Peter L. Berger & Thomas
Luckmann,
Tafsir Sosial atas Kenyataan:
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan
yang tak pernah berhenti pada sampai
Bab 1
Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari
Kenyataan Hidup Sehari-hari
Tujuan kami dalam buku ini adalah melakukan suatu analisis
sosiologis mengenai kenyataan hidup sehari-hari, atau—lebih tepat lagi—mengenai
pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dan karena
kami hanya memberikan perhatian sepintas lalu kepada soal bagaimana kenyataan
itu dapat menampilkan diri dalam berbagai perspektif teoritis kepada kaum terpelajar,
maka kami harus memulainya dengan suatu penjelasan mengenai kenyataan itu sebagaimana
ia tampak bagi akal sehat anggota masyarakat biasa. Bagaimana kenyataan menurut
akal sehat itu bisa dipengaruhi oleh berbagai kerangka teoritis kaum terpelajar
dan para ‘pedagang’ gagasan lainnya, merupakan persoalan lain lagi.
Dengan demikian, usaha kami sekarang ini merupakan satu usaha yang—meskipun
sifatnya teoritis—disesuaikan dengan pemahaman mengenai suatu kenyataan
yang merupakan pokok bahasan sosiologi empiris, yakni dunia kehidupan sehari-hari.
Karena itulah kiranya sudah jelas bahwa, tujuan kami bukanlah untuk berfilsafat.
Meskipun demikian, agar supaya kenyataan hidup sehari-hari bisa dipahami, maka
terlebih dahulu harus dijelaskan sifat intrinsiknya sebelum kita dapat mulai
dengan analisa sosiologisnya sendiri. kehidupan sehari-hari menampilkan diri
sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif
bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren. Sebagai sosiolog, kami mengambil
kenyataan ini sebagai objek analisa kami. Dalam kerangka referensi sosiologi
-29-
sebagai ilmu empiris, kita dapat mengambil kenyataan ini sebagai sesuatu yang
sudah dihadirkan, mengambil gejala-gejala tertentu yang timbul di dalamnya sebagai
data tanpa menyelidiki lebih lanjut dasar-dasar kenyataan ini, yang merupakan
tugas filsafat. Namun demikian, menginat tujuan khusus buku ini, kami tidak
dapat melompati sama sekali masalah filosofis ini. Dunia kehidupan sehari-hari
tidak hanya diterima begitu saja sebagai kenyataan oleh anggota masyarakat biasa
dalam perilaku yang mempunyai makna subjektif dalam kehidupan mereka. Ia merupakan
satu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka, dan
dipelihara sebagai yang “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu.
Karena itu, sebelum kami beralih kepada tugas yang utama, terlebih dulu kami
harus menjelaskan dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, yakni:
objektivasi (pengobjektifan) dari proses-porses Idan makna-makna) subjektif
dengan mana dunia akal sehat intersubjektif itu dibentuk.
Untuk tujuan yang sekarang, hal ini merupakan tugas pendahuluan, dan kami tidak
bisa berbuat lebih daripada memberikan garis-garis besar ciri-ciri utama dari
apa yang kami anggap sebagai suatu pemecahan yang memadai bagi masalah filosofis
ini—memadai, segera kami tambahkan, dalam arti bahwa ia dapat dijadikan
titik-tolak bagi analisa sosiologis. Karena itu pertimbangan-pertimbangan berikut
ini merupakan semacam prolegomena filosofis dan, pada dirinya sendiri bersifat
pra-sosiologis. Metode yang kami anggap paling cocok untuk menjelaskan dasar-dasar
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah metode analisa fenomenologis,
suatu metode deskriptif semata-mata dan—dengan demikian—“empiris”
namun tidak “ilmiah”—menurut pemahaman kami mengenai hakikat
ilmu-ilmu empiris.[1]
-30-
Analisa fenomenologis dari kehidupan sehari-hari, atau lebih tepat dari pengalaman
subjektif kehidupan sehari-hari, menjauhkan diri dari setiap hipotesa kausal
atau genetik, juga dari pernyataan-pernyataan mengenai status ontologis dari
fenomena yang sedang dianalisa. Ini penting untuk diingat. Akal sehat mengandung
banyak sekali tafsiran yang pra-ilmiah dan kuasi-ilmiah mengenai kenyataan hidup
sehari-hari, yang diterimanya begitu saja. Jika kita ingin melukiskan kenyataan
menurut akal sehat, kita harus mengacu kepada tafsiran-tafsiran ini, seperti
halnya kita harus menjelaskan sifatnya sebagai sesuatu yang diterima begitu
saja—namun hal itu kita lakukan dalam tanda kurung fenomenologis.
Kesadaran selalu intensional; ia selalu mengarah kepada objek. Kita, bagaimanapun,
tidak dapat memahami apa yang dianggap sebagai semacam substratum (dasar) bagi
kesadaran itu sendiri, melainkan hanya kesadaran tentang sesuatu. Hal itu berlaku
baik objek kesadaran itu dialami sebagai sesuatu yang termasuk dalam dunia fisik,
lahiriah atau dipahami sebagai unsur suatu kenyataan subjektif baginiah. Apakah
saya (dalam ilustrasi ini dan ilustrasi-ilustrasi berikutnya, dengan persona
pertama tunggal ini dimaksudkan kesadaran diri yang biasa dalam kehidupan sehari-hari)
sedang memandang panorama kota New York, atau apakah saya sedang menyadari suatu
perasaan cemas dalam hati, proses-proses kesadaran yang terlibat di dalam kedua
kasus itu adalah intensional. Kiranya tak perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa
kesadaran mengenai Empire State Building berbeda dengan kesadaran mengenai perasaan
cemas. Suatu analisa fenomenologis yang terinci akan menyingkapkan berbagai
lapisan pengalaman, dan berbagai struktur makna yang …
-31-
terlibat apabila saya, katakanlah, sedang digigit seekor anjing, sedang teringat
kembali bahwa saya pernah digigit anjing, mempunyai kebencian terhadap semua
anjing, dan sebagainya. Yang penting bagi kita di sini adalah, bahwa semua kesadaran
mempunyai sifat intensional.
Objek-objek yang berbeda menampilkan diri dalam kesadaran sebagai unsur-unsur
pembentuk berbagai lingkungan kenyataan yang berbeda. Saya mengenal sesama manusia
dengan siapa saya harus berurusan dalam kehidupan sehari-hari sebagai hal-hal
yang menyangkut suatu kenyataan yang berbeda dengan bayangan-bayangan niskala
(tak beraga) yang menampakkan diri dalam mimpi saya. Kedua perangkat objek-objek
itu memasukkan ketegangan-ketegangan yang sangat berbeda ke dalam kesadaran
saya, dan memberikan perhatian dengan cara-cara yang sangat berbeda kepadanya.
Maka, kesadaran saya bisa bergerak melalui lingkungan-lingkungan kenyataan yang
berbeda. Dengan kata lain, saya sadar mengenai dunia sebagai sesuatu yang terdiri
dari kebanyakan kenyataan. Apabila saya berpindah dari satu kenyataan ke kenyataan
lain, saya mengalami peralihan itu sebagai semacam guncangan (shock).
Guncangan ini harus dipahami sebagai disebabkan oleh pergeseran dalam pemberian
perhatian yang diakibatkan oleh peralihan itu. Terbangun dari mimpi merupakan
ilustrasi yang paling sederhana dari pergeseran ini.
Di antara anekaragam kenyataan itu, terdapat satu kenyataan yang menampilkan
diri sebagai kenyataan par excellence. Itulah kenyataan hidup sehari-hari. Posisi
yang istimewa memberi hak kepadanya untuk diberi nama kenyataan-utama (paramount).
Ketegangan kesadaran mencapai tingkat paling tinggi dalam kehidupan sehari-hari;
artinya, yang disebut belakangan itu mempengaruhi kesadaran dengan cara yang
paling masif, mendesak dan mendalam. Tidak mungkin untuk mengabaikannya, malahan
sulit untuk melemahkan kehadirannya yang memaksa. Karena itu, ia memaksa saya
untuk memperhatikannya dengan sepenuh-penuhnya. Saya mengalami kehidupan sehari-hari
dalam keadaan terjaga sepenuhnya. Keadaan ini, di mana saya dengan kesadaran
penuh berada dalam, dan
-32-
memahami, kenyataan kehidupan sehari-hari, saya anggap sebagai suatu hal yang
normal dan sudah jelas-dengan-sendirinya; artinya, ia membentuk sikap alamiah
saya.
Saya memahami kenyataan hidup sehari-hari sebagai suatu kenyataan yang tertib
dan tertata. Fenomen-fenomennya sudah tersusun sejak semula dalam pola-pola
yang tampaknya tidak tergantung kepada pemahaman saya mengenainya dan menguasai
pemahaman itu. Kenyataan hidup sehari-hari, tampaknya sudah diobjektivikasi.
Artinya, sudah diberi nama sebagai objek-objek sejak sebelum saya hadir. Bahasa
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus memberikan dalam
kehidupan sehari-hari secara terus-menerus memberikan kepada saya berbagai objektivikasi
yang diperlukan dan menetapkan tatanan di mana objektivikasi itu bermakna dan
di mana kehidupan sehari-hari punya makna bagi saya. Saya hidup di suatu tempat
yang secara geografis sudah diberi nama; saya menggunakan alat-alat, mulai dari
alat pembuka kaleng sampai kepada mobil balap, yang sudah diberi nama menurut
kosa kata teknis dalam masyarakat saya; saya hidup dalam suatu jaringan hubungan
antarmanusia, mulai dari perkumpulan catur saya sampai kepada Amerika Serikat,
yang juga sudah ditata melalui kosakata. Dengan cara ini, bahasa menandai kordinat-kordinat
kehidupan saya dalam masyarakat dan mengisi kehidupan itu dengan objek-objek
yang bermakna.
Kenyataan hidup sehari-hari diorganisasikan di sekitar “sini” badan
saya dan “sekarang” kehadiran saya. “Di sini dan sekarang”
merupakan fokus perhatian saya kepada kenyataan hidup sehari-hari. Yang merupakan
“di sini dan sekarang”, yang dihadirkan kepada saya dalam kehidupan
sehari-hari merupakan realissimum (yang paling nyata) bagi kesadaran saya. Tetapi
kenyataan hidup sehari-hari tidak hanya terdiri dari kehadiran-kehadiran yang
langsung itu, sebab ia juga mencakup fenomen-fenomen yang tidak hadir “di
sini dan sekarang”. Ini berarti bahwa saya mengalami kehidupan sehari-hari
dalam berbagai kadar kedekatan dan kejauhan, baik dari segi ruang maupun waktu.
Yang paling dekat dengan saya adalah wilayah kehidupan sehari-hari yang secara
langsung dapat dimanipulasi
-33-
oleh badan saya. Wilayah ini mengandung dunia yang berada dalam jangkauan saya,
dunia di mana saya bertindak untuk memodifikasi kenyataanya, atau dunia di mana
saya bekerja. Di dalam dunia kerja ini, kesadaran saya didominasi oleh motif
yang pragmatis. Artinya, perhatian saya kepada dunia itu terutama ditentukan
oleh apa yang sedang atau yang telah atau yang hendak saya lakukan di dalamnya.
Dengan demikian, ia merupakan dunia saya par excellence. Sudah tentu saya tahu
bahwa kenyataan hidup sehari-hari mengandung wilayah-wilayah yang tidak dapat
saya masuki dengan cara itu. Tetapi dalam hal ini, saya tidak mempunyai minat
yang pragmatis terhadap wilayah-wilayah itu, atau minat saya terhadapnya tidak
langsung sejauh wilayah-wilayah itu secara potensial, dapat saya manipulasi.
