengerti mengapa peristiwa-peristiwa
seperti itu harus dengan segera diikuti oleh penegasan kembali dengan cara yang
paling khidmat tentang kenyataan tetap adanya simbol-simbol yang memberikan
perlindungan.
Asal-usul universum simbolis berakar dalam konstitusi manusia. Apabila manusia
dalam masyarakat merupakan pembangun dunia, maka hal itu dimungkinkan oleh keterbukaan-dunianya
yang sudah diberikan oleh konstitusinya, yang sudah mengandung arti adanya konflik
antara ketetiban dan khaos. Eksistensi manusia itu merupakan satu eksternalisasi,
ab initio, yang berlangsung terus-menerus. Sementara manusia mengeksternalisasikan
dirinya ia membangun dunia ke dalam mana ia mengeksternalisasi diri. Dalam proses
eksternalisasi itu, ia memproyeksikan makna-maknanya sendiri ke dalam kenyataan.
Universum-universum simbolis, yang mempermaklumkan bahwa semua kenyataan secara
insaniah bermakna dari segi manusia dan yang berseru kepada seluruh kosmos untuk
menunjukkan validitas eksistensi manusia, mengkonstitusikan batas-batas terjauh
dari proyeksi ini.
[80]
Peralatan Konseptual untuk Memelihara Universum
Dipandang sebagai suatu konstruksi kognitif, universum simbolis itu sifatnya
teoritis. Ia berasal dari proses-proses refleksi subjektif yang setelah melalui
objektivasi sosial melahirkan ikatan-ikatan yang eksplisit antara tema-tema
penting (significant themes) yang berakar dalam berbagai lembaga. Dalam pengertian
ini, sifat teoritis dari universum simbolis itu tak dapat disangsikan lagi,
tak peduli bagaimana tidak sistematisnya atau tidak logisnya universum seperti
itu tampaknya bagi orang luar yang “tidak bersimpati”. Namun demikian,
manusia bisa, dan
-150-
memang khas, hidup secara naif dalam suatu universum simbolis. Sementara pembentukan
suatu universum simbolis mengandaikan adanya refleksi teoritis di pihak seseorang
(yang baginya dunia atau, lebih tegas lagi, tatanan kelembagaan, tampak problematis),
tiap orang bisa “menghuni” universum itu dengan sikap yang menganggapnya
sebagai sudah sewajarnya. Agar supaya tatanan kelembagaan dianggap sebagai sudah
sewajarnya dalam totalitasnya sebagai satu keseluruhan yang maknawi, maka ia
harus dilegitimasi dengan jalan “menempatkannya” di dalam suatu
universum simbolis. Tetapi dengan mengandaikan hal-hal lainnya sama, maka universum
itu sendiri tidak memerlukan legitimasi lebih lanjut. Pertama-tama, yang tampaknya
problematis itu adalah tatanan kelembagaan dan bukan universum simbolis, dan
karena itu kegiatan berteori harus ditujukan kepada tatanan kelembagaan itu.
Sebagai contoh, dengan kembali kepada ilustrasi terdahulu tentang legitimasi
kekerabatan, begitu lembaga kesepupuan “ditempatkan” dalam sebuah
kosmos sepupu-sepupu mitologis, ia tidak lagi merupakan suatu fakta sosial yang
sederhana tanpa arti “tambahan”. Tetapi mitologi itu sendiri bisa
saja dianut secara naif tanpa refleksi teoritis tentangnya.
Hanya sesudah suatu universum simbolis diobjektivasi sebagai satu produk “pertama”
dari pemikiran teoritis akan timbul kemungkinan bagi refleksi (renungan) yang
sistematis mengenai kodrat universum itu. Sementara universum simbolis melegitimasi
tatanan kelembagaan pada tingkat keumuman yang paling tinggi, berteori tentang
unversum simbolis bisa dilukiskan sebagai semacam legitimasi tingkat kedua.
Semua legitimasi, mulai dari legitimasi pra-teoritis yang paling sederhana mengenai
makna-makna yang sudah dilembagakan dan terpisah satu sama lain sampai kepada
pembenaran universum simbolis secara kosmis, pada gilirannya bisa dilukiskan
sebagai peralatan untuk memelihara universum. Sebagaimana dapat dilihat dengan
mudah, hal itu sejak semula memerlukan kecanggihan konsep yang tidak sedirik.
Sudah jelas terdapat berbagai kesulitan untuk menarik garis-garis yang tegas
antara “naif” dan “canggih” dalam kasus-
-151-
kasus yang kongkrit. Tetapi pembedaan analitisnya berguna dalam kasus-kasus
seperti itu sekalipun, karena ia menarik perhatian terhadap masalah sejauh mana
suatu unviersum simbolis dianggap sudah sewajarnya. Sudah tentu, dalam hal ini,
masalah analitisnya serupa dengan yang telah kita jumpai dalam pembahasan kita
mengenai legitimasi. Ada berbagai tingkat legitimasi universum simbolis, seperti
juga ada berbagai tingkat legitimasi lembaga-lembaga, dengan catatan bahwa yang
disebut duluan tidak bisa dikatakan turun ke tingkat prateoritis, dengan alasan
yang sudah jelas bahwa universum simbolis itu sendiri merupakan satu fenomen
teoritis dan tetap demikian apabila dianut secara naif sekalipun.
Seperti dalam kasus lembaga, timbul pertanyaan tentang keadaan di mana terdapat
keperluan untuk melegitimasi universum-universum simbolis dengan menggunakan
peralatan konsep yang spesifik untuk memelihara universum. Dan di sini pun jawabannya
serupa dengan yang diberikan dalam kasus lembaga-lembaga. Prosedur-prosedur
spesifik pemeliharaan universum menjadi perlu apabila universum simbolis bersangkutan
telah menjadi satu masalah. Selama keadaannya belum sampai demikian, universum
simbolis bisa memelihara diri sendiri; artinya melegitimasikan diri hanya melalui
faktisitas eksistensi objektifnya dalam masyarakat bersangkutan. Kita dapat
membayangkan suatu masyarakat di mana hal ini mungkin terjadi. Masyarakat seperti
itu tentunya merupakan sebuah “sistem” yang harmonis, mandiri, dan
berfungsi dengan sempurna. Dalam kenyataannya tidak ada masyarakat yang demikian.
Oleh karena ada ketegangan-ketegangan yang tak terelakkan dalam proses-proses
pemelbagaan dan semata-mata karena kenyataan bahwa semua fenomen sosial merupakan
bangunan-bangunan yang dihasilkan secara historis melalui kegiatan manusia,
maka tak ada satu pun masyarakat yang sepenuhnya dianggap sebagai sudah sewajarnya,
dan demikian pula halnya, a fortiori, dengan universum simbolis. Tiap universum,
sejak awal sudah mengandung benih-benih masalah. Maka pertanyaannya adalah,
sampai sejauh mana ia sudah menjadi masalah.
Satu masalah intrinsik, yang serupa dengan masalah yang
-152-
telah kita bahas dalam hubungannya dengan tradisi pada umumnya, muncul dalam
proses pengalihan universum simbolis dari satu generasi ke generasi lainnya.
Sosialisasi tidak pernah berhasil sepenuhnya. Ada individu-individu yang “menghuni”
universum yang dialihkan itu dengan cara yang lebih pasti dibandingkan dengan
individu lain. Di kalangan “penduduk” yang sedikit-banyak sudah
maju sekalipun, akan selalu ada variasi-variasi idiosinkratis dalam cara mereka
memahami universum itu. Justru karena universum simbolis tidak bisa dialami
sebagai universum simbolis dalam kehidupan sehari-hari, melainkan karena sifatnya
mengatasi kehidupan sehari-hari itu, maka tidaklah mungkin untuk “mengajarkan”
maknanya dengan cara yang langsung sebagaimana yang dapat digunakan untuk mengajarkan
makna-makna kehidupan sehari-hari. Pertanyaan anak-anak mengenai universum simbolis
harus dijawab dengan cara yang lebih kompleks dibandingkan dengan pertanyaan
mereka tentang berbagai kenyataan kelembagaan dari kehidupan sehari-hari. Pertanyaan
orang dewasa yang mempunyai pandangan yang aneh-aneh memerlukan pengulasan konsep
lebih jauh. Dalam contoh yang telah dikemukakan di atas, makna kesepupuan secara
terus-menerus direpresentasikan oleh sepupu-sepupu yang sebenarnya yang memainkan
peranan sepupu dalam kegiatan rutin yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Sepupu-sepupu dunia insani terdapat secara empiris. Sayangnya, tidak begitu
halnya dengan sepupu dunia dewa-dewa. Ini merupakan satu masalah yang intrinsik
bagi para ahli pendidikan mengenai kesepupuan dewata. Sejalan dengan itu, hal
yang sama berlaku bagi pengalihan universum-universum simbolis lainnya.
Masalah instrinsik ini menjadi lebih menonjol lagi jika versi-versi yang menyimpang
dari universum simbolis dianut bersama-sama oleh berbagai golongan “penduduk”.
Dalam keadaan seperti itu, karena hal-hal yang sudah jelas dalam sifat objektivasi,
versi yang menyimpang itu menggumpal menjadi suatu kenyataan tersendiri yang,
dengan eksistensinya di dalam masyarakat, mengancam status kenyataan universum
simbolis dalam versinya yang asli. Golongan yang telah diobjektivasi kenyataan
yang menyimpang ini menjadi pengemban suatu definisi alterna
-153-
tif tentang kenyataan.
[81] Kiranya tak perlu kita bahas lebih lanjut persoalan bahwa
golongan-golongan bid’ah itu tidak hanya merupakan ancaman teoritis bagi
universum simbolis tersebut, tetapi juga ancaman praktis bagi tatanan kelembagaan
yang telah dilegitimasi oleh universum simbolis itu. Prosedur penindasan yang
biasanya digunakan terhadap golongan-golongan seperti itu oleh para penjaga
definisi kenyataan yang “resmi”, tidak perlu kita bahas dalam konteks
ini. Yang penting bagi pembahasan kita sekarang adalah perlunya penindasan-penindasan
itu dilegitimasi, yang dengan sendirinya mengimplikasikan digerakkannya berbagai
peralatan konseptual yang bertujuan untuk mempertahankan universum yang “resmi”
terhadap tantangan golongan bid’ah itu.
Dari segi sejarah, masalah bid’ah itu seringkali merupakan
dorongan pertama bagi konseptualisasi teoriti yang sistematis dari universum
simbolis. Perkembangan pemikiran teologi Kristen sebagai akibat adanya serangkaian
tantangan bid’ah terhadap tradisi “resmi” merupakan ilustrasi
historis yang baik sekali mengenai proses ini. Sebagaimana halnya dalams emua
kegiatan berteori, implikasi-implikasi teoritis baru di dalam tradisi itu sendiri
muncul selama berlangsungnya proses ini, dan tradisi itu sendiri muncul selama
berlangsungnya proses ini, dan tradisi itu sendiri didorong sampai melampaui
bentuk asalnya ke dalam berbagai konseptualisasi baru. Sebagai contoh, lahirnya
rumusan-rumusan Kristologi yang sangat teliti dari zaman dewan-dewan gereja
yang pertama telah dipaksakan bukan oleh tradisi itu sendiri melainkan oleh
berbagai tantangan bid’ah terhadapnya. Sementara rumusan-rumusan itu dimekarkan,
tradisi itu dalam waktu yang bersamaan dipertahankan dan diperluas. dEngan demikian
maka timbul, di antara banyak inovasi lainnya, sebuah konsepsi teoritis mengenai
Trinitas yang tidak saja tidak perlu, tetapi yang sesungguhnya tidak terdapat
dalam komunitas Kristen awal. Dengan kata lain, universum simbolis tidak hanya
dilegitimasi, tetapi juga dimodifikasi oleh peralatan
-154-
konseptual yang telah dibangun untuk menghalau tantangan berbagai golongan bid’ah
dalam suatu masyarakat.
Satu kesempatan yang baik sekali bagi pengembangan konseptualisasi untuk mempertahankan
universum, muncul apabila suatu masyarakat berhadapan dengan sebuah masyarakat
lain yang mempunyai sejarah yang sangat berbeda.
[82] Masalah yang ditimbulkan oleh konfrontasi
seperti itu secara khas lebih tajam daripada yang ditimbulkan oleh golongan-golongan
bid’ah di dalam masyarakat yang bersangkutan, karena dalam hal itu yang
dihadapi adalah suatu universum simbolis alternatif dengan suatu tradisi “resmi”,
yang objektivitasnya, yang juga dianggap sudah sewajarnya, sepadan dengan yang
terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Adalah jauh kurang mengejutkan bagi status
kenyataan universum kita sendiri, apabila kita hanya berhadapan dengan golongan-golongan
penyimpang yang merupakan minoritas, dan yang pembangkangannya sudah didefinisikan
sebagai kebodohan atau kejahatan, dibandingkan dengan apabila kita harus berhadapan
dengan suatu masyarakat lain yang memandang definisi kita sendiri mengenai kenyataan
sebagai definisi orang yang tidak tahu, gila atau memang jahat.
[83] Kita mungkin
saja hidup bersama dengan sejumlah individu, bahkan juga seandainya mereka bersatu
sebagai golongan minoritas yang tidak dapat atau tidak mau menaati ketentuan-ketentuan
kelembagaan mengenai kesepupuan. Tetapi soalnya menjadi lain apabila, kita harus
berhadapan dengan suatu masyarakat secara keseluruhan yang belum pernah mendengar
tentang ketentuan-ketentuan itu, dan barangkali malahan tidak mempunyai kata
untuk “sepupu”, dan walaupun begitu kehidupan sehari-harinya tampak
lancar. Universum alternatif yang diperkenalkan oleh masyarakat lain itu harus
dihadapi dengan dalih-dalih yang sekuat mungkin mengenai keunggulan universum
kita sendiri. Keharusan ini memerlukan suatu peralatan konseptual yang canggih.