Pada umumnya, perhatian saya kepada wilayah-wilayah yang jauh itu kurang mendalam
dan pasti kurang mendesak. Saya mempunyai perhatian yang sangat mendalam kepada
kumpulan objek-objek yang terlibat dalam pekerjaan saya sehari-hari—katakanlah,
dunia bengkel jika saya seorang montir. Saya menaruh perhatian, meski tidak
begitu langsung, kepada apa yang terjadi dalam laboratorium-laboratorium pengujian
industri mobil di Detroit—saya agaknya tidak akan pernah berada di dalam
salah satu di antara laboratorium-laboraorium itu, namun pekerjaan yang dilakukan
di sana pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan saya sehari-hari. mUngkin
pula saya menaruh minat terhadap apa yang sedang terjadi di Cape Kennedy atau
di angkasa luar, tetapi minat ini lebih merupakan suatu pilihan untuk “waktu
santai” yang sifatnya pribadi dan bukan suatu kebutuhan mendesak dari
kehidupan saya sehari-hari.
Kenyataan hidup sehari-hari itu selanjutnya menghadirkan diri kepada saya sebagai
suatu dunia intersubjektif, suatu dunia yang saya huni bersama-sama dengan orang-orang
lain. Intersubjektivitas ini membedakan dengan tajam kehidupan sehari-hari dari
kenyataan-kenyataan lain yang saya sadari. Saya berada sendirian dalam dunia
impian saya, tetapi saya tahu bahwa dunia kehidupan sehari-hari sama nyatanya
bagi orang-orang lain seperti bagi diri saya sendiri. sesungguhnya, saya tidak
dapat
-34-
bereksistensi dalam kehidupan sehari-hari tanpa secara terus-menerus berinteraksi
dan berkomunikasi dengan orang-orang lain. Saya tahu bahwa sikap alamiah saya
terhadap dunia ini bersesuaian dengan sikap alamiah orang-orang lain, bahwa
mereka juga memahami berbagai objektivasi yang menata dunia ini, bahwa mereka
juga mengorganisasi dunia ini di sekitar “sini dan sekarang” dari
keberadaan mereka di dalam dunia itu, dan mempunyai proyek-proyek untuk dikerjakan
di dalamnya. Sudah tentu, saya juga tahu bahwa orang-orang lain mempunyai suatu
perspektif mengenai dunia bersama ini yang tidak identik dengan perspektif saya.
Apa yang merupakan “di sini” bagi saya merupakan “di sana”
bagi mereka. “Sekarang” saya tidak sepenuhnya bertepatan dengan
“sekarang” mereka. Proyek-proyek saya berbeda, dan malahan boleh
jadi bertentangan, dengan proyek-proyek mereka. Walaupun demikian, saya tahu
bahwa saya dan mereka hidup dalam suatu dunia bersama. Yang paling penting,
saya tahu bahwa ada suatu persesuaian yang berlangsung terus antara makna-makna
saya dan makna-makna mereka di dalam dunia ini, bahwa kami mempunyai kesadaran
bersama mengenai kenyataan di dalamnya. Sikap alamiah adalah sikap kesadaran
akal sehat justru karena ia mengacu kepada suatu dunia yang sama-sama dialami
oleh banyak orang. Pengetahuan akal sehat (commonsense knowledge) adalah pengetahuan
yang saya punyai bersama-sama dengan orang-orang lain dalam kegiatan rutin yang
normal dan sudah jelas-dengan-sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan hidup sehari-hari diterima begitu saja sebagai kenyataan. Ia tidak
memerlukan verifikasi tambahan selain kehadirannya yang sederhana. Ia memang
sudah ada di sana, sebagai faktisitas yang memaksa dan sudah jelas-dengan-sendirinya.
Saya tahu bahwa ia nyata. Meskipun saya dapat menyangsikan kenyataannya, saya
merasa wajib untuk menangguhkan kesangsian seperti itu selama saya bereksistensi
secara rutin dalam kehidupan sehari-hari. Penangguhan kesangsian itu begitu
kuat sehingga untuk dapat mencabutnya, seperti yang mungkin ingin saya lakukan,
apabila katakanlah, saya ingin me- …
-35-
lakukan renungan teoritis atau keagamaan, saya harus melakukan suatu peralihan
yang sangat besar. Dunia kehidupan sehari-hari mempermaklumkan kekuasaannya
sendiri, dan apabila saya ingin menyangkalnya, saya harus berupaya keras, yang
sama sekali tidak mudah. Peralihan dari sikap alamiah ke sikap teoritis seorang
filsuf atau ilmuwan mengilustrasikan hal ini. Tetapi tidak semua aspek kenyataan
ini tidak dipermasalahkan dengan cara yang sama. Kehidupan sehari-hari terbagi
dalam sektor-sektor yang dipahami secara rutin dan sektor-sektor yang menghadapkan
saya dengan suatu masalah. Katakanlah saya seorang montir mobil yang mempunyai
pengetahuan yang luas sekali tentang semua jenis mobil buatan Amerika. Segala
sesuatu yang menyangkut mobil itu sudah merupakan satu aspek rutin yang tidak
problematik lagi dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi pada satu hari datang seseorang
ke bengkel saya dan minta agar saya memperbaiki Volkswagennya. Sekarang saya
terpaksa memasuki dunia problematik dari mobil buatan luar negeri. Saya mungkin
melakukan itu dengan rasa enggan atau dengan rasa ingin tahu sebagai seorang
profesional, tetapi bagaimana pun saya sekarang dihadapkan kepada masalah yang
belum merupakan rutin bagi saya. Sudah tentu, dalam waktu yang bersamaan saya
tidak meninggalkan kenyataan hidup sehari-hari. Malahan yang disebut belakangan
itu menjadi lebih kaya, karena sekarang saya mulai memasukkan ke dalamnya pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan untuk memperbaiki mobil buatan luar negeri.
Kenyataan hidup sehari-hari mencakup kedua macam sektor itu, selama apa yang
tampak sebagai suatu masalah tidak termasuk dalam suatu kenyataan yang berbeda
sama sekali (katakanlah, kenyataan fisik teoritis, atau mimpi buruk). Selama
kegiatan rutin kehidupan sehari-hari berlangsung terus tanpa interupsi, ia dipahami
tanpa menimbulkan permasalahan.
Tetapi sektor kehidupan sehari-hari yang tidak problematis sekalipun hanya bisa
begitu sampai suatu saat tertentu; artinya, sampai kesinambungannya dipotong
oleh kemunculan suatu masalah. Apabila ini terjadi, maka kenyataan hidup sehari-hari
berusaha untuk mengintegrasikan sektor problematis itu
-36-
ke dalam apa yang sudah tidak problematis lagi. Pengetahuan akal sehat mengandung
berbagai macam perintah tentang bagaimana hal itu dilakukan. Sebagai contoh,
orang lain yang bekerja bersama dengan saya tidak merupakan masalah bagi saya
selama mereka melakukan pekerjaan rutin mereka yang sudah tidak asing lagi dan
yang dianggap sudah sewajarnya—katakanlah, mengetik di meja yang berdampingan
dengan meja saya di kantor. Mereka baru menjadi masalah apabila mereka memotong
kegiatan rutin itu—katakanlah, apabila mereka berkumpul di sebuah pojok
dan berbisik-bisik satu sama lain. Sementara saya berusaha mencari makna dari
kegiatan yang tidak lazim ini, ada berbagai kemungkinan yang dapat saya integrasikan
kembali melalui akal sehat saya ke dalam kegiatan rutin kehidupan sehari-hari
yang sudah tidak problematis lagi: orang-orang itu mungkin sedan berunding tentang
bagaimana caranya membetulkan sebuah mesin tulis yang rusak, atau seorang di
antara mereka mungkin telah menerima perintah mendesak dari atasan, dan sebagainya.
Di lain pihak, mungkin saja saya pada akhirnya mengetahui bahwa mereka sedang
membicarakan sebuah perintah dari pimpinan serikat buruh untuk mogok, satu hal
yang masih berada di luar pengalaman saya, namun masih termasuk dalam jenis-jenis
masalah yang dapat dicerna oleh pengetahuan akal sehat saya. Tetapi pengetahuan
akal sehat saya akan memperlakukannya sebagai masalah dan tidak sekedar mengintegrasikannya
kembali begitu saja ke dalam sektor kehidupan sehari-hari yang tidak problematis.
Tetapi apabila saya sampai kepada kesimpulan bahaw rekan-rekan kerja saya itu
telah gila secara kolektif, maka masalah yang menampilkan diri itu termasuk
dalam jenis yang lain lagi. Sekarang saya dihadapkan kepada masalah yang melampaui
batas-batas kenyataan hidup sehari-hari dan menunjuk kepada suatu kenyataan
yang sekaligus berbeda sama sekali. Sesungguhnya, kesimpulan saya bahwa rekan-rekan
saya itu telah menjadi gila mengandung makna ipso facto (atas dasar
fakta itu sendiri) bahwa mereka sudah memasuki suatu dunia yang tidak lagi merupakan
dunia bersama kehidupan sehari-hari.
Dibandingkan dengan kenyataan hidup sehari-hari, kenya- …
-37-
taan-kenyataan lainnya tampak sebagai wilayah-wilayah makna yang berhingga (finite),
daerah-daerah kantong (enclave) di dalam kenyataan utama yang ditandai oleh
makna-makna dan modus-modus pengalaman yang sudah dibatasi. Kenyataan utama
itu seakan-akan menyelimutinya pada semua sisi, dan kesadaran yang selalu kembali
kepada kenyataan utama itu bagaikan dari suatu tamasya. Ini sudah jelas dari
ilustrasi-ilustrasi di atas, seperti dalam kenyataan mimpi atau kenyataan pemikiran
teoritis. “Perjalanan ulang-alik” serupa itu juga berlangsung antara
dunia kehidupan sehari-hari dan dunia permainan, baik permainan anak-anak maupun,
dan malahan secara lebih tajam lagi, permainan orang-orang dewasa. Teater merupakan
satu ilustrasi yang baik sekali dari permainan seperti itu oleh orang-orang
dewasa. Peralihan antara berbagai kenyataan ditandai oleh naik-turunnya layar.
Sementara layar naik, penonton “dipindahkan ke dunia lain”, dengan
makna-maknanya sendiri dan satu tatanan yang mungkin—atau mungkin juga
tidak—mempunyai banyak kaitan dengan tatanan kehidupan sehari-hari. Sementara
layar turun, penonton “kembali ke kenyataan”; artinya, ke kenyataan
utama kehidupan sehari-hari, dan jika dibandingkan dengannya maka kenyataan
yang telah disajikan di atas panggung sekarang tampak sebagai sesuatu yang kabur
dan berlalu sepintas saja, bagaimanapun hidupnya kenyataan itu disajikan beberapa
saat sebelumnya. Pengalaman estetis dan keagamaan kaya akan kemungkinan-kemungkinan
untuk menimbulkan peralihan seperti ini, karena seni dan agama merupakan produsen-produsen
endemis dari wilayah-wilayah makna yang berhingga.