-155-
Munculnya sebuah universum simbolis alternatif merupakan satu ancaman oleh karena
eksistensinya itu sendiri sudah membuktikan secara empiris bahwa universum kita
sendiri bukannya tak terelakkan. Sebagaimana setiap orang dapat melihat sekarang,
ternyata mungkin juga untuk hidup dalam dunia ini tanpa adanya lembaga kesepupuan.
Dan orang bisa mengingkari atau malahan memperolok-olok para dewa kesepupuan
tanpa pada saat itu juga mengakibatkan runtuhnya langit. Fakta yang menejutkan
ini paling tidak harus dijelaskans ecara teoritis. Sudah tentu bisa juga terjadi
bahwa universum alternatif itu mempunyai daya tarik misioner. Individu-individu
atau kelompok-kelompok dalam masyarakat kita sendiri mungkin saja tergoda untuk
“beremigrasi” dari universum tradisional atau, yang merupakan bahaya
lebih gawat lagi, untuk mengubah tatanan lama dengan meniru tatanan yang baru
itu. Umpamanya, mudah untuk membayangkan bagaimana munculnya orang-orang Yunani
yang partriarkal telah mengacaukan universum masyarakat matriarkal yang ketika
itu terdapat di sepanjang pesisir Laut Tengah bagian timur. Universum orang
Yunani pasti mempunyai daya tarik yang sangat besar bagi kaum pria dalam masyarakat-masyarakat
itu yang hidup di bawah kekuasaan kaum wanita, dan kita tahu bahwa Ibunda Agung
(the Great Mother) telah menimbulkan kesan yang sangat mendalam di kalangan
orang Yunani sendiri. Mitologi Yunani penuh dengan pemekaran-pemekaran konsep
yang ternyata diperlukan untuk dapat menanggulangi masalah ini.
Penting untuk ditekankan bahwa peralatan-peralatan konseptual-konseptual untuk
memelihara universum itu adalah juga produk kegiatan-kegiatan sosial, seperti
halnya semua bentuk legitimasi, dan jaranglah dapat dimengerti lepas dari banyak
kegiatan lainnya dari kolektivitas bersangkutan. Khususnya, keberhasilan peralatan
konseptual tertentu berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang
yang menggunakannya.
[84] Konfrontasi dengan berbagai universum simbolis alterna-
-156-
tif mengimplikasikan suatu masalah kekuasaan—masalah tentang yang mana
dari definisi-definisi tentang kenyataan yang saling bertentangan itu akan “dipertahankan”
dalam masyarakat. Dua masyarakat yang saling berhadapan dengan universum-universum
yang bertentangan akan sama-sama mengembangkan peralatan-peralatan konseptual
yang dimaksudkan untuk mempertahankan universum mereka masing-masing. Dari sudut
pandang kemungkinan intrinsik kedua bentuk konseptualisasi itu bagi pengamat
dari luar tampaknya barangkali tidak menawarkan banyak pilihan. Tetapi soal
yang mana dari kedua universum itu yang akan menang, akanlebih tergantung kepada
kekuasaan daripada kepada kelihaian teoritis para legitimator masing-masing.
Kita bisa membayangkan bahwa para mystagotue Olimpian dan Chthonik yang sama-sama
canggih akan bertemu dalam permusyawaratan ekumenis untuk membahas baik-buruknya
universum-universum mereka masing-masing sine ira et studio (tenang tanpa prasangka)
tetapi agaknya kemungkinan yang lebih besar adalah bahwa persoalan itu akan
diselesaikan pada tingkat militer dengan cara yang tidak begitu halus. Kesudahan
tiap bentrokan antardewa dalam sejarah telah ditentukan oleh orang-orang yang
menggunakan senjata-senjata yang lebih ampuh daripada oleh mereka yang dapat
mengemukakan argumen yang lebih baik. Sudah tentu, hal yang sama bisa dikatakan
tentang konflik-konflik semacam ini yang berlangsung di dalam suatu masyarakat.
Yang mempunyai pentungan yang lebih besarlah berpeluang lebih besar untuk memaksakan
definisi-definisinya mengenai kenyataan. Kiranya tidak akan meleset untuk menggunakan
asumsi ini terhadap tiap kolektivitas yang lebih besar, walaupun ada saja kemungkinannya
bahwa ahli-ahli teori yang tak mempunyai kepentingan politik akan saling meyakinkan
tanpa menggunakan cara-cara bujukan yang lebih kasar.
Peralatan-peralatan konseptual yang memelihara universum
-156-
simbolis selalu memerlukan
sistematisasi legitimasi kognitif dan normatif, yang sudah terdapat dalam masyarakat
pada tingkat yang lebih naif, dan yang diwujudkan dalam universum simbolis yang
bersangkutan. Dengan kata lain, bahan yang diperlukan untuk membangun legitimasi
pemeliharaan universum, dalam banyak hal merupakan pemekaran yang lebih lanjut,
pada tingkat integrasi teoritis yang lebih tinggi, dari berbagai legitimasi
berbagai lembaga. Maka biasanya terdapt suatu kesinambungan antaraskema-skema
penjelasan dan seruan, yang berfungsi sebaai legitimasi pada tingkat teoritis
yang paling rendah, dan berbagai konstruksi intelektual yang megah yang menjelaskan
kosmos. Hubungan antara konseptualisasi kognitif dan konseptualisasi normatif,
di sini dan di tempat-tempat lainnya, secara empiris sangat kabur; konseptualisasi
normatif selalu mengimplikasikan praandaian kognitif tertentu. Namun demikian,
pembedaan analitis itu berguna terutama karena ia menarik perhatian kepada tingkat-tingkat
diferensiasi yang berbeda-beda antara kedua bidang konseptual itu.
Kiranya sudah jelas bahwa adalah absurd untuk mencoba membahas secara terinci
di sini berbagai peralatan konsep untuk memelihara universum yang secara historis
tersedia bagi kita.
[85] Namun demikian kiranya pada tempatnya untuk memberikan beberapa
catatan mengenai sejumlah tipe peralatan konsep secara beruntun—mitologi,
teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Tanpa mengusulkan suatu skema evolusioner
bagi tipe-tipe seperti itu, kiranya tidak akan meleset untuk mengatakan bahwa
mitologi merupakan bentuk peralatan paling kuno untuk memelihara universum,
dan sesungguhnya ia merupakan bentuk paling kuno dari legitimasi pada umumnya.
[86]
Besar kemungkin-
-158-
an bahwa mitologi merupakan fase yang perlu dalam perkembangan pemikiran manusia
sebagai pemikiran.
[87] Bagaimana pun, konseptualisasi pemeliharaan universum paling
tua yang kita kenal berbentuk mitologis. Untuk tujuan kita sekarang kiranya
cukup jika kita mendefinisikan mitologi sebagai suatu konsepsi tentang kenyataan
yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari ini terus-menerus
diresapi oleh kekuatan-kekuata yang keramat.
[88] Konsepsi seperti itu dengan sendirinya
mengandaikan suatu tingkat kesinambungan yang tinggi antara tatanan sosial dan
tatanan kosmis, dan antara semua legitimasi mereka masing-masing;
[89] segenap kenyataan
tampak seperti terbuat dari bahan yang sama.
Mitologi sebagai suatu peralatan konseptual letaknya paling dekat dengan taraf
naif dari universum simbolis—tingkat di mana terdapat kebutuhan yang paling
kecil untuk pemeliharaan universum secara teoritis dengan melampaui pengandaian
bahwa universum yang bersangkutan benar-benar merupakan kenyataan yang objektif.
Itulah sebabnya, mengapa dalam sejarah berulang-ulang muncul fenomen berbagai
tradisi mitologis yang tidak konsisten tetapi bisa terus berdampingan satu sama
lain tanpa adanya integrasi teoritis. Secara tipikal, ketidak-konsistenan itu
hanya terasa setelah tradisi-tradisi itu menjadi problematis dan sementara itu
sudah berlangsung semacam integrasi. “Pe-
-159-
nemuan” ketidakkonsistenan seperti itu (atau, katakanlah, asumsi expost
facto-nya) biasanya dilakukan oleh para spesialis dalam tradisi itu, yang adalah
juga para pengintegrasi yang paling lazim dari tema-tema tradisional yang lepas
satu sama lain. Begitu kebutuhan akan integrasi sudah dirasakan, rekonstruksi
mitologis yang dihasilkan sebagai konsekuensinya bisa mempunyai tingkat kecanggihan
teoritis yang tinggi. Contoh dari Memeros kiranya cukup untuk membuktikan hal
itu.
Mitologi juga dekat dengan tahap naif dalam arti bahwa, meskipun terdapat para
spesialis dalam tradisi mitologis, pengetahuan mereka tidak beranjak jauh dari
apa yang diketahui oleh umum. Dengan cara-cara ekstrinsik, inisiasi ke dalam
tradisi yang dikelola oleh para spesialis ini bisa saja sukar. Ia mungkin terbatas
pada calon-calon terpilih saja, pada kesempatan atau waktu-waktu tertentu, dan
ia mungkin melibatkan persiapan ritual yang berat. Namun ia tidak selalu sukar
dari segi kualitas intrinsik perangkat pengetahuan itu sendiri, yang tidak sulit
untuk memperolehnya. Untuk menjaga kedudukan monopolistis para spesialis itu,
ketertutupan adat kebiasaan mereka bagi orang luar harus dikukuhkan secara kelembagaan.
Artinya, diandaikan adanya suatu “rahasia”, dan suatu perangkat
pengetahuan yang secara intrinsik bersifat eksoteris (terbuka bagi umum) didefinisikan
secara kelembagaan dengan kerangka esoteris. Satu pandangan sekilas mengenai
“kegiatan hubungan masyarakat” yang dilakukan oleh berbagai kelompok
ahli teori masa kini akan mengungkapkan bahwa permainan sulap dari zaman dulu
itu sama sekali belum berakhir. Demikian pula, ada berbagai perbedaan sosiologis
yang penting antara masyarakat-masyarakat di mana semua konseptualisasi untuk
mempertahankan universum berbentuk mitologi, dan masyarakat yang tidak demikian.
Sistem-sistem mitologi yang lebih dikembangkan berusaha untuk meniadakan hal-hal
yang tidak konsisten dan mempertahankan universum mitologis yang terintegrasi
secara teoritis. Mitologi yang boleh dikatakan sudah merupakan “ajaran
keagamaan” kemudian beralih menjadi konseptualisasi teologis yang sebenarnya.
Untuk tujuan kita sekarang, pemikiran teologis dapat dibedakan dari pemikiran
mitologis yang sebelumnya
-160-
hanya dari segi tingkat sistematisasi teoritisnya yang lebih tinggi. Konsep-konsep
teologis lebih jauh lagi beranjak dari taraf naif. Kosmos mungkin masih dipahami
dari segi kekuatan-kekuatan atau makhluk-makhluk keramat dari mitologi lama,
tetapi entitas-etitas keramat ini telah digeser ke jarak yang lebih jauh. Pemikiran
mitologis beroperasi di dalam kontinuitas antara dunia manusia dan dunia para
dewa. Pemikiran teologis berfungsi untuk memperantarai kedua dunia itu, justru
karena kontinuitas mereka yang semula ada sekarang kelihatan terputus. Dengan
berlangsungnya peralihan dari mitologi ke teologi, kehidupan sehari-hari tampaknya
tidak begitu terus-menerus dirembesi oleh kekuatan-kekuatan keramat. Karena
itu, perangkat pengetahuan teologis bergeser lebih jauh dari cadangan pengetahuan
umum yang dmiliki masyarakat dan dengan demikian secara intrinsik lebih sulit
untuk memperolehnya. Bahkan di mana ia tidak dengan sengaja dilembagakan sebagai
esoteris, ia tetap “rahasia” karena tidak bisa dimengerti oleh penduduk
pada umumnya. Konsekuensinya yang lebih jauh adalah bahwa penduduk mungkin secara
relatif tetap tak terpengaruh oleh teori-teori canggih yang dimaksudkan untuk
memelihara universum yang dibuat oleh para spesialis teologi. Koeksistensi antara
mitologi naif yang terdapat di kalangan massa rakyat dan teologi yang canggih
di kalangan elit yang terdiri dari para ahli teori, di mana kedua-duanya berfungsi
untuk mempertahankan universum simbolis yang sama, merupakan fenomen yang sering
dijumpai dalam sejarah. Hanya denganmengingat fenomen ini, umpamanya, kita bisa
menamakan masyarakat-masyarakat tradisional di Timur Jauh sebagai”Buddhis”
atau,malahan, menamakan masyarakat abad pertengahan sebagai masyarakat “Kristen”.
Teologi berfungsi sebagai paradigma bagi konseptualisasi filosofis dan ilmiah
yang lebih kemudian mengenai kosmos. Sementara teologi mungkin lebih dekat dengan
mitologi dalam hal isi religius definisi-definisinya tentang kenyataan, ia lebih
dekat dengan konseptualisasi yang lebih kemudian, yang mudah disekularisasikan,
dalam lokasi sosialnya. Berbeda dengan mitologi, ketiga bentuk peralatan konsep
lainnya yang dominan dalam
-161-
sejarah mejadi milik para elit spesialis, yang perangkat-perangkat pengetahuannya
menjadi semakin jauh terpisah dari pengetahuan umum masyarakat luas. Ilmu pengetahuan
modern merupakan satu langkah yang ekstrim dalam perkembangan ini, dan dalam
sekularisasi dan kecanggihan upaya untuk mempertahankan universum. Ilmu pengetahuan
tidak hanya menuntaskan penggeseran hal-hal yang keramat dari dunia kehidupan
sehari-hari, tetapi ia bahkan menggeser pengetahuan untuk mempertahankan universum
itu sendiri dari dunia. Kehidupan sehari-hari tidak lagi memiliki legitimasi
keramat dan jenis kejelasan teoritis yang dapat mengaitkannya kepada universum
simbolis dalam totalitasnya yang dikehendaki. Dengan kata-kata yang lebih sederhana,
anggota masyarakat yang “awam” tidak tahu lagi bagaimana universum
harus dipelihara secara konseptual, meskipun dengan sendirinya, ia masih tahu
siapa-siapa yang dianggap sebagai spesialis dalam memelihara universum itu.
Masalah menarik yang ditimbulkan oleh situasi itu termasuk dalam sosiologi pengetahuan
empiris tentang masyarakat masa kini dan tidak dapat dibahas lebih lanjut dalam
konteks buku ini.
Kiranya sudah jelas bahwa tipe-tipe peralatan konseptual itu telah muncul dalam
sejarah dalam berbagai modifikasi dan kombinasi yang tak terbilang banyaknya,
dan bahwa tipe-tipe yang telah kita bahas tidak harus mencakup semuanya itu.
Tetapi masih ada dua penerapan dari peralatan konseptual untuk mempertahankan
universum yang perlu dibahas dalam konteks teori umum: terapi dan penihilan
(nihilation).
Terapi menyangkut penerapan peralatan konseptual untuk menjamin bahwa para penyimpang
yang aktual atau potensial tetap berada dalam definisi-definisi tentang kenyataan
yang sudah dilembagakan, atau, dengan kata lain, untuk mencegah “penghuni-penghuni
suatu universum “beremigrasi”. Hal itu dilakukan dengan jalan menerapkan
aparat legitimasi kepada “kasus-kasus” perorangan. Oleh karena,
seperti telah kita lihat, tiap masyarakat menghadapi bahaya penyimpangan oleh
individu-individu, maka kita bisa mengandaikan bahwa terapi itu dalam salah
satu bentuknya merupakan satu fenomen sosial yang global. Pengaturan-pengaturan
kelembagaannya yang ter-
-162-
tentu, mulai dari cara-cara untuk mengusir roh jahat sampai kepada psikoanalisa,
mulai dari bimbingan yang diberikan oleh pendeta sampai kepada program-program
penyuluhan personil, sudah tentu, termasuk dalam kategori kendali sosial. Tetapi
yang menarik bagi kita di sini adalah aspek-aspek konseptual dari terapi itu.
Oleh karena terapi harus memusatkan perhatiannya kepada berbagai penyimpangan
dari definisi “resmi” tentang kenyataan, maka ia harus mengembangkan
suatu peralatan konseptual untuk menjelaskan penyimpangan itu dan untuk mempertahankan
kenyataan yang terancam olehnya. Ini memerlukan satu kumpulan pengetahuan yang
mencakup suatu teori tentang penyimpangan, suatu aparat untuk melakukan diagnosa,
dan sebuah sistem konseptual untuk “menyembuhkan jiwa”.
Sebagai contoh, dalam suatu kolektivitas di mana terdapat homoseksualitas yang
sudah melembaga di kalangan militer, maka individu yang tetap membangkang untuk
mempertahankan heteroseksualitasnya sudah pasti merupakan calon untuk menjalani
terapi, tidak saja karena minat-minat seksualnya jelas-jelas merupakan ancaman
bagi efisiensi tempur kesatuannya yang terdiri dari prajurit-prajurit yang saling
mencintai, tetapi juga karena penyimpangannya dari segi psikologis merongrong
kejantanan spontan orang-orang lainnya. Bagaimanapun juga, beberapa diantara
mereka, mungkin saja secara “bawah sadar”, akan tergoda untuk mengikuti
jejaknya. Pada tingkat yang lebih mendasar, kelakuan orang yang menyimpang itu
merupakan pembangkangan terhadap kenyataan sosial sebagai apa adanya, dengan
mempertanyakan prosedur-prosedur operasi yang sudah diterima sebagai sewajarnya
di bidang kognitif (“pria-pria jantan menurut kodratnya saling mencintai”)
dan di bidang normatif (pria-pria jantan seharusnya saling mencintai”).
Sesungguhnya orang yang menyimpang itu mungkin akan dipandang sebagai orang
yang secara terang-terangan menghina para dewa yang di alam kayangan sana saling
mencintai seperti halnya para penyembah mereka di dunia. Penyimpangan yang radikal
seperti itu memerlukan cara-cara terapi yang mempunyai landasan yang kuat dalam
teori tentang terapi. Juga harus ada suatu teori ten-
-163-
tang penyimpangan (artinya, suatu “patologi”) yang memberikan penjelasan
tentang kondisi yang mengejutkan itu (katakanlah, dengan mengandaikan bahwa
orang yang bersangkutan kemasukan roh jahat). Juga harus ada satu perangkat
konsep diagnosa (katakanlah, suatu symptomatology, dengan berbagai ketrampilan
yang sesuai untuk diterapkan dalam pengadilan melalui cobaab), yang secara optimal
tidak saja dapat melakukan spesifikasi yang tepat mengenai kondisi-kondisi yang
akut, akan tetapi juga deteksi “heteroseksual yang laten” dan mengambil
tindakan pencegahan dengan segera. Akhirnya, harus ada konseptualisasi tentang
proses penyembuhan itu sendiri (katakanlah, suatu katalog tentang teknik mengusir
roh jahat, masing-masing dengan landasan teoritisnya yang memadai).
Peralatan konseptual seperti itu memungkinkan penerapan terapinya oleh para
spesialis dengan semestinya, dan dapat diinternalisasi oleh para individu yang
menderita karena adanya penyimpangan itu. Internalisasi itu sendiri harus mempunyai
keefektifan terapuetis. Dalam contoh kita, peralatan konsepnya bisa dirancang
begitu rupa sehingga dapat menimbulkan rasa bersalah dalam diri individu (katakanlah
suatu “kecemasan heteroseksual”), satu hal yang tidak terlalu sulit
apabila sosialisasi primernyasetidak-tidaknya secara minimal berhasil. Di bawah
tekanan rasa bersalahnya, individu itu pada akhirnya akan mau menerima secara
subjektif konseptualisasi kondisinya yang oleh para ahli terapi dihadapkan kepadanya:
ia secara berangsur-angsur memperoleh suatu “pengertian yang mendalam”,
dan diagnosa itu menjadi subjektif nyata baginya. Peralatan konseptual itu bisa
dikembangkan lebih lanjut untuk memungkinkan pengonsepsian (dan dengan demikian
penghapusan secara konseptual) tiap kesangsian mengenai terapi di pihak ahli
terapi atau “pasien”. Umpamanya saja, mungkin akan ada sebuah teori
mengenai “perlawanan” (resistance) untuk menjelaskan kesangsian-kesangsian
yang terdapat pada pasien, dan sebuah teori mengenai “kontra-transferensi”
(counter-transference) untuk menjelaskan berbagai kesangsian yang mungkin menghinggapi
ahli terapi. Terapi yang berhasil adalah yang menciptakan suatu simetri antara
peralatan konseptual dan penghayatannya yang
-164-
subjektif dalam kesadaran individu: ia melakukan sosialisasi kembali orang yang
menyimpang itu ke dalam kenyataan objektif dari universum simbolis masyarakat.
Sudah tentu akan terdapat rasa puas yang besar dalam diri orang yang dengan
demikian kembali ke “keadaan normal” itu. Orang itu sekarang bisa
kembali ke pelukan berahi komandan peletonnya dengan perasaan bahagia, karena
ia tahu bahwa ia telah “menemukan dirinya” dan kembali di jalan
yang benar dalam pandangan para dewa.
Terapi menggunakan suatu peralatan konsep untuk mempersatukan semua orang di
dalam universum yang bersangkutan. Penihilan atau peniadaan, pada gilirannya,
menggunakan peralatan yang serupa untuk meniadakan secara konseptual segala
sesuatu yang berada di luar universum itu. Prosedur ini juga bisa dilukiskan
sebagai semacam legitimasi negatif. Legitimasi mempertahankan kenyataan universum
yang telah dibangun secara sosial: peniadaan menyangkal kenyataan dari fenomen
atau interpretasi fenomen yang bagaimanapun, yang tidak cocok dengan universum
tersebut. Ini bisa dilakukan dengan dua jalan. Pertama, fenomen-fenomen yang
menyimpang bisa diberi status ontologis yang negatif, dengan atau tanpa maksud
terapeutis. Penggunaan peralatan konseptual untuk tujuan penihilan paling sering
diterapkan kepada individu-individu atau golongan-golongan yang asing bagi masyarakat
yang bersangkutan dan karenanya tidak bisa diberi terapi. Dalam hal ini operasi
konseptualnya sederhana saja. Ancaman terhadap definisi sosial tentang kenyataan
dinetralkan dengan jalan memberi status ontologis yang lebih rendah—dan
dengan demikian suatu status kognitif yang tidak perlu ditanggapi dengan sungguh-sungguh
dibandingkan dengan semua definisi yang berada di luar universum simbolis itu.
Dengan demikian, ancaman dari golongan antihomoseksual di sekitar masyarakat
homoseksual itu bisa ditiadakan secara konseptual bagi yang disebut belakangan
itu dengan jalan memandang tetangga-tetangga mereka itu sebagai makhluk yang
lebih rendah dari manusia dan yang dilahirkan dengan alam pikiran yang kacau
tentang segala macam perkara, penghuni alam kegelapan kognitif yang tak bisa
di-
-165-
tolong lagi. Silogisme dasarnya adalah sebagai berikut: tetangga-tetangga kita
itu adalah suku barbar. Tetangga-tetangga kita itu adalah antihomoseks. Karena
itu, antihomoseksualitas mereka merupakan omong kosong orang-orang yang tak
beradab, yang tidak perlu ditanggapi sungguh-sungguh oleh orang yang berpikiran
sehat. Prosedur konseptual yang sama, dengan sendirinya, juga bisa dikenakan
kepada orang-orang yang menyimpang di dalam masyarakat itu sendiri. Apakah orang
sesudah itu akan beralih dari penihilan kepada terapi, atau malahan akan meniadakan
secara fisik apa yang telah ditiadakan secara konseptual itu, merupakan persoalan
kebijaksanaan yang praktis. Dalam kebanyakan kasus, kekuasaan material dari
golongan yang telah ditiadakan secara konseptual itu akan merupakan faktor yang
bukan tidak penting. Dan, apa boleh buat, kadang-kadang keadaan yang dapat memaksa
orang untuk tetap bersahabat dengan orang-orang barbar.
Kedua, penihilan melibatkan upaya yang lebih ambisius untuk menjelaskan semua
definisi yang menyimpang tentang kenyataan berdasarkan konsep-konsep yang termasuk
dalam universum kita sendiri. Dalam suatu kerangka acuan teologis hal ini menyangkut
peralihan dari heresiologi ke apologetika (apologetics; suatu peralihan dari
pembid’ahan ke pembelaan). Konsepsi-konsepsi yang menyimpang itu tidak
sekadar diberi status negatif, mengingat konsep-konsep itu digarap secara terinci
dari segi teori. Tujuan akhir prosedur ini adalah untuk memasukkan konsepsi
itu ke dalam universum kita sendiri, dan dengan demikian meniadakannya sama
sekali. Karena itu konsepsi yang menyimpang itu harus diterjemahkan ke dalam
konsep-konsep yang diambil dari universum kita sendiri. Dengan cara ini, pengingkaran
terhadap suatu universum dengan cara yang halus diubah menjadi pengakuan terhadapnya.
Dalam hal ini selalu diandaikan sebelumnya bahwa orang yang ingkar itu memang
tidak tahu apa yang ia katakan. Pernyataan-pernyataannya hanya menjadi bermakna
sesudah diterjemahkan ke dalam istilah-istilah yang lebih “tepat”,
yakni istilah yang diambil dari universum yang ia ingkari. Sebagai contoh, para
ahli teori kita yang homoseksual dalam contoh di atas mungkin akan
-166-
mengemukakan argumen bahwa semua orang secara kodrati adalah homoseks. Mereka
yang menyangkal ini, karena kemasukan roh jahat atau hanya karena mereka orang
barbar, berani menyangkal kodrat mereka sendiri. Dalam lubuk hati mereka sendiri
mereka sebetulnya tahu ini. Karena itu yang perlu hanyalah untuk meneliti pernyataan-pernyataan
mereka dengan seksama guna mengungkapkan sikap mereka yang sebenarnya yang beritikad
buruk dan hanya ingin membela diri saja. Dengan demikian, apa pun yang mereka
katakan dalam soal ini akan dapat diterjemahkan menjadi pengakuan terhadap universum
homoseks, yang pura-pura mereka ingkari. Dalam suatu kerangka acuan teologis,
prosedur yang sama membuktikan bahwa iblis tanpa menyadarinya sendiri sebetulnya
mengagungkan Tuhan, bahwa segala ketidak-percayaan sebenarnya tidak lain dari
ketidakjujurannya yang tak disadari, malahan seorang ateis sesungguhnya adalah
orang yang beriman.
Penggunaan peralatan konseptual untuk tujuan terapi dan peniadaan terdapat secara
inheren dalam universum simbolis itu sendiri. Jika universum simbolis ingin
mencakup seluruh kenyataan, maka apa pun tak boleh dibiarkan berada diluar lingkup
konsepnya. Setidak-tidaknya dalam prinsipnya, definisi-definisinya tentang kenyataan
harus mencakup totalitas keberadaan. Peralatan konseptual yang dipakai dalam
upaya totalisasi itu, dari segi sejarah, berbeda-beda tingkat kecanggihannya.
Akan tetapi, in nuce, peralatan konseptual itu akan muncul begitu suatu universum
simbolis sudah terwujud.
Organisasi Sosial untuk Memelihara Universum
Karena merupakan produk historis dari kegiatan manusia, maka semua universum
yang dibangun secara sosial itu berubah, dan perubahan itu ditimbulkan oleh
tindakan-tindakan kongkrit manusia. Jika kita tenggelam dalam segala seluk beluk
mengenai peralatan konseptual yang digunakan untuk memelihara tiap universum
tertentu, kita bisa lupa akan fakta sosiologis yang mendasar ini: Kenyataan
ditentukan atau didefinisikan secara sosial. Akan tetapi definisi-definisi itu
selamanya diwujudkan, artinya, individu-individu dan kelompok individu
-167-
yang kongkrit bertindak sebagai pembuat definisi tentang kenyataan. Untuk dapat
memahami keadaan universum yang dibangun secara sosial itu pada setiap saat
tertentu, atau perubahannya dalam perjalanan waktu, kita harus memahami organisasi
sosial yang telah memungkinkan para pembuat definisi melakukan tugas itu. Dengan
kata-kata yang agak kasar, adalah penting sekali untuk melangkah terus dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai konseptual kenyataan yang terdapat dalam sejarah,
dengan bertolak dari “Apa?” yang abstrak ke “Kata siapa?”
yang sosiologis-kongkrit.