Semua wilayah makna yang berhingga dikarakterisasi oleh pembelokan perhatian
dari kenyataan hidup sehari-hari. Sementara, tentunya, ada pergeseran-pergeseran
perhatian dalam kehidupan sehari-hari, pergeseran ke suatu wilayah makna yang
berhingga merupakan pergeseran dari jenis yang jauh lebih radikal. Suatu perubahan
yang radikal terjadi dalam ketegangan kesadaran. Dalam konteks pengalaman keagamaan,
hal itu dengan tepat sekali dinamakan “loncatan”. Tetapi, penting
untuk ditandaskan, bahwa kenyataan hidup sehari-hari tetap
-38-
mempertahankan statusnya sebagai kenyataan utama sekalipun terjadi “loncatan”
itu. Setidak-tidaknya hal ini dijamin oleh bahasa. Bahasa yang lazim yang tersedia
bagi saya untuk mengobjektivasi pengalaman-pengalaman saya didasarkan atas kehidupan
sehari-hari dan terus menunjuk kembali kepadanya, bahkan apabila saya gunakan
untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman ke dalam wilayah-wilayah makna yang
berhingga. Karena itu pada umumnya saya “menyimpangkan” kenyataan
dari yang disebut belakangan, begitu saya mulai menggunakan bahasa biasa untuk
menafsirkannya. Artinya, saya “menerjemahkan” pengalaman-pengalaman
yang bukan sehari-hari itu kembali ke dalam kenyataan utama dari kehidupan sehari-hari.
Ini dengan mudah dapat dilihat dalam hal yang menyangkut mimpi, tetapi juga
khas bagi mereka yang berusaha memberi laporan tentang dunia-dunia makna teoritis,
estetis atau reliius. Sarjana fisika teoritis menerangkan kepada kita bahwa
konsepnya mengenai ruang tidak bisa diutarakan secara linguistik, seperti juga
halnya seniman mengenai makna ciptaan-ciptaannya dan mistikus mengenai perjumpaan-perjumpaannya
dengan yang ilahi. Namun demikian, mereka semua—orang yang mimpi, sarjana
fisika, seniman dan mistikus—juga hidup dalam kenyataan sehari-hari. Malahan,
salah satu masalah penting mereka adalah untuk menafsirkan koeksistensi kenyataan
ini dengan kenyataan daerah-daerah kantong yang telah mereka masuki.
Dunia kehidupan sehari-hari memiliki struktur ruang dan waktu. Struktur ruang
hanya akan sepintas saja kami singgung dalam pembahasan yang sekarang. Cukup
kiranya jika dikemukakan, bahwa ia pun menyukai dimensi sosial berkat fakta
bahwa wilayah-wilayah manipulasi saya silang-menyilang dengan wilayah-wilayah
manipulasi orang lain. Yang lebih penting bagi tujuan kita sekarang adalah struktur
waktu dari kehidupan sehari-hari.
Waktu merupakan satu sifat intrinsik dari kesadaran. Arus kesadaran selalu ditata
menurut waktu. Kita bisa membedakan antara berbagai tingkat waktu ini, karena
ia terdapat secara intrasubjektif. Tiap individu sadar akan suatu arus waktu
di
-39-
dalam batinnya, yang pada gilirannya berlandaskan irama-irama fisiologis dari
organisme meskipun tidak identik dengannya. Kiranya akan jauh melampaui lingkup
pengantar ini untuk memasuki suatu analisa yang terinci mengenai tingkat-tingkat
waktu intrasubjektif ini. Tetapi, seperti telah kami kemukakan, juga intersubjektivitas
dalam kehidupan sehari-hari mempunyai dimensi waktu. Dunia kehidupan sehari-hari
mempunyai waktu patokan sendiri, yang terdapat secara intersubjektif. Waktu
patokan ini bisa dipahami sebagai persilangan antara waktu kosmis dan kalendernya
yang ditetapkan secara sosial berdasarkan urutan-urutan waktu alam, dan waktu
batin (inner time) dalam perbedaan-perbedaannya seperti yang telah disebutkan
di atas. Tidak akan pernah terjadi suatu keserentakan sepenuh-penuhnya antara
tingkat-tingkat waktu yang berbeda itu, seperti yang paling jelas ditunjukkan
oleh pengalaman menanti. Baik organisme saya maupun masyarakat saya sama-sama
memaksakan kepada saya, dan kepada waktu batin saya, urutan-urutan tertentu
dari peristiwa-peristiwa yang melibatkan hal menanti. Mungkin saya ingin ikut
serta dalam suatu peristiwa olah raga tetapi saya harus menanti sampai lutut
saya yang memar sembuh kembali. Atau, saya harus menunggu sampai surat-surat
tertentu diproses sehingga kualifikasi saya untuk ikut dalam pertandingan itu
dapat dibuktikan dengan resmi. Kiranya mudah dilihat bahwa struktur waktu dalam
kehidupan sehari-hari sangat kompleks, karena berbagai tingkat waktu yang ada
secara empiris harus terus-menerus dikorelasikan.
Struktur waktu dalam kehidupan sehari-hari menghadapi saya sebagai satu faktisitas
yang harus saya perhitungkan. Artinya, saya harus mensingkronkan proyek-proyek
saya sendiri dengannya. Saya berjumpa dengan waktu dalam kehidupan sehari-hari
sebagai yang bersinambung dan berhingga. Seluruh eksistensi saya di dunia ini
secara terus-menerus ditata oleh waktunya, malahan diliputi olehnya. Waktu sudah
ada sebelum saya lahir dan ia akan terus ada setelah saya mati. Pengetahuan
tentang kematian saya yang tak terelakkan menjadikan
-40-
waktu ini berhingga bagi saya. Bagi saya hanya tersedia sejumlah waktu tertentu
untuk merealisasi proyek-proyek saya, dan pengetahuan ini mempengaruhi sikap
saya terhadap proyek-proyek itu. Begitu pula, karena saya tidak ingin mati,
maka pengetahuan itu memasukkan suatu perasaan cemas yang mendasar ke dalam
proyek-proyek itu. Umpamanya, saya tidak dapat mengulangi terus-menerus tanpa
batas partisipasi saya dalam semua peristiwa olahraga. Saya tahu bahwa saya
semakin tua. Malahan boleh jadi ini merupakan kesempatan terakhir bagi saya
untuk berpartisipasi. Perasaan cemas saya dalam menanti akan tergantung kepada
soal sampai sejauh mana keberhinggaan waktu mempengaruhi proyek itu.
Struktur waktu itu juga, seperti telah dikemukakan di atas, sifatnya memaksa.
Saya tidak bisa dengan semau-maunya membalikkan urutan yang dipaksakan olehnya—“yang
lebih dulu didahulukan” merupakan satu unsur yang pokok dari pengetahuan
saya dalam kehidupan sehari-hari. Demikianlah maka saya tidak bisa menempuh
ujian tertentu sebelum saya menyelesaikan program-program pendidikan tertentu,
saya tidak bisa mempraktekkan profesi saya sebelum saya menempuh ujian itu,
dan seterusnya. Begitu pula, struktur waktu itu memberikan historisitas yang
menentukan situasi saya dalam dunia kehidupan sehari-hari. Saya dilahirkan pada
satu saat tertentu, masuk sekolah pada saat tertentu lainnya, mulai bekerja
sebagai seorang profesional juga pada saat tertentu, dan seterusnya. Tetapi
saat-saat itu semuanya “berlokasi” di dalam suatu sejarah yang jauh
lebih komprehensif, dan “lokasi” ini secara pasti membentuk situasi
saya. Demikianlah, saya lahir dalam tahun terjadinya krisis perbankan yang besar
di mana ayah saya kehilangan kekayaannya, saya masuk sekolah beberapa saat sebelum
revolusi, saya mulai bekerja beberapa saat setelah pecahnya Perang Besar, dan
seterusnya. Struktur waktu kehidupan sehari-hari tidak hanya memaksakan urutan-urutan
yang sudah ditetapkan sebelumnya kepada “agenda” setiap hari masing-masing
tetapi juga menentukan biografi saya secara keseluruhan. Di dalam koordinat-kordinat
yang ditentukan oleh struktur waktu itu saya memahami “agenda” harian
maupun biografi secara keseluruhan. Jam dan kalender menjamin bahwa saya benar-benar
merupakan “manusia waktu saya”. Hanya di dalam struktur waktu inilah
kehidupan sehari-hari memberi kekhasan kenyataan (accent of reality) kepada
saya. Demikianlah, maka dalam kasus-kasus di mana karena sesuatu hal saya mungkin
“kehilangan orientasi” (katakanlah karena mengalami kecelakaan mobil
di mana saya jatuh pingsan), saya merasakan suatu dorongan yang hampir naluriah
untuk “mengorientasikan” kembali diri saya dalam struktur waktu
kehidupan sehari-hari. Saya melihat jam saya dan mencoba mengingat-ingat kembali
hari apa. Dengan tindakan-tindakan itu saya memasuki kembali kenyataan hidup
sehari-hari.
Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari
Kenyataan hidup sehari-hari dialami bersama oleh orang-orang lain. Tetapi bagaimana
orang-orang itu sendiri dialami dalam kehidupan sehari-hari? Juga dalam hal
ini ada kemungkinan untuk membedakan antara beberapa modus pengalaman.
Pengalaman yang paling penting dengan orang-orang lain berlangsung dalam situasi
tatap muka, yang merupakan kasus prototipikal dari interaksi sosial. Semua kasus
lainnya merupakan penjabaran darinya.
Dalam situasi tatap muka, orang lain dihadirkan kepada saya dalam suatu saat-kini
(present) yang jelas sekali bagi kami berdua. Saya tahu bahwa dalam
saat-kini yang sangat jelas itu pula saya dihadirkan kepadanya. “Di sini
dan sekarang” saya dan dia terus-menerus saling bersentuhan selama berlangsungnya
situasi tatap-muka itu. Akibatnya ada pertukaran terus-menerus antara penampilan
(ekspresivitas) saya dan penampilan dia. Saya lihat dia tersenyum, lalu bereaksi
terhadap kerutan dahi saya dengan berhenti tersenyum, kemudian tersenyum lagi
ketika saya tersenyum, dan seterusnya. Tiap ekspresi saya diarahkan kepadanya,
dan sebaliknya, tindakan-tindakan ekspresif timbal balik yang terus-menerus
itu terdapat secara serentak pada kami berdua. Ini berarti bahwa, dalam situasi
tatap muka, subjektivitas orang lain terbuka bagi saya melalui gejala-gejala
yang maksimal.
-42-
Memang saya mungkin saja menyalahtafsirkan beberapa di antara gejala-gejala
itu. Mungkin saja saya berpikir bahwa orang lain itu sedang tersenyum padahal
sebenarnya ia sedang menyeringai. Namun demikian, tak ada bentuk hubungan sosial
lain yang bisa mereproduksi kekayaan akan gejala subjektivitas yang menampakkan
diri dalam situasi tatap-muka. Hanya di sinilah subjektivitas orang lain benar-benar
“dekat”. Segala bentuk hubungan lainnya dengan orang lain adalah
“jauh” dalam berbagai kadarnya.
Dalam situasi tatap-muka, orang lain adalah nyata sepenuhnya. Kenyataan ini
merupakan bagian dari kenyataan hidup sehari-hari secara keseluruhan, dan karena
itu masif (meyakinkan) dan sifatnya memaksa. Memang benar bahwa orang lain bisa
nyata bagi saya tanpa melalui suatu perjumpaan tatap-muka—tetapi berkat
reputasinya, umpamanya, atau karena saya telah berkorespondensi dengannya. Namun
demikian, ia menjadi nyata bagi saya dalam arti kata yang sepenuhnya hanya apabila
saya bertemu muka dengannya. Sesungguhnya dapat dikemukakan bahwa dalam situasi
tatap muka, orang lain itu lebih nyata bagi saya daripada diri saya sendiri.
sudah tentu “saya mengenal diri saya lebih baik” daripada apa yang
dapat saya ketahui tentang dirinya. Subjektivitas saya terbuka bagi saya dengan
cara yang tak mungkin terjadi dengan subjektivitasnya, bagaimanapun “dekatnya”
hubungan kami. Masa lampau saya terbuka bagi saya dalam ingatan dalam keadaan
yang lengkap, namun dengan itu bagaimanapun saya tidak akan dapat merekonstruksikan
masa lampaunya, berapapun banyaknya yang ia ceritakan kepada saya tentang masa
lampaunya itu. Tetapi "pengetahuan yang lebih baik” mengenai diri
saya sendiri itu memerlukan refleksi. Pengetahuan itu tidak dihadirkan begitu
saja kepada saya. Sebaliknya, orang lain itu dihadirkan begitu saja dalam situasi
tatap muka. Karena itu, masalah “apa dia itu” terus-menerus tersedia
bagi saya. Ketersediaan ini berlangsung secara sinambung dan pra-reflektif.