[90]
Seperti telah kita lihat, spesialisasi pengetahuan dan organisasi personil yang
menyertainya untuk tujuan pengelolaan perangkat-perangkat pengetahuan yang terspesialisasi
berkembang sebagai akibat pembagian kerja. Kita bisa membayangkan suatu tahap
awal dari perkembangan ini di mana belum ada persaingan di antara berbagai pakar.
Tiap bidang keahlian didefinisikan oleh fakta-fakta pragmatis dari pembagian
kerja. Ahli berburu tidak akan mengaku memiliki keahlian menangkap ikan dan
dengan demikian tidak akan punya alasan untuk bersaing dengan orang yang mempunyai
keahlian itu.
Sementara timbul bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih kompleks dan terbentuk
surplus ekonomi, para ahli mengabdikan diri mereka sepenuhnya kepada bidang
keahlian mereka, yang, dengan berkembangnya peralatan-peralatan konseptual,
bisa menjadi semakin jauh dari kebutuhan-kebutuhan pragmatis dalam kehidupan
sehari-hari. Para ahli dalam perangkat-perangkat pengetahuan yang sudah diperhalus
itu lalu menuntut suatu
-168-
status baru. Mereka tidak hanya ahli dalam sektor ini atau itu dari cadangan
pengetahuan dalam masyarakat, mereka juga menuntut yuridiksi paling tinggi atas
cadangan pengetahuan itu dalam totalitasnya. Mereka merupakan ahli-ahli universum
dalam arti kata yang sesungguhnya. Namun ini tidak berarti bahwa mereka mengaku
mengetahui segala-galanya, mereka hanya mengaku mengetahui arti yang paling
mendasar dari apa yang diketahui dan diperbuat oleh setiap orang. Orang-orang
lain boleh saja terus mematoki sektor-sektor tertentu dari kenyataan sosial,
tetapi para ahli itu mengaku memiliki keahlian dalam hal definisi yang paling
mendasar mengenai kenyataan itu sendiri.
Tahap ini dalam perkembangan pengetahuan mengandung sejumlah konsekuensi. Yang
pertama, yang telah kita bahas, adalah munculnya teori murni. Oleh karena para
ahli universum beroperasi pada satu tingkat abstraksi yang tinggi dari peristiwa
sehari-hari, maka orang lain dan mereka sendiri mungkinberkesimpulan bahwa teori0teori
mereka tidak punya kaitan apa pun dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,
melainkan berada dalam semacam alam Platonik yang dihuni oleh ide-ide yang asosial
dan ahistoris. Sudah tentu, ini hanya suatu ilusi, namun ia bisa mempunyai potensi
sosio-historis yang besar, karena adanya hubungan antara proses mendefinisikan
kenyataan dan proses memproduksi kenyataan.
Konsekuensi kedua adalah menjadi semakin kuatnya tradisionalisme dalam tindakan-tindakan
yang sudah melembaga dan dilegitimasikan; artinya, semakin kuatnya kecenderungan
pelembagaan yang inheren ke arah kelembaman (inertia).
[91] Pembinaan dan pelembagaan
pada dirinya membatasi kelenturan tindakan-tindakan manusia. Lembaga-lembaga
cenderung untuk bertahan terus kecuali jika sudah berubah menjadi “masalah”.
Legitimasi yang paling mendasar tak dapat tidak akan memperkuat kecenderungan
ini. Semakin abstrak legitimasi itu, semakin
-169-
kecil kemungkinannya untuk bisa diubah sesuai dengan berubahnya keadaan-keadaan
yang pragmatis. Jika ada kecenderungan untuk, dengan cara apapun, bertahan terus
seperti yang sudah-sudah, maka kecenderungan ini jelas diperkuat oleh adanya
alasan-alasan yang baik kecuali untuk berbuat demikian. Ini berarti bahwa lembaga-lembaga
bisa bertahan terus, bahkan apabila, dalam pandangan orag luar, lembaga-lembaga
itu sudah kehilangan fungsionalitas atau kepraktisannya yang semula. Orang melakukan
hal-hal tertentu bukan karena hal-hal itu bisa dilakukan, melainkan karena hal-hal
itu benar—artinya, benar dari segi definisi-definisi yang paling mendasar
tentang kenyataan yang telah diumumkan dengan resmi oleh para ahli universum
itu.
[92]
Munculnya personil yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada legitimasi yang mempertahankan
universum juga menimbulkan peluang-peluang bagi konflik sosial. Beberapa diantara
konflik-konflik itu adalah antara para pakar dan para praktisinya. Yang belakangan
itu, karena alasan-alasan yang tidak perlu dibahas lebih lanjut di sini, mungkin
saja merasa jengkel dengan pretensi yang muluk-muluk dari para pakar dan berbagai
privilesi sosial yang kongkrit yang mereka nikmati berdasarkan pretensi-pretensi
itu. Yang agaknya paling menyakitkan hati mereka adalah pengakuan para pakar
itu bahwa mereka lebih mengetahui arti yang paling mendasar dari kegiatan para
praktisi daripada para praktisi itu sendiri. Pemberontakan seperti itu di pihak
“orang-orang awam” bisa mengakibatkan munculnya definisi-definisi
saingan mengenai kenyataan dan, akhirnya, bisa muncul pakar-pakar baru yang
bertugas mengamankan definisi-definisi baru itu. India Kuno memberikan kepada
kita beberapa di antara ilustrasi-ilustrasi historis yang paling baik tentang
ini. Orang-orang Brahman, qua pakar dalam masalah kenytaan yang paling mendasar,
secara mencengangkan telah berhasil untuk menanamkan de-
-170-
finisi-definisi mereka tentang kenyataan dalam masyarakat luas. Apa pun asal-usulnya,
sistem kasta sebagai buatan kaum Brahman telah berhasil meluaskan diri selama
berabad-abad sampai meliputi bagian terbesar anak-benua India. Malahan, para
pangeran yang memerintah selalu meminta orang-orang Brahman untuk bertindak
sebagai “perekayasa sosial” guna menegakkan sistem itu di wilayah-wilayah
baru (untuk sebagian karena sistem itu dipandang sebagai identik dengan peradaban
yang lebih tinggi, dan untuk sebagian juga, tak disangsikan lagi, karena para
pangeran memahami kegunaannya yang sangat besar sebagai kendali sosial). Hukum
Manu (Code of Manu) memberikan kepada kita satu gambaran yang baik sekali tentang
rancangan kaum Brahman mengenai masyarakat dan keuntungan-keuntungan yang sangat
duniawi yang mereka peroleh sebagai akibat diterimanya mereka sebagai perancang
yang sudah ditakdirkan secara kosmis. Tetapi tak terelakkan lagi nantinya akan
muncul konflik antara para ahli teori itu dan para pelaksana kekuasaan dalam
situasi seperti itu. Yang belakangan itu diwakili oleh kaum Kshatria, yakni
kasta militer dan bangsawan. Kepustakaan epos India Kuno, yakni Mahabharata
dan Ramayana, memberikan kesaksian yang jelas sekali tentang konflik ini. Bukanlah
suatu kebetulan, bahwa pemberontakan teoritis terhadap universum Brahman, yakni
Jainisme dan Buddhisme, dari segi sosial muncul dari kalangan kaum Kshatriya.
Tak perlu dijelaskan lagi kiranya bahwa pendefinisian ulang tentang kenyataan
sosial yang dilakukan oleh Jainisme dan buddhisme telah melahirkan pakar-pakar
mereka sendiri, seperti agaknya begitu pula halnya dengan para penyair epos
yang menyangkal universum Brahman dengan cara yang tidak begitu komprehensif
dan tidak begitu canggih.
[93]
Dengan ini kita sampai kepada satu kemungkinan konflik lain yang tak kurang
pentingnya—konflik antara kelompok-kelompok pakar yang saling bersaing.
Selama teori mempunyai kegunaan pragmatis yang bisa diterapkan secara langsung,
per-
-171-
saingan apa pun yang mungkin ada masih cukup mudah diselesaikan melalui pengujian
secara pragmatis. Mungkin saja ada teori-teori yang saling bersaing tentang
berburu babi hutan di mana berbagai kelompok pakar pemburuan yang saling bersaing
mengembangkan kepentingan yang mapan. Persoalan itu bisa diselesaikan dengan
cara yang relatif mudah, yakni dengan melihat sendiri teori yang mana yang paling
memungkinkan orang membunuh babi hutan paling banyak. Kemungkinan seperti itu
tak ada dalam hal memecahkan persaingan antara, katakanlah, sebuah teori yang
politeistis dan sebuah teori yang henoteistis tentang alam semesta. Para ahli
teori yang bersangkutan harus mengganti cara pengujian yang pragmatis dengan
argumentasi yang abstrak. Karena sifatnya, argumentasi seperti itu secara inheren
tidak mampu membuktikan kebenarannya dengan suatu keberhasilan yang pragmatis.
Apa yang meyakinkan bagi seseorang mungkin tidak meyakinkan bagi orang lain.
Bagaimanapun kita tidak bisa menyalahkan para ahli teori seperti itu jika mereka
lalu mencari berbagai penopang yang lebih kukuh bagi argumen yang rapuh—seperti,
umpamanya berupaya agar pihak berwajib menggunakan kekuatan senjata untuk memaksakan
argumen seseorang kepada saingan-saingannya. Dengan kata lain, definisi-definisi
mengenai kenyataan bisa dipaksakan oleh polisi. Secara sambil lalu, hal itu
tidak berarti bahwa definisi-definisi seperti itu akan tetap kurang meyakinkan
dibandingkan dengan definisi yang diterima baik secara “sukarela”—kekuasaan
dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi
yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan yang membuat kenyataan.
Bagaimana pun juga, simbolisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian,
kekuasaan untuk membuat kenyataan. Bagaimanapun juga, simbolisasi yang sangat
abstrak (artina, teori-teori yang pada umumnya jauh dari pengalaman kongkrit
kehidupan sehari-hari) sementara disahkan oleh dukungan sosial dan bukan dukungan
empiris.
[94] Kita bisa saja mengatakan bahwa ini berarti kembali kepada suatu pragmatisme
yang semu. Teori-teori itu
-172-
lalu bisa dikatakans ebagai meyakinkan karena ternyata berlaku,—artinya,
berlaku dalam arti menjadi pengetahuan yang baku dan diterima sebagai sudah
sewajarnya dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pertimbangan-pertimbangan itu mengandung arti bahwa selalu akan ada suatu landasan
sosial-struktural bagi persaingan antara definisi-definisi yang saling bersaing
tentang kenyataan dan bahwa kesudahan persaingan itu akan dipengaruhi, jika
tidak selalu ditentukan secara langsung, oleh perkembangan landasan itu. Rumusan-rumusan
teoritis yang muskil bisa saja dihasilkan dalam keadaan hampir terisolasi dari
perkembangan-perkembangan besar dalam struktur sosial, dan dalam kasus-kasus
seperti itu persaingan di antara pakar-pakarnya bisa berlangsung di dalam semacam
ketiadaan masyarakat. Umpamanya, dua kelompok pertapa darwis bisa saja berdebat
terus tentang sifat yang paling hakiki dari alam semesta di tengah-tengah gurun
pasir, tanpa menarik perhatian sedikit pun orang-orang di luar kalangan mereka.
Akan tetapi, begitu salah satu di antara pandangan-pandangan dalam perdebatan
itu mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, maka pada umumnya kepentingan
ekstra-teoritislah yang akan menentukan kesudahan persaingan itu. Golongan-golongan
sosial yang berbeda akan mempunyai afinitas yang berbeda dengan teori-teori
yang bersaing itu dan untuk selanjutnya akan menjadi “pengemban-pengembannya”.
[95]
Demikianlah maka teori Darwis A mungkin menarik bagi lapisan atas dan teori
Darwis B akan mempunyai daya tarik bagi lapisan mengenah dalam masyarakat yang
bersangkutan, untuk alasan-alasan yang jauh dari gejolak perasaan yang telah
menggerakkan para penemu teori-teori itu sendiri. Lalu kelompok-kelompok pakar
yang saling bersaing akan bergabung dengan golongan-golongan “pengemban”,
dan nasib mereka selanjutnya akan tergantung kepada kesudahan konflik yang sebenarnya
yang telah menyebabkan golongan-golongan itu menganut teori-teori yang bersangkutan.
Dengan demikian
-173-
maka persaingan antara definisi-definisi tentang kenyataan diselesaikan dalam
bidang persaingan kepentingan sosial yang pada gilirannya, “diterjemahkan”
ke dalam bidang teori. Apakah pakar-pakar yang bersaing itu dan para pendukung
mereka masing-masing “jujur” dalam hubungan subjektif mereka dengan
teori-teori yang bersangkutan, merupakan soal yang tidak begitu penting bagi
pemahaman sosiologis tentang proses-proses itu.
Apabila bukan hanya persaingan teoritis melainkan juga persaingan praktis yang
timbul di antara kelompok-kelompok pakar yang menganut berbagai definisi yang
berbeda tentang hakikat kenyataan, maka de-pragmatisasi teori menjadi potensi
yang eksentrik; artinya, sebuah teori “dibuktikan” sebagai lebih
unggul dari segi pragmatis bukan berdasarkan kualitas intrinsiknya, melainkan
atas dasar sejauh mana teori itu bisa diterapkan bagi kepentingan-kepentingan
sosial golongan yang menjadi “pengembannya”. Sebagai akibatnya maka
dalam sejarah terdapat banyak sekali ragam organisasi sosial dari para pakar
teori. Meskipun jelas tak mungkin untuk memberikan suatu tipologi yang lengkat
disini, kiranya akan bermanfaat untuk membahas beberapa di antara tipe-tipe
yang paling umum.
Pertama sekali, barangkali secara paradigmatis, ada kemungkinan
bagi para pakar universum untuk memegang suatu monopoli yang efektif atas semua
definisi hakiki mengenai kenyataan dalam suatu masyarakat. Situasi seperti itu
bisa dianggap paradigmatis oleh karena ada alasan yang kuat untuk menganggapnya
sebagai khas bagi fase-fase awal dalam suatu sejarah manusia. Monopoli seperti
itu berarti bahwa ada satu tradisi simbolis tunggal, yang mempertahankan universum
bersangkutan. Maka hidup dalam masyarakat itu berarti menerima baik tradisi
tersebut. Para pakar dalam tradisi ini diakui sedemikian rupa oleh semua anggota
masyarakat dan mereka tidak menghadapi saingan yang efektif. Semua masyarakat
primitif yang secara empiris terbuka bagi penyelidikan kita tampaknya termasuk
dalam tipe ini, dan, dengan beberapa modifikasi, hal yang sama berlaku
-174-
pada bagian terbesar peradaban kuno.
[96] Ini tidak berarti bahwa masyarakat-masyarakat
itu tidak mempunyai orang-orang yang skeptis, bahwa setiap orang tanpa kecuali
telah menginternalisasikan tradisi itu sepenuhnya, melainkan bahwa orang-orang
yang skeptis di sana tidak terorganisasi secara sosial untuk dapat membantah
para penegak tradisi “resmi”.
[97]
Dalam situasi seperti itu, tradisi monopolistik dan para ahli yang mengelolanya
didukung oleh suatu struktur kekuasaan yang merupakan satu kesatuan. Mereka
yang menduduki posisi kekuatasaan yang sifatnya menentukan, siap sedia untuk
menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan definisi tradisional tentang kenyataan
kepada penduduk yang berada di bawah otoritas mereka. Konsep-konsep saingan
yang potensial mengenai universum dimusnahkan begitu mereka muncul—mereka
dihancurkan secara fisik (“barangsiapa tidak menyembah dewa-dewa harus
mati"” atau diintegrasikan ke dalam tradisi itu sendiri (para pakar
universum dalam hal ini mengemukakan argumen bahwa pantheon yang merupakan saingan
itu sesungguhnya hanya aspek atau nama lain dari pantheon X yang tradisional).
Dalam kasus yang disebut belakangan ini, apabila para pakar berhasil dengan
argumen mereka dan persaingan dapat diselesaikan melalui semacam "“eleburan"”
maka tradisi itu menjadi lebih kaya dan lebih beraneka ragam. Persaingan itu
juga bisa dilokalisasi dalam masyarakat dan dengan demikian dibuat tidak membahayakan
lagi sejauh menyangkut monopoli tradisional—umpamanya, para anggota golongan
penakluk atau penguasa tidak diperbolehkan menyembah dewa dari tipe Y, tetapi
lapisan penduduk yang telah ditundukkan atau yang lebih rendah boleh melakukannya.
Lokalisasi yang serupa dengan maksud perlindungan bisa dikenakan terhadap orang-orang
asing atau “kaum tamu”.
[98]
-175-
masyarakat Kristen Abad Pertengahan (yang pasti tidak bisa disebut primitif
atau kuno, namun demikian sebuah masyarakat dengan monopoli simbolis yang efektif)
memberikan ilustrasi yang baik sekali bagi ketiga prosedur penyelesaian itu.
Bid’ah yang terang-terangan harus dihancurkan secara fisik, tidak peduli
apakah bid’ah itu menjelma dalam seorang individu (katakanlah seorang
tukang sihir) atau sebuah kolektivitas; katakanlah Komunitas Albigenses. (Albigenses,
sebuah sekte keagamaan di Prancis sekitar 1020-1250, yang ditindas karena bid’ah—penerjemah).
Dalam pada itu, Gereja, sebagai penjaga monopolistis dari tradisi Kristiani,
sangat lentur dalam sikapnya untuk memasukkan ke dalam tradisi itu berbagai
ragam kepercayaan dan kebiasaan rakyat selama hal-hal itu tidak sampai menggumpal
menjadi pembangkangan bid’ah yang tegas terhadap universum Kristiani itu
sendiri. Tidak menjadi soal bahwa para petani memilih salah satu di antara dewa-dewa
mereka, “membaptisnya” sebagai orang suci Kristen, dan masih terus
memelihara dongeng-dongeng lama serta merayakan hari-hari besar lama yang ada
hubungan dengannya. Dan definisi-definisi saingan tertentu tentang kenyataan
setidak-tidaknya bisa dilokalisasi dalam masyarakat Kristen tanpa dipandang
sebagai ancaman baginya. Kasus yang paling penting dalam hal ini, tentunya,
adalah kasus orang-orang Yahudi,walaupun situasi serupa juga timbul di mana
orang-orang Kristen dan orang Islam terpaksa hidup berdekatan satu sama lain
dalam masa damai. Secara sambil lalu boleh dikemukakan bahwa pemencilan seperti
ini juga telah melindungi universum Yahudi dan Islam terhadap “pencemaran”
Kristen. Selama definisi-definisi saingan tentang kenyataan dapat secara konseptual
dan sosial dilokalisasi sebagai hal-hal yang hanya cocok bagi orang-orang asing,
dan atas dasar itu sebagai tidak relevan bagi kita sendiri, maka kita bisa mengadakan
hubungan bersahabat dengan orang-orang asing itu. Kesulitan timbul apabila “keasingannya”
sudah dapat ditembus dan universum yang menyimpang itu menampakkan diri sebagai
habitat yang mungkin bagi orang-orang kita sendiri. Pada titik itu, para pakar
tradisional agaknya akan menyerukan penggunaan bedil dan pedang—atau,
sebagai alternatifnya, terutama
-176-
jika bedil dan pedang ternyata tidak tersedia, untuk memulai perundingan-perundingan
ekumenis dengan saingan-saingan mereka itu.
Situasi monopolistis seperti ini terlebih dahulu mengandaikan adanya suatu tingkat
kestabilan sosio-struktural yang tinggi, dan situasi-situasi itu sendiris ecara
struktural mempunyai efek menstabilkan. Definisi-definisi tradisional tentang
kenyataan merintangi perubahan sosial. Sebaliknya, terputusnya keadaan di mana
monopoli diterima sebagai sudah sewajarnya mempercepat perubahan sosial. Karena
itu kita tidak perlu heran bahwa terdapat suatu afinitas yang mendalam antara
mereka yang berkepentingan untuk mempertahankan posisi kekuasaan yang sudah
mapan dan orang-orang yang mengelola tradisi pemeliharaan universum yang monopolistis.
Dengan kata lain, kekuatan-kekuatan politik yang konservatif cenderung untuk
mendukung tuntutan monopolistisnya, pada gilirannya, dari segi politik cenderung
konservatif. sUdah tentu, secara historis, kebanyakan monopoli itu adalah di
bidang keagamaan. Demikianlah kita bisa mengatakan bahwa gereja-gereja, yang
dipahami sebagai kombinasi monopolistis dari para pakar yang bekerja penuh di
bidang definisi keagamaan tentang kenyataan, secara inheren menjadi konservatif
begitu mereka berhasil menegakkan monopoli mereka dalam masyarakat tertentu.
Sebaliknya, golongan-golongan berkuasa yang berkepentingan untuk mempertahankan
status quo politik secara inheren mendukung gereja dalam orientasi keagamaan
mereka dan, karena itu pula, mencurigai setiap inovasi dalam tradisi keagamaan.
[99]
Karena berbagai sebab historis yang sifatnya “internasional” maupun
“domestik”, situasi monopolistis mungkin saja tidak dapat ditegakkan
atau dipertahankan. Ada kemungkinan pertarungan berlangsung sampai lama antara
tradisi-tradisi yang bersaing dan antara para pengelolanya. Apabila suatu definisi
ter-
-177-
tentu tentang kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan
yang kongkrit, ia bisa dinamakan suatu ideologi.
[100] Perlu ditekankan bahwa istilah
ini tidak banyak gunanya jika ia diterapkan pada jenis situasi monopolistis
seperti yang telah dibahas di atas. Tidak ada artinya, umpamanya, untuk berbicara
tentang Kekristenan sebagai suatu ideologi dalam Abad Pertengahan—walaupun
ia mempunyai kegunaan politis yang jelas bagi golongan-golongan yang berkuasa—semata-mata
karena universum Kristiani “dihuni” oleh semua orang dalam masyarakat
Abad Pertengahan, baik oleh kaum hamba maupun oleh tuan-tuan mereka. Tetapi
dalam periode sesudah Revolusi Industri, ada alasan yang kuat untuk menamakan
agama Kristen suatu ideologi borjuis, karena kaum borjuasi menggunakan tradisi
Kristen dan personilnya dalam perjuangan mereka melawan kelas buruh industri
yang baru muncul dan yang dalam banyak negara Eropa tidak lagi bisa dipandang
sebagai “menghuni” universum Kristen.
[101] Juga tidak banyak artinya
untuk menggunakan istilah itu, jika dua definisi yang berbeda tentang kenyataan
saling berhadapan dalam kontak antarmasyarakat—umpamanya, jika orang berbicara
tentang “ideologi Kristen” dari para pejuang Perang Salib dan tentang
“ideologi Islam” dari para pejuang Islam. Sifat khas yang membedakan
ideologi adalah bahwa universum yang sama secara keseluruhan ditafsirkan dengan
cara yang berbeda-beda, tergantung kepada kepentingan-kepentingan pamrih yang
kongkrit yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Seringkali suatu ideologi dianut oleh suatu golongan karena
-178-
adanya unsur-unsur teoritis tertentu yang menguntungkan kepentingan mereka.
Umpamanya, apabila suatu golongan petani yang jatuh miskin berjuang melawan
golongan saudagar kota yang telah memperbudak mereka dari segi keuangan, mereka
mungkin saja akan bersatu di bawah suatu doktrin keagamaan yang menjunjung tinggi
kebajikan kehidupan petani, mengutuk perekonomian uang dan sistem kreditnya
sebagai tidak bermoral, dan secara umum mengecam kemewahan kehidupan di kota.
“Keuntungan” ideologis dari doktrin seperti itu bagi kaum tani sudah
jelas. Ilustrasi-ilustrasi yang baik tentang ini bisa ditemukan dalam sejarah
Israel Kuno. Namun demikian, kelirulah untuk membayangkan bahwa hubungan antara
satu golongan kepentingan dan ideologinya selalu dalam logika demikian. Tiap
golongan yang terlibat dalam konflik sosial memerlukan solidaritas. Ideologi
menimbulkan solidaritas. Pilihan atas suatu ideologi tertentu tidak selalu harus
didasarkan atas unsur-unsur teoritis yang intrinsik, melainkan dapat merupakan
hasil suatu perjumpaan secara kebetulan. Sama sekali belum jelas, umpamanya,
bahwa unsur-unsur intrinsiknyalah yang telah membuat agama Kristen “menarik”
dari segi politik bagi golongan-golongan tertentu pada zaman Konstantin. Agaknya
yang terjadi adalah bahwa agama Kristen (yang pada mulanya, paling banter, merupakan
suatu ideologi kelas mengenah tingkat bawah) telah dimanfaatkan oleh kepentingan
yang berpengaruh untuk tujuan politik yang boleh dikatakan tak ada hubungannya
dengan ajaran agamanya. Untuk tujuan itu mereka sebenarnya dapat saja menggunakan
sarana lain dengan sama baiknya—hanya saja agama Kristen secara kebetulan
sekali tersedia bagi mereka pada saat harus mengambil keputusan. Dengan sendirinya,
begitu ideologi itu sudah dianut oleh golongan yang bersangkutan (lebih tepat
lagi, begitu doktrin itu menjadi ideologi golongan yang bersangkutan) ia lalu
dimodifikasi sesuai dengan kepentingan yang harus dilegitimasi. Ini melibatkan
suatu proses penyaringan dan penambahan bagi kumpulan proposisi teoritisnya
semula. Tetapi tidak ada alasan untuk mengasumsikan bahwa modifikasi itu hanya
mempengaruhi keseluruhan doktrin yang sudah diterima baik itu. Mungkin
-179-
saja unsur-unsur yang besar dalam suatu ideologi yang tak punya kaitan khusus
dengan kepentingan yang dilegitimasi, namun dengan tegas dikuatkan oleh golongan
“pengemban” semata-mata karena mereka telah mengikat diri kepada
ideologi itu. Dalam prakteknya hal itu dapat menyebabkan para pemegang kekuasaan
untuk mendukung pakar-pakar ideologi mereka dalam perselisihan teoritis yang
sangat tidak relevan bagi kepentingan mereka. Keterlibatan Konstantin dalam
sengketa-sengketa Kristologis di zaman itu merupakan contoh yang jelas tentang
hal itu.
Penting untuk diingat bahwa kebanyakan masyarakat moderen merupakan masyarakat
majemuk. Ini berarti bahwa mereka memiliki satu universum-inti bersama khusus
yang berbeda-beda dan hidup berdampingan sambil menyesuaikan diri satu sama
lain. Yang disebut belakangan itu mungkin saja mempunyai fungsi-fungsi ideologis
tertentu, tetapi konflik terang-terangan di antara ideologi-ideologi itu telah
digantikan, dalam berbagai tingkatan, oleh sikap toleran atau malahan kerja
sama. Situasi seperti itu, yang ditimbulkan oleh suatu konstelasi faktor-faktor
non-teoritis, menghadapkan para pakar tradisional kepada masalah-masalah teoritis
yang berat. Sebagai pengelola sebuah tradisi dengan pretensi-pretensi monopolistis
yang sudah ada sejak dahulu kala, mereka harus mencari jalan untuk melegitimasi
secara teoritis proses demonopolisasi yang sudah berlangsung. Kadang-kadang
mereka memilih untuk terus menyuarakan tuntutan totaliter yang lama seolah-olah
telah tidak terjadi sesuatu, tetapi sedikit sekali orang yang agaknya akan menanggapi
pernyataan itu dengan sungguh-sungguh. Apa pun yang diperbuat oleh para pakar
itu, situasi majemuk itu tidak hanya mengubah posisi sosial berbagai definisi
tradisional tentang kenyataan, tetapi juga mengubah cara definisi itu dipahami
dalam kesadaran individu.