Sebaliknya, masalah “apa saya itu” tidaklah tersedia seperti itu.
Agar hal itu tersedia, saya harus berhenti, menghentikan spontanitas yang bersinambung
dari pengalaman saya, dan secara sengaja
-43-
membalikkan perhatian saya kepada saya sendiri. Lebih dari itu, refleksi mengenai
diri saya sendiri seperti itu secara tipikal disebabkan oleh sikap terhadap
saya yang diperlihatkan oleh orang lain. Ini adalah khas bayangan “cermin”
atas sikap-sikap orang lain.
Ini berarti bahwa hubungan-hubungan saya dengan orang lain dalam situasi tatap
muka sangat lentur. Secara negatif dapat dikatakan bahwa adalah sukar untuk
memaksakan pola-pola yang kaku terhadap interaksi tatap muka dibandingkan bentuk
interaksi lain. Pola-pola apa pun yang dipakai akan terus menerus dimodifikasi
melalui pertukaran makna-makna subjektif yang sangat beraneka ragam dan halus
yang berlangsung terus. Sebagai contoh, saya mungkin saja memandang orang lain
sebagai seseorang yang secara inheren bersikap tidak bersahabat terhadap saya,
lalu saya bersikap terhadapnya dalam suatu pola “hubungan tidak bersahabat”
sebagaimana yang saya pahami. Tetapi dalam situasi tatap muka, orang lain itu
mungkin menghadapi saya dengan sikap dan tindakan yang berlawan dengan pola
itu, dan barangkali sampai pada satu titik dimana saya terpaksa meninggalkan
pola itu sebagai tidak bisa diterapkan dan menganggap dia sebagai bersahabat.
Dengan kata lain, pola itu tidak dapat bertahan terhadap bukti-bukti yang meyakinkan
tentang subjektivitas orang lain itu yang tersedia bagi saya dalam situasi tatap
muka. Sebaliknya, jauh lebih mudah bagi saya untuk tidak menghiraukan bukti-bukti
seperti itu selama saya tidak bertatap muka denganya. Bahkan dalam hubungan
yang relatif “dekat” sekalipun—seperti yang bisa dipertahankan
melalui korespondensi—akan lebih mudah bagi saya untuk menolak pernyataan-pernyataannya
yang bersahabat sebagai tidak benar-benar mencerminkan sikap subjektifnya terhadap
saya, hanya karena dalam korespondensi saya tidak mengalami penampilannya yang
langsung, bersinambung dan nyata. Memang benar ada kemungkinan bagi saya untuk
menyalahtafsirkan makna-makna orang lain itu dalam situasi tatap muka sekalipun,
sebagaimana juga mungkin baginya untuk secara “munafik” menyembunyikan
makna-maknanya. Namun demikian, baik penafsiran
-44-
yang salah maupun “kemunafikan” sama-sama lebih sulit dipertahankan
dalam interaksi tatap muka, dibandingkan dengan dalam bentuk-bentuk hubungan
sosial yang kurang “dekat”.
Di pihak lain, saya memahami orang lain itu dengan menggunakan skema-skema tipifikasi,
bahkan dalam situasi tatap muka sekalipun, walaupun skema-skema ini lebih “rawan”
terhadap campur tangan orang lain itu dibandingkan dengan dalam bentuk-bentuk
interaksi yang “lebih jauh”. Dengan kata lain, sementara secara
komparatif lebih sukar untuk memaksakan pola-pola yang ketat terhadap interaksi
tatapmuka, ia bagaimanapun sudah dipolakan sejak semula apabila berlangsung
dalam kehidupan rutin sehari-hari. (Kita dapat mengesampingkan untuk pembahasan
nanti, kasus-kasus interaksi antara orang-orang yang sama sekali asing satu
sama lain dan yang tidak sama latar belakang kehidupan sehari-harinya). Kenyataan
hidup sehari-hari mengandung skema-skema tipifikasi atas dasar mana orang lain
dipahami dan “diperlakukan” dalam perjumpaan tatap muka. Maka saya
memahami orang lain sebagai “laki-laki”, “orang Eropa”,
“pembeli”, “periang” dan sebagainya. Semua tipifikasi
ini secara terus-menerus mempengaruhi interaksi dengan dia apabila saya, katakanlah,
memutuskan untuk mengajaknya bertamasya keliling kota sebelum saya mencoba menjual
produk saya kepadanya. Interaksi tatap muka kami akan dipolakan oleh berbagai
tipifikasi ini selama hal itu tidak menjadi problematis sebagai akibat campur
tangan dari pihaknya. Demikianlah ia mungkin saja memperlihatkan bukti-bukti
bahwa meskipun ia “laki-laki”, “orang Eropa” dan “pembeli”,
ia juga seorang moralis yang merasa benar sendiri, dan bahwa apa yang pada dirinya
mula-mula tampak sebagai sifat periang seusungguhnya merupakan ekspresi dari
pandangannya yang rendah terhadap orang-orang Amerika pada umumnya dan pedagang-pedagang
Amerika pada khususnya. Sudah tentu, pada titik ini skema-skema tipifikasi saya
itu harus diubah, dan rencana untuk mengajaknya ke tempat-tempat hiburan di
malam hari diubah sesuai dengan itu. Namun demikian, kecuali jika disangkal
dengan cara seperti itu, tipifi- …
-45-
kasi itu akan berlaku sampai ada perkembangan lain, dan akan menentukan tindakan-tindakan
saya dalam situasi yang bersangkutan.
Dengan sendirinya, skema-skema tipifikasi yang dipakai dalam situasi tatap muka
itu bertimbal balik. Orang lain itu pun memahami saya melalui tipifikasi—sebagai
“laki-laki”, “orang Amerika”, “pedagang”,
“pengambil muka”, dan sebagainya. Tipifikasi orang lain itu sama
terbukanya bagi campurtangan saya seperti halnya tipifikasi saya terbuka atas
campurtangannya. Dengan kata lain, kedua skema tipifikasi itu “bernegosiasi”
terus-menerus dalam situasi tatapmuka. Dalam kehidupan sehari-hari, “negosiasi”
seperti itu sendiri mungkin sudah diatur lebih dulu dengan cara yang khas—seperti
dalam proses tawar-menawar yang khas antara pembeli dan penjual. Maka, dalam
kebanyakan hal, perjumpaan-perjumpaan saya dengan orang-orang lain dalam kehidupan
sehari-hari adalah khas dalam arti ganda—saya memahami orang lain sebagai
satu tipe dan saya berinteraksi dengannya dalam suatu situasi yang memang khas.
Tipifikasi interaksi sosial menjadi semakin anonim dengan semakin
jauhnya interaksi itu dari situasi tatapmuka. Sudah tentu tiap tipifikasi mengandung
permulaan keanoniman. Jika saya mentipifikasi kawan saya, Henry, sebagai seorang
anggota kategori X (katakanlah, sebagai seorang Inggris), maka saya atas dasar
fakta menafsirkan setidak-tidaknya aspek-aspek tertentu dari perilakunya sebagai
hasil tipifikasi ini. Umpamanya, selera makannya adalah khas selera orang Inggris,
begitu pula tindak-tanduknya, beberapa dari reaksi emosionalnya, dan sebagainya.
Tetapi ini mengandung arti bahwa sifat-sifat dan tindakan kawan saya itu terdapat
pada setiap orang yang termasuk dalam kategori orang Inggris; artinya saya memahami
aspek-aspek keberadaannya itu secara anonim. Namun demikian, selama kawan saya—Henry—hadir
dalam ekspresi yang melimpah dalam suatu situasi tatapmuka, ia akan terus-menerus
menerobos keluar dari tipifikasi saya mengenai orang Inggris yang anonim dan
memanifestasikan diri sebagai individu yang unik dan karenanya atipikal—yakni,
sebagai kawan
-46-
saya, Henry. Keanoniman tipe jelas tidak begitu mudah diindividualisasikan dengan
cara ini, apabila interaksi tatapmuka sudah merupakan masa lampau (kawan saya
Henry, orang Inggris, yang saya kenal ketika saya belajar di universitas), atau
hanya berlangsung sebentar dan secara sambil lalu (orang Inggris yang telah
bercakap-cakap dengan saya sebentar di atas kereta api), atau tak pernah terjadi
(saingan-saingan usaha saya di Inggris).
Dengan demikian maka satu aspek yang penting dari pengalaman dengan orang-orang
lain dalam kehidupan sehari-hari adalah langsung atau tidaklangsungnya pengalaman
itu. Pada setiap saat dapat dibedakan antara orang-orang sepergaulan, dengan
siapa saya berinteraksi dalam situasi-situasi tatap muka, dan orang-orang lain
yang hanya merupakan orang-orang sezaman, yang dapat saya kenang kembali sedikit-banyaknya
secara rinci, atau yang saya ketahui melalui kabar-berita. Dalam berbagai situasi
tatap muka, saya mempunyai bukti-bukti yang langsung mengenai sesama manusia,
tindakan-tindakannya, sifat-sifatnya, dan sebagainya. Tidak demikian halnya
dengan orang sezaman saya—tentang mereka saya mempunyai pengetahuan yang
sedikit-banyak bisa dipercaya. Selain itu, saya harus memperhitungkan sesama
manusia dalam situasi-situasi tatapmuka, sedangkan saya dapat—tetapi tidak
perlu—menunjukkan pikiran saya kepada orang-orang yang hanya sezaman dengan
saya. Keanoniman berbagai tipifikasi yang saya gunakan untuk memahami sesama
dalam situasi tatapmuka, terus-menerus “diisi” oleh keanekaragaman
gejala yang jelas, yang mengacu kepada seseorang yang kongkrit.
Sudah tentu persoalannya tidak sampai di sini saja. Ada berbagai perbedaan yang
jelas dalam pengalaman-pengalaman saya dengan orang-orang yang hanya sezaman.
Beberapa di antaranya telah saya alami berulang-kali dalam berbagai situasi
tatap muka dan saya mengharapkan akan bertemu lagi dengan mereka secara teratur
(kawan saya Henry); yang lainnya saya ingat kembali sebagai manusia-manusia
kongkrit dari
-47-
pertemuan yang sudah lalu (orang berambut pirang yang berpapasan dengan saya
di jalan), tetapi perjumpaan itu singkat saja, dan—kemungkinan besar—tidak
akan terulang. Masih ada orang-orang lain yang saya ketahui sebagai manusia-manusia
kongkrit, tetapi saya hanya dapat memahami mereka dengan menggunakan berbagai
tipifikasi yang saling menyilang dan sedikit-banyaknya anonim (orang-orang Inggris
yang merupakan saingan usaha saya, dan Ratu Inggris). Di antara mereka itu bisa
dibuat perbedaan antara orang-orang yang ada kemungkinan untuk berjumpa dengan
saya dalam situasi tatapmuka (orang-orang Inggris yang merupakan saingan usaha
saya), dan orang-orang yang secara potensial bisa bertatap muka dengan saya
namun agaknya tak akan ada peluang untuk itu (Ratu Inggris).