[102]
Situasi majemuk itu mengandaikan adanya suatu masyarakat perkotaan dengan pembagian
kerja yang sudah sangat ber-
-180-
kembang, disertai oleh tingkat diferensiasi yang tinggi dalam struktur sosial
dan suatu surplus ekonomi yang besar. Kondisi-kondisi itu, yang sudah jelas
berlaku umum dalam masyarakat industri modern, juga terdapat, setidak-tidaknya
dalam sektor-sektor tertentu, dalam masyarakat-masyarakat dahulu. Kota-kota
besar di zaman Yunani-Romawi bisa dikemukakan sebagai contoh di sini. Situasi
majemuk itu sesuai dengan kondisi perubahan sosial yang pesat, dan sesungguhnya
kemajemukan itu sendiri merupakan satu faktor yang mempercepat perubahan justru
karena ia membantu merongrong keefektifan definisi-definisi tradisional tentang
kenyataan yang menentang perubahan. Kemajemukan mendorong skeptisisme dan inovasi
dan dengan demikian secara inheren merongrong kenyataan yang dianggap sudah
sewajarnya dari status quo tradisional. Kita dengan mudah dapat bersimpati dengan
para pakar definisi tradisional tentang kenyataan itu apabila mereka merindukan
zaman lampau ketika definisi itu masih memegang monopoli.
Satu tipe pakar yang penting dari segi sejarah, yang dalam prinsipnya bisa muncul
dalam setiap situasi yang baru saja kita bahas, adalah kaum intelektual (cendikiawan)
yang dapat kita definisikan sebagai pakar yang keahliannya tidak diinginkan
oleh masyarakat luas.
[103] Hal ini menyangkut suatu pendefinisian kembali pengetahuan
vis a vis adat-kebiasaan yang “resmi”; artinya, ia menyangkut lebih
dari sekadar penafsiran yang agak menyimpang dari yang disebut belakangan itu.
Dengan demikian maka cendikiawan itu, menurut definisinya, merupakan suatu tipe
marjinal. Apakah ia lebih dulu marjinal kemudian menjadi cendikiawan (seperti,
umpamanya, dalam kasus banyak cendikiawan Yahudi di dunia Barat modern), ataukah
kemarjinalannya itu merupakan akibat langsung dari penyimpangan-penyimpangan
intelektualnya (kasus orang bid’ah yang dikucil-
-181-
kan) tak perlu kita bahas di sini.
[104] Bagaimana pun, kemarjinalan sosialnya menunjukkan
bahwa dari segi teoritis ia tidak terintegrasi ke dalam universum masyarakatnya.
Ia tampil sebagai pakar-lawan dalam kegiatan mendefinisikan kenyataan. Seperti
halnya dengan pakar “resmi”, ia mempunyai suatu rancangan mengenai
masyarakat luas. Tetapi, sementara rancangan dari pakar “resmi”
selaras dengan program-program kelembagaan dan berfungsi sebagai legitimasi
teoritis mereka, maka rancangan cendikiawan itu berada di dalam suatu vakum
kelembagaan, dan paling banter diobjektivasi secara sosial dalam suatu sub-masyarakat
sesama cendikiawan. Sampai sejauh mana submasyarakat seperti itu mampu bertahan,
sudah jelas tergantung kepada konfigurasi struktural dalam masyarakat luas.
Tak akan meleset kiranya jika dikatakan bahwa kemajemukan, sampai tingkat tertentu,
merupakan satu kondisi yang perlu.
Seorang cendikiawan di dalam situasinya mempunyai sejumlah pilihan yang menarik
dari segi sejarah. Ia dapat menarik diri ke dalam suatu submasyarakat cendikiawan
yang lalu bisa berfungsi sebagai tempat pelarian emosi dan (lebih penting lagi)
sebagai landasan sosial bagi objektivasi definisi-definisinya yang menyimpang
tentang kenyataan. Dengan kata lain, seorang cendikiawan mungkin akan “merasa
betah” dalam submasyarakat sebagaimana ia tidak merasa betah dalam masyarakat
luas dan bersamaan dengan itu konsepsi-konsepsinya yang menyimpang, yang dihapuskan
oleh masyarakat luas, karena di dalam submasyarakat itu terdapat orang-orang
lain yang menganggap konsepsi-konsepsi menyimpang itu sebagai kenyataan. Ia
lalu akan mengembangkan berbagai prosedur untuk melindungi kenyataan yang rapuh
dari submasyarakat itu terhadap ancaman-ancaman tindakan penihilan atau penghapusan
dari luar. Pada tingkat teoritis, prosedur-prosedur itu akan mencakup pertahanan
terapeutis yang telah kita bahas sebelum ini. Dalam prakteknya, prosedur yang
paling penting adalah membatasi semua hubungan ber-
-182-
makna hanya dengan sesama anggota submasyarakat itu saja. Orang luar dihindari
karena ia senantiasa merupakan penjelmaan dari ancaman penihilan. Sekte keagamaan
dapat disebutkan sebagai prototipe submasyarakat jenis ini.
[105] Di dalam komunitas
sekte yang memberikan naungan, konsepsi-konsepsi yang paling menyimpang sekalipun
memperoleh sifat kenyataan objektif. Sebaliknya, penarikan diri seperti yang
dilakukan oleh sekte adalah khas bagi situasi di mana definisi-definisi tentang
kenyataan yang sebelumnya telah diobjektivasi mengalami disintegrasi; artinya,
mengalami deobjektivasi dalam masyarakat luas. Rincian-rincian proses ini termasuk
dalam sosiologi sejarah agama, meskipun perlu ditambahkan bahwa berbagai bentuk
sektarianisme yang ssudah disekularisasi merupakan satu sifat penting dari kaum
cendikiawan dalam masyarakat majemuk modern.
Satu pilihan yang penting dari segi sejarah, tentunya adalah revolusi. Dalam
hal ini seorang cendikiawan berupaya untuk merealisasikan rancangannya mengenai
masyarakat di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Kiranya tidak mungkin di
sini untuk membahas berbagai bentuk pilihan itu yang dapat kita jumpai dalam
sejarah,
[106] tetapi satu soal teoritis yang penting perlu dikemukakan di sini. Seperti
halnya seorang cendikiawan yang menarik diri memerlukan orang lain untuk mengakui
konsepsi-konsepsinya yang menyimpang. Kebutuhan ini jauh lebih mendasar dari
fakta yang sudah jelas bahwa tak ada persekutuan yang dapat berhasil tanpa organisasi.
Cendikiawan revolusioner harus mempunyai orang-orang lain yang membantunya mempertahankan
kenyataan (artinya, kemasuk-akalan subjektif dalam kesadarannya) dari ideologi
revolusioner. Semua definisi tentang kenyataan yang bermakna secara sosial harus
diobjek-
-183-
tivasi melalui proses-proses sosial. Karena itu, subuniversum memerlukan submasyarakat
sebagai landasan objektivasinya, dan definisi-definisi tandingan tentang kenyataan
memerlukan masyarakat tandingan. Tak perlu dijelaskan lagi kiranya bahwa setiap
keberhasilan praktis dari ideologi revolusioner akan memperkuat kenyataan yang
dimilikinya di dalam submasyarakat dan di dalam kesadaran para anggota masyarakat
itu. Kenyataannya memperoleh proporsi yang sangat massif apabila lapisan-lapisan
sosial secara keseluruhan menjadi “pengemban-pengembannya”. Sejarah
berbagai gerakan revolusioner modern memberikan banyak ilustrasi mengenai transformasi
orang-orang cendikia revolusioner yang menjadi pemberi legitimasi “resmi”
setelah gerakan seperti itu mencapai kemenangan.
[107] Ini memberikan petunjuk tidak
hanya bahwa dari segi sejarah terdapat keanekaragaman yang besar dalam karir
sosial para cendikiawan revolusioner, tetapi juga bahwa pilihan-pilihan dan
kombinasi yang berbeda bisa terjadi dalam biografi individu.
Dalam pembahasan-pembahasan di atas kami telah menekankan aspek-aspek struktural
dalam eksistensi sosial dari orang-orang yang memelihara universum. Hal ini
tak bisa dielakkan dalam setiap pembahasan sosiologis yang sesungguhnya. Lembaga-lembaga
dan universum simbolis dilegitimasi oleh individu-individu yang hidup, dengan
lokasi-lokasi dan kepentingan sosial yang kongkrit. Sejarah teori-teori legitimasi
selalu merupakan bagian dari sejarah masyarakat secara keseluruhan. Tiada “sejarah
gagasan” yang berlangsung terpisah dari darah dan keringat sejarah umum.
Namun kita perlu menekankan sekali lagi bahwa ini tidak berarti bahwa teori-teori
itu hanya sekedar pantulan “gagasan-gagasan” dan proses-proses sosial
yang mendukungnya selalu merupakan hubungan dialektis. Kiranya tepat untuk mengatakan
bahwa teori dibuat untuk melegitimasi lembaga sosial yang sudah ada. Akan tetapi
bisa juga terjadi bahwa lembaga so-
-184-
sial diubah agar sesuai dengan teori yang sudah ada; artinya membuatnya lebih
“absah”. Para pakar dalam hal legitimasi bisa beroperasi sebagai
orang-orang yang memberikan pembenaran teoritis kepada status quo; mereka juga
bisa tampil sebagai ideolog-ideolog revolusioner. Definisi tentang kenyataan
mempunyai potensi membenarkan diri. Teori dapat direalisasi dalam sejarah, bahkan
teori-teori yang sangat muskil sekalipun ketika untuk pertama kali disusun oleh
para penemunya. Karl Marx yang merenung di Ruang Baca Museum Inggris merupakan
contoh yang sudah terkenal dari kemungkinan historis ini. Karena itu perubahan
sosial harus selalu dipahami dalam hubungan dialektis dengan “sejarah
gagasan”. Baik pemahaman yang “idealistis” maupun pemahaman
yang “materialistis” mengenai hubungan ini melupakan dialektika
itu, dan dengan demikian mengubah jalan sejarah. Dialektika yang sama berlaku
bagi transformasi universum simbolis secara keseluruhan yang telah kita bahas.
Yang masih tetap sangat penting dari segi sosiologi adalah pengakuan bahwa semua
universum simbolis dan semua legitimasi merupakan buatan manusia; eksistensi
mereka mempunyai landasan dalam kehidupan individu-individu kongkrit, dan tidak
punya status empiris yang terlepas dari kehidupan mereka.
1.
Mengenai kedudukan manusia secara biologis yang khas dalam dunia hewan,
cf. Jacob von Uexküll, Bedeutungslehre (Hamburg: Rowohlt,
1938); F.J.J. Buytendijk, Mensch und Tier (Hamburg: Rowohlt, 1958);
Adolf Portmann, Zoologie und das neue Bild vom Menschen (Hamburg:
Rowohlt, 1956). Evaluasi terpenting mengenai perspektif biologis ini dari
segi antropologi filosofis adalah yang dilakukan oleh Helmuth Plessner
(Die Stufen des Organischen und der Mensch, 1928 dan 1965) serta
Arnold Gehlen (Der Mensch, seine Natur und seine Stellung in der Welt,
1940 dan 1950). Gehlen-lah yang mengembangkan lebih lanjut perspektif
itu dari segi teori sosiologi tentang lembaga-lembaga (khususnya dalam
bukunya, Urmensch und Spätkultur, 1956). Sebagai pengantar
bagi yang disebut belakangan itu, cf. Peter L. Berger dan Mansfried
Kellner, "Arnold Gehlen and the Theory of Institutions", Social
Research 32: I, hal. 110 ff. (1965).
2. Istilah "species-specific
environment" diambil dari von Uexküll.
3. Implikasi-implikasi
antropologis dari istilah “world-openness” (dunia yang
terbuka) dikembangkan oleh Plessner dan Gehlen secara terpisah.
4. Kekhasan organisme manusia sebagai makhluk yang memiliki dasar ontogenetik ditunjukkan terutama dalam berbagai penyelidikan Portmann.
5. Pendapat bahwa periode
janin bagi manusia berlangsung terus sampai dengan tahun pertama kelahiran,
dikemukakan oleh Portmann, yang menamakan tahun itu sebagai “extrautierine
Fruhjahr”
6. Istilah “significant
others” (di sini diterjemahkan: orang-orang berpengaruh) diambil
dari Mead. Tentang teori ontogenesik diri dari Mead, cf. bukunya,
Mind, Self and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1934).
Sebuah ikhtisar yang baik mengenai tulisan-tulisan Mead lihat Anselm Strauss
(ed.), George Herbert Mead on Social Psychology (Chicago: University
of Chicago Press, 1964). Pembahasan sekundernya yang sugestif, cf.
Maurice Natanson, The Social Dynamics of George H. Mead (Washington:
Public Affairs Press, 1956).
7. Ada dikotomi yang
mendasar antara konsepsi manusia sebagai makhluk yang berkembang biak
sendiri (self-producing being) dan konsepsi tentang “kodrat
manusia” (human nature). Hal ini merupakan perbedaan antropologis
yang sangat penting antara Marx dan setiap perspektif sosiologis yang
sesungguhnya, di satu pihak (terutama perspektif yang berakar dalam psikologi
sosial Mead), dan Freud serta bagian terbesar perspektif psikologis non-Freudian
di pihak lain. Penjernihan terhadap perbedaan ini sangat penting agar
terjadi pertukaran pikiran yang bermakna antara bidang-bidang sosiologi
dan psikologi masa kini. Di dalam teori sosiologi sendiri, bisa dibedakan
antara posisi-posisi dari segi kedekatannya dengan kutub-kutub “sosiologis”
dan “psikologis”. Vilfredo Pareto boleh jadi mengungkapkan
cara pendekatan yang paling terinci terhadap kutub “psikologis”
di dalam sosiologi. Secara selintas dapat dikemukakan bahwa sikap menerima
atau menolak dugaan “kodrat manusia” juga mempunyai implikasi
yang menarik dari segi ideologi politik, tetapi soal itu tidak dikembangkan
di sini.
8. Karya-karya Bronislaw Malinowski, Ruth Benedict, Margaret Mead, Clyde Kluckhohn serta George Murdock bisa disebutkan dalam hubungan ini.
9. Pandangan yang dikemukakan
di sini mengenai kelenturan seksual manusia mempunyai afinitas dengan
konsepsi Freud tentang sifat libido yang pada mulanya belum terbentuk.
10. Soal ini dijelaskan dalam teori Mead tentang perkembangan sosial dari diri.
11. Istilah “eksentris”
diambil dari Plessner. Perspektif serupa bisa ditemukan dalam karya Scheler
yang lebih baru tentang antropologi filosofis. Cf. Max Scheler,
Die Stellung des Menschen im Kosmos (Munich: Nymphenburger Verlagshandlung,
1947).
12. Sifat sosial dari
perkembangbiakan manusia telah dirumuskan dengan cara yang paling tajam
oleh Marx di dalam kritiknya terhadap Stirner, dalam The German Ideology.
Perkembangan Jean-Paul Sartre dari eksistensialisme yang dianutnya lebih
dulu ke modifikasi Marxisnya yang lebih kemudian, artinya, dari L’Etre
et le neant ke Critique de la raison dialectique, merupakan
contoh yang paling mengesankan dalam antropologi filosofis masa kini mengenai
pencapaian pemahaman yang sangat penting ini dari segi sosiologis. Dalam
hal ini pun, minat Sartre terhadap “pengantaran-pengantaran”
antara proses-proses sosio-historis yang makroskopik dan biografi individu
akan sangat dipermudah seandainya ia juga memperhatikan psikologi sosial
Mead.
13. Hubungan yang
tak terpisahkan lagi antara keinsanan manusia dan kesosialannya dirumuskan
dengan cara yang sangat tajam oleh Durkheim, terutama dalam bagian akhir
bukunya, Formes elementaires de la vie religieuse.
14. Dengan menandaskan
bahwa tatanans osial tidak didasarkan atas sesuatu “hukum alam”
kami tidak secara ipso facto mengemukakan suatu pendirian mengenai
konsepsi metafisis tentang “hukum kodrat”. Pernyataan kami
terbatas pada fakta-fakta alam yang tersedia secara empiris.
15. Durkheim-lah yang
menandaskan dengan sangat tegas mengenai sifat sui generis tatanan
sosial, terutama dalam karyanya Regles de la méthode sociologique.
Eksternalisasi sebagai suatu keharusan antropologis dikembangkan baik
oleh Hegel maupun Marx.
16. Landasan biologis eksternalisasi dan hubungannya dengankemunculan kelembagaan dikembangkan oleh Gehlen.
17. Istilah cadangan
pengetahuan (stock of knowledge) diambil Schutz.
18.Gehlen mengacu
pada soal ini ketika membahas konsep Triebüberschuss dan Entlastung.
19. Gehlen mengacu
pada soal ini ketika membahas konsep Hintergrundserfüllung.
20. Konsep mengenai batasan situasi dibuat oleh W.I. Thomas dan dikembangkan dalam seluruh karya sosiologisnya.
21. Kami menyadari
fakta bahwa konsep kelembagaan ini lebih luas daripada yang berlaku dalam
sosiologi masa kini. Menurut hemat kami, konsep yang lebih luas seperti
itu berguna untuk menganalisa proses-proses sosial yang pokok secara komprehensif.
Mengenai kontrol sosial, cf. Friedrich Tenbruck, “Soziale
Kontrolle,” Staatslexikon der Goerres-Gesselschaft (1962),
dan Heinrich Popitz, “Sociale Normen”, European Journal
of Sociology.
22. Istilah taking
the role of the other (memainkan peran orang lain) diambil dari Mead.
Di sini kami mengambil paradigma Mead tentang sosialisasi dan menerapkannya
pada masalah pelembagaan yang lebih luas. Argumennya menggabungkan ciri-ciri
terpenting dari cara-cara pendekatan Mead dan Gehlen.
23. Analisa Simmel
mengenai perluasan dari dyad ke triad dalam hubungan ini
penting. Argumen berikutnya menggabungkan konsepsi Simmel dan Durkheim
mengenai objektivitas kenyataan sosial.
24. Menurut Durkheim,
hal ini berarti bahwa—dengan meluaskan dyad menjadi triad
dan melampaui batas itu—tatanan awal menjadi “fakta-fakta
sosial” yang sesungguhnya, yakni, memperoleh choséité.
25. Konsep Jean Piaget mengenai “realisme” yang kekanak-kanakan dapat dibandingkan di sini.
26. Analisa mengenai
proses ini dalam keluarga masa kin, cf. Peter L. Berger dan Hansfried
Kellner, “Marriage and the Construction of Reality” Diogenes
46 (1964), hal. 1 ff.
27. Deskripsi yang terdahulu dengan patuh mengikuti analisa Durkheim tentang kenyataan sosial. Ini tidak bertentangan dengan konsepsi Weber tentang sifat masyarakat yang bermakna. Karena kenyataan sosial selalu lahir dari tindakan-tindakan manusia yang berarti, maka ia akan terus mengandung makna bahkan seandainya hal itu tampak kabut bagi seseorang pada saat tertentu. Yang aslinya bisa dikonstruksikan kembali, justru melalui apa yang oleh Weber dinamakan Verstehen.
28. Istilah objectivation (objektivasi), berasal dari istilah Versachlichung menurut ajaran Hegel/Marx.
29. Sosiologi Amerika masa kini cenderung mengesampingkan saat yang pertama. Dengan demikian, perspektifnya mengenai masyarakat cenderung merupakan apa yang oleh Marx dinamakan suatu reifikasi (Verdinglichung, pembendaan); artinya, suatu distorsi yang tidak dialektik dari kenyataan sosial yang mengaburkan sifat kenyataan
itu sebagai suatu produk manusia yang berlangsung terus-menerus, dengan memandangnya
dari segi kategori-kategori semacam benda yang hanya cocok bagi dunia alam.
Bahwasanya dehumanisasi yang terkandung secara implisit di dalamnya diperlunak
oleh nilai-nilai yang berasal dari tradisi yang lebih luas dalam masyarakat,
baik dari segi moral tapi tidak relevan secara teoritis.
30. Di sini analisa Pareto tentang “logika” kelembagaan relevan. Pandangan
yang serupa dengan pandangan kami dikemukakan oleh Friedrich Tenbruck, op.cit.
ia pun menandaskan bahwa “tekanan ke arah konsistensi” berakar dalam
sifat tindakan manusia yang bermakna.
31. Ini, tentunya, merupakan kelemahan mendasar setiap sosiologi yang berorientasi
fungsionalistik. Kritik yang baik sekali mengenai masalah ini, cf. bahasan tentang
masyarakat Bororo dalam Claude Lévi-Strauss, Tristes Tropiques (New York:
Atheneum, 1964), hal. 183 ff.
32. Istilah ‘recipe knowledge’ (“pengetahuan resep”) diambil
dari Schutz.
33. Istilah “objectification” (objektifikasi), berasal dari istilah
Vergegenständlichung menurut ajaran Hegel.
34. Istilah sedimentation (“endapan”) berasal dari Edmund Husserl. Istilah
ini pertama kali dipakai oleh Schulz dalam suatu konteks sosiologis.
35. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah monothetic acquisition oleh Husserl.
Istilah ini juga digunakan secara luas oleh Schutz.
36. Tentang social self yang dibandingkan dengan diri secara total, cf. konsep Mead
tentang me dan konsep Durkheim tentang homo duplex.
37. Meskipun argumen kami menggunakan istilah yang asing bagi Mead, konsep kami
tentang peran sangat dekat dengan konsepsinya dan dimaksudkan sebagai suatu
perluasan dari teori tentang peran menurut ajaran Mead dalam suatu kerangka
acuan yang lebih luas, yakni mencakup pula teori mengenai kelembagaan.
38. Istilah representation (perwakilan) di sini sangat erat hubungannya dengan istilah
usage menurut Durkheim, tetapi dengan lingkup yang lebih luas.
39. Proses binding together (“mengikat menjadi satu”) ini merupakan
salah satu masalah yang menjadi pokok perhatian dalam sosiologi Durkheim—pengintegrasian
masyarakat melalui pembinaan solidaritas.
40. Contoh simbolik tentang integrasi adalah apa yang sidebut “agama”
oleh Durkheim.
41. Konsep tentang distribusi sosial pengetahuan berasal dari Schutz.
42. Istilah meditation (perantaraan) digunakan oleh Sartre tetapi tanpa makna kongkret
apakah di dalamnya termasuk teori tentang peran. Istilah itu dengan jelas menunjukkan
hubungan yang umum antara teori tentang peran dan sosiologi pengetahuan.
43. Pertanyaan ini dapat dikatakan berhubungan dengan “kepadatan” (density)
tatanan kelembagaan. Tetapi kami berusaha tidak menggunakan istilah-istilah
baru dan memutuskan tidak menggunakan istilah ini, meskipun istilah ini sugestif.
44. Nilai yang diacu oleh Durkheim sebagai “solidaritas organik”. Lucian
Lévy-Bruhl memasukkan isi psikologis lebih lanjut pada konsep Durkheim
ini ketika ia berbicara tentang “partisipasi mistik” dalam masyarakat-masyarakat
primitif.
45. Di sini konsep Eric Voegelin tentang compactness(kepadatan) dan differentiation
bisa dibandingkan. Lihat bukunya, Order and History, vol. I (Baton Rouge, La
: Lousiana State University Press, 1956). Talcott Parsons berbicara tentang
differensiasi kelembagaan dalam berbagai karyanya.
46. Hubungan antara pembagian kerja dan diferensiasi kelembagaan telah dianalisa
oleh Marx, Durkheim, Weber, Ferdinand Tönnies dan Talcott Parsons.
47. Mengenai hal ini bisa dikatakan bahwa—meskipun secara rinci terdapat penafsiran
yang berbeda—ada suatu konsensus yang tinggi sepanjang sejarah teori sosiologi.
48. Hubungan antara “teori murni” dan surplus ekonomi pertama kali dikemukakan
oleh Marx.
49. Kecenderungan lembaga-lembaga untuk bertahan terus telah dianalisa oleh Georg
Simmel berdasarkan konsepnya tentang “kesetiaan” (faithfulness)
Cf. karyanya, Soziologie(Berlin: Duncker und Humblot, 1958), hal. 438 ff.
50. Konsep de-institutionalization ini berasal dari Gehlen.
51. Analisa tentang deinstitusionalisasi dalam kehidupan pribadi menurut Gehlen merupakan masalah sentral dalam psikologi sosial masyarakat, Cf. bukunya Die Seele im technischen Zeitalter (Hamburg: Rowohlt, 1957).
52. Apabila kita masih belum merasa jenuh dengan neologisme-neologisme, kita dapat menamakannya pertanyaan tentang tingkat penggabungan (fusion) atau segmentasi tatanan kelembagaan. Secara sepintas lalu, persoalan ini tampaknya identik dengan masalah struktural-fungsional tentang “integrasi fungsional” masyarakat. Tetapi istilah yang disebut belakangan itu mengandaikan bahwa “pengintegrasian” suatu masyarakat bisa ditentukan oleh seorang pengamat dari luar yang menyelidiki fungsi eksternal lembaga-lembaga masyarakat itu. Kami sebaliknya berpendapat bahwa baik “fungsi” maupun “disfungsi” hanya bisa dianalisa berdasarkan tingkat makna. Karena itu, “integrasi fungsional”, jika kita bisa menggunakan istilah ini, berarti pengintegrasian tatanan kelembagaan melalui berbagai proses legitimasi. Dengan kata lain pengintegrasiannya tidak terletak dalam kelembagaan melainkan dalam pelegitimasiannya. Berbeda dengan yang dikatakan oleh kaum struktural-fungsionalis, hal itu berarti bahwa suatu tatanan kelembagaan tidak dapat secara memadai dipahami sebagai suatu “sistem”.
53. Masalah ini berkaitan dengan masalah “ideologi”, yang akan dibahas nanti dalam suatu konteks yang dibatasi secara lebih sempit.
54. Weber berulangkali mengacu berbagai kolektivitas sebagai “pengemban” (Trager, “carrier”) dari apa yang di sini kami namakan subuniversum makna, khususnya di dalam sosiologi perbandingan agama. Analisa tentang fenomen ini, sudah tentu, berhubungan erat dengan skema Unterbau/Ueberbau menurut Marx.
55. Persaingan majemuk antara subuniversum-subuniversum makna merupakan salah satu masalah terpenting bagi sosiologi pengetahuan empiris tentang masyarakat masa kini. Kami telah membahas masalah itu di dalam buku kami tentang sosiologi agama, tetapi kami tidak melihat alasan untuk mengembangkan suatu analisa tentang masalah itu di dalam buku ini.
56. Proposisi ini bisa dikemukakan menurut peristilahan Marx, bahwa ada suatu hubungan dialektik antara substruktur (Unterbau) dan superstruktur (Ueberbau)—suatu pemahaman menurut ajaran Marx yang telah dilupakan dalam kalangan luas aliran utama Marxisme sampai baru-baru ini. Masalah kemungkinan adanya pengetahuan yang terlepas dari segi sosial, dengan sendirinya, merupakan masalah sentral bagi sosiologi pengetahuan sebagaimana didefinisikan oleh Scheler dan Mannheim. Kami tidak menempatkannya sesentral itu berdasarkan pertimbangan yang inheren dalam cara pendekatan teoritis umum kami. Yang penting bagi sosiologi pengetahuan teoritis adalah dialektika antara pengetahuan dan landasan sosialnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang dikemukakan oleh Mannheim mengenai “intelegensia yang tak terikat” merupakan penerapan sosiologi pengetahuan terhadap fenomena-fenomena historis dan empiris yang kongkrit. Proposisi-proposisi tentang hal itu harus dinyatakan para tingkat generalitas teoritis yang jauh lebih rendah daripada apa yang merupakan pokok perhatian kami di sini. Sebaliknya, pertanyaan-pertanyaan tentang otonomi pengetahuan sosial-ilmiah harus ditangani dalam konteks metodologi ilmu-ilmu sosial. Bidang ini tidak dimasukkan ke dalam definisi kami tentang lingkup sosiologi pengetahuan, karena pertimbangan teoritis seperti yang telah dikemukakan dalam pendahuluan.