Tetapi, tingkat keanoniman yang mencirikan pengalaman tentang orang lain dalam
kehidupan sehari-hari, tergantung kepada satu faktor lain lagi. Saya melihat
penjual koran di sudut jalan sesering saya melihat istri saya. Tetapi ia tidak
begitu penting bagi saya dan saya tidak akrab dengannya. Tingkat perhatian dan
tingkat keakraban bisa bergabung untuk menaikkan atau menurunkan tingkat keanoniman
pengalaman. Kedua hal itu dapat juga mempengaruhi secara terpisah. Saya bisa
cukup akrab dengan sejumlah anggota sebuah perkumpulan tenis dan mempunyai hubungan
yang sangat formal dengan bos saya. Namun yang disebut pertama meski tidak sama
sekali anonim, dapat melebur ke dalam “kelompok orang-orang di lapangan
tenis”, sementara yang disebut belakangan menonjol sebagai individu yang
unik. Kemudian, keanoniman bisa hampir total pada tipifikasi tertentu yang tidak
pernah dimaksudkan untuk diindividualisasikan—seperti “pembaca tipikal
The Times”. Akhirnya “lingkup” tipifikasi—dan dengan
itu keanonimannya—bisa diperluas lagi seperti apabila kita berbicara tentang
“pendapat umum Inggris”.
Dengan demikian maka kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahami dalam suatu
rangkaian (continuum) berbagai tipifikasi, yang menjadi semakin anonim
dengan semakin jauhnya tipifikasi itu dari “di sini dan sekarang”
dalam situasi
-48-
tatap muka. Pada salah satu kutub rangkaian itu terdapat orang-orang lain dengan
siapa saya sering berinteraksi secara intensip dalam situasi-situasi tatap muka—yang
boleh dikatakan “lingkaran dalam” saya. Pada kutub yang lainnya
terdapat abstraksi-abstraksi yang sangat anonim, yang karena sifatnya semata-mata
tidak mungkin terlibat dalam interaksi tatap muka. Struktur sosial merupakan
jumlah keseluruhan tipifikasi itu serta pola-pola interaksi yang terjadi berulang-ulang
melalui tipifikasi. Dengan demikian maka struktur sosial merupakan satu unsur
yang esensial dari kenyataan hidup sehari-hari.
Satu soal lagi kiranya perlu dikemukakan di sini, meskipun
kami tidak dapat membahasnya secara panjang lebar. Hubungan-hubungan saya dengan
orang lain tidak terbatas kepada orang-orang sepergaulan dan sezaman. Saya juga
berhubungan dengan pendahulu-pendahulu dan penerus-penerus saya; orang-orang
yang telah mendahului saya dan mereka yang akan menyusul saya dalam sejarah
masyarakat saya yang mencakup keseluruhannya. Kecuali dengan orang-orang bekas
sepergaulan saya (kawan baik saya Henry), saya berhubungan dengan pendahulu-pendahulu
saya hanya melalui tipifikasi yang sangat anonim—“moyang saya yang
telah beremigrasi ke Amerika”, dan malahan “Bapak-bapak Pendiri
Negara ini”. Orang-orang yang akan menggantikan saya, dengan alasan-alasan
yang bisa dimengerti, dipifikasi dengan cara yang lebih anonim lagi—“anak
dari anak-anak saya”, atau “generasi-generasi mendatang”.
Tipifikasi-tipifikasi ini, dari segi substantif, merupakan proyeksi-proyeksi
yang kosong, yang hampir sama sekali tanpa isi yang diindividualisasikan, sedangkan
tipifikasi-tipifikasi orang-orang yang telah mendahului saya setidak-tidaknya
mempunyai sedikit isi, meski dari jenis yang sangat mitis. Dalam pada itu, keanoniman
kedua perangkat tipifikasi itu tidak mencegahnya untuk memasuki kenyataan hidup
sehari-hari sebagai unsur-unsurnya, kadang-kadang dengan cara yang sangat menentukan.
Bagaimanapun, saya mungkin saja mengurbankan jiwa saya sebagai tanda setia kepada
Bapak-bapak Pendiri Negara—atau, katakanlah, demi generasi yang akan datang.
-49-
Bahasa dan Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari
Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan objektivasi
(objectivation), artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk
kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang
lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi itu merupakan isyarat-isyarat
yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses-proses subjektif para produsennya,
sehingga memungkinkan objektivasi itu dapat dipakai sampai melampaui situasi
tatapmuka dimana mereka dapat dipahami secara langsung. Sebagai contoh, suatu
sikap marah subjektif diungkapkan secara langsung dalam situasi tatap muka melalui
berbagai macam isyarat badan—air muka, sikap badan pada umumnya, gerak-gerik
tangan dan kaki yang spesifik, dan sebagainya. Isyarat-isyarat itu tidak dapat
bertahan jika sudah melampaui saat-kini yang hidup dalam situasi tatap muka.
Tetapi kemarahan dapat diobjektivasi dengan menggunakan sebuah senjata. Umpamanya
saja, saya telah bertengkar dengan orang lain, yang dengan cara yang sudah cukup
jelas telah mengungkapkan kemarahannya terhadap saya. Malam itu saya terbangun
dan melihat sebilah pisau tertancap di tembok di atas kepala saya. Pisau itu
sebagai benda mengekspresikan kemarahan lawan saya. Pisau itu sebagai benda
mengekspresikan kemarahan lawan saya. Ini memungkinkan saya untuk memasuki subjektivitasnya,
meskipun saya sedang tidur ketika ia melemparkannya dan saya tidak pernah melihat
dia karena dia melarikan diri setelah pisau yang dilemparkannya itu hampir saja
mengenai sasarannya. Sesungguhnya, jika saya membiarkan benda itu tetap berada
di tempatnya, saya akan dapat memandanginya lagi esok paginya, dan kembali ia
akan mengekspresikan kepada saya kemarahan orang yang telah melemparkannya.
Lebih dari itu, orang-orang lain bisa datang untuk melihatnya dan menarik kesimpulan
yang sama. Dengan kata lain, pisau yang tertancap di tembok kamar saya itu sudah
menjadi unsur esensial
-50-
yang tersedia secara objektif dari kenyataan yang sama, yang saya alami bersama
lawan saya dan orang-orang lainnya. Agaknya pisau itu tidak dibuat dengan tujuan
khusus untuk dilemparkan ke arah saya. Tetapi ia mengekspresikan suatu maksud
dubjektif untuk melakukan kekerasan, baik hal itu didorong oleh rasa marah atau
oleh pertimbangan-pertimbangan praktis, seperti membunuh untuk memperoleh makanan.
Senjata itu sebagai benda dlam dunia yang nyata tetap mengekspresikan suatu
maksud yang umum untuk melakukan kekerasan yang bisa dikenali oleh setiap orang
yang tahu apa arti senjata. Maka senjata merupakan produk manusia dan sekaligus
suatu objektivasi dari subjektivitas manusia.
Kenyataan hidup sehari-hari tidak hanya terisi objektivasi-objektivasi; ia hanya
mungkin karena adanya objekvitasi-objektivasi. Saya terus-menerus dikelilingi
oleh benda-benda yang “mempermaklumkan” maksud-maksud subjektif
sesama saya, meskipun kadang-kadang mungkin sulit bagi saya untuk merasa yakin
benar apa sesungguhnya yang sedang “dipermaklumkan” oleh suatu benda
tertentu, terutama jika ia dibuat oleh orang yang tidak saya kenal betul atau
tidak kenal sama sekali dalam situasi tatap muka. Setiap etnolog atau arkeolog
dengan cepat akan membenarkan adanya kesulitan-kesulitan seperti itu, tetapi
kenyataan bahwa mereka dapat mengatasi kesulitan seperti itu dan dari sebuah
artefak dapat mengkonstruksikan maksud-maksud subjektif orang dari masyarakat
yang mungkin sudah punah sejak beberapa ribu tahun yang lalu, merupakan bukti
yang meyakinkan tentang kekalnya kekuatan objektivasi manusia.
Satu kasus yang khusus tetapi sangat penting dari objektivasi adalah signifikasi,
yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah tanda (sign) dapat dibedakan
dari objektivasi-objektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk
digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi makna-makna subjektif. Memang benar
bahwa semua objektivasi dapat digunakan sebagai tanda, meskipun mereka semula
tidak dibuat untuk maksud itu. Sebagai contoh, sebuah senjata mungkin saja semula
dibuat untuk digunakan dalam memburu bina-
-51-
tang, tetapi di kemudian hari (katakanlah dalam upacara-upacara) dapat menjadi
satu tanda dari sikap agresif dan kekerasan pada umumnya. Tetapi ada objektivasi-objektivasi
tertentu yang pada mulanya dan secara eksplisit dimaksudkan sebagai tanda. Sebagai
contoh, daripada melemparkan pisau ke arah saya (satu tindakan yang agaknya
dimaksudkan untuk membunuh saya, tetapi mungkin juga hanya dimaksudkan sebagai
tanda bagi kemungkinan itu), lawan saya bisa membuat tanda X dengan cat hitam
pada daun pintu kamar saya: sebuah tanda, katakanlah, bahwa kami sekarang dengan
resmi bermusuhan. Tanda seperti itu, yang tidak mempunyai tujuan lain kecuali
menunjukkan makna subjektif dari orang yang membuatnya, juga tersedia secara
objektif dalam kenyataan bersama yang dialami oleh dia, saya dan orang-orang
lainnya. Saya mengenali maknanya, begitu pula orang-orang lain, dan malahan
tersedia bagi si pembuatnya sendiri sebagai satu “peringatan” objektif
tentang maksudnya semula ketika ia membuatnya. Sudah jelas kiranya dari apa
yang dikatakan di atas itu bahwa batasnya sangat kabur antara penggunaan objektivasi
tertentu sebagai alat dan penggunaannya sebagai tanda. Kasus khusus dalam dunia
magi, di mana secara menarik kedua cara penggunaan itu melebur satu sama lain,
tidak perlu kita bahas di sini.
Tanda-tanda dikelompokkan dalam sejumlah sistem. Maka ada sistem tanda dengan
tangan, sistem gerak –gerik badan yang berpola, sistem berbagai perangkat
artefak material, dan sebagainya. Tandaptanda dan sistem-sistem tanda merupakan
objektivasi dalam arti dapat digunakan melampaui batas ekspresi maksud-maksud
subjektif “di sini dan sekarang”. Sifat “dapat dilepaskan”
dari ekspresi subjektivitas yang langsung itu juga terdapat pada tanda-tanda
yang memerlukan perantaraan kehadiran badan. Demikian maka melakukan suatu tarian
yang menandakan maksud agresif berbeda sama sekali dengan menggertak atau mengepalkan
tangan dalam suatu ledakan amarah. Tindakan-tindakan yang disebut belakangan
itu mengekspresikan subjektivitas saya “di sini dan sekarang”, sedangkan
yang disebut pertama bisa saja dilepaskan dari sub-
-52-
jektivitas ini—saya bisa saja sama sekali tidak marah atau agresif pada
kesempatan itu dan hanya sekadar turut serta dalam tarian itu, karena saya dibayar
untuk melakukannya atas nama seseorang yang memang sedang marah. Dengan kata
lain tarian itu dapat dilepaskan dari subjektivitas si penari dengan cara yang
tidak bisa digunakan untuk melepaskan gertakan dari si penggertak. Tarian dan
gertakan, kedua-duanya merupakan manifestasi kemampuan ekspresi badan, namun
hanya yang disebut pertamalah yang mempunyai sifat tanda yang tersedia secara
objektif. Tanda dan sistem tanda semuanya bercirikan “dapat dilepaskan”
tetapi dapat dibedakan dari segi sejauh mana mereka dapat dilepaskan dari situasi
tatap muka. Demikianlah maka sebuah tarian tampaknya tidak begitu terlepas dibandingkan
dengan sebuah benda artefak yang menandakan makna subjektif yang sama.