57. Inilah fenomena yang lazim disebut “kesenjangan budaya” (cultural lag) dalam sosiologi Amerika semenjak Ogburn. Kami menghindari istilah ini karena mengandung konotasi evolusionistis dan secara implisit mengandung penilaian.
58. Reifikasi (Verdinglichung, pembendaan) merupakan sebuah konsep Marx yang penting, khususnya mengenai pembahasan antropologisnya dalam Frühschriften, yang kemudian dikembangkan dari segi “pemujaan komoditi” (fetishism of commodities) dalam Das Capital. Perkembangan konsep ini dalam teori Marxis yang lebih baru dilihat dalam György Lukács, Histoire et conscience de classe, hal. 109 ff.; Lucien Goldmann, Recherches dialectiques (Paris: Gallimard, 1959), hal. 64 ff.; Joseph Gabel, La fausse conscience (Paris: Editions de Minuit, 1962), dan Former der Entfremdung (Frankfurt: Fischer, 1964). Pembahasan yang ekstensif mengenai dapat tidaknya konsep itu digunakan di dalam suatu sosiologi pengetahuan yang non-doktriner, cf. Peter L. Berger dan Stanley Pullberg, “Reification and the Sociological Critique of Consciousness”, History and Theory IV; 2, hal. 198 ff. (1965). Di dalam kerangka acuan Marx, konsep reifikasi itu erat kaitannya dengan konsep alienasi (Entfremdung). Konsep yang disebut belakangan telah dikacaukan dalam tulisan-tulisan sosiologis akhir-akhir ini dengan adanya fenomena-fenomena anomie sampai pada neurosis, sehingga hampir-hampir tak dapat dikembalikan lagi pada terminologi aslinya. Namun, di sini bukan tempatnya untuk mencoba mengembalikan istilah itu pada artinya semula, dan karena itu kami menghindari penggunaan konsep itu.
59. Para ilmuwan Prancis mengkritik sosiologi Durkheim belakangan ini, seperti Jules Monnerot (Les faits sociaux ne sont pas des choses, 1946), telah menuduhnya mempunyai pandangan yang terreifikasi tentang kenyataan sosial. Dengan kata lain, mereka mengemukakan argumen bahwa choséité-nya Durkheim secara ipso facto merupakan reifikasi. Apa pun yang dapat dikatakan tentang hal ini dari segi penafsiran Durkheim, pada prinsipnya bisa dikatakan bahwa “fakta-fakta sosial adalah benda-benda” (social facts are things), dan dengan itu dimaksudkan tidak lain daripada objektivitas fakta-fakta sosial sebagai “produk manusia”. Kunci teoritis bagi persoalan ini adalah pembedaan antara objektivasi dan reifikasi.
60. Dalam hal ini bandingkan dengan konsep Sarre tentang practico-inert, dalam Critique de la raison dialectique.
61. Karena itu Marx menamakan kesadaran yang mereifikasikan sebagai suatu “kesadaran palsu”. Konsep ini bisa dihubungkan dengan konsep Sartre “itikad buruk” (mauvaise foi).
62. Karya Lucien Lévy-Bruhl dan Jean Piaget bisa dianggap sebagai dasar bagi suatu pemahaman tentang protoreifikasi, baik yang filogenetik maupun yang ontogenetik. Juga, cf. Claude Lévi-Strauss, La Penseé sauvage (Paris: Plon, 1962).
63. Mengenai paralelisme antara here below dan up above, cf. Mircea Eliade, Cosmos and History (New York: Harper, 1959). Hal yang serupa dikemukakan oleh Voegelin, op.cit., ketika membahas “peradaban-peradaban kosmologis.”
64. Tentang reifikasi identitas, bandingkan dengan analisa Sartre tentang anti-Semitisme.
65. Tentang persyaratan de-reifikasi, cf. Berger dan Pullberg, loc. cit.
66. Istilah “legitimasi” berasal dari Weber, yang telah mengembangkannya terutama dalam konteks sosiologi politiknya. Disini kami menggunakannya dalam lingkup yang lebih luas.
67. Tentang legitimasi sebagai “penjelasan”, bandingkan dengan analisa Pareto tentang “derivasi”.
68. Baik Marx maupun Pareto menyadari kemungkinan otonomi dari apa yang kami namakan legitimasi (“ideologi” pada Marx, “derivasi” pada Pareto).
69. Konsep kami tentang “universum simbolik” sangat dekat dengan konsep Durkheim tentang “agama”. Analisa Schutz tentang finite provinces of meaning (wilayah-wilayah makna yang terbatas) dan hubungannya satu sama lain,serta konsep Sartre tentang “totalisasi” dalam hal ini sangat relevan bagi argumen kami.
70. Istilah “situasi marjinal” (Grenzsituation) diciptakan oleh Karl Jaspers. Kami menggunakan istilah itu dengan cara yang berbeda.
71. Argumen kami di sini dipengaruhi oleh analisa Durkheim tentang anomie. Meskipun demikian, perhatian kami lebih tertuju pada proses-proses nomic dibandingkan proses-proses anomic dalam masyarakat.
72. Status tertinggi kenyataan kehidupan sehari-hari telah dianalisa oleh Schutz. Cf. terutama artikel “On Multiple Realities”, Collected Papers, vol. I, hal. 207 ff.
73. Rapuhnya identitas subjektif sudah diimplikasikan dalam analisa Mead tentang perkembangan diri. Mengenai perkembangan analisa ini, cf. Anselm Strauss, Mirrors and Masks (New York: Free Press of Glencoe: London: Collier-Macmillan); Erving Goffman, The Presentation of Self in Every Life (Garden City, N.Y.: Doubleday Anchor, 1959).
74. Heidegger telah memberikan analisa yang paling terinci dalam filsafat akhir-akhir ini tentang kematian sebagai situasi marjinal par excellence. Konsep Schutz tentang “kecemasan yang mendasar” mengacu pada fenomena yang sama. Analisa Malinowski mengenai fungsi sosial upacara pemakaman juga relevan dalam hal ini.
75. Penggunaan perspektif tertentu mengenai “kecemasan” (Angst, anxiety) yang telah dikembangkan oleh filsafat eksistensialisme telah memungkinkan untuk menempatkan analisa Durkheim tentang anomie dalam suatu kerangka acuan antropologis yang lebih luas.
76. Cf. Lévi-Strauss, op.cit.
77. Tentang ingatan kolektif, cf. Maurice Halbwachs, Les cadres sociaux de la memoire (Paris : Presses Universitaires de France, 1952). Halbwachs juga mengembangkan teori sosiologisnya tentang ingatan dalam La mémoire collective (1950) dan dalam La topographie legéndaire dex Evangiles en Terre Sainte (1941).
78. Konsep “predecessors” (generasi pendahulu) dan successors(generasi pewaris) berasal dari Schutz.
79. Konsepsi tentang sifat masyarakat untuk mentransendensikan terutama dikembangkan oleh Durkheim.
80. Konsepsi tentang proyeksi (projection) yang pertama kali dikembangkan oleh Feuerbach, kemudian—meski dengan arah-arah yang sangat berbeda—oleh Marx, Nietzsche dan Freud.
81. Bandingkan lagi gendan konsep Weber tentang “pengemban” (Trager).
82. Analisa-analisa tentang “kontak budaya” dalam antropologi budaya Amerika masa kini relevan di sini.
83. Bandingkan dengan konsep kejutan budaya dalam antropologi budaya Amerika masa kini.
84. Marx secara teinci sekali mengembangkan hubungan antara kekuatan material dan “keberhasilan konsep”. Cf. rumusan yang sangat terkenal tentang hal ini dalam The German Ideology: “Die Gedankern der herrschenden Klasse sind in jeder Epoche die herrschenden Gedanken” (Pemikiran Kelas yang berkuasa dalam tiap zaman merupakan pemikiran yang berkuasa) (Frühschriften, Kröner Edition, hal. 373).
85. Pareto adalah orang yang paling dekat dengan penulisan suatu sejarah pemikiran dari segi sosiologis, yang karenanya Pareto penting artinya bagi sosiologi pengetahuan, terlepas apakah orang keberatan dengan kerangka acuan eoritisnya. Cf. Brigette Berger, Vilfredo Pareto and the Sociology of Knowledge (disertasi doktoral yang tidak diterbitkan, New School for Social Research, 1964).
86. Ini mungkin mengingatkan kita pada “hukum tiga tahap” dari Auguste Comte. Kami tentu tidak dapat menerima “hukum” ini namun mungkin masih berguna untuk mengisyaratkan bahwa kesadaran berkembang dalam tahap-tahap yang bisa dikenali dalam sejarah, walaupun tidak dapat dibayangkan dengan cara COmte. Pemahaman kami tentang hal ini lebih dekat dengan pendekatan Hegel/Marx terhadap historisitas pemikiran manusia.
87. Baik Lévy-Bruhl maupun Piaget menyarankan bahwa mitologi merupakan satu tahap yang perlu dalam perkembangan pemikiran. Pembahasan yang menggugah mengenai akar-akar biologis dari pemikiran mitologis/magis, cf. Arnold Gehlen, Studien zur Anthropologie und Soziologie (Neuwied/Rhein: Luchterhand, 1963), hal. 79 ff.
88. Konsepsi kami tentang mitologi di sini dipengaruhi oleh karya Gerardus van der Leeuw, Mircea Eliade dan Rudolf Bultmann.
89. Tentang kontinuitas antara tatanan sosial dan tatanan kosmis dalam kesadaran mitologis, bandingkan lagi dengan karya Eliade dan Voegelin.
90. Kiranya sudah jelas dari perkiraan teoritis kami bahwa di sini kami tidak dapat membahas secara terinci persoalan “sosiologi kaum intelektual”. Di samping karya Mannheim yang penting dalam bidang ini (terutama yang terdapat dalam Ideology and Utopia dan Essays on the Sociology of Culture),cf. Florian Znaniecki, The Social Role of the Man of Knowledge (New York: Columbia University Press, 1940); Theodor Geiger, Aufgaben und Stellung der Intelligenz in der Gesellschaft (Stuttgart, 1949); Raymond Aron, L’Opium des Intellectuels (Paris, 1955); George B. de Huszar (ed.), The Intellectuals (New York: Free Press of Glencoe, 1960).
91. Mengenai legitimasi terpenting yang memperkuat “inertia” kelembagaan (“kesetiaan” menurut istilah Simmel), bandingkan dengan Durkheim dan Pareto.
92. Justru pada titik inilah setiap interpretasi kaum fungsionalis mengenai kelembagaan paling lemah, karena cenderung mencari kepraktisan yang dalam kenyataannya tidak ada.
93. Mengenai konflik antara Brahmana/Kshatriya, bandingkan dengan karya Weber mengenai sosiologi agama di India.
94. mengenai kesahihan sosial dari proposisi-proposisi yang sulit untuk disahihkan secara empiris, cf. Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Evaston, Ill.: Row, Peterson and Co., 1957; London: Tavistock).
95. Istilah afinitas (Wahlverwandschaft) berasal dari Scheler dan Weber.
96. Mengenai definisi-definisi monopolistik tentang kenyataan dalam masyarakat primitif dan kuno, bandingkan dengan Durkheim dan Voegelin.
97. Karya Paul Radin menunjukkan bahwa skeptisisme adalah mungkin dalam situasi-situasi monopolistik seperti itu sekalipun.
98. Istilah “kaum tamu” (Gastvolker) berasal dari Weber.
99. Mengenai afinitas antara kekuatan-kekuatan politik yang konservatif dan monopoli-monopoli keagamaan (“gereja-gereja”), bandingkan dengan analisa Weber tentang hierokrasi.
100. Istilah “ideologi” telah dipakai dalam arti yang begitu beragam, sehingga kita bisa putus asa untuk dapat memakainya secara tepat. Kami memutuskan untuk tetap menggunakannya, dalam arti yang didefinisikan secara sempit, karena bermanfaat, dan lebih baik daripada neologisme. Di sini tidak pada tempatnya untuk membahas transformasi istilah itu dalam sejarah Marxisme ataupun sejarah sosiologi pengetahuan. Untuk suatu tinjauan umum yang baik, cf. Kurt Lenk (ed.), Ideologie.
101. Mengenai hubungan antara agama Kristen dan ideologi borjuis, lihat Marx dan Veblen. Suatu tinjauan umum yang baik mengenai pembahasan Marx tentang agama bisa diperoleh dari antologi Marx and Engels on Religion (Moskow: Foreign Languages Publishing House, 1957).
102. Cf. Thomas Luckmann, Das Problem der Religion in der modern Gesellschaft(Freiburg: Rombach, 1963).
103. Konsepsi kami tentang manusia intelektual sebagai “pakar yang tidak diinginkan” tidak begitu berbeda dengan pandangan Mannheim yang menandaskan kemarjinalan manusia intelektual. Dalam mendefinisikan manusia intelektual yang berguna dari segi sosiologi, penting—menurut hemat kami—untuk membedakan secara tegas tipe manusia ini dari “manusia berpengatuhan” (man of knowledge) pada umumnya.
104. Mengenai kemarjinalan kaum intelektual, bandingkan dengan analisa Simmel mengenai “objektivitas” orang asing dan analisa Veblen mengenai peran intelektual di kalangan orang-orang Yahudi.
105. Cf. Peter L. Berger, “The Sociological Study of Sectarianism”, Social Research, Winter 1954, hal. 467 ff.
106. Bandingkan dengan analisa Mannheim tentang orang-orang intelektual revolusioner. Untuk prototipe Rusianya, cf. E. Lampert, Studies in Rebellion(New York: Frederick A. Praeger, 1957).
107. Transformasi kaum intelektual revolusioner menjadi pelegitimasian status quo bisa diteliti dalam bentuk yang praktis “murni” dalam perkembangan komunisme Rusia. Kritik yang tajam mengenai proses ini dari sudut pandang Marxis, cf. Leszek Kolakowski, Der Mensch ohne Alternative(Munich, 1960).
back , next