Bahasa, yang di sini bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem tanda-tanda suara,
merupakan sistem tanda yang paling penting dalam masyarakat manusia. Landasannya,
sudah tentu terletak dalam kapasitas intrinsik organisme manusia untuk mengungkapkan
diri dengan suara, tetapi kita baru bisa bicara tentang bahasa apabila ekspresi-ekspresi
suara itu sudah bisa dilepaskan dari keadaan “di sini dan sekarang”
yang langsung dari subjektivitas. Kita belum dapat berbicara tentang bahasa
jika saya hanya menggertak, merauh dan mendesis, meski pun ekspresi-ekspresi
suara itu bisa mempunyai sifat bahasa jika diintegrasikan ke dalam suatu sistem
tanda yang terdapat secara objektif. Objektivitas yang umum dari kehidupan sehari-hari
pertama-tama dipertahankan oleh signifikasi bahasa. Kehidupan sehari-hari adalah
terutama sekali kehidupan dengan dan melalui bahasa yang saya gunakan bersama-sama
dengan sesama manusia. Maka suatu pemahaman mengenai bahasa merupakan hal yang
pokok bagi setiap pemahaman mengenai kenyataan hidup sehari-hari.
Bahasa lahir dalam situasi tatap muka, namun dengan mudah dapat dilepaskan darinya.
Hal ini tidak hanya karena saya dapat berteriak dalam kegelapan atau dari suatu
jarak, berbicara melalui telepon atau radio, atau menyampaikan arti-
-53-
arti linguistik melalui tulisan (yang disebut belakangan itu merupakan semacam
sistem tanda tingkat kedua). Dapat dilepaskannya bahasa (dari situasi tatap
muka) secara lebih mendasar lagi, terletak dalam kemampuannya untuk menyampaikan
makna-makna yang tidak merupakan ekspresi-ekspresi yang langsung dari subjektivitas
“di sini dan sekarang”. Kemampuan ini juga dimiliki oleh sistem-sistem
tanda lainnya, tetapi pada bahasa keanekaragaman dan kompleksitasnya yang sangat
besar membuatnya jauh lebih mudah dilepaskan dari situasi tatap muka dibandingkan
dengan setiap sistem tanda lainnya (umpamanya, sistem isyarat dengan tangan).
Saya bisa berbicara tentang hal-hal yang tak terperikan banyaknya yang tidak
hadir sama sekali dalam situasi tatap muka, termasuk hal-hal yangbelum pernah
dan tidak akan pernah saya alami secara langsung. Dengan cara ini, bahasa mampu
menjadi tempat penyimpanan yang objektif dari akumulasi makna dan pengalaman
yang besar sekali dan yang kemudian dapat dilestarikannya dalam waktu dan diteruskan
kepada generasi-generasi berikutnya.
Dalam situasi tatap muka, bahasa memiliki suatu sifat timbal-balik yang inheren
yang membedakannya dari setiap sistem tanda lainnya. Produksi tanda-tanda suara
yang terus berlangsung dalam percakapan dapat diselaraskan dengan cara yang
halus dengan maksud-maksud subjektif yang terus berlangsung dari mereka yang
terlibat dalam percakapan itu. Saya berbicara sambil berpikir; begitu pula halnya
dengan lawan bicara saya. Kami berdua sama-sama mendengar apa yang dikatakan
oleh kami masing-masing tepat pada saat yang bersamaan, sehingga kami berdua
terus-menerus dan secara selaras memasuki kedua subjektivitas kami secara timbal
balik—suatu kedekatan intersubjektif dalam situasi tatap muka yang tidak
mungkin ditiru oleh sistem tanda lainnya yang mana pun. Lebih dari itu, saya
mendengar diri saya sendiri sementara saya bicara; makna-makna subjektif saya
sendiri menjadi tersedia bagi saya secara objektif dan terus menerus dan karena
itu menjadi “lebih nyata” bagi saya. Cara lain untuk mengemukakan
hal ini adalah dengan mengingatkan kembali kepada apa yang telah
-54-
disinggung di atas, bahwa “pengetahuan saya yang lebih baik” mengenai
orang lain dibandingkan dengan pengetahuan saya tentang diri sendiri dalam situasi
tatap muka. Fakta yang tampaknya paradoksal itu telah dijelaskan dimuka dengan
mengemukakan bahwa dalam situasi tatap muka keberadaan orang lain itu hadir
secara masif, bersinambung dan pra-reflektif, sedangkan bagi keberadaan saya
sendiri diperlukan refleksi terlebih dahulu. Namun sekarang, sementara saya
mengobjektivasi keberasaan saya sendiri melalui bahasa, keberadaan saya itu
terhadir secara masif dan terus-menerus bagi saya sendiri dan pada waktu yang
bersamaan ia juga terhadir bagi orang lain, dan dengan spontan saya memberi
respon kepada keberadaan saya sendiri itu tanpa “diinterupsi” oleh
refleksi yang disengaja. Karena itu dapat dikatakan bahwa bahasa membuat subjektivitas
saya lebih “nyata”, tidak hanya bagi lawan bicara saya melainkan
juga bagi saya sendiri. Dengan kemampuan bahasa untuk menghablurkan dan menstabilkan
ini, subjektivitas saya sendiri dipelihara (meski dengan perubahan-perubahan)
begitu bahasa dilepaskan dari situasi tatap muka. Sifat bahasa yang sangat penting
itu dengan tepat sekali dinyatakan oleh peribahasa bahwa manusia harus berbicara
tentang dirinya sendiri sampai ia mengenal dirinya.
Bahasa lahir dalam—dan terutama sekali mengacu kepada—kehidupan
sehari-hari: ia terutama sekali mengacu kepada kenyataan yang saya alami dalam
keadaan sadar sepenuhnya, yang didominasi oleh motif yang pragmatik (yakni kumpulan
makna-makna yang dengan langsung menyangkut tindakan yang sekarang atau yang
akan datang) dan yang saya alami bersama orang-orang lain dengan cara yang sudah
diterima begitu saja. Meskipun bahasa juga dipakai untuk mengacu kepada kenyataan-kenyataan
lain, yang sebentar lagi akan dibahas lebih lanjut, dalam hal itu pun ia masih
tetap berakar dalam kenyataan akal sehat dari kehidupan sehari-hari. Sebagai
sebuah sistem tanda, bahasa memiliki sifat objektif. Saya berjumpa dengan bahasa
sebagai suatu faktisitas yang berada diluar diri saya dan yang pada hakikatnya
mempunyai sifat memaksa. Bahasa memaksa saya masuk ke dalam pola-polanya.
-55-
Saya tidak dapat menggunakan aturan-aturan sintaksis bahasa Jerman apabila saya
bicara bahasa Inggris; saya tidak dapat menggunakan kata-kata yang diciptakan
oleh anak laki-laki saya yang berusia tiga tahun jika saya ingin berkomunikasi
dengan orang-orang di luar lingkungan keluarga saya; saya harus memperhitungkan
norma-norma yang berlaku bagi cara penuturan yang cocok untuk perbagai kesempatan,
juga apabila saya lebih suka menggunakan aturan-aturan saya pribadi yang “tidak
patut”. Bahasa memberikan kepada saya kemungkinan yang sudah siap-pakai
untuk secara terus-menerus mengobjektivasi pengalaman saya yang terus berkembang.
Dengan kata lain, bahasa bisa berkembang dengan cara yang lentur untuk memungkinkan
saya mengobjektivasi aneka ragam pengalaman yang saya jumpai dalam kehidupan
saya. Bahasa juga mentipifikasi pengalaman-pengalaman dan dengan demikian memungkinkan
saya menggolongkannya dalam kategori-kategori yang luas, yang di dalamnya berbagai
pengalaman itu bermakna tidak hanya bagi saya sendiri akan tetapi juga bagi
sesama saya. Di samping mentipifikasi, bahasa juga menganonimkan berbagai pengalaman,
oleh karena, dalam prinsipnya, pengalaman yang sudah ditipifikasi dapat ditiru
oleh setiap orang yang termasuk dalam kategori yang bersangkutan. Sebagai contoh,
saya bertengkar dengan ibu mertua saya. Pengalaman yang kongkret dan subjektif
unik ini secara linguistik ditipifikasi ke dalam kategori “kesulitan dengan
ibu mertua”. Dalam tipifikasi ini ia bermakna bagi saya sendiri, bagi
orang-orang lain dan, agaknya juga bagi ibu mertua saya. Tetapi tipifikasi itu
juga melibatkan keanoniman. Tidak hanya saya melainkan setiap orang(lebih tepat
lagi, setiap orang dalam kategori menantu laki-laki) dapat mempunyai “kesulitan
dengan ibu mertua”. Dengan cara ini, pengalaman biografis saya terus menerus
dimasukkan ke dalam golongan-golongan makna yang umum, yang nyata, baik objektif
maupun subjektif.
Oleh kemampuannya untuk mentransendensikasn “di sini dan sekarang”,
bahasa menjembatani wilayah-wilayah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari
dan mengintegrasikannya
-56-
ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Transendensi ini mempunyai dimensi-dimensi
ruang, waktu dan sosial. Melalui bahasa saya bisa mentransendensikan jurang
antara wilayah manipulasi saya dan wilayah manipulasi orang lain; saya dapat
menyelaraskan urutan waktu biografis saya dengan urutan waktu biografisnya;
dan saya dapat bercakap-cakap dengannya mengenai banyak individu dan kolektivitas
yang pada saat ini tidak berinteraksi secara tatap muka dengan kami. Sebagai
hasil transendensi ini, bahasa mampu untuk “menghadirkan” anekaragam
objek yang menurut ruang, waktu dan sosial tidak berada “di sini dan sekarang”.
Atas dasar itu, satu akumulasi yang besar sekali dari pengalaman dan makna dapat
diobjektivasi “di sini dan sekarang”. Dengan kata-kata sederhana,
melalui bahasa seluruh dunia bisa diaktualisasikan setiap saat. Daya transendensi
dan integrasi bahasa ini tetap ada walaupun saya tidak benar-benar sedang bercakap-cakap
dengan orang lain. Melalui objektivitas linguistik, juga apabila saya sedang
“berbicara dengan saya sendiri” dalam pikiran, satu dunia secara
keseluruhan dapat dihadirkan kepada saya setiap saat. Sepanjang menyangkut hubungan
sosial, bahasa “menghadirkan” bagi saya tidak hanya sesama manusia
yang secara fisik tidak hadir pada saat ini, melainkan juga yang dikenang atau
dikonstruksikan kembali dari masa lampau, maupun yang diproyeksikan sebagai
orang-orang khayalan di masa depan. Sudah tentu semua “kehadiran”
ini bisa sangat bermakna dalam arus kenyataan hidup sehari-hari.
Selain itu, bahasa mampu mentransendensikan kenyataan hidup sehari-hari secara
keseluruhan. Ia dapat mengacu kepada pengalaman-pengalaman yang menyangkut wilayah-wilayah
makna yang berhingga, dan ia dapat menjangkau wilayah-wilayah kenyataan yang
berlainan. Sebagai contoh, saya dapat menafsirkan “makna” suatu
mimpi dengan mengintegrasikannya secara linguistik ke dalam tatanan kehidupan
sehari-hari. Pengintegrasian seperti itu memindahkan kenyataan yang berlainan
dari mimpi ke dalam kenyataan hidup sehari-hari dengan menjadikannya sebuah
daerah kantong di dalam kenyataan yang disebut belakangan. Mimpi itu sekarang
menjadi bermakna
-57-
dalam rangka kenyataan hidup sehari-hari dan bukan dalam rangka kenyataannya
sendiri yang berlainan. Daerah-daerah kantong yang dihasilkan oleh proses perpindahan
kedudukan itu, dalam arti tertentu, termasuk dalam kedua wilayah kenyataan.
Mereka “berlokasi” dalam satu kenyataan tetapi “mengacu”
kepada kenyataan yang lain.
Setiap tema penandaan (significative) yang dengan demikian menjembatani wilayah-wilayah
kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol, dan modus linguistik dengan
apa transendensi seperti itu dicapai, dapat dinamakan bahasa simbolik. Maka,
pada tingkat simbolisme, signifikasi (penandaan) linguistik terlepas secara
maksimal dari “di sini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari,
dan bahasa membubung tinggi memasuki wilayah-wilayah yang tidak hanya de facto
melainkan juga a priori tidak bisa dimasuki dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Sekarang bahasa mendirikan bangunan-bangunan representasi simbolik yang sangat
besar yang tampaknya menjulang sangat tinggi di atas kenyataan hidup sehari-hari,
bagaikan kehadiran kawanan raksasa dari dunia lain. Agama, filsafat, kesenian,
dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem-sistem simbol paling
penting semacam itu. Menyebutkan hal-hal tersebut sudah berarti mengatakan bahwa,
meskipun pembangunan sistem-sistem itu memerlukan keterlepasan secara maksimal
dari pengalaman sehari-hari, sistem-sistem itu benar-benar dapat sangat penting
artinya bagi kenyataan hidup sehari-hari. Bahasa mampu tidak hanya untuk membangun
simbol-simbol yang sangat diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, melainkan
juga untuk “mengembalikan” simbol-simbol itu dan menghadirkannya
sebagai unsur-unsur yang objektif nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
cara ini, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi unsur-unsur esensial dari kenyataan
hidup sehari-hari dan dari pemahaman akal sehat mengenai kenyataan ini. Saya
setiap hari hidup dalam sebuah dunia tanda-tanda dan simbol-simbol.
Bahasa membangun bidang-bidang semantik atau wilayah-wilayah makna yang dibatasi
secara linguistik. Kosa kata, gramatika dan sintaksis disesuaikan dengan organisasi
bidang-bidang
-58-
semantik itu. Dengan demikian maka bahasa membangun skema-skema klasifikasi
untuk membeda-bedakan objek-objek menurut gender (yang sudah tentu sangat berlainan
dengan kelamin), atau menurut bilangan: bentuk-bentuk yang melahirkan pernyataan
tindakan yang berbeda dengan bentuk-bentuk yang melahirkan pernyataan keadaan;
cara-cara menunjukkan tingkat keakraban sosial, dan sebagainya. Sebagai contoh
dalam bahasa-bahasa yang membedakan antara percakapan yang akrab dan percakapan
formal dengan menggunakan pronomina (seperti tu dan vous dalam bahasa Prancis,
atau du dan Sie dalam bahasa Jerman), pembedaan itu menandakan koordinat-koordinat
suatu bisang semantik yang dapat dinamakan wilayah keakraban. Di sini terdapat
dunia tutoiement atau Bruderschaft, dengan suatu kumpulan yang kaya akan makna-makna
yang terus-menerus tersedia bagi saya untuk keperluan menata pengalaman sosial
saya. Sudah tentu, bidang semantik seperti itu juga tersedia bagi penutur bahasa
Inggris, meskipuns ecara linguistik lebih terbatas. Atau, contoh lainnya, jumlah
objektivasi linguistik yang berkaitan dengan pekerjaan saya merupakan satu lagi
bidang semantik yang dengan cara yang bermakna menata semua peristiwa rutin
yang saya jumpai dalam pekerjaan saya sehari-hari. Di dalam bidang-bidang semantik
yang dibangun dengan cara itu, baik pengalaman biografis maupun pengalaman historis
bisa diobjektivasi, dipelihara dan diakumulasi. Sudah tentu pengakumulasiannya
selektif, di mana bidang-bidang semantik menentukan apa yang akan dipelihara
dan apa yang akan “dilupakan” dari keseluruhan pengalaman individu
maupun masyarakat. Berkat akumulasi ini, terbentuklah suatu cadangan pengetahuan
masyarakat (social stock of knowledge) yang dialihkan dari generasi ke generasi
dan yang tersedia bagi individu dalam kehidupan sehari-hari. Saya hidup dalam
dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari, dilengkapi dengan perangkat-perangkat
(bodies) pengetahuan yang spesifik. Lebih dari itu, saya tahu bahwa orang-orang
lain juga memiliki, setidak-tidaknya sebagian dari, pengetahuan itu, dan mereka
pun tahu bahwa saya tahu akan hal ini. Karena itu, interaksi saya dengan orang-orang
lain
-59-
dalam kehidupan sehari-hari terus-menerus dipengaruhi oleh partisipasi kami
bersama dalam cadangan pengetahuan masyarakat yang tersedia.
Cadangan pengetahuan masyarkat itu mencakup pula pengetahuan tentang situasi
saya dan batas-batasnya. Sebagai contoh, saya tahu bahwa saya miskin dan bahwa
karena itu,s aya tidak bisa mengharapkan untuk bisa tinggal di daerah pinggiran
kota yang mewah. Pengetahuan itu, sudah tentu, terdapat baik pada orang-orang
miskin maupun pada orang-orang yang berada. Dengan demikian, maka partisipasi
dalam cadangan pengetahuan masyarakat memungkinkan “penentuan tempat”
individu-individu dalam masyarakat dan “perlakuan” yang sesuai bagi
mereka. Ini tidak akan mungkin bagi orang yang tidak berpartisipasi dalam pengetahuan
itu, seperti orang asing, yang mungkin sekali tidak akan mengenali saya sebagai
orang miskin, boleh jadi karena kriteria kemiskinan sangat berlainan di dalam
masyarakatnya sendiri—bagaimana mungkin saya ini orang miskin apabila
saya bersepatu dan kelihatan tidak lapar?
Oleh karena kehidupan sehari-hari didominasi oleh motif pragmatis, maka pengetahuan
resep, artinya pengetahuan yang terbatas pada kompetensi pragmatis dalam kegiatan
rutin, menduduki tempat yang menonjol dalam cadangan pengetahuan masyarakat.
Sebagai contoh, saya tiap hari menggunakan telepon untuk tujuan-tujuan pragmatis
tertentu. Saya tahu bagaimana melakukannya. Saya juga tahua apa yang harus diperbuat
jika pesawat telepon saya rusak—yang tidak berarti bahwa saya tahu bagaimana
memperbaikinya, tetapi saya tahu siapa yang harus saya hubungi untuk diminta
pertolongannya. Pengetahuan saya tentang telepon juga mencakup informasi yang
lebih luas mengenai sistem komunikasi telepon—umpamanya, saya tahu bahwa
ada orang-orang yang nomor pesawat teleponnya tidak terdaftar, bahwa dalam keadaan
tertentu saya bisa dihubungkan dengan dua pihak sekaligus dalam percakapan jarak
jauh, bahwa saya harus memperhitungkan perbedaan waktu jika saya ingin menelepon
seseorang di Hongkong, dan sebagainya. Semua per- …
-60-
soalan telepon itu merupakan pengetahuan resep, karena ia tidak menyangkut hal-hal
lain kecuali apa yang harus saya ketahui untuk tujuan-tujuan pragmatis saya
sekarang dan mungkin untuk masa mendatang. Saya tidak ingin tahu apa sebabnya
telepon bekerja dengan cara begini-begitu, saya tidak berminat dalam keseluruhan
pengetahuan ilmiah dan teknologi yang sangat besar yang memungkinkan orang membuat
telepon. Begitu pula saya tidak berminat dalam cara-cara penggunaan telepon
yang berada di luar tujuan saya, katakanlah dalam kombinasinya dengan radio
gelombang pendek untuk tujuan komunikasi dalam dunia pelayaran.
Begitu pula, saya mempunyai pengetahuan resep mengenai cara-cara
bekerjanya hubungan antarmanusia. Umpamanya saja, saya tahu apa yang harus saya
lakukan untuk memperoleh paspor. Yang penting bagi saya adalah bahwa saya memperoleh
paspor itu setelah saya menunggu selama jangka waktu tertentu. Saya tidak peduli
dan saya tidak tahu, bagaimana permohonan saya itu diproses di kantor-kantor
pemerintah, siapa yang memberikan persetujuan setelah diambil langkah-langkah
yang bagaimana, siapa yang memberikan cap yang bagaimana untuk dokumen itu.
Saya tidak melakukan penelitian mengenai birokrasi pemerintah—saya hanya
ingin berlibur di luar negeri. Perhatian saya terhadap cara kerja yang tersembunyi
dari prosedur untuk memperoleh paspor itu baru akan dibangkitkan apabila pada
akhirnya saya tidak memperoleh paspor itu. Dalam keadaan seperti itu, sama halnya
seperti saya menghubungi seorang ahli membetulkan telepon waktu pesawat telepon
saya rusak, saya akan menghubungi seorang ahli dalam soal memperoleh paspor—katakanlah
seorang pengacara, atau anggota Kongres yang mewakili daerah pemilihan saya,
atau American Civil Liberties Union. Mutatis mutandis, sebagian
besar dari cadangan pengetahuan masyarakat terdiri dari resep-resep untuk menguasai
masalah-masalah rutin. Tegasnya saya tidak punya minat untuk melampaui pengetahuan
pragmatis yang diperlukan selama masalah-masalah itu bisa diatasi dengannya.
-61-
Cadangan pengetahuan masyarakat membeda-bedakan kenyataan menurut tingkat keakrabannya.
Ia memberikan informasi yang kompleks dan terinci tentang sektor-sektor kehidupan
sehari-hari yang seringkali harus saya hadapi. Ia memberikan informasi yang
sifatnya jauh lebih umum dan tidak seksama mengenai sektor-sektor yang lebih
jauh. Demikianlah, maka pengetahuan saya tentang dunia pekerjaan saya sangatlah
kaya dan spesifik, sedangkan pengetahuan saya mengenai dunia pekerjaan orang
lain sedikit sekali. Cadangan pengetahuan masyarakat itu selanjutnya memberikan
kepada saya skema-skema tipifikasi yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan rutin
utama dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya tipifikasi orang-orang lain yang
telah kami bahas sebelumnya, akan tetapi juga tipifikasi dari segalam macam
peristiwa dan pengalaman, baik yang sosial maupun yang alami. Demikianlah maka
saya hidup dalam satu dunia anggota-anggota kerabat, orang-orang sepekerjaan
dan pejabat-pejabat umum yang bisa dikenal. Karena itu, dalam dunia ini, saya
mengalami pertemuan keluarga, pertemuan sesama profesi dan perjumpaan dengan
polisi lalulintas. “Latar belakang” alami dari peristiwa-peristiwa
itu pun ditipifikasi di dalam kerangka cadangan pengetahuan itu. Dunia saya
dibangun berdasarkan kegiatan rutin yang berlaku dalam cuaca baik atau buruk,
dalam musim hay-fever dan dalam situasi di mana sebutir kotoran tersebut di
bawah kelopak mata saya. “I know what I am doing” dalam kaitan dengan
semua orang lain dan semua peristiwa itu dalam kehidupan saya sehari-hari. Dengan
jalan menghadirkan diri kepada saya sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi
cadangan pengetahuan masyarakat itu juga memberikan kepada saya cara-cara untuk
mengintegrasikan unsur-unsur yang berlainan dari pengetahuan saya sendiri. Dengan
kata lain, “yang diketahui oleh setiap orang” itu mempunyai logikanya
sendiri, dan logika itu juga dapat digunakan untuk menata berbagai hal yang
saya ketahui. Sebagai contoh, saya tahu bahwa kawan saya Henry adalah seorang
Inggris, dan saya tahu bahwa ia selalu memenuhi janji tepat pada waktunya. Oleh
-62-
karena “setiap orang tahu” bahwa ketepatan dalam hal waktu merupakan
satu sifat orang Inggris, saya sekarang dapat mengintegrasikan kedua unsur pengetahuan
saya mengenai Henry itu ke dalam suatu tipifikasi yang bermakna dalam cadangan
pengetahuan masyarakat.
Kesahihan pengetahuan saya dalam kehidupan sehari-hari diterima begitu saja
oleh saya sendiri dan oleh orang lain sampai ada perkembangan baru, yakni sampai
timbul sebuah masalah yang tidak bisa dipecahkan dalam kerangka pengetahuan
itu. Selama pengetahuan saya berfungsi dengan memuaskan, saya pada umumnya bersedia
untuk menangguhkan kesangsian mengenainya. Dalam sikap-sikap tertentu yang terlepas
dalam kenyataan hidup sehari-hari—seperti ketika saya menceritakan sebuah
lelucon, ketika saya sedang menonton filem atau sedang berada di dalam gereja,
atau sedang terlibat dalam spekulasi filosofis—saya mungkin saja menyaksikan
kebenaran unsur lainnya. Tapi kesangsian itu “tidak perlu dianggap sungguh-sungguh”.
Umpamanya, sebagai pengusaha saya tahu bahwa ada baiknya untuk tidak mempedulikan
orang lain. Saya mungkin saja tertawa mendengar lelucon di mana kaidah ini menyebabkan
kegagalan, saya mungkin terharu oleh seorang aktor atau pendeta yang memuji
kebajikan untuk memperhatikan orang-orang lain dan apabila saya sedang berada
dalam suatu suasana filosofis saya mungkin akan mengakui bahwa semua hubungan
sosial seharusnya diatur oleh Ketentuan Jalan Tengah (Golden Rule). Tetapi setelah
tertawa, setelah merasa terharu dan setelah berfilsafat, saya akan kembali kepada
dunia bisnis yang “serius”, akan kembali mengakui logika kaidah-kaidahnya,
dan bertindak sesuai dengan itu. Baru apabila kaidah-kaidah saya itu gagal untuk
“membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan” di dunia di mana
kaidah-kaidah itu dimaksudkan untuk berlaku, kaidah-kaidah tersebut agaknya
akan “benar-benar” menjadi problematis bagi saya.
Meskipun cadangan pengetahuan masyarakat menghadirkan dunia sehari-hari dengan
cara yang terintegrasi, dengan diferensiasi menurut wilayah-wilayah keakraban
dan kejauhan, ia tetap membiarkan totalitas dunia itu dalam keadaan tidak
-63-
transparan. Dengan kata lain, kenyataan hidup sehari-hari selalu tampak sebagai
sebuah wilayah yang terang yang dibaliknya terdapat suatu latar belakang yang
gelap. Sementara beberapa wilayah kenyataan diterangi, wilayah-wilayah lainnya
tertutup oleh bayangannya. Saya tidak bisa mengetahui segala-galanya yang dapat
diketahui mengenai kenyataan ini. Andaikata pun, umpamanya, saya kelihatan sebagai
seorang despot yang sangat berkuasa dalam keluarga saya, dan saya tahu hal ini,
namun saya tidak dapat mengetahui semua faktor yang menyebabkan despotisme saya
itu berlangsung terus. Saya tahu bahwa perintah-perintah saya selalu ditaati,
tetapi saya tidak mengetahui dengan pasti semua langkah dan semua motif yang
terdapat antara saat dikeluarkannya perintah saya dan saat pelaksanaannya. Selalu
ada hal-hal yang terjadi “di belakang saya”. Ini sungguh a fortiori
berlaku dalam hal-hal yang melibatkan hubungan sosial lebih kompleks daripada
hubungan dalam keluarga—dan, secara sambil lalu, hal ini menjelaskan mengapa
despot-despot selalu gelisah. Pengetahuan saya mengenai kehidupans ehari-hari
mempunyai sifat sebuah alat yang merambah sebuah jalan setapak menerobos hutan
dan, sementara itu, memproyeksikan seberkas cahaya ke arah apa yang ada di depannya
serta sekitar itu; sementara di luar itu keadaan tetap gelap. Perumpamaan ini,
dengan sendirinya, lebih-lebih berlaku bagi sekian banyak kenyataan di mana
kehidupan sehari-hari terus menerus ditransendensikan. Pernyataan yang terakhir
ini dapat dijelaskan, dengan cara yang puitis bila tidak berlebihan, dengan
mengatakan bahwa kenyataan hidup sehari-hari itu tersaput kabut mimpi-mimpi
kita.
Pengetahuan saya mengenai kehidupan sehari-hari terstruktur menurut berbagai
relevansi. Beberapa di antaranya ditentukan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis
saya yang paling dekat, dan yang lain oleh situasi umum saya dalam masyarakat.
Tidaklah relevan bagi saya untuk mengetahui bagaimana caranya istri saya memasak
goulash kesukaan saya selama hasilnya sesuai dengan selera saya. Tidak relevan
bagi saya untuk mengetahui apakah saham-saham sebuah perusahaan
-64-
sedang merosot nilainya, jika saya tidak memiliki saham-saham perusahaan itu;
atau bahwa orang-orang Katolik sedang memodernisasi doktrin mereka, jika saya
seorang ateis; atau bahwa sekarang sudah mungkin untuk terbang langsung tanpa
berhenti ke Afrika, jika saya tidak ingin pergi ke sana. Tetapi struktur-struktur
relevansi saya itu bersilangan dengan struktur-struktur relevansi orang lain
pada banyak titik, dan akibatnya kami dapat mengatakan “hal-hal yang menarik”
satu sama lain. Satu unsur penting dari pengetahuan saya mengenai kehidupan
sehari-hari itu adalah pengetahuan tentang struktur-struktur relevansi orang
lain. Dengan demikian saya “tahu bahwa sebaikny” saya tidak berbicara
tentang masalah investasi saya dengan dokter saya, tentang sakit bisul saya
dengan pengacara saya, atau tentang upaya saya mencari kebenaran religius dengan
akuntan saya. Struktur-struktur relevansi yang pokok yang mengacu pada kehidupan
sehari-hari disajikan kepada saya sudah dalam keadaan siap pakai oleh cadangan
pengetahuan itu sendiri. Saya tahu bahwa “pergunjingan wanita” tidak
relevan bagi saya sebagai laki-laki, bahwa “renungan yang melantur”
tidak relevan bagi saya sebagai orang yang suka bertindak, dan sebagainya. Akhirnya
cadangan pengetahuan masyarakat secara keseluruhan mempunyai struktur relevansinya
sendiri. Demikianlah maka, dari segi cadangan pengetahuan yang sudah diobjektivasi
dalam masyarakat Amerika, tidaklah relevan untuk menelaah gerakan bintang-bintang
guna meramalkan perkembangan di bursa saham, tetapi relevan guna meneliti kata-kata
yang keluar dari mulut seseorang yang keseleo lidah untuk mengetahui tentang
kehidupan seksnya, dan seterusnya. Sebaliknya, dalam masyarakat lain, astrologi
mungkin sangat relevan bagi ekonomi, analisa berbahasa mungkin sangat tidak
relevan bagi keingintahuan di bidang erotis, dan seterusnya.
Akhirnya perlu dikemukakan di sini satu soal tentang distribusi pengetahuan
dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari saya berjumpa dengan pengetahuan
yang tersebar dalam masyarakat, artinya, dimiliki secara berbeda oleh individu-individu
dan tipe-tipe individu yang berbeda. Pengeta-
-65-
huan saya tidak sama dengan pengetahuans emua orang sesama saya, dan mungkin
ada beberapa pengetahuan yang hanya ada pada saya saja. Keahlian profesional
saya juga dimiliki oleh rekan-rekan sekerja saya, tetapi tidak oleh keluarga
saya, dan saya mungkin satu-satunya orang yang mempunyai pengetahuan tentang
cara menipu dalam main kartu. Distribusi pengetahuan dalam masyarakat tentang
unsur-unsur tertentu dari kenyataan sehari-hari bisa menjadi sangat kompleks
dan malahan membingungkan bagi orang luar. Saya tidak hanya tidak memiliki pengetahuan
yang dianggap diperlukan untuk menyembuhkan suatu penyakit jasmani saya, bahkan
saya mungkin tidak mempunyai pengetahuan tentang yang mana di antara sekian
banyak jenis dokter spesialis yang mempunyai wewenang untuk mengobati penyakit
saya itu. Dalam kasus-kasus seperti itu, saya memerlukan tidak saya nasihat
para ahli, tetapi nasihat pendahuluan dari para ahli mengenai para ahli. Dengan
demikian distribusi pengetahuan dalam masyarakat dimulai dengan fakta sederhana
bahwa saya tidak mengetahui semua hal yang diketahui oleh sesama saya, dan sebaliknya,
dan distribusi itu mencapai puncaknya dalam sistem-sistem keahlian yang sangat
kompleks dan isoteris. Pengetahuan mengenai bagaimana cadangan pengetahuan yang
tersedia dalam masyarakat itu didistribusikan, setidak-tidaknya dalam garis
besarnya, merupakan satu unsur yang penting dari cadangan pengetahuan itu pula.
Dalam kehidupan sehari-hari saya tahu, setidaknya secara kasar, apa yang bisa
saya sembunyikan dari siapa, dari siapa saya bisa memperoleh informasi mengenai
apa yang belum saya ketahui, dan pada umumnya tipe-tipe individu yang bagaimana
yang diperkirakan mempunyai jenis-jenis pengetahuan yang bagaimana.
1. Bagian
ini seluruhnya didasarkan atas Alfred Schutz dan Thomas Luckmann, Die Strukturen
de Lebenswelt, yang sedang disiapkan untuk diterbitkan. Karena itu, dengan sengaja
kami tidak memberikan acuan-acuan individual untuk halaman-halaman di dalam
karya Schutz yang sudah diterbitkan, di mana dibahas masalah-masalah yang sama.
Argumen kami di sini didasarkan atas Schutz, sebagaimana yang telah dikembangkan
oleh Luckmann di dalam karya yang telah disebutkan di atas, in toto. Pembaca
yang ingin mengenal karya Schutz yang sudah diterbitkan hingga kini dapat membaca
Alfred Schutz, Der sinnhafte Aufbau der sozialen Welt (Vienna: Springer, 1960);
Collected Papers, vol. I dan II. Pembaca yang ingin mengetahui cara Schutz menggunakan
metode fenomenologis dalam analisa tentang dunia sosial dapat membaca terutama
bukunya, Collected Papers, vol. I, hal 99 ff., dan Maurice Natanson (ed.), Philosophy
of the Social Sciences (New York: Random House, 1963), hal. 183 ff.
back , next